By Your Side BTOB [√]

By Kimmie_Tan

10.1K 746 626

Apa ini? Kumpulan one shoot Born to Beat. Mengapa diberi judul By Your Side BTOB? Karena si pengarang akan t... More

Father
Gadis Musim Semi
Dear Seo Eunkwang
Abeoji 아버지
Temprament Blood Type AB
Melody?
Miracle: New Year
Nunmuri Nanda 눈물이 난다
Maknae Sehari
Sungjae Babo-ya!
Sudut Pandang
Forgive Me
Yook Fiksi
Hadiah Natal
Lamaran Akhir Tahun
Ngidam Bitubi
Kimchinya Born to Beat
7pm: Selamat Datang Kembali
Flowing Time
Nan Gwaenchana
Memories
Mantra
Kkum
Sepetik Pengakuan
Akhir yang Bukan Akhir

W I N D

390 24 32
By Kimmie_Tan

Terlalu bosan melukiskan bagaimana hujan turun, bosan ketika aromanya sudah menyatu pada bumi. Kulit ini tidak akan basah meski terkena air, tidak pernah terbakar biar matahari terik. Dengan itu semua, aku tidak perlu repot-repot mengenakan pakaian setebal kamus bahasa---sebetulnya. Juga, tidak harus bersusah memakai payung. Tangan akan pegal. Tapi karena alasan ingin 'terlihat normal', aku memakai apa yang orang pakai.

Di belokan jalan selurus pandanganku, baru terjadi kecelakaan yang mengakibatkan pengendara tewas seketika. Tubuhnya terjepit badan motor. Kepalanya membesut cairan merah berbau anyir. Malaikat maut telah datang dan membawa ruhnya.

Punggung-punggung orang yang mulai berdatangan menghalangiku untuk melihat korban kecelakaan, membuatku berhenti memaparkan apa yang kulihat. Menjengkelkan. Aku sudah bosan mengamati hujan, sekalinya ada objek menarik justru terhalang.

Barusan, lagi-lagi seorang pria lajang yang meninggal. Belakangan ini banyak sekali orang meninggal berjenis pria. Kalau berlangsung terus, aku tidak akan bisa menemukan jodohku.

"Oh, kau di sini?"

Hal menjengkelkan kedua bagiku, saat sedang menggunakan otak untuk berpikir ada yang mengusik.

"Apa? Kau mencariku?"

"Memangnya kapan aku tidak mencarimu?"

Dia menjilat es krim batang dengan wajah menghayati. Padahal kujamin es itu tidak ada rasa. Hanya bayangan. Menyedihkan memang menjadi dirinya. Namun bingung, mengapa Tuhan memilih tanwujud paling aneh tingkahnya ini untuk bersamaku.

"Kau belum menemukannya? Tinggal dua hari, lho."

Sial. Dia mencoba memperingatkanku lagi. Pura-pura tidak melihat, walau tadi kusempat mengomentari caranya memakan es krim.

"Aku akan segera menemukannya, lihat saja. Aishh... lagipula kenapa banyak pria yang mati, sih? Populasi spesies pria jadi berkurang di dunia."

Gelak tawa terdengar, sampai kuah dari dalam mulutnya mencurat di pipiku.

"Mino jorok!"

Kemudian bertengger senyum miring di bibirnya. Aku tahu, dia akan melakukan hal lebih gila secara sengaja. Mari hitung dua detik dari sekarang.

1

2

Lidahnya dijulurkan---merapat hendak menjilat pipiku. Sudah jelas, aku menjauh seraya melempar tatapan jijik.

"Song Mino, berhenti atau aku---"

Tubuhku tersentak, bahu lain membentur bahuku. Tidak. Bukan bahu Mino si konyol ini. Melainkan orang yang baru saja melintas. Aku menoleh, mengabaikan Mino yang terus mengganggu.

"Orang itu... jodohku? Aku menemukannya!"

"Dia? Anak SHS?"

Ya. Aku juga melihat seragam laki-laki itu. Mirip seperti, seragamku?

Intuisiku menegaskan bahwa benar dia, dari jutaan laki-laki bumi. Dia mampu menciptakan suatu rasa yang tidak dapat kujelaskan secara rinci.

"Jadi benar siswa SHS?!"

Sekali lagi telingaku mendengar suara berisik Mino. Sekali lagi pula, aku mengabaikannya---lebih memilih berjalan mendekat pada orang itu, tidak menggubris pekikan Mino menyebut namaku berulang.

Auranya gelap, diselimuti oleh pikiran negatif setiap langkah dirinya ambil. Hah, dunia memang sekejam itu, membiarkan remaja masih sekolah memikul perkara tidak sedikit.

