AMBISIUS : My Brother's Enemy...

By Karanaga

1.7K 53 2

Suatu hari, kelas Malta kedatangan seorang murid baru super tampan dari San Fransisco yang bernama Austin. Da... More

Book Cover
Tokoh
Prolog
Aku dan Jason yang Menyebalkan
Austin si Anak Baru yang Tampan
Jason Menghilang
Orang Tuaku Menghilang
Aku Menyukai Malta
Rahasia Jason
Kencan dengan Austin?
Aku Membenci Larry
Wanita Berkumis dengan Senyuman Manis
Menonton Film dengan Austin
Rumah Berhantu
Catherine Hamlin
Pertandingan Basket Austin
Hari Sial Jack
Hoax
Miami
Larry Holmes (Part 1)
Larry Holmes (Part 2)
Allison James
Pesta Dansa Sekolah
Perpisahan
Surat dari Austin
Epilog

Pertemuan Austin dan Jason

83 2 0
By Karanaga

[MALTA]

Seusai sekolah, Austin mengantarku pulang ke rumah. Aku mengajaknya untuk nongkrong di rumahku sebentar. Untungnya ia setuju. Aku benar-benar tidak pernah berpikir bahwa suatu saat ia akan berkunjung ke rumahku.

Aku mempersilakan Austin untuk masuk ke dalam rumah dan menungguku di ruang tamu. Saat itu, aku melihat Jason berjalan menuju dapur. Aku juga dapat mencium aroma masakan yang tidak lagi asing di hidungku.

"Pasti Bibi Eagle!"

Belum sempat aku pergi menuju kamar, Jason menghampiriku dan Austin yang masih berbincang di ruang tamu. Ia berdiri memandangi kami berdua, bersandar ke tembok di sampingnya. tanpa berkata sedikitpun, sambil menyilangkan kedua lengannya.

"Hey, Jason! Bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanyaku pada Jason, berharap dia tidak mengabaikanku kali ini.

"Lumayan..." Jawabnya singkat. Setidaknya lebih baik dibandingkan tidak ada jawaban sama sekali.

Mata Jason terus tertuju kepada Austin. Alisnya mengkerut. Kelihatannya ia sedikit terkejut. Entah karena ini pertama kalinya aku membawa laki-laki lain selain Larry atau memang ia terpana dengan penampilan Austin yang rupawan, seperti ketika aku melihatnya untuk yang pertama kali. Ia memperhatikan anak itu, yang baru saja aku bawa kemari, dari atas hingga ke bawah. Memperhatikannya dengan seksama seakan-akan ia sedang menilai seseorang.

"Oh, hampir saja lupa! Jason kenalkan, dia temanku, Austin. Dia yang mengantarku pulang tadi."

Sebetulnya, aku ingin memberi tahu Jason bahwa Austinlah orang yang aku lihat di mini market saat itu. Tetapi, aku terlalu malu untuk mengakuinya di depan Austin, sebab aku tidak pernah menceritakan hal ini sama sekali padanya. Aku tidak tahu apakah ia melihatku berdiri di depan mini market saat itu, tetapi jika iya, ia pasti sudah menanyakan hal itu padaku. Jadi, menurutku Austin tidak menyadari keberadaanku saat itu.

"Kenalkan, aku Austin," katanya pada Jason.

Austin mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Tetapi, Jason hanya diam saja. Ia sama sekali tidak bergerak satu inci pun. Tatapannya dalam sekali. Ia tidak terlihat senang bertemu dengan Austin. Entahlah. Aku bisa merasakan itu. Mereka tidak mungkin pernah bertemu sebelumnya bukan?

"Jason...apa ada yang salah? Kenapa kau diam saja?" Tanyaku khawatir. Bukannya tadi dia berkata bahwa dia merasa lumayan baik!

Suasananya terasa sedikit mencekam. Apa itu terdengar berlebihan?

Austin menurunkan tangannya kembali.

