AMBISIUS : My Brother's Enemy...

By Karanaga

1.7K 53 2

Suatu hari, kelas Malta kedatangan seorang murid baru super tampan dari San Fransisco yang bernama Austin. Da... More

Book Cover
Tokoh
Prolog
Aku dan Jason yang Menyebalkan
Jason Menghilang
Orang Tuaku Menghilang
Aku Menyukai Malta
Rahasia Jason
Pertemuan Austin dan Jason
Kencan dengan Austin?
Aku Membenci Larry
Wanita Berkumis dengan Senyuman Manis
Menonton Film dengan Austin
Rumah Berhantu
Catherine Hamlin
Pertandingan Basket Austin
Hari Sial Jack
Hoax
Miami
Larry Holmes (Part 1)
Larry Holmes (Part 2)
Allison James
Pesta Dansa Sekolah
Perpisahan
Surat dari Austin
Epilog

Austin si Anak Baru yang Tampan

139 5 1
By Karanaga

[MALTA]

"Aku duluan!" Kataku sambil melambaikan tangan ke arah Jason. Aku berpisah dengannya di lobi sekolah.

Sebelum masuk kelas, aku pergi untuk mengambil beberapa buku di dalam lokerku. Aku juga bertemu dengan salah satu temanku di sana. Kami sempat berbicara untuk beberapa saat. Kemudian, secara mengejutkan, seseorang menyentuhku dari belakang.

"Cassy...apa yang kau lakukan! Cepat kita akan terlambat!"

Aku membalikkan badanku.

"Cassy?" Kataku bingung. Sepertinya mereka keliru.

"Eh, maaf. Aku kira kau teman sekelasku, Cassandra. Dari belakang kau terlihat mirip sekali dengannya!" Kata seorang gadis yang tidak kukenal.

"Oh, begitu, kah?"

"Iya. Kalau begitu, aku pergi dulu. Sekali lagi maafkan aku."

"Iya. Tidak masalah!"

Gadis itu segera berlari meninggalkanku. Mungkin karena malu.

"Cassandra? Siapa dia?" Tanyaku pada Michelle, temanku.

"Oh, itu... Dia adalah senior kita. Aku pernah melihatnya sekali. Jika dilihat-lihat kau memang sedikit mirip dengannya," jelas Michelle.

"Oh, begitu ya. Ya sudahlah."

Aku mengabaikan hal itu dan segera pergi menuju kelas.

Di dalam kelas, aku duduk bersebelahan dengan sahabatku, Larry. Larry itu anak yang baik, sayangnya dia menyebalkan. Adakah orang di dekatku yang tidak menyebalkan?

Dia juga sering kali membuat onar. Wajahnya memang lumayan, tapi tingkah lakunya tidak dapat ditoleransi. Mungkin itulah yang membuat orang-orang berpikir dua kali untuk berteman dengannya. Justru itu yang membingungkan. Mengapa aku bisa bertahan dengannya selama bertahun-tahun? Entahlah. Itu cukup rumit.

"Pagi, Larry!" Sapaku.

"Hey, Malta! Pagi juga. Bagaimana kabarmu?" Tanya Larry. Kelihatannya ia bahagia sekali. Aku bisa mencium aroma kolonnya yang menyengat.

"Cukup baik," jawabku.

"Oh ya, Malta. Apa kau ada waktu nanti sore? Kau ada di rumah, kan?"

"Mmm... mungkin. Memangnya kenapa?"

"Oh, bukan apa apa. Kalau aku main ke sana boleh tidak?" Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya.

"Kenapa harus bertanya, bukannya kamu sudah biasa ke rumahku?"

Entah mengapa aku selalu merasa tingkah Larry terhadapku belakangan ini sungguh aneh. Aku sudah bersamanya sejak lama, jadi aku tahu betul jika ada yang berubah darinya. Apa dia sedang dalam masa pubertas?

"Well, sekedar formalitas saja," kata Larry sambil nyengir.

Tak lama kemudian, datanglah Mrs. Turner. Ia adalah guru Biologiku. Tapi kelihatannya, ia tidak datang seorang diri. Seseorang mengikutinya dari belakang.

"Selamat pagi, Anak-anak! Ngomong-ngomong, hari ini kalian kedatangan teman baru. Silahkan, perkenalkan dirimu!" Kata Mrs. Turner.

