di umur 19

By wulanfadi

143K 17.3K 1K

Sendirian. Ama sudah terbiasa. Sejak setahun yang lalu dirinya gagal masuk universitas, Ama jadi mengerti kal... More

prolog
chapter 1: fatimah alana syaqieb
chapter 2: ralla lestari ozora
chapter 3: setyo prasetya
chapter 4: rendra dinata surya
chapter 5: penghargaan musik
chapter 6: komentar
chapter 7: dengungan
chapter 8: semangat
chapter 10: berenam
grasindostoryinc

chapter 9: tanya

5.8K 907 30
By wulanfadi


“di umur 19 kamu menyadari bahwa cinta saja tidak cukup.”

AMA: Tapi besok aja, okay? 04.45 PM

Rendra tersenyum-senyum seperti orang bodoh sambil membalas iya. Sekarang, dirinya benar-benar melupakan buku sketsa yang ada di hadapannya. Entah sejak kapan, bersama Ama, entah hanya lewat pesan-pesan singkat, atau menghabiskan minuman bersama di sore hari, terasa lebih menarik dibanding menggoreskan grafit di atas kertas.
Hal-hal yang ia lakukan untuk pelariannya, kini berhenti di titik terakhir. Begitu saja.

Mungkin karena bersama Ama, Rendra bisa bercerita banyak hal yang tidak bisa ia ceritakan pada orang lain. Juga, berdiskusi tentang film, novel, dan lagu yang sama-sama mereka sukai. Rendra seklop itu dengan Ama hingga ia rasa, menghabiskan waktu berjam-jam tidak akan membuat mereka kehabisan topik.

BRAK!

Suara pintu yang dibanting dari arah pintu utama, membuat senyum Rendra terhapus. Rendra bangkit dari tempat tidurnya dan mengintip ke arah pintu. Terlihat Papa membawa boks besar sedang berderap ke arah kamarnya dengan Mama terseok-seok mengikuti dari belakang. Rendra buru-buru berbalik untuk menyembunyikan seluruh bukti kemarahan Papa, tapi terlambat, Papa sudah mengetahui dari lama.

“Mau jadi apa kamu?” tanya Papa, nada suaranya tinggi dan tajam.

“Pa, jangan,” ucap Rendra lemah ketika Papa menyabet kertas-kertas berharga Rendra dan juga koleksi kuas dan cat yang ia jaga sebaik mungkin. “Pa.”

Papa ternyata tahu di mana Rendra menyembunyikan sisa gambarnya. Papa mengumpulkan semuanya di boks besar lalu membawanya ke luar rumah tanpa bicara sepatah kata pun. Mama mengikuti di belakang, memohon-mohon pada Papa untuk tidak merusak semuanya, tapi Papa tetap berjalan tegap. Sementara, Rendra masih ada di dalam kamar, duduk bersila, dengan kepala menunduk.

Suara pematik api terdengar. Dari segala jenis suara yang membisingkan dunia, Rendra masih bisa mendengar suara itu. Suara yang akhirnya menjadi penanda bahwa mimpi-mimpi yang ia simpan rapat, kini sudah menjadi abu.

Papa kembali setengah jam kemudian. “Sekarang kamu bisa fokus kuliah,” lalu ke luar kamar Rendra seolah tadi hanya mengatakan bahwa mereka akan makan malam sebentar lagi bukannya menghancurkan semua yang telah Rendra bangun susah payah.

***

GIMANA?” pertanyaan Depha itu dibalas Ama dengan bibir cemberut dan mata berkedut.

“Si Botak memang lagi butuh liburan,” jawab Ama dengan nada ‘ini-tidak-menggangguku-tapi-sebenarnya-sangat-menggangguku’ yang biasanya.

Depha tersenyum kecil. Senang melihat Ama tidak bersedih atas kegagalannya. Depha sudah takut Ama akan putus asa dan berhenti di sini, karena itu artinya, Depha tidak akan bisa melihat Ama lagi.

Egois, memang, tapi itulah yang Depha cemaskan.