"Kalau begitu, aku pergi dulu ke kamar untuk ganti pakaian. Kalian boleh ngobrol dulu." Aku berusaha untuk mencairkan suasana.

Setelah itu, aku pergi meninggalkan mereka berdua. Semoga aku tidak melakukan kesalahan dengan meninggalkan mereka berdua di sana. Rasanya, setiap kali aku melangkahkan kaki, keheningan akan semakin menjelma di belakang sana.


***


[JASON]

Hening.

"Kawan? Apa itu kau?" Austin mendekatiku dengan tampang konyolnya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berlagak seperti seorang inspektur yang tengah menginterogasi seorang tersangka.

Yang benar saja! Bagaimana mungkin? Kenapa bisa begini?

Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku tidak bisa mencerna segala hal yang aku saksikan saat ini. Berdiri di depannya, membuatku ingin muntah. Aku mengepalkan tanganku cukup keras hingga aku tak sadar bahwa itu dapat merobek permukaan kulitku. Aku sangat ingin meninjunya sekarang juga.

"Bagaimana bisa kau mengenali adikku!?" Tanyaku tak percaya. Benar-benar tak percaya hingga aku mencubit lenganku dengan sangat keras, berharap semua ini hanyalah mimpi atau khayalanku saja.

"Tidak penting bagaimana aku bisa kenal dengan adikmu, Malta, yang manis itu."

"Jangan macam-macam! Jangan pernah kau berani menyentuhnya!"

"Apakah aku melakukan sebuah kesalahan? Seharusnya kau berterimakasih. Aku baru saja mengantar adikmu pulang dengan selamat."

"Bagaimana kau tahu dia adikku?" Aku masih tidak percaya. Aku tidak pernah mengungkit Malta kepadanya. Aku tidak pernah mengunggah foto kami berdua di internet. Bagaimana mungkin?

"Mengapa harus sesulit itu? Aku tahu dia adikmu. Aku tahu dimana kau tinggal. Itu bukanlah hal yang sulit untuk dicari. Kita tidak sedang hidup di zaman batu, bukan?" Ia lalu menjauh dan kembali duduk di sofa.

"Apa sebenarnya rencanamu?"

"Aku tidak memiliki rencana apapun untuk saat ini. Masih aku pikirkan."

"Apa yang kau mau darinya!?"

Dia kembali berdiri dan menghampiriku. Raut wajahnya seketika berubah.

"Aku tidak menginginkan apapun darinya. Tetapi aku yang menginginkan sesuatu darimu! Kau tahu itu!" Katanya sambil menunjuk dadaku.

"Kau tidak perlu apapun dariku. Aku tidak memiliki sesuatu yang kau inginkan. Sebaiknya kau pergi dari sini!" Pintaku.

"Kau tidak berhak mengusirku. Malta yang mengundangku ke sini. Jadi jika kau ingin aku pergi, biarlah Malta yang melakukannya."

Dia selalu seperti ini. Selalu memiliki jawaban dari setiap pertanyaanku. Selalu ingin menjadi yang pertama. Tidak pernah mau mengalah. Berpura-pura baik di hadapanku. Menganggapku seperti kerabatnya sendiri. Tapi kini, dia menatapku dengan penuh kebencian. Seakan-akan aku telah membunuh ibu kandungnya sendiri.

"Kau tahu? Mengapa rasanya aku begitu bodoh saat itu. Mempercayaimu begitu saja. Kau memperlakukanku dengan begitu baik. Tapi ternyata selama ini kau hanya...kau hanya bersandiwara saja!"

"Tidak...sebetulnya kau tidak bodoh."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, untuk apa aku bersandiwara? Semua hal yang kulakukan untukmu, semuanya berasal dari ketulusanku. Aku memang menganggapmu sebagai kerabatku sendiri. Aku tidak berbohong untuk itu. Tetapi apa yang aku lakukan kepadamu saat ini, semua karena kesalahanmu sendiri. Aku tidak pernah bermaksud untuk melakukan itu. Justru kau lah yang mengkhianati kami semua. Teman-temanmu sendiri!"