Semua perempuan di kelasku berteriak.

Kami memperhatikan si bocah baru dengan seksama. 

Tidak mungkin!

Tidak mungkin!

Tidak mungkin!

Itu dia! Bagaimana bisa?! Apakah ini takdir?

Anak baru itu adalah lelaki yang ku lihat di mini market sebelumnya! Bagaimana mungkin? Aku perlu mencerna semua ini baik-baik.

Biarkan aku bernapas.

Aku memperhatikannya dari atas hingga bawah hanya untuk memastikan. Mungkin saja aku salah melihat!

Seorang anak lelaki jangkung berambut hitam kecoklatan. Kulitnya sedikit gelap, seperti seorang peselancar. Jujur saja, ia memiliki bentuk badan yang proposional. Sorot matanya tajam, dengan bola matanya yang indah, berwarna hazel. Dia amat manis dengan bibir merah mudanya.

Dia mengenakan jaket kulit hitam dengan kaos putih polos dan celana jeans hitam. Membawa tas di pundak kanannya. Sepatu kirinya tidak berhenti menggesek-gesek lantai. Ia terlihat grogi. Ia tidak berhenti menggigit bibirnya. Entah mengapa, rasanya ia memancarkan aura tersendiri. Seakan-akan ketika kamu menatapnya, kamu tidak akan pernah bisa berpaling. Apakah ini terdengar berlebihan?

Itu memang dia.

"Halo, Semua! Namaku Austin James. Aku berasal dari San Fransisco. Salam kenal! Aku harap kedatanganku tidak memperburuk keadaan," kata Austin dengan senyumannya yang mempesona. Siapa anak ini sebenarnya? Apa dia seorang model? Oh, tidak. Mungkin ia seorang bintang iklan.

"Ah... tidak, kok!" Kata Hailee sambing menggulung-gulung rambut di jemarinya. Dia merupakan gadis paling centil di angkatanku.

"Hati-hati, Austin!" Kata seseorang dari kursi belakang. Seisi kelas langsung tertawa.

"Oke, semuanya sudah cukup! Silahkan Austin duduk di bangku yang kosong!" Kata Mrs. Turner, mempersilakan.

Ada sebuah kursi kosong di sampingku, tepatnya satu meja dengan Branton. Di sekolahku, satu meja terdapat dua kursi. Jadi, kami semua duduk berdampingan dan aku sebangku dengan Larry.

Ia melirik ke kiri dan ke kanan dengan hati-hati. Kemudian memutuskan untuk menempati bangku kosong di samping Branton. Tepatnya antara aku dan Branton.

"Maaf. Apa aku boleh duduk di sini?" Tanya Austin dengan sopan kepada Branton.

"Oh, tentu saja!" Jawab Branton dengan antusias. Akhirnya ia memiliki teman sebangku. Entah mengapa melihatnya aku merasa iri. Andai saja aku berada di posisi Branton.

Jujur saja, aku tidak bisa berhenti menatap Austin selama mata pelajaran biologi berlangsung. Aku tidak tahu kenapa. Tapi sepertinya, aku bukanlah satu-satunya gadis di kelas yang memperhatikannya. Hailee bahkan sampai melemparkan sebuah gulungan kertas ke atas meja Austin. Aku yakin, gulungan itu pasti berisikan nomor ponselnya atau akun instagramnya. Bahkan di hari pertamanya, ia sudah mendapatkan begitu banyak pengemar.

Tenang saja! Aku tidak akan seperti Hailee. Lagi pula, aku hanya kagum saja. Tidak lebih dari itu! Kau tahu? Hanya penasaran saja!

Seperti yang aku bilang sebelumnya. Lelaki itu miliki aura yang berbeda dengan kebanyakan lelaki yang pernah ku temui. Memang terdengar sangat berlebihan, tapi begitulah kenyataannya.

Tidak! Aku tidak suka! Kalian pasti berpikir begitu, bukan?

Di sampingku, aku dapat melihat Austin tertawa bersama Branton. Entah mengapa aku juga ikut tertawa. Tawanya bahkan bisa menular. Aku tidak memahaminya lagi.