Segera menghadang usai melampaui langkah dirinya, laki-laki itu terlihat terkejut, menghentikan jalannya tergesa.

Keterkejutan berubah bingung, aku bisa membaca segala ekspresinya.

"Soo Young," ucapku, mengulurkan tangan kanan. "Namaku Park Soo Young."

"Maaf?"

Asal tahu saja, aku telah menahan bola mata untuk tidak menurun---membaca papan nama yang tersemat pada rompi seragamnya. Aku hanya ingin mengetahui nama laki-laki ini dari mulutnya langsung.

"Aku sudah memperkenalkan diri. Sebagai rasa terima kasih, kau bisa balas memperkenalkan dirimu,"

"Aku merasa tidak perlu memperkenalkan diri pada orang asing." Wajahnya tawar. Aura gelap semakin membubung di atas kepalanya---memutar, bukan seperti asap yang langsung hilang terkena dingin. "Aku juga tidak merasa diberkati olehmu untuk mengucap terima kasih."

Dan aku ditinggal, masih bersama tangan yang memanjang. Ah, remaja sekarang makan apa, ya? Heran. Mengapa mereka tidak bisa menjaga sikap? Omong-omong, aku juga sedang menjadi remaja sekarang ini. Mengomentari orang, diriku yang malu.

Aku memutar tubuh. "Ey! Kau akan jatuh di lima langkahmu dari sekarang!"

Dia menoleh, sekali lagi menghentikan langkah.

"Mau aku pinjamkan tanganku? Aku bisa memegangmu agar tidak jatuh. Mari berjalan bersama...."

"Kau tidak waras?"

Well, mungkin begini rasanya disebut tidak waras. Setengah hidupku dihabiskan di tempat ini, dan baru pertama mendengar kata-kata tidak enak begitu mengarah padaku---secara terang-terangan, selain itu sih, aku bisa mengabaikannya seperti aku mengabaikan Mino.

"Sisa hujan meninggalkan becek. Air yang sempat tergenang mengering menimbulkan lumut. Kau benar-benar akan jatuh."

Laki-laki itu tetap tidak memedulikan kalimatku. Diabaikan. Sekian kalinya. Lalu apa kabar Mino yang sering menerima sikap abaiku? Belum sempat membayangkan wajah kesal Mino, suara gesekan sepatu dan bumi berguncang mengalihkan atensiku.

Sebetulnya bumi tidak benar-benar berguncang, hanya asumsiku karena mendengar suara jatuh begitu kencang. Pria yang tidak mendengarku memperoleh kenyataan. Dia jatuh sebab jalan licin penuh lumut. Laki-laki itu mengaduh, cepat-cepat berdiri dan membersihkan kotoran di bokongnya---meski masih menimbulkan sisa noda menempel di celana.

Remaja itu menoleh padaku. Tidak kusangka, dia mendekat---memasang garis wajah kesal yang terkesan menggemaskan.

"Kau sengaja membuatku jatuh, ya?"

"Aku? Kenapa?"

Dirinya terlihat bingung menjelaskan. Apa pria ini percaya pada hal-hal diluar jangkauan akal manusia? Itu berarti dia memang pria yang kucari.

"Daripada membuatmu jatuh, lebih baik menjadi tangan, kaki, juga kedua matamu."

"Aku tidak mengerti,"

"Beritahu aku namamu, dan aku akan membuatmu menjadi manusia paling beruntung. Aku ada membantumu saat sulit."

"Serius?" Matanya berbinar cerah. Aku baru pernah melihat kedua mata yang menyorot keindahan seperti itu. Sungguh.

"Namaku Yook Sungjae. Kau bisa memanggilku Sungjae saja."

'Sungjae Saja'

Oke.

"Kita satu sekolah, bukan?"

"Nde?"

Matanya beralih melihat pakaian yang melekat pada tubuhku. Meski berlapis coat tebal, tapi aku tidak pernah mengancing bagian depan coat, sehingga Yook Sungjae bisa melihat seragam serta dasi pita yang bertengger rapih.

"Ayo kita berangkat bersama." Aku sangat antusias untuk ini. Pasti ada sensasi berbeda ketika berjalan bersama seseorang ke sekolah.

-

"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Jadi aku tidak tahu kau juga sekolah di sini,"

Sungjae Saja-ku bicara, tangannya merapihkan ransel, mungkin guna lebih nyaman tersampir di punggung, dan aku mengamati sekitar sebelum menyahut kalimat Sungjae.

"Sekolah kita cukup besar, kau memang tidak akan mengenal semua murid di sini. Kau pernah dengar rumor penyihir?"