"Apa maksudmu!" Aku mencengkram kaosnya dan mengarahkan tinjuku kewajahnya. Sebelum sempat, Malta menghampiri kami dan melerai kami berdua.

"Apa-apaan ini!? Bibi Eagle cepat kemari!" Malta berusaha menahan kami berdua yang ukuran badannya tiga kali lipat lebih besar darinya. "Apa yang kalian berdua lakukan? Aku baru meninggalkan kalian berdua sebentar saja. Ada apa Jason? Jelaskan!" Malta menangis dan meminta penjelasan. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan hal ini padanya. Aku tidak mau dia terlibat dengan semua drama ini.

Bibi Eagle mendatangi kami sambil lari terbirit-birit.

"Ya Tuhan! Ada apa ini?" Dia memeluk badanku dari belakang. Aku tidak pernah menyangka, wanita tua ini bisa memiliki tenaga yang cukup besar. Jika seandainya ia menjadi atlet gulat, ia pasti sudah masuk tim nasional.

"Sebaiknya kau keluar dari rumah ini!" Kataku berusaha mengusirnya. "Cepat keluar!"

"Oke...oke...baiklah kalau itu maumu. Malta kalau begitu aku pulang dulu. Maaf karena aku sudah membuat kakakmu menjadi tidak tenang." Kemudian ia melangkah keluar sambil menatap mataku, berusaha memperingatiku.

"Malta," panggilku.

"Jason apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyanya dengan wajah memelas.

"Sebaiknya kau hindari dia!" Pintaku.

"Siapa? Austin? Bagaimana mungkin? Kami adalah teman sekelas. Kami juga cukup dekat."

Teman sekelas? Bagaimana bisa! Skenario apa yang tengah ia buat? Bukankah ia seusia denganku?

"Aku tidak peduli! Bagaimanapun, cari cara untuk menjauh darinya!"

"Bisakah kau berikan alasannya?" Dia kembali bertanya. Aku tidak mungkin menjawabnya. Jika dia tahu, mungkin dia akan menggali lebih jauh tentang hubungan kami berdua. Kemudian dia akan bermain hakim sendiri dan itu akan cukup berbahaya bagi keselamatannya. Selain itu, bagaimana jika Austin membocorkan kesalahan yang pernah aku lakukan dan segala keterlibatanku dengan kelompoknya. Dia pasti akan berkata yang tidak-tidak pada Malta dan itu akan membuat Malta membenciku. Aku benar-benar bingung. Langkah apa yang seharusnya ku ambil?

Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal itu. Aku segera pergi menuju kamar untuk mencari solusi.


***


[MALTA]

Tiga hari kemudian.

Hari ini, Jason sudah kembali bersekolah. Jadi, aku tidak perlu berangkat sendirian lagi. Namun, saat aku keluar dari dalam mobil, Jason mencegahku. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Aku membalikkan badanku dan bertanya padanya dengan tatapan bingung, "Ada apa?"

"Aku hanya ingin mengingatkanmu lagi. Jangan dekat-dekat dengan bocah sialan itu!" Kata Jason mengingatkanku. Dia kelihatannya bersungguh-sungguh.

"Austin? Memang ada apa dengannya?" Tanyaku. "Aku benar-benar penasaran. Kau tidak mau memberitahuku alasannya. Bukankah itu aneh?"

"Sudahlah...ikuti saja perkataanku! Aku tak suka kau dekat-dekat dengannya. Dia bukan orang yang baik!"

"Bukan orang yang baik? Bagaimana kau bisa tahu? Bukannya kalian belum saling mengenal sebelumnya? Atau jangan-jangan kau memang sudah mengenalnya lebih dulu?"

"Ti...tidak! Aku tidak mengenalnya. Hanya saja, aku tahu orang semacamnya hanya suka mempermainkan perasaan orang lain. Percayalah!"