"Benar, kan, Malta?" Tanya Larry. "Malta? Hey, Malta!" Lanjutnya dengan keras.

"Ada apa?!" Aku tersentak. Semua orang memperhatikanku. Termasuk Austin. Sepertinya, aku berbicara sedikit keras.

"Apa ada masalah?" Tanya Mrs. Turner heran.

"Oh, tidak. Tidak ada apa-apa!" Jawabku panik.

Mrs. Turner melanjutkan pembahasannya. Untung saja ia tidak memarahiku, kalau iya, itu akan menjadi pengalaman paling memalukan. Apa lagi, Austin baru saja datang kemari.

"Ada apa denganmu? Kau tampak aneh sekali!" Larry terlihat bingung. "Apa kau bahkan mendengar perkataanku barusan?" Lanjutnya.

"Maaf...maaf...aku sedikit melamun tadi." Aku merasa tidak enak.

"Memangnya apa yang kau pikirkan?"

"Oh, bukan hal penting!"

Larry memicingkan matanya. Ia merasa sedikit curiga terhadapku. "Apa...kau memikirkan si murid baru itu!?"

Bagaimana ia bisa tahu?

"Bukan! Bukan!"

"Kamu menyukainya bukan!"

"Tidak benar! Kenapa kau bisa berpikir seperti itu? Dasar! Jangan bicara macam-macam!"

Seseorang mengetuk pintu kelasku kemudian membukanya. Lalu, muncul seorang pria yang ternyata adalah salah satu guruku. Ia memberi isyarat kepada Mrs. Turner untuk meninggalkan kelas.

"Anak-anak, tunggu sebentar! Aku akan kembali lagi," kata Mrs. Turner. "Jangan ribut!" Lanjutnya.

"BAIK, BU!" Kata kami serentak.

Beberapa detik kemudian, seisi kelas menjadi ribut. Tentu saja mereka tidak melakukan apa yang Mrs. Turner katakan.

"Ayolah...mengaku saja! Lagi pula, jika dilihat-lihat, aku masih jauh lebih tampan darinya," kata Larry dengan percaya diri.

"Oh...begitu, ya!" Kataku menahan kesal. "Sebaiknya kau membeli cermin sana di Walmart!" Lanjutku.

"Untuk apa?" Tanya Larry. Tentu saja ia tidak akan paham. Ia cukup lama dalam mencerna kalimat sindiran.

Aku menatapnya untuk sesaat dengan wajah pokerku, "Terserahlah..."

"Hey, Malta! Jelaskan dulu mengapa aku harus membeli cermin!"

Aku tidak menghiraukannya. Aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Tanpa disangka, tak lama kemudian, Austin menghadap ke arahku dan mengulurkan tangannya padaku.

Ada apa ini?! Aku sangat bingung!

"Hai! Aku Austin," katanya dengan tatapan menghipnotis.

Entah mengapa, mulutku terasa lumpuh. Sedikit terdengar konyol. Memang... Tetapi, memang seperti itu rasanya.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku benar-benar mati kutu. Hanya sanggup memperhatikan wajahnya saja.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Austin kebingungan.

"Malta, kamu dipanggil, tuh!" Kata Larry sambil menyenggol bahuku.

"Oh...kamu Malta, ya? Salam kenal!" Kata Austin.

"Oh...iya. Sa..salam kenal juga," kataku sambil nyengir. Akhirnya, aku bisa kembali bicara. Tadi itu memalukan sekali.

"Kelihatannya...kalian sedang asyik ngobrol! Apa aku mengganggu?" Tanya Austin.

"Iya! Sangat mengganggu," jawab Larry blak-blakan.

Aku menginjak kaki Larry. Dia sudah bertingkah keterlaluan. "Oh, tidak-tidak! Kami sudah selesai bicara, kok!" Jawabku dengan riang. "Kamu boleh bergabung kalau mau!"

"Baiklah kalau begitu!" Kata Austin sambil tersenyum. Ia menarik kursinya agar bisa duduk lebih dekat denganku.

Suasana menjadi canggung.

Larry berusaha memecahkan suasana. "Jadi, Austin, bagaimana dengan kota barumu? Apa kau betah tinggal di sini?"

