Gerimis

By anarindamusthofia

7.8K 159 0

Mutiara Suroso lahir dari keluarga politisi tapi meski demikian tak lantas membuat hidupnya bahagia. Sejak sa... More

Prolog
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Biodata Penulis
Segera Terbit

Bagian 15

150 5 0
By anarindamusthofia

"Raka!" Seorang wanita paruh baya menyambut Raka setibanya ia di ruang ganti dan melihat wanita itu raut wajah Raka seketika berubah, senyum di wajahnya juga lenyap.

"Apa yang dia lakukan di sini?" tanya Raka pada Endang tanpa menghiraukan sapaan wanita paruh baya itu. Raka benar-benar tidak berharap bertemu dengannya, sang ibunda yang bukan saja menghancurkan hati ayahnya, tapi juga perasaannya dan Rani. Kini, di saat ia mulai bisa menata hidupnya kembali wanita itu muncul dengan ekspresi wajah tak berdosa. Raka benci melihat ekspresi dan tatapan matanya yang bagai tak merasakan beban apa pun setelah apa yang dia perbuat pada sang ayah, juga dirinya.

"Dia sudah menunggumu sejak tadi," bisik Endang.

"Jadi, maksud Mbak selama aku pemotretan dia menunggu di sini dan Mbak membiarkannya?" kata Raka menatap Endang dengan perasaan jengkel karena tak habis pikir kenapa manajernya itu membiarkan sang ibunda menunggunya, sementara dia tahu bagaimana wanita itu pernah membuat kariernya nyaris hancur.

"Bagaimana pun dia ibumu, aku tak bisa melarangnya."

"Aku tidak ingin berdebat, suruh dia keluar!" tegas Raka sekali lagi dan ia sudah hampir benar-benar meledak karena kehadiran ibunya yang sama sekali tak ia harapkan. Apalagi di sini, di tempat kerjanya ketika orang-orang mulai bisa menerimanya dan sekarang tiba-tiba sang ibunda muncul di tempat yang paling tidak ia harapkan. Raka benar-benar kesal dan ia khawatir jika sampai asisten Tiara atau para crew melihatnya. Bisa jadi ini akan menjadi perbincangan mereka, Tiara pasti tak akan senang jika masalah pribadinya menjadi perbincangan heboh bawahannya. Bagaimana pun Tiara sudah bersikap baik padanya dengan menjadikannya salah satu modelnya tanpa menghiraukan masalah pribadinya yang selama ini menjadi alasan beberapa perusahaan menolak menggunakannya sebagai model mereka. Tapi bukan berarti Raka akan diam saja kalau ibunya membuat atasannya mendapat masalah dan sebelum apa yang menjadi kekhawatirannya itu terjadi Raka ingin ibundanya pergi secepat mungkin. Terlebih Raka juga tak ingin bertemu dengannya hingga tak ada lasan baginya untuk membiarkan sang ibunda tetap berada di ruang ganti, sementara ia bahkan tak ingin melihat wajahnya.

"Ibu tahu kau sangat kecewa, tapi Ibu mohon jangan bersikap seperti ini pada Ibu."

"Apa lagi yang Mbak tunggu? Suruh dia keluar!" kata Raka dengan nada suaranya yang semakin kencang, membuat sang ibundanya terkejut mendengarnya. Bagaimana pun bicara dengan suara sekencang itu buka gaya Raka. Ini kali pertama Sinta mendengar putranya berbicara sekencang itu dan tanpa sekali pun tersenyum padanya. Sebagai ibu ia benar-benar terluka, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain mencoba menenangkan buah hatinya itu karena bagaimana pun sikap Raka yang seperti ini juga akibat perbuatannya sendiri. Jika ia tidak mengkhianati suaminya dan membuat skandal menghebohkan yang membuat karier putranya hancur mungkin Raka tak akan pernah bersikap demikian. Tapi kini ia sudah menyesalinya dan ingin memperbaiki apa yang sudah ia hancurkan, termasuk hati Raka.