“Pusing, nih!” keluh Ama sambil berjalan beriringan dengan Depha ke luar gedung agensi. “Asyiknya sih jalan-jalan.”

“Mau?” tanya Depha.

Mata Ama bersinar cerah mendengar tawaran Depha. “Seriuuus?”

“Iya. Kamu mau jalan-jalan ke mana?” Depha menyunggingkan senyum canggung, senang melihat reaksi Ama.

Tak perlu banyak waktu bagi Ama untuk menjawab pertanyaan sederhana itu,

“Ke SeaWorld! Udah lama banget gak ke SeaWorld, kangen lumba-lumba, paus, hiu. Pengen curhat ke mereka kalo meskipun kali ini gue gagal, tapi gue gak bakal nyerah!”

Senyum Depha kini berseri-seri, karena melihat Ama yang semangat, ternyata menular ke tiap peredaran darahnya. Membuatnya ikut merasa hidup.

“Bilang ke mereka, kalo di demo berikutnya, Ama pasti bisa,” usul Depha.

“Oiya, bener, itu perlu dicatet,” ucap Ama sambil mengangguk-angguk setuju.

Sore itu, mereka pergi ke SeaWorld, bercerita pada penghuni laut yang terkurung dalam kaca, kalau hari ini adalah hari buruk Ama, tapi gak apa-apa, masih bisa diusahakan yang lain. Yang Ama tidak tahu, Depha juga berbisik pada penghuni laut, bercerita bahwa ia tidak ingin hari ini berakhir, bahwa ia hanya ingin berada di samping perempuan riang itu.

Tapi keinginan itu tidak akan mungkin terwujud.

“Habis ini, sudah bisa pulang dan istirahat di rumah, Deph,” suara managernya terdengar seperti nada kaku yang konstan berada dalam keseharian Depha Alkantara.

Depha hanya berdeham di bangku penumpang sehingga menarik perhatian managernya untuk melirik laki-laki berumur 19 itu. Mata Depha terpaku pada ponselnya. Tangan dengan jemari panjang dan kurusnya menutupi sebagian mulut, pose berpikir. Sementara tangan yang lain memegang ponsel.

“Liat apa?” tanya managernya.

Depha melirik managernya, lalu menggeleng. Ponsel yang sedang menampilkan layar akun sosial media @lana_music itu kini ia matikan dan taruh di saku celana. “Gak liat apa-apa.”

“Lo tau, Deph, kalo lo—”

“Gak apa-apa,” potong Depha. “Gue ngerti.”

Managernya menghela napas. Kalau sudah seperti ini, tidak ada yang bisa membujuk Depha selain Ama. Dan sialnya, Depha juga sudah mengacaukan semua itu.

***

RUANG UKM debat sore ini tampak ramai dengan perbincangan hangat tentang lomba debat yang akan diadakan enam bulan lagi oleh salah satu institusi ternama. Lomba itu, seperti yang Aidan bilang tempo hari, hanya bisa diikuti oleh anak semester satu dan tiga. Anak dari semester lain tidak boleh ikut andil. Sebuah ketentuan yang aneh, memang, tapi di situ letak serunya.

Sejak sore, ketua UKM yang sedang menjalani skripsi, sibuk ke sana ke mari memberitahu para anggota semester satu dan tiga untuk kumpul (Setyo sudah kumpul dari jam dua sore, omong-omong, meyakinkan ketua UKM bahwa ia bisa membawa tim menuju kemenangan). Ketua menganggapnya bercanda, maka tidak menanggapi Setyo dengan serius. Tapi, Setyo super duper serius.

Bosan dengan kebisingan di ruangan ini, Setyo memutuskan untuk mencari angin segar. Sudah tiga nam perutnya kosong dan berteriak minta diisi. Setyo pun menuju kantin dan mencari makan. Dirinya sudah bersama nampan makanan ketika melihat Aidan sedang berkumpul bersama teman-temannya.

Setyo hendak menghampiri dan bertanya kenapa tidak ke ruangan UKM debat hingga dia tak sengaja mendengar percakapan mereka.

“Lo beneran gak ikut lomba itu, Dan?”