"Um...entahlah. Aku baru beberapa hari saja di sini. Jadi, masih belum bisa menyimpulkan. Tetapi, sejauh ini, kelihatannya aku baik-baik saja," jawab Austin.

"Baguslah kalau begitu!" Kata Larry.

Setelah beberapa lama, kami tenggelam dalam pembicaraan kami yang menyenangkan. Seandainya kami memiliki banyak waktu untuk berbicara, mungkin kami tidak akan pernah bisa kehabisan cerita. Sedari tadi, Larry lebih banyak diam. Tidak seperti biasanya. Wajahnya sedikit murung. Apa aku membuat dia tersinggung?

"Larry, apa ada masalah?" Tanyaku.

"Oh tidak, kok. Lanjutkan saja!" Jawab Larry. "Sepertinya aku mau ke toilet dulu." Kemudian ia berdiri.

"Baiklah kalau begitu."

Larry pergi meninggalkan kami berdua.

Mrs. Turner kembali ke ruang kelas. Ruangan yang berisik tiba-tiba menjadi senyap hanya dalam sekejap.

Austin kembali ke bangkunya.

Beberapa menit sebelum pulang, aku mendapatkan sebuah pesan singkat dari Jason.


From: JASON

Malta, sepertinya aku akan pulang lebih dulu karena ada hal penting yang perlu ditangani. Kau bisa kan pulang ke rumah dengan Larry atau dengan siapa saja? Maaf, ya! Sebagai gantinya aku akan belikan makanan kesukaanmu.


"Yang benar saja!" Kataku kecewa.

Sepulang sekolah, aku terpaksa meminta Larry untuk mengantarku pulang ke rumah. Untungnya dia tidak marah dengan kejadian barusan. Kalau tidak, mungkin aku akan pulang sendirian.


***


Sesampainya di rumah, aku melihat Chevrolet kami terparkir di dalam garasi. Tapi anehnya, Jason membiarkan pintu garasi terbuka. Mungkin saja dia lupa atau terburu-buru. Akhirnya, aku menutup pintu garasi itu agar orang lain tidak bisa masuk. Jason benar-benar sangat ceroboh. Bagaimana jika ada yang mencuri barang-barang kami!

Namun, entah mengapa, hatiku terasa tidak tenang. Dengan cepat, aku berlari memasuki rumah untuk memastikan keadaan. Aku terus memanggil-manggil Jason. Tapi, sama sekali tak ada jawaban darinya.

Aku mencari dan terus mencari hingga ke setiap sudut ruangan. Namun, tetap saja, aku tidak dapat menemukan Jason. Aku menelepon teman-temannya dan tak ada yang tahu ia dimana. Ia benar-benar membuatku khawatir. Lalu, aku mencarinya di sekitar rumah. Larry pun ikut membantu.

Satu jam kemudian, aku melihat Jason dari kejauhan. Aku segera menghampirinya.

"Kamu dari mana saja? Kenapa tadi pintu garasi dibiarkan terbuka?" Tanyaku sambil berjalan memasuki rumah bersama Jason dan Larry.

"Maaf, tadi terjadi kecelakaan di depan rumah. Aku tidak sempat menutup pintu garasi karena terburu-buru menolongnya. Aku ikut pergi ke rumah sakit dengan ambulan karena tidak ada yang bisa menemaninya. Aku baru kembali setelah keluarganya datang ke rumah sakit," kata Jason sedikit gugup.

Aku merasa ada yang janggal. Jika memang terjadi kecelakaan, kenapa tidak ia antarkan saja langsung dengan mobil kami? Kenapa harus menelepon mobil ambulan? Rasanya, ia menyembunyikan sesuatu dariku. Apapun itu yang jelas aku tidak mau bertanya terlalu banyak dulu. Biar dia saja yang mengatakannya langsung padaku.

"Hey, kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Jason. "Apa kau tidak percaya padaku?"

"Oh, tidak-tidak! Tentu saja aku percaya! Aku hanya sedikit khawatir," elakku gelagapan. "Um...bagaimana kalau sekarang kita makan malam saja? Perutku sudah berbunyi dari tadi!" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ide bagus! Memangnya kau sudah memasak?" Tanya Jason.

"Bukankah itu tugasmu?" Kataku sambil tertawa.