"Kau gadis penyihir itu?"

"Apa kau percaya?"

Sungjae menghentikan langkah. Bukan untuk menanggapi pertanyaanku, matanya lurus ke depan. Tepat di ujung koridor, terdapat tiga orang laki-laki berdiri angkuh dan satu orang lain terjerembap, seragamnya compang-camping,

"Mereka melakukannya lagi."

Suara Sungjae menajam, meski diriku tahu dia hanya bergumam.

Hari berganti dari siang yang telah melukai Yook Sungjae. Seperti prasangkaku, dunia memang kejam. Sungjae Saja melalui hal menyakitkan sepanjang waktunya di sekolah. Aku tidak mengerti pada pemikiran pelajar yang menganggap diri mereka senior, lalu berbuat semaunya pada adik kelas.

Memang bukan Sungjae yang kena tindas. Teman satu kelasnya. Dan itu membuat Sungjae terluka karena tidak dapat melakukan apa-apa. Jika sekali Sungjae bertindak membela, berarti dia akan berakhir di kedalaman jurang. Ini bukan soal bagaimana guru mendidik murid-muridnya, namun bagaimana peristiwa semacam itu bisa terus berkembang dan akhirnya menjadi budaya.

Kemarin itu, temannya menuntut Sungjae atas dasar solidaritas. Aku jelas menyaksikannya karena terus membuntuti Sungjae---laki-laki yang telah aku beri label tak terlihat sebagai jodohku.

"Kalau aku temanmu, kau semestinya tidak membiarkanku!"

Teman Sungjae berteriak. Sudut bibirnya terdapat darah kering akibat luka sobek. Pipi sebelah kanan membiru. Dia bisa berteriak seperti itu di hadapan Sungjae, lalu diam saja saat tiga orang senior menindas dirinya? Tidak lucu.

"Kau bahkan hanya melewatiku seolah aku tidak terlihat. Di mana hatimu, Sungjae?!"

"Kau memang pantas mendapatkannya. Karena kau selemah ini."

Jika kau berpikir bahwa itu perkataan kejam Sungjae, berbeda denganku. Kalimat Sungjae terselip makna lain. Sungjae sedang mencoba memberi makna tersebut pada temannya. Aku percaya. Posisi saling berhadapan itu berakhir ketika Sungjae berbalik pergi setelah melempar plester pada temannya.

Persis. Aku di belakang Sungjae, mengikuti kembali tanpa tahu malu.

Bukan hanya kalangan murid, tidak tahu mengapa pembimbing Sungjae juga turut andil menambah luka. Yook Sungjae mengikuti remedial karena nilai hitungnya kelewat rendah. Tidak salah untuk remedial. Yang patut dipertanyakan, haruskah beliau membandingkan Sungjae Saja-ku pada salah satu teman sekelas yang selalu mendapat peringkat satu?

Menindas ternyata tidak cuma pemukulan fisik. Perkataan kasar, merendahkan, perbandingan tidak kenal situasi, juga termasuk menindas; secara mental. Penekanan semacam itu kemungkinan akan membekas luka parah dari luka fisik. Sulit sembuh.

Aku ingin mengenal Sungjae lebih dalam, sehingga merelakan kelas pelajaranku sendiri, memilih memantau Sungjae dari jendela ruang guru. Bukan bermaksud sombong, aku bisa menjawab semua rumus matematika yang kutinggalkan hari ini tanpa belajar.

Lantas Sungjae, pasti bisa mendapat nilai tinggi. Hanya perlu berusaha lebih keras. Maka dari itu, aku berniat membantunya.

Tidak ada yang boleh menindas mental Yook Sungjae mulai sekarang.

Mulai pagi ini, hari minggu. Aku ingin membuat hari-harinya menyenangkan.

"Tidak ke gereja?"

Sungjae menggeleng singkat, tetap memusatkan pandangan pada layar komputer. Dia ini, kalau main game lupa diri, lupa waktu, juga lupa untuk melakukan suatu kewajiban.

"Lagi?"

"Memang kau tahu berapa kali aku tidak ke gereja? Young-ah, kita baru kenal."

Kalimat mengingatkan itu membuatku menggesek hidung yang terasa gatal tiba-tiba. Aku mengakui, kami baru mengenal. Tapi pengetahuanku tentangnya tidak sebaru itu meski mengikutinya pun baru kemarin.

Sungjae mengerang ketika tokoh berbadan besar yang dimainkan kalah karena serangan lawan bertubi. Sungjae tidak fokus. Mungkin karena diriku yang terus mengajaknya bicara? Entahlah.

