Sean, melihat matahari mulai tenggelam. Seakan merosot masuk ke dalam laut perlahan-lahan. Sisa cahayanya berwarna kuning kemerahan terlihat cukup cantik jika dipandang dari pantai, dari tempat di mana ia kini duduk di atas pasir cokelat yang terasa begitu gembur menenggelamkan kaki telanjangnya.
Ia hampir dua jam tak beranjak dari sana. Tatapan matanya melayang kosong ke arah lautan dan juga bola bercahaya tersebut. Di tengah kesunyiannya, pemuda itu mencoba terus mengontrol alam sadarnya, mengendalikan apapun dalam hatinya yang seakan membeludak tak karuan sejak ia berbincang dengan Anna beberapa jam lalu. Perbincangan yang tak ia sangka membuat hatinya terasa sakit, marah dan kecewa. Hal apapun lainnya yang buruk, yang membuatnya jauh dari kata baik, seakan menguasai seluruh isi pikirannya saat itu juga.
'...Mermaid Alexa, Mermaid Alexa telah meninggal...' Ujar Anna beberapa jam lalu.
Beberapa kalimat yang terngiang dan seketika membuatnya, hancur.
'Ibu..'
Sean teringat semua hal tentang wanita itu, kenangan-kenangan saat mereka masih bersama, bahkan saat terakhir mereka saling berbicara, saling menatap mata, tatapan mata keibuan yang hangat itu, tergambar jelas di benaknya. Sean tak dapat melupakan sedikitpun memori ketika ia bersama sang ibu. Terutama, bagaimana wanita itu akhirnya, meninggalkannya.
Sean, jelas masih terbayang-bayang masa lalu kelam itu. Semuanya semakin terasa buruk ketika ia juga teringat apa yang Anna katakan di penghujung perbincangan mereka.
Gadis itu, Anna, mengatakan kalau, Alexa jatuh ke tengah lautan saat timah besi tersebut menembus kepalanya. Wanita itu jatuh ke tengah gelombang dingin lautan Sargasso dengan kondisi mengenaskan. Sean sempat tak mempercayai semua keterangan tersebut. Tak ada bukti apapun yang membenarkan semua cerita Anna. Dan alasan itulah yang Anna gunakan untuk menjawab pertanyaan Sean kenapa ia membungkam hingga hari ini. Kenapa ia tak memberi tahu polisi, wartawan, atau siapapun mengenai kasus ini mengingat kabar menghilangnya Alexa cukup ramai saat itu.
Anna, ia tak dapat bertindak lebih. Ia hanya gadis dua belas tahun saat itu. Ia menceritakan ini pada orang tuanya, namun sikap ayahnya membuatnya mengurungkan niatnya untuk melakukan semua rencana berani yang saat itu ingin ia lakukan. Tak ada pilihan lain, bahkan hukumpun mungkin tak berpihak padanya. Tak ada bukti atau saksi lainnya, siapa yang akan percaya?! Semuanya justru akan menjadi bumerang untuk keluarganya.
Anna, gadis itu, bilang pada Sean kalau ia hanya menunggu saat yang tepat, entah sampai kapan.
Sean mengangkat wajahnya. Memandangi ombak yang mengikis pantai berulang-ulang. Matanya terasa sembab. Semua keterangan Anna, Sialan! Membuatnya seperti kaca yang dijatuhkan dan pecah berkeping-keping. Begitu rapuh, dan melemahkannya.
Namun, ia tahu jelas apa yang akan ia lakukan untuk ini semua. Pria itu, orang yang membunuh Alexa, ibunya, Sean berniat mencari orang tersebut. Mencari mereka-mereka yang terlibat dengan ini semua, tak peduli siapa dan sebesar apa kekuasaan, jabatan atau latar belakang yang mereka miliki. Sean, berniat menghancurkan mereka semua.
Pemuda itu mengepalkan tangan kuat-kuat. Seluruh pikirannya terfokus pada langkah pertama apa yang akan ia lakukan ketika tiba di Louisiana. Ketika ia bertemu dengan Paman Tom dan menceritakan kebenaran ini semua. Sebrapa berat kenyataan yang akan mereka hadapi, ia yakin ia bisa mengatasinya.
Namun, di samping itu, ada sesuatu yang mengganjal pikiran Sean. William. Sean ingat nama seseorang yang juga disebutkan Anna di tengah ceritanya. Anna bilang, Alexa terbunuh karena menanyakan di mana keberadaan William. Namun Sean, tak ingat ia pernah mendengar nama itu. Siapa pria itu?
'Damn it!'
Pemuda itu mengusap-usap kasar rambut bagian belakangnya. Berpikir sedikit lebih keras, apakah ia benar-benar tak tahu? William, Yah, Ia memang tak ingat apapun tentang pria bernama, William.
Anna, gadis itupun terbata-bata dan memilih keluar ruangan meninggalkan Sean saat Sean memaksanya untuk mengatakan tentang mereka lagi. Saat Sean, meminta Anna paling tidak menyebutkan ciri-ciri orang-orang tersebut. Orang-orang yang dilihatnya saat itu. Setidaknya, mungkin, ya.. mungkin saja, ada sesuatu yang dapat membantu Sean mengingat apapun sebelum kejadian ini. Sebelum ia tiba-tiba, terdampar? Di tempat ini, di Hatteras. Mungkin ada sesuatu yang berhubungan mengenai cerita-cerita ini. Mengingat Hatteras juga berada tak jauh dari lautan Sargasso. Lautan di mana ibunya, dikatakan tewas.