"Itukah alasannya? Kau bahkan belum mengenalnya sama sekali. Aku sudah lebih lama mengenalnya dibandingmu. Jadi, lebih baik kau tidak usah ikut campur dengan urusanku!"

"Malta! Dengarkan aku!"

"Sudahlah! Aku sedang tidak mau berdebat!" Aku segera keluar dari dalam mobil dan membanting pintunya dengan keras.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku tidak bisa berhenti berpikir mengenai perdebatanku dengan Jason di dalam mobil barusan. Mengapa Jason memintaku untuk menjauhi Austin. Menurutku, Austin itu anak yang baik. Sejauh ini, tidak ada kesalahan yang aku lihat darinya. Ia juga hanya seorang anak baru di sekolah yang masih perlu beradaptasi. Tidak mungkin berbuat sesuatu yang tidak senonoh. Jason mungkin hanya khawatir berlebihan. Tapi, mengapa bisa begitu? Apa ada yang ia sembunyikan dariku? Apa yang terjadi di antara mereka berdua?

Aku menggelengkan kepala. Lebih baik, masalah ini tidak perlu aku pikirkan dulu.

Saat aku memasuki kelas, aku mendapati Austin dan Larry telah sampai lebih dulu. Aku pun segera duduk di sebelah Larry. Entah mengapa, kata-kata Jason selalu terngiang dalam benakku: JAUHI AUSTIN!

"Selamat pagi, Larry!" Kataku menyapa. "Hai, Austin!"

"Hai juga, Malta!" Jawab Austin.

"Hmm...tumben kau tidak duduk dengan si Fransisco tengil itu!" Ujar Larry.

"Memangnya kenapa? Kau tidak suka aku duduk denganmu, hah?" Aku merasa tersinggung.

"Hey! Siapa yang kau sebut si Fransisco tengil?" Tanya Austin kepada Larry, merasa bahwa panggilan itu tertuju padanya.

Aku merasa bahwa percakapan ini akan berakhir panjang.

"Siapa lagi memang di kelas ini yang berasal dari San Fransisco dan juga bersifat tengil?" Kata Larry berusaha menyindir.

"Jaga bicaramu, ya!" Balas Austin dengan lantang.

"Hey...sudah...sudah! Ini masih pagi. Kalian sudah bertengkar saja! Memangnya kalian ini berada dimana? Taman kanak-kanak?" Aku mencoba melerai mereka berdua. Semua mata tertuju pada kami.

Tak lama, guru yang mengajar di pagi itu masuk ke dalam kelas. Kami bertiga kembali ke posisi semula, duduk dengan manis dan menunggu pelajaran usai untuk kembali berulah.


***


Bel istirahat berbunyi. Aku dan Larry berjalan keluar kelas, menuju kantin sekolah.

Di saat kami makan bersama, tiba-tiba Austin datang dan ikut bergabung dengan meja yang kami tempati. Ia duduk di sebelahku kemudian memandangku.

Aku memberikan tatapan bingung.

"Eh...Frangil! Ngapain kau duduk di sini?" Tanya Larry pada Austin yang merasa tidak terima ia ikut bergabung.

"Apa itu Frangil?" Austin balik bertanya. Aku juga ingin tahu jawabannya.

"Sebenarnya, sih, itu hanya singkatan saja. Dari Fransisco Tengil. Itu saja!" Jawab Larry.

Yang benar saja.

"Hah? Terserah, deh!" Kata Austin.

"Idih!" Balas Larry.

"Ehemm...ehem..." kataku berdeham.

Kemudian, mereka berdua melihatku dengan tatapan: APA!

"Ayolah gadis-gadis manis...jangan terlalu cerewet! Habiskan saja makanan kalian sana!" Kataku meledek.

"Apa! Gadis manis? Aku bukan gadis manis! Aku ini pria terkeren di sekolah! Dia, tuh, yang gadis tengil!" Kata Larry sambil menunjuk kearah Austin, berusaha memancing emosinya.