Aidan tertawa sambil menggeleng. “Enggak, deh. Gue skip.”

Setyo sedikit kaku. Kemarin, dia berjanji akan ikut bersamanya. Kenapa sekarang berubah?

“Kenapa? Cerita-cerita, lah,” desak temannya ingin tahu.

“Males aja. Lagian, mereka bisa apa tanpa gue?” tanya Aidan menimbulkan gelak tawa di antara teman-temannya.

Darah Setyo mendidih. Tapi, Bunda selalu mengajarkan Setyo untuk tidak menyelesaikan semua permasalahan dengan tangan, maka, Setyo berbalik menuju ruang debat, masih dengan perut kosong yang tidak terasa lapar lagi.

***

HARI ini, Ama ditinggal sendirian. Pertama, karena Bunda harus menemani Kiara study tour ke Bandung, dan kedua karena Reno yang sedang sibuk latihan taekwondo untuk pertandingan selanjutnya hingga larut malam, tentu saja tidak bisa menemani Ama. Awalnya, Bunda cemas Ama akan butuh bantuan, tapi Ama meyakinkan Bunda kalau dirinya bisa. Apalagi melihat Kiara yang sangat ingin mengikuti study tour itu, membuat Ama seribu kali lebih ingin Bunda menemani adik bungsunya.

Jadilah saat ini Ama hanya ditemani oleh kruk untuk membantunya tegak berdiri. Iya, kakinya lemas akibat pernah kecelakaan dua tahun lalu, dan ketika sakit typhus-nya kambuh, kaki lemasnya pun ikut kambuh.

Ama menggerakkan kruknya menuju gudang, tempat dirinya menyimpan kotak besar berisi hal-hal yang ingin ia lupakan, tapi saat ini ia perlukan untuk mengingat sesuatu.

Gudang berada di bawah tanah, di mana Ama harus turun hati-hati dengan kruknya. Baru saja Ama sampai di tangga kedua, bel di rumahnya berbunyi. Ama melirik jam yang ada di dinding dapur. Masih jam dua siang. Terlalu cepat bagi Rendra untuk menjenguk.

Bel itu kemudian berbunyi berkali-kali seperti orang yang ingin menagih hutang. Saking terburu-burunya ke pintu utama, Ama nyaris terpeleset. Ama merutuk dalam hati sambil menggerakkan kruk menuju pintu.

“Sabar dong, Bambang,” ucap Ama seraya membuka pintu.

Kerutan kesal di dahinya menghilang, diisi keterkejutan. Ama melihat Depha dan Ara berdiri di depan pintu rumahnya pada jam dua siang, seolah itu adalah hal paling normal dan biasa yang terjadi dalam hidupnya. Iya, memang dulu adalah hal biasa. Tapi tidak sekarang, tidak setelah semua yang terjadi.

“Hei, Ma,” sapa Depha dengan suara beratnya yang biasa.

Dan Ara tersenyum. Senyum yang biasa ia tunjukkan pada Ama.

Tapi, Ama merasa tidak ada yang biasa saat ini. Tidak ada.

Pegangannya pada kruk terlepas, membuat Ama kehilangan keseimbangan hingga harus berpegang pada pintu.

“Ama, lo gak apa-apa?” tanya Ara panik.

“G-Gak, gue gak apa-apa,” balas Ama sambil berusaha mengambil kruknya, tapi tindakannya itu sudah didahului oleh Depha yang sigap mengambil kruk. “Oh, eh, thank you.”

Kemudian hening yang canggung.

“Kalian ke sini mau ngapain?” tanya Ama, karena seperti atmosfer tidak biasa di antara mereka bertiga, kali ini, Ama juga ingin lebih berterus terang.

Berusaha menjadi Ama yang biasanya. Seperti dahulu.

Continue Reading

You'll Also Like

334K 25.8K 83
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
888K 41.4K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.1M 36.7K 35
Bagaimana jadinya jika seorang gadis menikah dengan ayahnya? Tidak, bukan ayah kandung tetapi ayah angkat. Bermula dari kejadian dimana Giya seorang...
562K 91.7K 37
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...