[ NOVEL ] setelah dapat kerj...

By Aku-UMI

1.6M 131K 18.5K

sejak kecil, kita terbiasa diajari untuk berlomba. ngeyel siapa yang paling benar antara kakak-adik. hingga m... More

0. | hai, it's me: prologue!
1. | the man who wants to keep me down
2. | which one would you like to choose: ego or pride?
3. | a big fight always begins with a prologue
5. | it's time to get to know me first!
6. | the man I want to kill
7. | i know that he's an old-fashioned man
8. | i don't need nothing else but ... him.
9. | let's focus on communicating!
10. | a trick to keep your heart alive.
11. | do you have an immortal soul?
12. | it's not the pain, it's a tryout!
13. | it's a mood, it's a vibe, it's a look, it's a match!
14. | people come and go.
15. | a sweet healer
16. | a healer who needs some healing
17. | i've trained myself to be less stupid
18. | no more awkward conversations!
19.1 | things will be easier if you shout it out.
19.2
20. | do not be fooled by a man, fellas!
Njul Panjul!
numpang dolo ya, Njul.
numpang lagi ya, Njul!
OPEM PO SWEET-TALK & SMLA
woro-woro
PO LAPANDAN

4. | you could break my heart in two. but when it heals, it beats for you

38.5K 5.2K 378
By Aku-UMI

akutuh bingung, abisnya jadi bucin enak sih.
---si pacar yang sadar nggak sadar jadi goblok






"Uda itu kalau diturutin, maunya Mbak Lia itu di rumah terus, La. Nggak boleh ke mana-mana. Jangan ketemu sama temen-temennya dan yang paling penting Uda nggak suka dia main sama sahabat cowoknya itu."

Aku menyimak, sambil menyiapkan isi description box untuk epidose terakhir nanti.

"Tapi, Uda sadar diri, Udah bukan pemilik dari tubuhnya Mbak Lia. Mbak Lia ya punya dirinya sendiri, Uda cuma pasangannya yang kalau dia izinkan buat nyentuh, baru bisa nyentuh. Udah bukan Pendoktrin otaknya, yang harus maksa dia buat memikirkan dan melakukan apa. Udah manusia, bukan Tuhan kan? Tuhan aja nggak segitunya kayaknya."

Selesai mengetik, aku menyimpan draft-nya sebelum nanti kukirim email ke mas Dhana dan para abang.

Sekarang, aku mendorong mouse, menoleh ke samping untuk menyimak omongannya lebih dalam. Uda lagi sibuk lihat-lihat file di komputer hasil pindahan dari kamera. Aku nggak tahu dia lagi ngerjain apa, kayaknya ... itu file lama deh.

Entahlah.

"Terus gimana caranya Uda bisa mikir begitu?" Tangannya berhenti bergerak, dia noleh ke aku. "Maksudku, gimana caranya biar Hago punya pikiran kayak gitu? Aku tuh memang capek lho, Uda, tapi sayang dia. Banget."

Kesel! Kenapa hati dan logika selalu bermusuhan untuk masalah rasa sih. Coba yang enakan dikit dong, biar jalan mulus macam tol.

Uda sudah menatapku sempurna. Tatapannya lembut, aku selalu kalah kalau berhadapan dengan lelaki ini. Mana bisa aku teriak-teriak meski dalam hati seperti saat aku lagi sama mas Dhana atau kang Denny atau abang sekalipun.

Bersama Uda, aku nggak bisa buat nggak menceritakan semuanya.

Termasuk kebodohanku yang terus-menerus memaafkan Hago. Yang terbaru adalah setelah kejadian di depan studio+rumah kemarin itu, sampai di kost, aku masih marah banget campur malu dengan mas Dhana dan semua-muanya rasa gabung jadi satu. Tapi, melihat muka memelas Hago dan kalimatnya yang meyakinkan kalau semua itu dia lalukan demi aku ... rasanya balik lagi, aku memang bisa patah karenanya, selanjutnya juga bisa menyayanginya semudah itu.