Mata Sean tertuju ke laut saat senja semakin menelan suasana saat itu. Ia melayangkan pandang ke hamparan air bergelombang tersebut dan mencoba lebih tenang mengendalikan apapun yang ada dalam tempurung kepalanya. Desiran ombak terdengar semakin riuh ketika ia tak henti memeras otaknya. Ketika mata Sean, mendadak menangkap sesuatu dari sana.
Sesuatu, yang tiba-tiba muncul dari antara ombak. Tak jelas apa itu, bentuknya bulat seperti bola voli pantai yang tak sengaja terlempar ke laut dan mengapung di sana. Namun, bukan! Itu bukan bola. Sama sekali bukan.
Sean bangkit berdiri, mengangkat tubuhnya meski kakinya masih terasa aneh untuk ia gunakan menopang badan tegapnya. Ia lalu menyipitkan mata, mencoba melihat lebih seksama benda apa itu. Benda yang mengapung, yang mendadak terlihat pula, sepasang mata tajam?!
Pemuda itu mundur beberapa langkah saat sesuatu itu perlahan terangkat naik juga. Saat, kepala?! Saat kepala itu semakin terlihat jelas seperti seseorang yang baru saja menyelam ke air dan muncul ke permukaan. Namun, Fu*k! Itu juga bukan manusia!
Sean mendapati sepasang mata besar nan tajam di sana, sementara hidungnya seperti pola hidung tengkorak yang biasa ia lihat di film-film horor, lalu mulutnya, pemuda itu melihat puluhan taring menghias di bagian mulut. Besar dan kecil, bertambah mengerikan ketika berpadu dengan kulit kasar berwarna kelabu yang setengah bersisik. Sean tak tahu mahkluk apa itu, namun ia dapat mendengar samar-samar, sapaan ramah yang tiba-tiba, menyentil telinganya oleh sosok menyeramkan tersebut.
'...Putra William...'
Mahkluk itu seakan mulai berbicara. Suaranya cukup jelas terdengar. Suara, wanita?! Suara yang, tak asing.
'...Meree, aku Meree. Kenapa kau terkejut melihatku?...'
Ia tak henti menatap Sean. Sementara Sean benar-benar tak tahu siapa dan, apa dia sebenarnya. Meree? Siapa Meree? Dan, kenapa ia mendatanginya.
'... Aku Meree, aku yang menyelamatkanmu beberapa hari lalu. Ingat?..'
Wanita bersisik tersebut mengangkat tubuhnya sedikit lebih tinggi. Namun permukaan air masih menutupinya dari dada hingga ke bawah, Sean dapat melihatnya semakin jelas, kulit-kulit berlendir itu, dan juga sirip-sirip yang terlihat sedikit-sedikit itu, tubuh itu, tubuh yang seperti, monster? Entahlah.
'...Tak apa kalau kau benar-benar tak ingat padaku. Semua Nutricula itu juga begitu ketika mereka baru memasuki tahap larva...'
Sambung wanita tersebut yang kemudian tertawa, mengerikan.
Sean melangkah mundur sekali lagi. Rasa takut semakin menguasainya ketika Meree mendadak mengulurkan tangannya juga, mengulurkan tangan kanannya seperti seseorang yang menawarkan diri untuk berdansa.
'...Ikut aku!...' Ujarnya. '...Kau bilang agar aku membawamu ke daratan, membawamu kembali ke tempatmu. Tapi ternyata, kau tampak sedih setelah berada di sini, di daratan. Aku sudah menduga kalau DARATAN, bukan tempat yang baik untukmu...'
'...Kau..-'
'...Aku Meree. Kau akan mengingatku setelah kau ikut denganku...'
Meree terus mengulurkan tangannya. Sementara Sean, pemuda itu sekali lagi mencoba berpikir lebih jernih. Ia tahu ini sama sekali di luar kenyataan. Bermimpi? Halusinasi? Entahlah.
'...Ayolah, jangan membuatku menunggu terlalu lama. Kau tahu? aku selalu memikirkanmu sejak aku mengantarmu pada gadis itu, gadis manusia itu. Aku tidak bisa tenang melepaskanmu, putra Wiliam, sendirian di tempat ini, di DARATAN. Aku selalu bertanya-tanya bagaimana keadaanmu, bagaimana kau akan hidup dengan mereka setelah melalui banyak hal. Dan rupanya, benar seperti yang kuduga, sekarang aku menemukanmu, BERMURUNG di sini. Aromamu tercium kalau kau tidak dalam keadaan baik...'
Mahkluk itu seakan mendekat, tangannya terus terulur.
'...Ayo, ayo ikut denganku.. Aku akan membuatmu lebih baik. Aku akan merawatmu lagi layaknya, INDUKMU...'
Meree, kemudian menyenandungkan sebuah lagu. Suaranya sangat merdu di mana membuat Sean kehilangan akal sehatnya dan, tak dapat menolak permintaan itu...