Break! (Terimakasih Tuhan, di...

Per nyxxsegitiga

6.3K 293 8

Sampai akhirnya lelaki itu datang kembali ke dalam kehidupannya masih dengan perasaan yang sama dan untuk ses... Més

Prolog
1 - Flashback: Video call
2 - Flashback: Futsal
3 - Pedekate: Teringat
4 - Pedekate: Ganti perban
6 - Pedekate: Tengsin
7 - Pedekate: Pergi?
8 - Pedekate: Penangkaran kuda
9 - He's come back
Aralyn Leonie
10 - Jodi Dafandra
11 - Gilang pulang~
12 - Do-fun
13 - Pantai
14 - Luluh
15 - Friendzone
16 - Sulit
17 - Meski sakit
18 - Diduain:')
19 - Bertemu kembali
20 - Kesempatan terakhir
21 - Putus?
22 - Klub
23 - Mabuk
24 - Dibentak
25 - Jadian, kah?
26 - Ke-gep?
27 - Sorry
28 - Di duain sama mantan
29 - Kehilangan
30 - Rindu
31 - Berbeda
32 - Perih
33 - Ulangtahun Ibu Jody
34 - Dilema
35 - Permintaan Terakhir

5 - Pedekate: Rumah Gilang

162 11 1
Per nyxxsegitiga

Ceritaa yg sama sekali gak seruu ini mau aku lanjut lagi hehe

Tapi makasih ya buat yg udah baca ceritanya padahal sama sekali gaada yg menarik

Semoga ke depannya, cerita baal ini lebih bagus ya kaya cerita2 yg lain

Cusss~

•••••

Andai saja pos udara sampai surga.
Mungkin aku tak perlu mengejarnya.

💫
💫
💫

Alin langsung turun dari jok motor ninja berwarna merah, saat motor ninja ini berhenti didalam garasi rumah yang begitu luas. Garasi yang didalamnya sudah ada dua mobil yang sedang terparkir. Satu mobil sedan berwarna putih, itu yang biasa dipakai sama Gilang kalau lagi sama Alin. Dan satu lagi mobil berwarna hitam pekat, sepertinya itu mobil keluarga karena dilihat dari body nya yang besar dan kira-kira cukup untuk delapan atau sembilan orang didalamnya.

"Ayo, Lin."

Alin yang sedari tadi menatap takjub rumah yang menurutnya sangat besar ini, hanya mengangguk pelan saat Gilang membuyarkan lamunannya. Mengikuti Gilang dari belakang sampai ia berhenti tepat didepan pintu berplitur coklat gelap.

"Sini masuk."

Alin melihat Gilang yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumahnya dengan santainya. Sedangkan Alin, ia berjalan dengan langkah ragu bercampur dengan rasa malu. Ralat, bukan malu tapi minder. Kedua bola matanya bergerak memperhatikan setiap sisi rumah yang menurutnya lebih pantas disebut dengan istana ini. Berbanding jauh sekali dengan bentuk rumah Alin yang minimalis.

"Ternyata Riani gak bohong."

Riani memang pernah bilang ke Alin kalau rumahnya Gilang itu bak istana. Begitu besar dan luas. Itu ucapan Riani pada saat Alin baru-baru dekat dengan Gilang. Riani juga sempat mengajak Alin mampir kerumah Gilang. Tapi Alin menolak dengan alasan malu. Dan sekarang Alin bisa melihat sendiri, bagaimana bentuk asli rumah Gilang. Memang benar seperti istana.

"Duduk aja dulu, Lin."

Langkah Alin terhenti diruang tamu rumah Gilang. Ruang tamu yang terlihat begitu mewah dan begitu nyaman karena selain ada sofa berbulu yang empuk, juga ada beberapa pajangan guci-guci besar yang pasti harganya cukup mahal. Disisi kiri ruangan juga ada tangga menuju ke lantai dua.

"Mah, ada tamu." Gilang sedikit berteriak.