I hate myself for being stupid. I do.

"La, Uda, Abang, Kang Denny dan mas Dhana itu kenal nggak cuma hitungan hari. Uda memang yang paling kecil dan adik tingkat mereka, tapi kalau kamu mau nguji pertemanan kita, boleh aja."

Aku mendengus saat ia tertawa di ujung kalimatnya.

"Kok gitu responsnya?"

"Hubungannya apa duong!"

"Aduh, sebenernya para abangmu yang lain itu udah mewanti Uda buat nggak bagi-bagi rahasia ini lho. Katanya, tunggu sampai kamu tumbuh besar."

Seketika aku melotot. Dengan cepat, aku menyanggul rambutku supaya udara dari AC itu mask ke pori-pori leher dan berdoa saja bisa mengatasi kekesalanku ini. "Bodo ya, Uda, bodoooo! Demi apa pun, La udah dua puluh tiga tahun! Dari mananya nggak tumbuh besar! Semuanya udah besar lho!"

"Jangan lupa kami udah tiga lima dan tiga tujuh. Berapa perbedaannya, La?"

"Nggak asyik ah!"

Orang-orang suka banget diskriminasi kematangan pribadi hanya lewat angka. Mau tua-tuaan gitu ya? Ayok, siapa takut! Ya paling juga aku kalah. Itu kan urusan belakang.

"Yaudah. Mumpung mereka lagi ke lokasi, Uda ceritain. Tapi, janji di depan mereka pura-pura nggak tahu. Sampai nanti Uda sendiri yang bilang. Gimana?"

"I am the best spy in the world. Jadi aku juga pasti jago jaga rahasia. Ssst..." Aku menempelkan jari telunjuk di depan bibir, lalu menoleh ke kiri-kanan yang memang tidak ada siapa pun. "Jangan bilang siapa-siapa ya."

Uda ketawa pelan.

Aku ikut tersenyum.

"Kami dulu dikenal sebagai cowok paling berengsek tapi bikin sayang."

"Hueeeeek!"

"Eh serius lho. Mau lanjut enggak?"

"Okay okay okay!" Aku menumpukan tangan kiri untuk menyangga kepala dan mencoba fokus meski ingin banget tertawa. "Lanjutin, Uda."

"Kamu jelas tahu ya, kenapa kami bisa terkenal dulu di sekolah. Sejak SMA, kita itu udah nggak pisah, kecuali mereka lulus dan lanjut kuliah, Uda masih di SMA, teru Uda nyusul deh ke kampus mereka. Gampang banget semuanya kalau ada Dhana. Mas Dhana maksudnya bukan dana uang."

Aku nyengir. Geli banget membayangkan mereka jadi preman kampus dengan muka-mukanya yang begitu.

"Enggak tahu gimana, memang katanya alam itu selalu mempertemukan teman-teman yang satu visi dan misi, begitu pun kami. Kamu boleh lihat Uda sekarang baik dan kalem kan katamu? Dulu Uda cemburuan sampai nggak tahu akal sehat lagi, La. Sekarang juga kadang. Pacar Uda nggak bales chat berapa menit sementara Uda lagi nunggu balasan, jangan ada ampun deh."

Ya Tuhan.

Aku mulai kehilangan cengiran di wajah dan langsung duduk tegak, memerhatikannya dengan serius.

"Dia izin ngerjain tugas, Uda yang harus anter. Dia mau nginep di rumah temen, Uda nggak pernah kasih izin. Diboncengin cowok, jangan mimpi si cowok bakalan kuliah dengan tenang setelahnya."

Ya Rabb.
Aku menelan ludah.

"Terus kalau kang Denny. Dia yang dengan caranya sendiri. Setiap tahu ceweknya ketawa sama cowok lain, langsung disamperin dan dihajar tuh cowok detik itu juga. Kang Denny sukanya main fisik, meski sama ceweknya juga. Tapi dia yang paling mudah luluh juga."

Ya Allah.
Menelan ludah, lagi.