"Satu bulan?" tanyaku hati-hati, namun batin meyakini kalimatku sendiri. "Kau telah alpa menemui Tuhan selama itu, kau tidak malu?"

"Daebak!" Sungjae berhenti menatap komputer. Dilihat seperti ini, Sungjae seperti memiliki dua kepribadian berbeda. Satu sisi sikap tenang tidak tersentuh, sisi lain sangat heboh. Dia bisa berubah-ubah dalam waktu singkat. Pikiranku sangsi kalau sebenarnya Sungjae jelemaan bunglon.

"Kau betul penyihir?"

"Menurutmu, mengapa aku bisa berada di kamarmu?"

Sungae Saja-ku tetap imut meski mulutnya terbuka lebar. Siap-siap saja lalat masuk. Dan memang pendek umur, si lalat datang tidak tahu dari mana, sehingga harus kusingkirkan cepat.

"Ayo ke gereja sekarang," ajakku, setelah menelan bulat lalat yang sebetulnya menjijikan. Beruntung bumi berhenti berputar sejenak. Sungjae tidak tahu akhir dari nasib si lalat hijau yang sempat mendatanginya.

"Heishh... ke gereja tidak sama seperti sekolah. Tidak ada yang namanya alpa." Dia tetap menolak pergi, terkesan berhati keras. "Young-ah, kau tahu? Ada istilah; kalau kau mencintai sesuatu berlebihan, yang kau cinta akan menghilang. Saat itu tiba, pasti kau menyesal telah menggenggam cinta terlalu kuat. Nah, aku mengikuti istilah itu. Aku tidak mau sering-sering ke gereja lalu mencintai Tuhan berlebihan, nanti aku bisa kehilangan Dia, 'kan?"

Oh, sebentar.

"Sungjae Saja, kau dapat istilah itu dari mana? Ani, maksudku, tidak ada yang salah dengan istilah itu, hanya...."

"Sungjae saja?"

Mengulang dua kata pertama, Sungjae membuatku lupa ingin berkata apa selanjutnya. Astaga, ini sebabnya aku tidak suka jika kalimatku disela. Beruntung Yook Sungjae, kalau bukan sudah kubanting.

"Katamu, aku memanggilmu 'Sungjae Saja'. Lupa?"

"Park Soo Young bodoh." Dia tertawa keras, dan aku merasa senang melihatnya tertawa. "Artinya bukan itu. Kau hanya cukup memanggilku Sungjae."

"Ah, begitu...."

Ya. Terkadang aku lemot. Ciptaan Tuhan mana memang yang selalu sempurna, benar?

"Jangan menolak, Sungjae. Ayo ke gereja, setelah itu kita belajar bersama. Kau tidak mau gurumu selalu merendahkanmu, 'kan?"

"Benar! Baik, kita berangkat!"

Pada akhirnya anak itu beranjak dari kursi yang telah membuat dirinya memasuki dunia lain. Dunia game.

Cepat atau lambat, saat kau ingin mengenal seseorang lebih jauh, secara tak langsung kau akan terlibat masuk ke dalam kehidupan orang itu. Aku telah mengetahui alasan Sungjae bolos beribadah. Datang ke tempat suci ini hanya menemui Sungjae pada luka lain. Goresan lebih parah.

Umumnya, orang-orang pergi ke gereja bersama sanak keluarga. Sungjae selalu merasa cemburu melihat itu---menemui fakta bahwa dirinya sendirian.

"Ada aku bersamamu." Berharap saja, bahwa kalimatku bisa meredakan hatinya yang panas.

"Tapi kau bukan keluargaku,"

Aku membenarkan. "Kita yang akan membangun keluarga."

"Kau menyukaiku, ya?!"

Yook Sungjae terang-terangan sekali alih-alih bergidik merinding, sampai dapat lirikan dari beberapa orang yang duduk di samping kanan kiri bangku gereja. Suara Sungjae tadi cukup keras, asal tahu saja.

"Kalau aku menjawab iya, kau akan menerimaku?"

Ini kesempatan bagus.

Tinggal selangkah diriku berhasil mendapatkannya, mendapatkan apa yang ingin aku capai.

"Kau bukan manusia."

"Lalu?"

"Bagaimana cara aku menyukaimu juga?"

"Anggap aku seperti manusia lainnya."

"Baiklah."

Sederhana itu. Kami akan mulai mengukir perjalanan kasih. Tapi ini hanya untuknya. Ketika dia telah benar-benar jatuh cinta, aku akan mengambil hatinya. Diriku tokoh jahat dalam hidup Yook Sungjae, bertopeng simpatik hanya untuk menarik perhatiannya. Mungkin dari banyaknya orang yang telah menyakiti Sungjae---termasuk orang tuanya sendiri, aku adalah satu-satunya sosok munafik.