"Sungguh! Tahu begitu aku tidak akan langsung pulang!" Kata Jason kesal.

"Jangan begitu, dong! Kau kan kakakku yang paling baik." Aku segera memeluknya.

"Iya benar! Kau juga kakakku yang paling baik." Larry ikut memeluknya.

"Aku bukan kakakmu!" Kata Jason sambil mencoba melepaskan pelukan Larry yang erat itu.


***


Di meja makan, suasananya terasa dingin sekali. Tak ada seorang pun yang bicara. Sebetulnya, aku ingin menanyakan hal tadi. Mengapa bisa sampai terjadi kecelakaan di depan rumah kami. Tetapi, aku takut Jason akan memarahiku karena mengira aku mencurigainya dan Jason paling tidak suka hal itu. Mungkin, sebaiknya aku tidak banyak berkomentar dulu. Dengan segera, aku menghabiskan makananku.

Tiba-tiba, aku jadi teringat tentang masa-masa di saat kami berempat masih berkumpul di rumah ini. Aku, Jason, Ibu, dan Ayah. Kami biasa bercanda walau berada di meja makan. Saat itu, suasananya hangat sekali.

Ibu selalu membuatkan kami masakan andalannya. Salah satunya, seperti ayam goreng tepung khas Ibu yang kami perebutkan karena tersisa satu. Terkadang, aku juga pura-pura menjatuhkan sendokku agar bisa membungkukkan badanku ke bawah untuk mengoles saus di kaki Jason. Aku selalu tertawa tiap kali mengingatnya. Tetapi, semakin lama, semua jadi semakin berbeda.

Kedua orang tuaku semakin sibuk dan jarang memiliki waktu untuk makan bersama seperti ini. Jason juga sudah tidak seasyik dulu untuk diajak bercanda. Sekarang, kami bahkan hanya tinggal berdua saja di rumah, tanpa ayah dan ibu.

"Terimakasih, Jason. Makananmu lezat sekali!" Kataku memuji. "Mengapa tidak pelajari resep yang lain lagi? Menurutku, kau ahli dalam bidang ini," saranku.

"Iya. Aku setuju!" Celetuk Larry.

"Tidak biasanya kalian memujiku. Aneh sekali!" Kata Jason tidak percaya. "Oh ya, jangan lupa bersihkan piringnya!" Lanjutnya. Kemudian ia pergi meninggalkan aku dan Larry di meja makan.

"Kena juga, deh!" kata Larry menyesal. Ia menunjukkan wajah cemberutnya padaku. Aku membalas dengan melempar potongan apel padanya.


***


Dua jam kemudian.

Aku pergi ke ruang tengah untuk menonton Netflix. Mungkin saja ada serial TV yang seru.

Aku mengajak Larry untuk duduk bersama dan memberikannya sekaleng soda. Di situ, kami berbincang-bincang. Kemudian, kami bermain video games dan melakukan berbagai aktivitas lainnya. Dari dulu, kami selalu seperti ini. Rasanya, dia sudah seperti saudaraku sendiri.

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam.

"Aku pulang dulu, ya! Sampai jumpa di sekolah!" Sahut Larry.

"Oke!" Aku melambaikan tangan ke arahnya saat melihat ia berjalan keluar rumah. Kemudian, aku menutup pintu. Setelah itu, aku memanggil Jason untuk menanyainya beberapa hal, "Jason..."

Tak ada jawaban sama sekali.

Aku segera pergi mencarinya ke seluruh ruangan.

"Jason!"

"Jason!"

Tidak ada tanda-tanda kehadirannya.

"Bukankah ia baru saja menghilang? Kali ini mau pergi ke mana lagi!" Ucapku kesal.

Aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin saja dia ada urusan mendadak. Apapun itu, aku harap dia bisa cepat kembali.

Sambil menunggu, aku mengambil sebuah buku tebal dari dalam rak bertuliskan "Resep Makanan Super Lezat oleh McKenny". Tidak ada salahnya, bukan, mempelajari beberapa resep makanan? Aku pikir ini adalah ide yang bagus. Lagi pula, selama ibu tak ada, Jasonlah yang selalu memasak untukku. Kali ini giliranku!

Continue Reading

You'll Also Like

717K 67.2K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
1.9M 95.2K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...
568K 38.6K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...