"Kalau bang Alan, dia ini kan yang nggak terlalu suka ngomong banyak kalau dia memang nggak mau, bukan karena pendiam, tapi nggak tahu orang nggak penting satu itu." Dia ketawa lagi, sementata aku kehilangan semua saraf-saraf lucu di kepala. "Kalau ceweknya nggak bisa diomongin, termasuk nggak angkat telepon pas dia pengin nelepon, langsung diputusin, La. Tapi, jangan harap setelahnya si cewek bisa move on, enggak. Diajak balikan enggak, tapi dibiarin sama cowok lain juga enggak. Abangnya mah enjoy, cewek banyak."

Ya Rahman.
Ludahku sudah mulai kering.

Kebayang bagaimana mereka bertiga bertingkah semenyebalkan itu. Anehnya, bagaimana mungkin ada para cewek bodoh yang mau diperlakukan seperti itu?

Eh, okay, sorry, kayaknya aku salah ngomong.

"Nah terakhir nih, si ketua dari segalanya ketua. Mas Dhana. Karena dia anak uang, yang bahkan napasnya aja bau duit seratus ribu baru cetak itu, dia paling gampang banget buat bertindak. Apa yang kami lakukan di kampus, mulus aja selalu. Tapi, La, kalau berengseknya kami bertiga tadi adalah dengan sok menghakmiliki para kekasih, beda lagi sama mas Dhana. Kalau mau ngapa-ngapain, ceweknya yang minta."

Ya Karim.
Aku sudah memproduksi ludah lagi buat cerita kelanjutannya.

"Ceweknya minta jalan, dia males. Ceweknya ngajak nonton dia males. Ceweknya kangen, harus ceweknya yang nyusulin kita ke kantin. Nah, nanti, giliran mungkin ceweknya banyak dukungan dan suruh balas dendam, gampang aja, kita tinggal samperin ke kerumunan para gadis itu, lalu mas Dhana cuma mendekat dan bilang, misalnya namanya 'La' ya... 'La, pulang' atau 'La, ikut aku' atau 'La, makan'. Nurut lagi tuh ceweknya."

Untuk yang kali ini, aku nggak menelan ludah melainkan tertawa. Tiba-tiba, aku terbayang ekspresi mas Dhana ketika melakukan perintah-perintah itu. Dia memang kejam sih, pantesan ceweknya pada takut.

"Tapi, semua orang itu memang berhak mendapatkan imbalan dari apa yang ditanam. Kami semua, pada akhirnya ketemu sama cewek-cewek yang bahkan nggak takut buat berkacak pinggang sambil balik melotot. Mbak Lia itu pembangkang luar biasa, hebatnya semua yang Uda lakuin ke cewek dulu, nggak mempan sama sekali. Malahan, Udah pernah ditinggal ke Situbondo sampai berminggu-minggu karena dia marah, akhirnya apa? Uda yang nyusul dan ngalah."

"Serius?"

"Ya. Enggak tahu, rasanya jadi nggak bisa hidup kalau nggak ada dia."

"Eyuh. Dangdut abis!"

"Kamu memangnya bisa hidup tanpa Hago?"

"Ya bisalah! Hago kan bukan udara, bukan juga makanan atau air, ngapain nggak bisa tanpa dia."

"Kalau dia memang nggak pernah bisa berubah setelah kamu melawan pun, tinggalin aja. Kan tetep bisa hidup."

Aku langsung kicep cep cep cep.

"Sementara kang Denny, waktu dia mulai deketin dan kirim barang-barang buat teh Bella, malah digampar lho, La." Uda senyum geli, sementara aku ngakak. Kebayang banget mukanya kang Denny pasti dagelan abis. "Dia pernah dikerjain sama teh Bella disuruh ke Malaysia nyusulin dia yang lagi liburan buat dapat jawaban, tahu enggak ternyata apa?"

"Apa?" Aku siap-siap ...

"Kang Denny nyampe sana, teh Bella pulang."

"Hahahaha. Serius, Uda?"

"Iya beneran. Kami cuma bisa ketawain aja walau kasian."