Kedua matanya sempat memperhatikan Gilang yang berjalan lurus sepertinya menuju dapur, lalu ia mencoba untuk duduk disofa coklat dengan tatapan yang lagi-lagi kembali memperhatikan isi rumah Gilang.

Dan pandangan Alin tertarik oleh sebuah figura berukuran besar yang terpajang disisi kiri tembok disana, itu foto keluarga besar Gilang yang beranggotakan empat orang.

Semuanya laki-laki, kecuali Tante Nana. Seorang Pria dengan postur tubuhnya yang tinggi dan tegap sedang memakai jas hitam dengan senyuman kecilnya. Itu pasti Papa nya Gilang. Tante Nana yang terlihat sangat cantik dengan balutan gaun berwarna merah. Ada Gilang yang sudah memakai seragam pilot dengan kumis tipisnya yang juga ikut tersenyum dengan sangat manis sekali. Dan satu orang laki-laki dengan jas putihnya seperti seorang dokter yang juga ikut tersenyum sedang berdiri disamping kanan Gilang.

Siapa laki-laki itu?

"Siapa?"

Alin langsung menoleh kesamping kanannya. Dapat dilihat dengan jelas, sudah berdiri seorang wanita yang masih terlihat cantik dengan senyumannya yang begitu ramah.

"Gilang mau ganti perban sama dia, Mah." Ucap Gilang dari arah dapur, sedikit meninggikan suaranya karena jarak dapur keruang tamu lumayan jauh.

Hari ini Alin masuk pagi. Seharusnya Gilang ganti perban itu kemarin. Alin sudah menunggunya dirumah sakit, tapi Gilang tak kunjung datang. Tidak ada kabar juga dari Gilang kalau hari ini ia mau ganti perban. Saat Alin sudah sampai dirumah, tiba-tiba saja Gilang menelfon mau menjemput Alin untuk mengganti perban, tapi dirumahnya. Entah kebetulan atau gimana, Alin juga baru saja selesai mandi saat Gilang menelfonnya. Tadinya Alin menolak, karena waktunya yang sudah malam. Alin hanya merasa tidak enak saja dengan orang-orang dirumah Gilang.

Apalagi Alin sama sekali belum pernah kerumah Gilang. Tapi, bukan Gilang namanya kalau tidak memaksa alias keras kepala. Dengan tanpa dosanya, ia menelfon Alin lagi dan mengatakan kalau ia sudah berada didepan gerbang rumahn Alin.

Alin sudah berdiri sebelum Gilang berbicara. "Aku Alin, Tante." Ucapnya tersenyum dengan sangat manis dan langsung meraih tangan kanan Tante Nana untuk salim.

Terlihat senyum yang merekah diwajah Tante Nana. Sepertinya Tante Nana punya penilaian sendiri pada Alin saat ini.

Gilang datang dengan satu gelas minuman juga satu botol yang berisikan jus jambu yang langsung ia letakkan diatas meja. "Ini teman Gilang yang waktu itu." Ucapnya pada Tante Nana.

"Oh, yang waktu itu kamu minta kartu namanya sama Dokter Ratih."

Alin menatap Gilang, sedikit menyelidik didalam hatinya.

"Gilang gak minta, Mah. Dokter kan yang ngasih sendiri kartu namanya Alin." Balas Gilang menjelaskan.

Oh, Alin mulai mengerti. Jadi, Gilang dapat nomor Alin itu dari Ibu Ratih bukan dari Andri. Mengingat, waktu itu Alin pernah bilang kalau Gilang ingin menghubunginya, Gilang bisa minta kontak Alin sama Andri.

Jadi seperti itu.

"Tapi kan, kamu yang nanya-nanya terus." Sahut Tante Nana dengan sedikit ledekan.

Mata Alin makin menatap lekat-lekat wajah Gilang. Ada rasa senang tersendiri yang dirasakan oleh Alin mendengar ucapan dari Tante Nana.

"Emang Gilang salah, nanya temen Gilang sendiri?"