"Raka, biarkan Ibu bicara sebentar." Tiba-tiba tangan lembut sang ibunda menyentuh Raka dan bukannya luluh oleh sentuhan itu Raka malah menepisnya dengan sangat kasar.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Keluarlah sebelum aku menyeretmu!" kata Raka dan ia tak lagi menyebut wanita di hadapannya dengan sebutan "Ibu" dan mendengarnya Endang hanya bisa terdiam. Ia memang tahu hubungan Raka dan ibunya sangat buruk sejak skandal yang nyaris menghancurkan kariernya. Adit sudah mengatakan semuanya sebelum ia menunjuknya sebagai manajer Raka. Hanya saja saat melihat wanita paruh baya berwajah melas itu hatinya menjadi luluh dan tak tega untuk mengusirnya. Apalagi dia sempat menangis di hadapannya agar mengizinkannya bertemu Raka, terlebih seorang pegawai juga ikut membantunya agar bisa bertemu Raka. Namun, melihat sikap Raka yang terlihat begitu marah ia agak menyesal karena sudah mengacaukan suasana hati modelnya yang bisa-bisa akan berimbas pada pekerjaannya.

"Maaf, Bu, sebaiknya Ibu keluar," kata Endang akhirnya menarik wanita itu keluar sebelum ada banyak orang memperhatikan.

"Tolong beri saya waktu untuk bicara dengannya."

"Raka tidak ingin bicara dengan Anda dan kita sedang berada di lokasi pemotretan. Kalau ada yang lihat bisa membuat gaduh, ini tidak baik untuk Raka."

"Tapi–"

"Urus wanita ini, aku cari angin dulu," kata Raka berlalu meninggalkan Sinta yang berniat mengejarnya, tapi Endang langsung menahannya. Ia sudah cukup menolerir sikap wanita itu dan sekarang tidak lagi. Tugasnya adalah membantu Raka, bukan wanita itu.

"Ada apa? Kenapa kau lari seperti dikejar setan?" kata Adit saat tiba di lift dan melihat Raka masuk dengan buru-buru.

"Ibuku ada ruang ganti," jawab Raka pelan sengaja karena tak ingin orang-orang yang berdiri di dekatnya mendengar.

"Kau serius?" tanya Adit kaget, tapi tetap berusaha memelankan suara.

"Iya dan Mbak Endang membiarkannya menungguku selama aku pemotretan."

"Bukannya sudah kubilang–" Adit tiba-tiba menghentikan ucapannya saat melihat tatapan Raka yang mengarah padanya.

"Apa yang kau katakan padanya?"

"Aku hanya bilang hubunganmu dengan ibumu tidak begitu baik. Jadi, aku meminta dia untuk jangan pernah mengungkit apa pun yang berhubungan dengan ibumu karena akan merusak suasana hatimu," jelas Adit yang tak ingin menutupi apa pun karena dengan suasana hati Raka saat ini dia pasti tak akan melepasnya sampai ia bicara.

"Dia tak pernah mengungkitnya, tapi dia langsung membuatku menemuinya."

"Maaf."

"Kenapa minta maaf? Ini sama sekali bukan salahmu."

"Kalau saja aku tahu dia akan menyulitkanmu, mungkin aku akan meminta Tiara untuk tak memakainya."

"Tidak apa-apa, ini juga bukan salahnya. Ibuku keras kepala orangnya, aku yakin dia pasti yang sudah memaksa Mbak Endang," kata Raka dan tepat saat itu pintu lift terbuka. Tanpa berkata apa-apa lagi Raka melangkah keluar, sementara Adit menghentikan langkahnya saat melihat Raka berjalan semakin cepat meninggalkannya. Adit sangat mengenal sahabatnya itu yang jika dia sedang ingin sendiri dia pasti akan mempercepat langkahnya dan artinya dia sedang tak ingin ditemani. Saat seperti ini Raka memang butuh sendiri dan keberadaannya tak akan membantu menjadi lebih baik.

"Kembalilah saat kau merasa lebih baik," kata Adit dengan nada suaranya yang agak tinggi, tapi Raka sama sekali tak menoleh ia terus saja berjalan menjauh tanpa sekali pun menghentikan langkahnya.

"Ada-ada saja."