Ternyata, semuanya pernah bodoh pada waktunya. Lalu, aku kapan pintarnya?

"Terus abang ... ini udah nggak bisa ketawa lagi, La." Wajahnya serius, aku jadi ikut tegang. "Abang sama mas Dhana yang nggak seberuntung kami berdua."

Ya Karim.
Ludahku kembali berguna.

"Di saat abang udah berubah total, udah serius mau menikah, ternyata ceweknya---Uda sampe nggak tega mau nyebut namanya, cuma balas dendam buat temannya yang merupakan mantannya abang itu. Lama banget abang nggak mau buka hati, lalu udah nemu lagi, kejadiannya pun sama, si cewek cuma jadiin dia pelarian dan ujungnya nikah sama cowok pertamanya."

Tanpa sadar, air mataku menetes dan aku buru-buru menghapusnya, lalu berusaha senyum saat Uda mengelus rambutku.

Ternyata, dibalik abang yang kadang suka ketawa, suka ngomong ngalur-ngidul sama mereka ini, ada luka yang besar.

"Sekarang kami pengin banget abang bisa cepetan nemu, nanti keburu udah nggak bisa lagi tuh bikin anak." Guyonannya nggak berhasil bikin aku ketawa, lalu Uda melanjutkan. "Masih kuat enggak buat lanjut ke kisah mas Dhana?"

"Ta... takut tapi."

"Waduh. Yaudah nggak usah, nanti aja kalau sudah tumbuh bes---"

"Enak aja! Okay, sekarang!"

Matanya menyipit, kemudian dia mengangguk pelan. "Kara. Dia anak koran kampus. Beridealis. Cerdas. Nggak pernah takut, apalagi cuma sama mas Dhana. Kalau biasanya mas Dhana yang harus dimohon-mohon buat diajak jalan, sama Kara ini kebalikan. Nggak ketemu seharian, dia kayak orang lingkung karena takut Kara jadian sama ketua komunitasnya. Kara jelas berbeda dengan para gadisnya Dhana sebelumnya, Kara nggak pernah peduli walaupun Dhana udah nongkrong semalaman di depan gerbang kosnya."

Kok sama-sama budak cinta?
Jadi kasihan.

"Tapi...."

"Tapi?"

"Kara membatalkan pertunangannya dengan mas Dhana dengan alasan dia nggak cinta dan selama ini cuma mau hartanya aja." Aku nge-blank untuk beberapa detik. "Padahal semua tahu dia nggak pernah sepeser pun minta uang, kecuali mas Dhana yang maksa ngasih sesuatu. Akhirnya, Kara nikah sama lelaki lain."

Tiba-tiba, muka galaknya mas Dhana terbayang. Lalu, ngakaknya dia kalau lagi sama kang Denny atau abang. Mereka semua ... punya cerita yang memilukan.

Mendadak, hatiku nyeri.

"Terus, dia hamil, suaminya minggat sama cewek lain. Kara nyaris gila, akhirnya Dhana yang ngurusin dia lagi sampai dia melahirkan, lalu setelah Bee usia berapa bulan, Kara pergi nitipin surat yang bikin Dhana untuk kali pertama nangis sambil teriak. Dia dipermaluin waktu tunangan pun, nggak nangis padahal."

"Ka... kalau," Aduh, suaraku hilang karena isakan nggak mengenakan ini. "Kalau aku mau tahu isi suratnya, kurang ajar enggak, Uda?"

"Garis besarnya ... Kara mengakui semuanya. Dia mencintai Dhana. Dia membatalkan pertunangan biar Dhana benci dia. Dan dia nitip Bee supaya seenggaknya, ada bagian dari Kara yang bisa tetap hidup dengan Dhana." Aku merasa seakan mendengar sebuah kisah fiktif yang nggak mungkin menjadi nyata. Faktanya, terkadang jalan hidup seseorang nggak akan pernah bisa kamu tebak. "Dan, orang dibalik semua itu adalah ... papanya."