"Apa! Apa aku tidak salah dengar? Pria terkeren di sekolah? Sekolah menjahit maksudmu!" Balas Austin tidak mau kalah.

Aku berusaha menahan tawa agar tidak menyinggung Larry. Tapi kelihatannya itu cukup sulit.

"Malta! Apa kau tertawa? Apa kau memihaknya sekarang?" Tanya Larry dengan tatapan tak berdaya.

"Bukan begitu! Jangan salah paham! Aku hanya....hahahahahaha!!!" Tawaku meledak. Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi.

"Lihatkan! Malta saja berpikir begitu." Austin semakin percaya diri.

"Jadi, tidak ada yang memihakku, nih?" Ucap Larry tidak mau terima. "Dasar! Wanita tukang gosip memang pintar mengadu domba!"
"Siapa wanita tukang gosip!?" Austin terlihat bingung.

"Kau lah! Siapa lagi..." jawab Larry.

"Siapa juga yang mengadu domba?" Tanya Austin tidak merasa.

"Kau ingin membuat Malta menjauh dariku dengan lelucon konyolmu. Bukankah itu sama saja dengan mengadu domba!"

"Malta, sahabatmu itu mengapa sangat bodoh?" Austin melihatku, meminta penjelasan.

"Hahaha...maafkan dia. Dia memang selalu begitu. Tidak jelas," jawabku.

"Apa! Aku tidak bodoh! Austin yang bodoh!" Larry memulai perang.

"Kau yang bodoh, Bodoh!" Ucap Austin tak terima.

"Tidak! Kau yang bodoh!"

"Kau!"

"Kau!"

"Kau!"

Aku sudah cukup lelah mendengarkan perkataan konyol yang keluar dari mulut mereka berdua. Semua orang di kantin sepertinya memperhatikan kami karena kegaduhan yang mereka perbuat. Aku jadi merasa malu berada di dekat mereka.

"Ya sudahlah! Kalau seperti ini, lebih baik aku pergi saja! Kalian berisik sekali tahu! Lihatlah! Orang-orang jadi melihat ke sini!" Gerutuku.

Nampaknya, mereka tidak mengindahkan perkataanku sama sekali. Akhirnya, aku meninggalkan mereka berdua dengan perdebatan konyolnya.

"Menurutmu, siapa di antara kami berdua yang bodoh, Malta?" Tanya Larry padaku. Tapi sepertinya, ia tidak menyadari bahwa aku sudah berjalan menjauhi mereka.

"Malta? Apa kau mendengarkanku?" Tanya Larry kembali. "Malta! Jangan pergi!"

"Lihatlah! Karenamu Malta pergi!" Ujar Austin.

Bel berbunyi

Aku melihat Larry dan Austin berjalan beriringan memasuki kelas. Aku cukup terkejut ketika tahu bahwa mereka masih memperdebatkan hal yang sama.

Larry melihat mejanya yang kosong. Kelihatannya ia mencariku. Aku sengaja duduk di kursi milik Austin yang semeja dengan Hailee.

"Hey, Austin!" Sapa Hailee dengan centil.

Austin terlihat bingung ketika melihatku duduk di kursinya. Ia mungkin harus menempati kursi yang lain. Setahuku, satu-satunya kursi yang kosong hanyalah kursi milikku yang semeja dengan Larry.

Aku tertawa dalam hati. Biarlah mereka menjadi akur.

"Malta? Kau pindah duduknya?" Tanya Larry padaku. Aku tak menjawab sepatah katapun untuk menunjukinya bahwa aku sedang kesal saat itu.

"Kenapa kalian tidak duduk berdua saja sana!" Sindirku.

"Tidak mau!" Larry membalikkan badan.

"Tidak mungkin!" Austin menyilangkan lengannya.

Mereka berdua hanya berdiri dan saling memandang sinis satu sama lain hingga akhirnya Mr.Jacob masuk ke dalam kelas untuk mengajar pelajaran Fisika.