•••

Tidak mungkin ada julukan tanpa sebab. Teman sekelas menyebutku penyihir dan menyebarkan rumor, lantaran diriku terlampau mudah untuk mengerti pelajaran yang guru berikan. Sekarang, Sungjae jadi ikut terlibat karena nilainya perlahan meningkat. Terlebih aku selalu berada di dekatnya.

Bukan hanya minggu siang lalu, hari-hari selanjutnya Sungjae serius belajar bersamaku, memecahkan rumus, dan berhitung yang paling dirinya benci.

Tidak mudah, memang. Apalagi mengalahkan rasa malas. Aku selalu menyukai kegigihan serta niatnya untuk memperbaiki nilai. Yah, setidaknya manusia memang harus memiliki keinginan kuat untuk merubah sesuatu.

"Nilai jelek direndahkan, nilai bagus dipandang sebelah mata."

Mengangguk untuk menyetujui kalimatnya, perlu digaris bawahi; aku tidak mau Sungjae berhenti sampai di sini.

"Mereka hanya iri padamu," tanggapku, sambil memainkan bolpoin pemberian Sungjae. Dia membelinya di koperasi sekolah beberapa saat lalu sebelum kami memilih berdiam di halaman belakang. Bolpoin ini menarik, ada kincir angin mini pada puncaknya. Ah, tapi Sungjae tetap menarik di mataku nomor satu.

"Young-ah, aku menulis lagu, dan sudah selesai."

Melihat Sungjae, aku tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut.

"Benarkah? Kapan kau membuatnya? Aku boleh dengar?"

Dia tersenyum. Begitu... bahagia?

"Rahasia. Kau tidak perlu tahu kapan aku membuatnya."

Yook Sungjae seperti itu. Padahal aku penasaran.

Bukan apa-apa, hanya tidak menyangka dia menulis lagu kala waktunya padat oleh pelajaran. Tidak menutup kemungkinan kalau Sungjae menulis lagu hingga selesai di waktu setelah dirinya belajar.

"Nanti malam, aku akan mengajakmu untuk melihatku bernyanyi. Hanya dirimu saja, bagaimana?"

Tentu. Aku mengangguk semangat. Sekali lagi, senyum meneduhkan itu menghiasi wajahnya.

"Ya sudah, aku kembali masuk kelas, ya? Kita bertemu sepulang sekolah seperti biasa. Tunggu aku, eoh?"

"Um, belajar yang semangat Yook Sungjae!"

Aku berseru pada punggung yang telah menjauh. Mino datang sesudah Sungjae tidak lagi terlihat. Kebiasaan Mino, mendadak muncul, bisa juga serta-merta hilang dalam waktu tidak terduga.

"Waktumu diperpanjang saat kau bilang telah menemukan anak SHS itu sebagai jodohmu. Lalu sekarang, kau sudah melewati banyak hari bersamanya. Berarti kau paham betul kalau prosesnya sudah berkembang, 'kan?"

Mematung, aku merasa suhu panas menjalar perlahan. Padahal sebelumnya dingin---sehabis hujan.

"Dia yang kau pilih. Ambil hatinya segera, kemudian jadilah manusia seutuhnya."

"Apa yang... akan terjadi pada Sungjae?"

"Kau pikun?" Mino bersandar pada punggung bangku taman. "Penyebab kematian Sungjae sakit. Itu yang akan tertulis di akta kematiannya. Kau tenang saja. Aku ke mari hanya ingin mengingatkanmu. Cepatlah bertindak saat dia sakit, aku sudah lelah menjadi pengawasmu terus."

Nada hatiku mulai tidak karuan. Logam paling berat seolah masuk, lalu mendesak sehingga sesak.

Sebentar, ini tidak benar. Mengapa tiba-tiba diriku takut?

Aku takut tidak bisa melepas Yook Sungjae. Dia begitu berharga sampai aku terlalu menggenggamnya erat.

Hingga ternyata, istilah yang Sungjae katakan benar. Suatu saat, kau harus melepas genggaman yang terlalu erat itu.

Otakku mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah ada sebelumya.

Egois.

Sebegitu egoiskah diriku?

•••

Tidak tahu tempat apa ini, bangku-bangku berjajar rapi menghadap panggung cukup luas. Latarnya tertutup kain hitam. Sungjae memintaku duduk di kursi paling depan, sementara dia berjalan cepat menaiki panggung.