Aku langsung menutup mulut, dadaku jadi sesak setelahnya. Jadi, itu kenapa mas Dhana dan papanya nggak akur? Bukan hanya karena dia merawat Bee justru karena semua itu?

"Jadi, La. Hidupmu itu terlalu berharga buat hal yang nggak kamu suka. Jangan berkorban untuk sesuatu yang nggak membahagiakan. Kamu boleh berharap Hago berubah, tapi harus punya target buat memutuskan."

"Hago ...."

"Cintai dirimu sendiri. Karena kami pun cinta sama kamu, La. Jangan jadi korban kayak mereka-mereka. Kami taubat."








***








"Mbala! Where's my Lolipop?"

Aku mendapati Bee berlarian dari tangga, mendekati meja kerja kami alih-alih milih sofa di depan sana. Dirinya berdiri dengan kedua tangan ditumpukkan di depan dada, terlihat memohon. Oh, jangan lupakan matanya yang berkedip-kedip manipulatif itu.

Dia bukan anak sembarangan.

Dia anak hamba uang.

Dia anaknya Randaru Sadhana---well, anak peliharaan, tunggu dulu, kalimatku nggak terlihat jahat banget kan?

Aku malah jadi teringat cerita dari Uda tadi pagi. Melihat wajah Bee membuatku membayangkan bagaimana sosok cewek yang melahirkannya sekaligus yang bisa membuat mas Dhana sampai sebegitu gila. Merawat Bee, tanpa menikah lagi. Maksudku, hei, ini mas Dhana lho!

"Mbala. Kok ngelamun?"

"Oh, hai, Bee sayang." Cepat-cepat aku membuka isi tas untuk mengeluarkan apa yang sudah kujanjikan. "Ini, buat kamu. Dua lolipop, kan? Aku tepat janji!"

Cengirannya lebar, lalu sebelah matanya dikedipkan sambil dia memutar tubuh dan mengatakan "Thank you." lalu kembali menaiki tangga.

Ya, setidaknya, Bee, walaupun kamu belum bisa mewarnai dan membentuk rambutmu sepertiku, kamu masih bisa merasakan lolipopnya.

Kok nggak nyambung ya. Jadi kesel.

"La."

Aku menoleh. Menemukan abang dari tangga bawah dengan kamera di lehernya.

"Udah makan siang?"

Dia ... abangku yang malang. Lelaki yang belum menikah sampai detik ini, mungkin karena rasa sakit hatinya atau juga karena ketakutannya akan kejadian yang sama dan terus berulang. Kalau bisa, aku pengin banget membantunya agar lekas bangkit dan menikah, menemukan pasangan yang tepat untuk setidaknya menemani hari-harinya.

Oh, abang ....
Gimana caranya buat mewujudkan itu?

"Malah ngemalun ditanyain."

"Eh? Aku? Belum duong!" seruku sambil nyengir, teringat pesan Uda untuk tidak terlihat tahu kisah mereka. "Aku yang traktir dong, Bang! Sekali-kali. Ayam geprek sama es jeruk doang sanggup kali akunya."

"Abang harus pergi kok ini. Di bengkel ada masalah dikit, abang harus ke sana."

"Oh, setting lokasi udah beres?"

"Udah selesai. Besok kamu ikut mas Dhana ke sana sama Mbak Kanya dan Mas Egan ya, ada kang Denny kok."

"Langsung syuting?"

"Tunggu kabar dari mas Dhana nanti malam. Kalaupun langsung syuting,  ya nggak apa.  Abang izin besok kayaknya."

"Genting banget?"

"Enggak kok."

"Okay." Tiba-tiba, aku mendekat, reflek memeluk tubuh besarnya. "La sayang abang, jaga kesehatan ya. Semoga nggak ada masalah gede di bengkelnya."

"Abang juga sayang La." Dia menoleh ke arah Uda yang masih sibuk depan komputer. "Gue balik duluan, Al. Jangan lupa aja La makan."

"Iya. Hati-hati."