"Baik. Silahkan semuanya berada di bangku masing-masing! Keluarkan buku fisika kalian dan-" kata Mr.Jacob. Tapi, perkataannya terhenti ketika ia mendapati Larry dan Austin yang masih saja berdiri dan saling pandang.

"Sedang apa kalian berdua?" Tanya Mr.Jacob kepada mereka berdua.

Mereka tak menjawab sama sekali.

"Hey...cepat duduk kalian berdua!" Perintah Mr.Jacob sambil memukul mejanya.

Mereka berdua tersentak kaget. Akhirnya, mereka setuju untuk duduk bersebelahan walau dengan sangat terpaksa.

"Ini semua gara-garamu!" Ucap Larry menyalahkan Austin.

"Bukan! Tapi ini salahmu!" Balas Austin.

"Hey! Kalian berdua bisa diam tidak?" Kata Mr.Jacob merasa kesal dengan keributan yang mereka perbuat.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk memperkecil suara mereka seperti setengah berbisik.

"Kau yang salah!" Bisik Larry.

"Kau yang salah!" Bisik Austin. Namun tetap saja aku masih bisa mendengarnya.

"Bukannya kamu yang duluan, ya!"

Aku hanya bisa tertawa melihat kekonyolan yang mereka lakukan. Tingkah laku mereka sangat kekanak-kanakkan.


***


Sepulang sekolah Austin memanggilku, "Malta!"

Aku berusaha acuh tak acuh. Jason sudah memperingatiku, bukan? Aku memang kurang setuju dengan pendapatnya, tetapi bagaimana jika yang Jason katakan itu benar?

"Hey, Malta!" Panggilnya kembali.

Ternyata ini cukup sulit. Aku tidak bisa mengabaikannya. Aku berbalik badan dan terpaksa menjawab, "Ya? Ada apa?"

"Kau...ada waktu kosong tidak sore ini?" Tanya Austin gugup.

"Hmm...sepertinya tidak. Ada tugas yang harus aku kerjakan." Aku mencoba untuk mencari alasan.

"Hah? Tugas apa?" Tanya Austin.

"Um...apa ya? Oh! Tugas matematika. Iya itu!" Jawabku.

"Tugas matematika? Aku kan mengambil kelas matematika juga! Mengapa sepertinya aku tidak tahu hal ini, ya? Coba aku cek dulu!"

"Eh...eh...salah! Maksudku, tugas sejarah! Iya...iya...sejarah!"

"Oh, begitu ya."

"Iya. Maaf nih, Austin."

"Aduh sayang, ya! Padahal aku baru saja mau mengajakmu pergi bersama," ujar Austin dengan nada kecewa.

"Pergi?"

"Iya. Awalnya aku mau mengajakmu pergi. Tapi sayangnya kau tidak bisa. Ya sudahlah!"

"Eh...bukan begitu maksudku! Aku mau ikut, tapi..."

"Ah! Yang benar kamu mau ikut?" Ekspresinya berubah dalam sekejap.

Celaka! Sepertinya aku salah bicara.

"Kali ini saja! Plis..." pinta Austin memelas.

"Baiklah. Kali ini saja, ya!" Jujur saja aku tak bisa menolak ajakan Austin.

"Nah gitu, dong! Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau kita pergi ke Lincoln Park?" Usulnya.

"Oke. Tapi, jam berapa?"

"Jam setengah empat sore. Kau pergi dengan transportasi umum saja! Nanti akan aku jemput dengan sepeda. Kita kan mau keliling taman. Bagaimana?"

"Keliling taman? Kedengarannya ide yang bagus! Baiklah kalau begitu." Aku tersenyum dengan gembira dalam hati. Rasa gembira ini tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

Aku harap Jason tidak akan mengetahui hal ini. Aku merasa sangat bahagia tapi juga merasa sedikit khawatir.

Tunggu dulu! Dia mengajakku pergi berduaan saja ke suatu tempat di luar jam sekolah. Apa dia baru saja mengajakku kencan? 🤔

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 165K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
2.2M 122K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...