"Engga kok gak salah." Jawab Tante Nana cepat dan langsung beralih menatap Alin. "Temen yang kamu tanyain ini, cantik lho, Lang." Ucap Tante Nana penuh senyum menatap Alin.

"Engga kok, Tante. Biasa aja." Jawab Alin pelan, menyimpan senyum malu dibibirnya. Rasanya malu dipuji seperti itu, karena ini pertama kalinya Alin bertemu dengan Tante Nana.

"Kamu kerja dirumah sakit? Dibagian apa?" kini Tante Nana mulai bertanya pada Alin. Tatapan matanya begitu ramah menatap Alin, seolah-olah begitu welcome dengan kedatangan Alin dirumahnya.

"Aku magang kok, Tan, jadi perawat disana." Alin menjawab masih bercampur dengan rasa malu.

"Ah, cocok banget!" sahut Tante Nana sambil menjentikkan jari lentiknya yang baru saja dicat dengan warna peach lusa lalu. "Rawat Gilang sekalian yaa biar gak bandel. Kamu kan perawat, pasti bisa." Ucapnya tersenyum dengan memegang lengan kiri Alin.

"Apaansih, Mah!"

Alin menyimpan tawa dibalik senyumnya.

Benar-benar tak disangka kalau Tante Nana punya rasa humor juga, dan begitu sangat ramah dengan orang yang baru saja dikenalnya. Sama persis seperti Tante Nia-Ibunya Jodi.

"Udah udah sana, Mamah balik lagi ke dapur. Gilang mau ganti perban dulu." Ucap Gilang dengan nada yang terdengar sedang mengusir.

"Kamu kenapa jadi sensi gitu sih, Lang, sama Mama?"

"Yaa-habis Mama, ngelantur aja kalo ngomong." Terlihat raut wajah Gilang yang mulai badmood.

"Mama tuh gak ngelantur, Mama Cuma-"

"Yaudah, udah yaa Mah, Mama balik lagi aja yaa ke dapur. Kasian bolunya nanti gosong di oven." Gilang langsung memotong ucapan Mamanya, sambil menggandeng lengan Tante Nana untuk diajaknya kembali ke dapur.

Dan disitu Alin tertawa kecil dengan sedikit gelengan kepala melihat tingkah laku Gilang dan Mama nya yang sangatlah lucu.
Ini pertama kalinya Alin datang berkunjung kerumah Gilang, dan langsung disuguhkan tingkah lucu dari Tante Nana.

Melihat Gilang seperti itu-membuat penilaian Alin jadi semakin bertambah. Alin suka dengan cowok yang begitu akrab dengan Ibu nya. Alin suka dengan cowok yang sangat menyayangi Ibu nya. Dan Alin suka-Gilang.

"Maaf yaa, Lin, nyokap gue bawel." Ucap Gilang yang tiba-tiba datang dan langsung duduk disofa, tepat disamping kiri Alin.

Alin juga kembali duduk disofa dengan meletakkan kantong plastik putih supermarket yang sedaritadi ia bawa-bawa diatas meja. Dikeluarkannya perban, plester gulung, juga obat merah. Tadi sebelumnya, Alin sama Gilang mampir dulu ke apotik.

"Mama lu lucu yaa, Lang." Ucap Alin yang mulai membuka perban yang sudah hampir lima hari ini melilit dikepala Gilang.

"Bawel kaya gitu dibilang lucu."

"Namanya juga emak-emak, pasti bawel, Lang." Balas Alin yang kini sedang membuka kasa perban dari dalam dusnya.

"Berarti lu emak-emak dong, Lin."

Alin langsung melirik tajam kearah Gilang.

"Lu kan, juga bawel." Lanjut Gilang yang langsung tertawa.

Alin hanya diam sambil mendengus menahan jengkel.

"Biasa dong mukanya." Ucap Gilang yang mencoba untuk mencubit pipi kiri Alin, tapi Alin menarik wajahnya kebelakang.

"Sini, biar cepet." Ucap Alin sewot, sambil membuka perban yang menutupi bekas jahitan dikepala Gilang.