Dan, bersamaan dengan abang yang hendak menuruni tangga, mas Dhana datang menenteng dua  plastik dengan satu kover nama resto dan lainnya minimarket. Kali ini, dia membeli Nasi Padang. Seketika aku menelan ludah membayangkan ikan sambal ... apa itu yaa aku lupa namanya.

"Balik sekarang?"

"Iya. Si Anton nggak bisa atasin. Besok kalau belum kelar, gue izin ya."

"Gampang. Manusia nggak cuma kita doang."

Hih, jawaban macam apa sih itu? Dia bisa enggak sih kalau ngomong tuh agak baik---oke, sorry, matanya menemukan mataku dan kami saling tatap, lalu begitu aja aku langsung was-was sambil meremas tangan, berdiri di depan mejaku.

Namun, pikiran mengenai kisah hidupnya yang tak sesangar mukanya itu, aku jadi simpati. Kalau saja dia abang, aku pasti sudah memeluknya juga untuk menguatkan meski secara tersirat. Tapi ya gimana, jangankan menempelkan tubuhku kepadanya, aku mau ngomong aja nggak berani.

Yaelah, jadi goblok lagi si Lapia! Enak ya jadi goblok? Betah banget.

"La, makan." Matanya memicing curiga. "Kok ketawa?"

EMANG IYA? AKU? BERANI KETAWAIN MAS DHANA LANGSUNG DI DEPANNYA?!

Hah.
Tidak mungkinlah ya, dan saat aku menyentuh mulut, aku langsung diam begitu menyadari kalau saja mungkin benar. Tadi, aku ketawa karena mengingat kebisaan dia yang satu itu ternyata nggak berubah sejak zaman dahulu kala.

"Al. Nggak butuh makan lo?"

"Makan. Sebentar. Ini tanggung banget, tinggal layer ketiganya." Mata Uda melirik sekilas. "Beli apa kamu?"

"Nasi padang."

"Denny mana?"

"Langsug balik, Axel berantem sama temennya. Besok agak sorean aja. Terserah lo mau langsung ke lokasi atau mampir sini dulu."

"Wadrobe dan segala macam udah beres kan?"

"Tinggal take aja kok. Palingan make up-nya si Kanya nih nanti yang agak ribet. Dia susah banget buat tanpa make up. Ending ya, Al."

"Siap."

Aku langsung menoleh ke kanan-kiri ketika Uda menatapku sambil menggerak-gerakkan mulutnya. Ngomong apa sih dia? Sekarang, matanya juga ikut gerak-gerak. Aku mengatakan 'apa' tanpa suara dan dia malah sedikit melotot. Lalu, nggak lama, ponselku berdenting, dia memintaku mengecek dengan dagunya.

Pesan pribadi darinya.

Jangan terlalu keliatan begitu,
nanti kamu bisa ditelan mas dhana.

Baik.

Baiklah.

BAIKLAH!

Aku berdeham. Oh nggak cukup, sekarang aku berpura-pura batuk kecil, bersenandung lirih dan mengikuti direction tanpa suara dari Uda: mendekati mas Dhana yang lagi makan di sofa tempat segala hal terjadi.

Pelan-pelan, aku duduk di seberangnya, dan dia menangkap netraku ketika tangan besarnya lagi menyuapkan nasi ke mulut. Lalu, sebelah tangan kirinya yang bebas, mendorong satu bungkusan yang kuhafal sampai bumi berakhir ... itu milikku. Belum cukup di sana, ketika aku mulai membuka karet pengikatnya, dia mendorong lagi plastik yang berisi air mineral dalam botol---ada tiga jumlahnya.

Setelahnya, barulah dia kembali fokus makan. Topinya sudah dilepas, diletakkan bersamaan dengan kaca mata hitam di tempat kosong sebelahnya. Jemarinya yang besar itu dengan telaten menyuapi mulutnya sendiri---hahaha, ya masa mau pake jari orang lain sih, La!

"Kenapa?"

Sial. Ditanya begitu aja aku langsung tersedak dan buru-buru menelan air. "Apanya, Mas?"