Dalam gedung ini hanya ada kami berdua. Sepi menyelimuti sebelum irama terdengar mengalun semacam opening lagu. Sungjae sepertinya sudah siap untuk bernyanyi. Mikrofon berada di kepalan tangannya---entah dari mana ia mendapatkan benda itu.

"Kau bingung? Aku akan menjawab pertanyaan yang memenuhi isi kepalamu."

Suara Sungjae menggema karena memakai mikrofon. Ah, bukankah itu sangat norak? Tapi bagaimana bisa pesonanya memancar begitu hebat? Aura gelap yang kulihat pertama kali bertemu sudah tidak tersisa. Hatinya benar-benar dipenuhi kehangatan.

"Akan ada resital di sini. Aku meminjamnya sebelum besok digunakan, dan berjanji akan membereskan tempat ini. Aku cukup mengesankan, bukan?"

Tidak main-main, Sungjae memang mengesankan. Aku menunggu pesonanya yang lain tanpa suara. Lagipula pertanyaan Sungjae bersifat retorik.

"Park Soo Young, apa kau kepiting yang habis keluar dari panggangan?"

Sebentar, Sungjae mengatakan apa barusan? Aku tidak begitu menangkap akibat terlalu terpesona.

"Laguku mungkin akan memberi efek lebih dari tersipu. Kau bisa saja meledak. Sebelum itu terjadi, dengarkan laguku. Kau bisa meledak setelah lagu selesai."

Dia ini apa-apaan? Yook Sungjae sedang mengejekku atau bagaimana? Aku... tidak. Aku tidak tersipu. Ah, dia membuat diriku gerah, sampai aku bisa mendengar degup jantung sendiri. Sepanjang pengalaman menjadi manusia, organ bernama jantung tidak pernah berdetak secepat ini.

My heart is pounding
It keeps trembling

Every night, sleepless days
They keep increasing

Pemikiranku lepas, suara Sungjae melantun lembut. Tubuhku beku, selayaknya dipenuhi es batu.

I dream of you by myself
I look at you by myself
Now it's not that hard, because you're here

I'm loving you, if only I can be with you
I think of you, it's such a good day

Baby for you, I'm dreaming in your arms right now
My person is you

Your face that reflects in the sunlight
It's so pretty
Today, I will confess to you
Before the night is over

"Seperti lagu ini, aku akan mengaku padamu sebelum malam berakhir. Mengakui perasaanku."

Membisu.

"Dadaku... akan terus mengganjal sepanjang aku belum mengungkapkan sesuatu yang mengendap. Aku menyukaimu. Jangan pertanyakan sejak kapan, karena aku tidak tahu pasti."

Sesuatu yang hangat terasa merembes dari mata, membasahi pipiku menjadi kaku.

Dia menaruh mikrofon di tangannya pada klip standmic.

"Apa aku terlalu berkata banyak? Mengapa kau menangis, Young-ah?"

Sungjae mendekat, dan aku tercekat napas sendiri. Tangan halusnya menyentuh permukaan pipi, menyeka air dari sana.

Dilema menghantuiku, semakin kental dan membunuh niat awalku.

Aku bukan lagi Park Soo Young yang menginginkan jodoh untuk menjadi manusia seutuhnya.

Bukan Park Soo Young yang akan mengambil hati pria setelah kupilih.

Aku benar bukan Soo Young yang mengkhawatirkan bila menghilang dan kembali menjadi angin.

Karena sekarang, yang lebih aku cemaskan hanya Yook Sungjae. Keinginan itu hilang tertekan rasa besarku menyukai Sungjae.

Aku sungguh menyukainya sampai tidak ingin melihat dia terluka.

Lalu, melihat wajahnya pucat seperti saat ini, aku tidak pernah mau.

"Young?"

"Sungjae,"

Kini, bukan hanya tangannya. Kehangatan tubuhnya pun menyelimuti diriku. Terasa erat sesaat, dan pelukan erat itu mengendur. Aku segera berdiri, membuat tubuh Sungjae tidak lagi membungkuk.

"Sungjae? Hei, Sungjae-ya?"

"Tidak peduli, kau siapa dan berasal dari mana. Aku mencintaimu, Soo Young-ah...."

Meski gemetar, tanganku mengikat kuat pinggang Sungjae guna tidak terjatuh. Tangannya sudah terlepas sepenuhnya dari tubuhku. Aku menjadi topang untuknya.

"Aku merasa mual, Young...."

"Bertahanlah, kita pulang. Kumohon tetap sadar, Sungjae-ya. Kita pulang." Aku terisak tanpa berniat, tubuh Sungjae berubah dingin. Ketakutan merambat cepat memenuhi perasaanku.