***

Raka tak tahu sejauh apa dia berjalan, yang diingatnya hanyalah ketika ia melangkahkan kakinya menuju café tempat dirinya biasa makan siang dan berniat menenangkan diri sejenak di sana. Tapi, kini yang ada di hadapannya bukan lagi deretan café atau kawasan pertokoan yang ada di sekitar café langganannya. Di hadapannya saat ini justru yang tampak gapura besar bertuliskan Puri Cempaka, tempat kediaman pribadi Pak Presiden berada. Raka tak mengerti kenapa ia melangkah ke kawasan ini yang jelas-jelas berada di tempat yang berbeda dengan lokasi kantor Akira Mode maupun café langganannya. Sepertinya bukan hanya perasaannya yang kacau, tapi pikirannya juga kacau sampai ia bahkan tak tahu ke mana kakinya melangkah. Ditambah lagi teriknya matahari yang menyengat kian membuat Raka kebingungan karena harus mencari tempat berteduh sebelum kulitnya benar-benar terbakar di bawah terik matahari.

"Kau sedang apa di sini?" Suara Nadia menyentak kaget Raka yang sedang berjalan menuju pohon besar di dekat gapura dan mendengarnya Raka sontak menoleh. Benar, Nadia memang yang memanggilnya dan gadis itu hanya seorang diri menghampirinya dengan tatapan heran. Raka bisa menebak apa yang dipikirkannya, dia pasti bingung melihatnya tiba-tiba berada di sini sementara ia tahu tempat tinggalnya tidak berada di kawasan ini.

"Kau sendiri sedang apa di sini?" balas Raka, bukannya menjawab pertanyaan Nadia ia malah balas bertanya.

"Aku? Sudah pasti karena ada perlu dengan Kak Tiara."

"Tiara? Bukanya dia masih di rumah sakit?" tanya Raka kaget dan heran mendengar nama Tiara yang menjadi jawaban dari pertanyaannya.

"Sudah pulang sejak pagi tadi dan aku mau ke rumahnya sekarang."

"Ke rumahnya?"

"Iya, rumahnya di dalam sana. Kau tidak tahu?" kata Nadia sembari menunjuk ke arah gapura dan sontak Raka menoleh memandang ke arah ujung jari Nadia mengarah.

"Maksudmu di Puri Cempaka?" tanya Raka kaget dan heran karena sekali pun ia belum pernah mendengar soal di mana Tiara tinggal juga seperti apa keluarganya. Raka hanya tahu Tiara adalah sepupu dari sahabatnya dan Nadia, selebihnya ia tak tahu banyak soal wanita itu.

"Kau tidak tahu?"

"Tidak."

"Ya sudah, ikut saja, sekalian biar kau tahu rumahnya," kata Nadia dan tanpa menunggu jawaban Raka gadis itu tiba-tiba menyeretnya masuk ke Sedan merah yang terparkir tak jauh dari gapura.

Mobil yang ditumpangi Raka dan Nadia benar-benar mengarah ke kawasan perumahan Puri Cempaka. Bukan hanya masuk ke perumahan itu mobil yang sedang mereka tumpangi juga berhenti di salah satu rumah mewah yang ada di dalam sana. Sebuah rumah mewah yang pernah dilihat Raka muncul di TV saat awal pelantikan Pak Presiden dan kalau tidak salah rumah mewah itu adalah kediaman pribadi beliau. Kini, mobil yang ditumpanginya bersama Nadia melaju pelan memasuki rumah dengan pagar tinggi yang dijaga beberapa pria bertubuh jangkung.

"Ayo, turun!" kata Nadia sembari berdiri di samping pintu dan menunggu Raka yang masih diam di mobil.

"Ini rumahnya?" tanya Raka sembari keluar dari mobil dan menatap heran rumah mewah yang ada di hadapannya itu. Raka bukan heran karena mengetahui kemewahan dari tempat tinggal Tiara, tapi dia heran kenapa Tiara bisa tinggal di kediaman pribadi Pak Presiden.

"Menurutmu apa tidak apa-apa kau mengajakku kemari?" tanya Raka yang entah kenapa ia agak khawatir memikirkan reaksi Tiara jika melihatnya datang dengan Nadia. Bagaimana pun ia datang bukan karena gadis itu mengundangnya, tapi Nadia yang mengajaknya.

"Maksudmu apa?"