Seminggu yang lalu, Gilang datang kerumah sakit untuk membuka jahitan dikepalanya sesuai dengan perintah dari Alin waktu itu. Tapi pada saat Gilang kerumah sakit, Alin sedang sibuk mengatasi pasien. Gilang sempat ditawarkan, jahitan dikepalanya dibuka oleh dokter lain, tapi Gilang menolak dengan alasan ia sudah terbiasa ditangani oleh Ibu Ratih dan Alin. Walau akhirnya Gilang harus rela menunggu Alin dan Ibu Ratih sampai dua jam lamanya.

Gilang tidak berkata apapun lagi saat Alin sedang sibuk mengganti perban dikepalanya. Dan sampai selesai pun, Gilang masih tetap diam. Lelaki itu menurut pada Alin.

"Ini buang sampahnya dimana?" tanya Alin sambil menunjukkan kantong plastik putih tadi yang sekarang sudah berisikan perban bekas Gilang.

Tangan Gilang langsung mengambil plastik putih itu dari Alin tanpa berkata apapun, membawanya kearah dapur dan Gilang membuangnya ditempat sampah yang ada disana.

Alin menuang jus jambu kedalam gelas. "Itu siapa, Lang?" tanyanya sesaat Gilang kembali datang menghampirinya, barulah Alin meminum jus jambunya.

Dahi Gilang sedikit mengeryit. Kedua matanya seolah seperti sedang bertanya pada Alin yang sedang duduk didepannya.

"Itu tuh, yang difoto." Lanjut Alin lalu meletakkan kembali gelasnya diatas meja.

Gilang memutar badannya ke belakang untuk melihat figura besar yang terpajang disana. "Oh, itu foto keluarga gue." Jawabnya.

"Maksudnya, yang disamping kanan lu."

"Itu abang gue."

"Lu punya abang?"

Gilang kembali menatap Alin. "Punya lah Lin, gue kan anak terakhir." Jawabnya, lalu kembali duduk disamping kiri Alin dengan menyandarkan tubuhnya disofa panjang ruang tamu ini.

"Abang lu dokter yaa?"

Beberapa detik Gilang sempat diam menatap Alin. "Iya, kenapa? Naksir?" balasnya sedikit meledek. Tapi ada rasa sedikit jeles juga sih.

"Apasih! Gue kan Cuma nanya."

Gilang tertawa. "Bercanda, Lin. Sewot banget." Ucapnya yang berhasil mencubit pipi kiri Alin.

Lagi-lagi Alin diam mendengus jengkel pada Gilang. Pemuda itu sangat suka sekali mencubit gemas pipi Alin. "Tapi kok, kayanya abang lu jarang keliatan?" tanya Alin lagi, sedikit kepo juga tentang abangnya Gilang.

"Dia ikut tinggal di Australi Lin, sama istrinya."

"Kenapa bukan istrinya aja yang ikut tinggal disini?" tanya Alin lagi.

"Istrinya gamau, katanya sih gabisa jauh dari keluarganya." Jawab Gilang sambil menuangkan jus jambu ke gelas yang tadi Alin pakai untuk minum.

"Kok lucu sih, harusnya kan pihak perempuan yang ikut sama suaminya."

Gilang meminum lebih dulu jus jambunya sampai habis. "Berarti nanti elu yang ikut tinggal dirumah gue, Lin." Balasnya sambil meletakkan kembali gelasnya diatas meja.

Alin diam menatap Gilang sebentar. "Gue lagi serius, Lang. Gausah becanda." Ucapnya berusaha sebiasa mungkin walaupun dalam hatinya Alin sedang berteriak kegirangan dengan candaan Gilang tadi.

Baru saja Gilang ingin tertawa, tapi tiba-tiba saja handphone didalam saku celana jeans hitamnya berbunyi. Ada yang menelfon.

"Kenapa, Gas?"

Telfon dari Bagas.

"Dimana, Lang? Jadi gak ambil barangnya?"