Dan saat ini, aku baru saja percaya, bahwa rencana Tuhan tidak melulu sesuai keinginan.

•••

Berhenti dari sekolah adalah keinginanku, dan wali kelas menentang keputusan itu dengan alasan tidak bisa kehilangan murid cerdas. Mereka menentang seperti Mino yang tidak setuju kalau aku memutuskan untuk kembali pada wujud asliku.

Gila. Kau gila Soo Young! Kau sudah sejauh ini, ingat!

Kalimat Mino masih berputar dalam pikiran. Aku tahu, sudah sejauh ini. Namun akan terasa percuma jika aku berhasil menjadi manusia sempurna lalu kehilangan Yook Sungjae. Sama saja itu membunuhku perlahan.

Kemarin, sudah cukup diriku merasa tergores ketika menyaksikan bagaimana Sungjae sulit bernapas, belum rasa mual berakhir muntah. Sungjae berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Tubuh ringkihnya jelas menolak perkataan itu. Ya. Seharusnya kemarin aku mengambil hatinya, organ yang akan membuatku menjadi manusia demi keegoisan. Tapi aku tidak melakukannya.

Toh, aku memang sudah mendapat hatinya, kan? Meski bukan dalam arti mengambil hatinya sungguhan. Yook Sungjae mencintaiku. Berarti Sungjae telah memberikan hatinya padaku. Itu sudah cukup, aku tidak perlu menelan hati miliknya.

Keputusan terbaik, yakni keputusan diri sendiri. Tidak peduli ketika mendapat kecaman dari Mino yang telah mengorbankan banyak waktu menemaniku selama berupa manusia.

Menunduk hormat pada beberapa guru, aku segera keluar dari ruangan---berupaya menghindar dari bujuk mereka untuk mengurungkan niatku berhenti sekolah.

Sungjae sudah berdiri di hadapan, membuat sengatan kecil terasa tatkala laki-laki ini menarik tanganku keluar area sekolah.

"Bukankah kau harus masuk kelas? Bel pelajaran kedua sudah berbunyi, 'kan?" Aku bertanya di tengah hening mengerikan karena wajah Sungjae tidak bersahabat.

Kedua telingaku hanya mendengar suara mesin mobil, bersama orang-orang yang juga berjalan di trotoar. Percakapan mereka tidak dapat kudengar jelas. Aku hanya fokus pada Sungjae.

Sampai di tempat penuh pohon, dia berhenti---melepas tanganku dan berbalik.

"Kau mau pergi? Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?"

Lagi. Aku masuk ke dalam pesona Yook Sungjae. Pasang mata itu terlalu meneduhkan untuk diriku tatap, maka aku melihat ke arah lain.

"Aku baru akan memberitahumu sepulang sekolah."

"Bohong! Soo Young bohong padaku!"

Mata Sungjae memerah, ketika diriku terpaksa menatap arahnya karena suara yang meninggi.

"Aku beritahu padamu, Sungjae. Park Soo Young yang kau kenal ini orang jahat." Pandanganku mengabur---tidak bisa menyembunyikan air hangat ini.

"Park Soo Young yang kau cintai hanya memanfaatkanmu. Aku akan membunuhmu jika aku terus membiarkanmu bersamaku. Kau telah memercayakan orang yang salah,"

Laki-laki itu menggeleng. Aku melihat pancaran tidak terima dari matanya.

"Aku bukan penyihir, aku hanya ciptaan Tuhan yang tidak tahu diri. Tidak terima wujud apa adanya yang Tuhan berikan. Aku angin, Sungjae-ya. Kau tahu, angin juga bisa membahayakan? Aku angin itu. Larilah sekarang selagi kau bisa, dan aku akan menghilang setelah melihat punggungmu."

"Aku tidak akan lari. Aku sudah bilang aku tidak peduli kau siapa, Young-ah!"

"Tapi aku peduli." Diluar dugaan, intonasi suaraku mendingin.

"Aku peduli pada keselamatanmu. Kau mau mati? Jalanmu masih panjang. Kau pernah memberitahuku, bahwa ingin menunjukkan kalau dirimu bisa sukses meski kedua orang tuamu mengabaikanmu, 'kan? Buktikan itu. Jangan mati sia-sia, Sungjae."

Mungkin dari sekian banyaknya manusia, yang paling bodoh hanya Yook Sungjae. Bukannya pergi menjauh, dia justru memelukku sekuat tenaga. Tersentak ketika dia menarik tubuhku masuk ke dalam dekapannya.

Mino sudah ada di sini, aku merasakan aura yang akan membawaku.