"Lo lihatin gue kayak mau ngasih duit dua milyar."

He?!

Maksudnya gimana tuh, aku telrihat kayak orang berduit terus lihat dia sebagai pengem---okay, jangan bilang kalau rasa simpati terpampang nyata di wajahku saat ini.

Habislah aku. Habislah aku! Habislah aku!

Macam upin-ipin tertangkap basah Kak Ros waktu mainan gadget kan!

"Selesai makan, cek hasil set tempat sama gue."

"Siap, Mas."

"Selesai episode ini, lo boleh libur seminggu."

"Aku, Mas? Serius? Mas, kamu memang ba---"

"Semuanyalah. Gue mau ajak Bee ke luar kota."

Baik.

Baiklah.

Sadar duong, La! Dia mana mungkin sebaik itu khusus buat dirimu seorang! Yaelah, kamu pikir kamu Isyana Sarasvati apa yang bisa haha-hihi manja dengan Afgan.

"Okay, Mas." Kepalaku mendongak lagi setelah memasukkan sesuap nasi campur ikan, karena melihat sebuah salep ... anti pegal? Obat linu? Sakit tulang? Atau apa ini? "Ini apa, Mas?"

Dia nggak langsung menjawab, malah membuka botol air dan menenggaknya hingga menyisakan sedikit lagi. Gila, ngga heran badannya segede itu, makan dan minumnya banyak banget.

"Ini obat kan? Maksudku salep? Punyanya Bee? Dia memangnya kenapa? Jatuh?"

"Buat elo."

"Kok bisa?" Aku menggelengkan kepala. "Maksudku, kok bisa buat aku?"

"Tadi Alan yang beliin."

"Bang Alan?" Kok tadi abang nggak langsung kasih ke aku? Kenapa malah lewat mas Dhana?

Tubuhnya bangkit, aku mengikuti gerakannya yang membawa kertas bekas nasi dan botol itu dan membuangnya ke dalam kotak sampah. Lalu, dia mendekat lagi, memandangku. "Emang lo nggak ngerasa memar atau sakit?"

"Karena?"

"Ya pake aja kalau ngerasa butuh." Dia menunduk, mengambil topinya sambil kembali bergumam, "Dulu lengannya langsung merah dan kesakitan tiap gue tarik dengan kasar kayak gitu." Aku mendengar jelas, tapi maksudnya gimana sih? "Gue tunggu di bawah kalau lo udah siap."

"I-iya, Mas. Salep---"

"Jangan lupa makan, Al! Gue turun dulu."

"Yoi." Uda memandangku, aku mengangkat obat-benda-apa-pun-deh itu ke udara dan berusaha bertanya hanya lewat ekspresi. Dia menggeleng kecil, mengendikkan bahu.

Ah, pusing!
Terserah. Aku harus makan banyak karena sepertinya, siang menjelang sore nanti, fisik dan hatiku akan sangat lelah.

Belum lagi, pesan baru dari Hago yang bikin aku makin kepikiran omongannya Uda.

Sayang, aku minta maaf.
Udah dong marahnya.
Aku sayang banget sama kamu.








to be continued...







salam😌,
yang rukuk pas witir padahal baru kelar al-ikhlaas doang, belum an-naas juga.

Continue Reading

You'll Also Like

19.7K 1.4K 5
"9 tahun kita sama-sama, apakah nggak ada kesempatan buat aku jadiin 9 tahun itu selamanya?" Tentang Ares dan Gia, serta 9 tahun persahabatan mereka.
921K 74.5K 52
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
52.8K 6.5K 14
Kalau ada yang ingin kuubah dari hidupku, adalah aku berharap bisa lebih cepat bertemu denganmu dan lekas mencintaimu banyak-banyak. itu saja.
1.2M 183K 45
Sudah cetak. Versi lengkap di KBM app dan Karyakarsa eriskahelmi Ketika Cinta Lewat Depan Rumahmu - Eriska Helmi Sepeninggal ayah kandungnya, Magnol...