"Aku datang bukan atas undangannya, jadi–"

"Udah, enggak usah banyak tanya. Ayo, masuk!" Nadia sama sekali tidak menjawab dan justru malah menarik lengan Raka semakin kuat hingga Raka nyaris terjatuh di depan pintu hingga membuat seorang pelayan menoleh ke arahnya. Pelayan itu berusia paruh baya dan sedang membawa nampan berisi gelas di tangannya.

"Kenapa baru datang? Kau tahu berapa lama aku menunggumu? Jangan bilang macet!" Suara Tiara terdengar dari balik tirai pembatas yang ada di tengah ruang tamu rumah mewah itu dan mendengarnya jantung Raka berdebar kencang seakan mau meledak. Raka benar-benar tak mengerti ada apa dengannya. Kenapa hanya dengan mendengar suara Tiara jantungnya sudah berdebar sekencang itu?

"Tapi beneran aku tadi kejebak macet dan juga terjebak oleh keberadaan seseorang."

"Seseorang? Siapa maksudmu?"

"Raka, tadi aku menemukannya sedang berdiri di dekat gapura," jawab Nadia asal.

"Menemukan siapa?" Tiara tiba-tiba berjalan keluar dari tirai itu dan menghampiri Nadia yang masih berusaha keras menyeret Raka masuk.

"Raka?"

***

"Aku yang menemukan dia di depan gapura, jadi sekalian saja kubawa kemari," jawab Nadia dan mendengarnya Tiara hanya terdiam, tapi sorot mata wanita itu terlihat bingung.

"Memangnya Raka itu barang? Menemukan, menemukan apa?" komentar Yudha yang tiba-tiba muncul dan entah dari mana.

"Tidak apa-apa, kan, aku mengajaknya?" tanya Nadia saat tak mendengar jawaban apa pun dari Tiara.

"Tidak apa-apa," jawab Tiara santai sembari berdiri menghampiri Raka yang baru saja terbebas dari cengkeraman tangan Nadia yang dari tadi memegang tangannya seperti rantai.

"Kau pasti terkejut melihat dia membawamu kemari," kata Tiara mengomentari ekspresi wajah Raka yang terlihat begitu kaku.

"Terkejut?"

"Iya, kelihatan sekali dari wajahmu."

"Wajahku kenapa?" tanya Raka bingung mendengar komentar Tiara yang seolah wanita itu bisa membaca ekspresinya.

"Kau tipe pria yang tidak bisa menyembunyikan perasaan, jadi mudah saja menebaknya," jelas Tiara yang sejak awal ia sudah tahu pria seperti apa Raka, dia bukan hanya pria berwajah tampan yang mampu menjerat banyak hati wanita, tapi dia juga pria dengan kelemahan fatal yang tak bisa menutupi perasaan. Sejak awal Tiara sudah tahu itu hanya saja ia tak pernah benar-benar ingin membongkarnya di hadapan Raka, tapi kali ini entah kenapa ia sedikit tidak tahan.

"Sudah-sudah. Ngobrolnya nanti saja, sekarang biarkan Raka duduk dulu, kelihatannya dia kelelahan," kata Nadia menyela pembicaraan Tiara dan Raka yang hanya diam mendengar ocehan sepupunya.

"Silakan duduk, aku sedang mengadakan jamuan makan siang sambil membicarakan persiapan fashion show."

"Apa ada masalah?" tanya Raka sembari duduk di sofa berjajar dengan para asisten dan staf Tiara.

"Tidak ada."

"Kau sudah baikan?" tanya Raka menatap Tiara yang meski sudah terlihat sehat, tapi masih tampak pucat.

"Tenang saja, aku sudah baikan."

"Eh, tunggu! Ada yang aneh di sini," kata Tiara memperhatikan Nadia yang tak lagi bersikap dingin dan galak pada Raka, padahal awal mereka dipertemukan dia bahkan tidak sudih dipasangkan dengannya. "Kau sudah baikan dengan Raka?"

"Siapa juga yang berantem!"

"Bukannya sejak awal kau yang menolak dipasangkan dengannya dalam proyekku? Kok sekarang sikapmu baik sama Raka?"

"Udah, ah! Enggak usah dibahas, ribet!"

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 137K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
3.1M 153K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
619K 27K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...