Sebentar lagi, tolong.

Sungjae kemudian melihatku bingung. Aku mengerti, dia bagai memeluk kekosongan.

Tangannya mencoba meraih wajahku. Dan kenyataan tidak pernah berbaik hati. Aku tidak bisa tersentuh sama sekali. Sama seperti diriku, tidak dapat mendapati kehangatan tubuhnya lagi.

"Tidak secepat ini, 'kan? Kau memang jahat, Soo Young...."

"Maka kau boleh membenciku sebanyak yang kau mau, Sungjae-ya."

"Bahkan ketika rasa cintaku mengalahkan rasa benci yang banyak itu? Demi Tuhan, kenapa aku tidak bisa menyentuhmu?!"

Yook Sungjae putus asa. Kedua sorot matanya lebih mengatakan banyak hal ketimbang garis wajah. Dia menahan tangis dari balik topeng kekecewaan.

"Aku ingin mengatakan kejujuran lainnya Sungjae-ya. Sebenarnya, hanya kau yang bisa membuat dirimu sendiri beruntung. Aku tidak berbuat apa-apa, kau berjuang sendiri hingga mencapai titik kau berdiri sekarang." Tubuhku terasa semakin ringan. Tidak ada lagi debar jantung, embusan napas juga mata yang memanas.

"Hiduplah dengan baik. Aku memang tidak lagi terjangkau oleh matamu, tapi aku selalu bisa melihatmu."

Tubuh yang ringan hilang, diriku menguap ke udara. Aku masih bisa melihat Sungjae dari atas sini, dari atas di mana daun-daun bergerak karena diriku. Sungjae terlihat rapuh. Tapi dia laki-laki keras, aku yakin Sungjae bisa melewati harinya secara normal setelah ini seperti sebelum mengenalku.

"Ini pilihanmu, Soo Young. Jangan menyesal."

Suara Mino terdengar. Awan itu, dia bergerak pelan meninggalkanku.

Aku tidak menyesal. Hanya sekarang, tinggal menunggu takdir melenyapkanku dari dunia. Setelahnya aku ingin memohon pada Tuhan agar menciptakan raga yang memang untukku. Menciptakan kembali diriku sebagai manusia, bukan angin yang hanya bisa dirasa tapi tidak bisa dilihat.

Selama semesta masih ada, bumi masih berputar pada peredarannya, itu akan tetap dirimu.

Tidak peduli waktu telah lama berlalu. Tidak peduli kau telah menjadi pribadi yang baru, itu masih dirimu.

Suatu saat nanti, saat langit cerah atau iklim dingin, aku yang akan pertama kali mengenalmu bahkan ketika hanya melihatmu melalui ekor mata. Tetap dirimu, yang kucinta.

Saat angin berhembus, selalu ingat ini; bahwa angin itu adalah diriku.

Setiap kau merindukanku sampai menangis, angin akan berhembus mengeringkan air matamu.

Jangan terlalu banyak menangis ketika rindu. Kau hanya perlu memejamkan matamu, dan merasakan kehadiranku. Angin itu aku.

.
.
.

Selesai ~

Heww... ehehe. Pasang mode nyengir kuda 😁

Terimakasih banyak, kak Jiyonaa, sekali lagi memercayakan aku buat menciptakan karya. Padahal absurd terus ceritaku itu. Dan kupikir kak Len bakal kapok request-request egen.

Ya, kepercayaan kakak suatu motivasi sebetulnya. Last, Maaf kalau nggak sesuai ekpektasi. Atau ceritanya kurang-kurang gimanaaa gituu 😂😂 bisa kirim saran juga kritik membangun. Aku tunggu!

Umm, kalau mau dengerin lagu yang Sungjae nyanyikan di hadapan Soo Young---ceritanya, bisa play media di mulmed, heuheu.

Bonus (?)

Nemu di Mbah Gugel :v

Next one shootnya Bang Ncup kali, yak? Februari lho ini 😂😂

Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 126 12
12 pria dari EXO planet yang memiliki kekuatan ditugaskan untuk mencari dan menjaga tiga gadis bumi. . . . ⛅Baku/Non Baku ⛅Kekuatan ⛅Hak cipta dilind...
24.9K 1.6K 20
Cerita ini adalah cerita tentang seorang gadis berbakat yang berusaha menggapai cita citanya di Negeri Korea. Namun dia harus merasakan pahitnya menc...
10.1K 746 26
Apa ini? Kumpulan one shoot Born to Beat. Mengapa diberi judul By Your Side BTOB? Karena si pengarang akan tetap bersama BTOB. Percayalah, Melody ak...
122K 9.8K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...