Raut wajah Gilang berubah menjadi sedikit agak panik. Matanya sempat melihat kearah Alin yang juga sedang memperhatikannya menerima telfon dari Bagas. Jantungnya juga sedikit berdetak lebih cepat. Kehadiran Alin saat ini, membuat Gilang bingung menjawab telfon dari Bagas.

"Posisi lu dimana?" tanya Gilang, kemudian berdiri dari sofa dan berjalan agak menjauh untuk menjaga jarak dari pendengaran Alin.

Tidak tahu apa yang dibicarakan Gilang dengan Bagas ditelfon, sepertinya sangat privasi sekali. Membuat Alin sedikit kepo dengan terus memperhatikan Gilang yang sedang berdiri didepan tangga disisi kiri ruangan.

Tapi Alin langsung mengalihkan tatapannya ke tempat lain, saat Gilang kembali berjalan menghampirinya. Tidak mau sampai Gilang tahu, kalau Alin tadi sedang menyimak Gilang yang sedang menerima telfon dari Bagas.

"Gue anter pulang yaa, Lin."

Alin diam menatap Gilang tak mengerti.

Tadi ditelfon, Gilang begitu memaksa Alin untuk mengganti perban dirumahnya. Setelah selesai, Gilang berbicara seperti orang tanpa dosa. Membuat Alin merasa kalau Gilang datang padanya saat ada perlunya saja. Tapi ini seperti bukan Gilang pada biasanya. Apapun alasan Gilang untuk bertemu, Alin sangat yakin pemuda itu menginginkan waktu yang panjang untuk berlama-lama dengannya berdua.

"Gue ada perlu sama Bagas."

"Gue ikut." Jawab Alin cepat.

"Jangan, Lin! Ini-"

"Emang kenapa gue gak boleh ikut?" Alin langsung memotong ucapan Gilang, dengan tatapannya yang dalam. Seolah-olah Alin tidak ingin ditinggalkan.

Bukan. Alin juga masih ingin berlama-lama dengan Gilang. Setidaknya Alin tidak muna untuk perasaannya sekarang. Dan Gilang juga pasti sudah tahu, alasan Alin meminta untuk ikut dengannya itu apa.

Gilang sempat terdiam melihat Alin. Ada permintaan sedikit memohon yang terpancar dari kedua bola mata gadis itu. "Yaudah." Jawab Gilang pelan, yang akhirnya mengalah pada Alin.

Senyum mengembang dibibir tipis Alin. Gadis itu langsung berdiri dihadapan Gilang dengan semangatnya. Kedua matanya terlihat berbinar menatap Gilang.

Alin senang. Senang karena hari ini sudah bisa dipastikan ia bisa berlama-lama berdua dengan Gilang. Senang karena nanti Alin bisa mengobrol lebih lama dimotor dengan Gilang. Senang karena Alin bisa tertawa lepas nanti dimotor sama Gilang. Senang karena Alin nanti bisa mendengar cerita dari Gilang. Senang karena akhirnya Alin bisa jalan berdua lagi dengan Gilang setelah sekian lama mereka sempat lost contact. Dan Alin senang, nanti saat diperjalanan pulang, Gilang pasti menarik tangan kiri Alin untuk memeluknya. Dari dulu, setiap Alin diantar pulang pakai motor ninjanya Gilang, pemuda itu selalu seperti itu.

Selalu membuat Alin nyaman disetiap sikapnya.

Sampai sekarang pun masih.

•••••

Dann gaada gregetnyaa sama sekali sama ini cerita kwkw tapi gapapa ya aku masih lanjut abisnya nanggung masa nanti ngegantung sih ceritanya

Cukup hubungan aja yg bisa digantung selain jemuran, cerita mah jangan hehe

Tengkyuuu gaesss yg udah sempetin baca cerita abal punya eykeee

Byeeeee~

.Nyxx.

Continua llegint

You'll Also Like

Hidden Marriage Per Safira RM

Literatura romàntica

1.3M 63.9K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
Naughty Nanny Per 🐻🐶

Literatura romàntica

6.6M 333K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
2.3M 109K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
4.9M 179K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...