Gerimis

By anarindamusthofia

7.8K 159 0

Mutiara Suroso lahir dari keluarga politisi tapi meski demikian tak lantas membuat hidupnya bahagia. Sejak sa... More

Prolog
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Biodata Penulis
Segera Terbit

Bagian 1

847 14 0
By anarindamusthofia

Terletak di pusat ibu kota, gedung berlantai 12 itu tampak megah dengan warna keemasan pada pilar-pilar di bagian depannya. Gaya Eropa berpadu Jawa pada atapnya yang berbentuk menyerupai rumah joglo membuat bangunan mewah milik perusahaan mode ternama itu terlihat berbeda dari kebanyakan gedung perkantoran di sekitarnya. Deretan kendaraan bermotor tampak terparkir rapi di sisi kiri bangunan, satu di antaranya sebuah Sedan merah terang.

Mutiara Suroso, gadis muda berusia 20 tahun itu terlihat keluar dari Sedan merah itu sembari menenteng tas tangan berwarna serupa. Rambut panjang terurai dengan busana pink dan sepasang highheels berwarna gelap menghiasi penampilannya. Beberapa pasang mata menatap ke arahnya, termasuk dua pria dengan setelah jas formal yang baru memasuki lobi. Senyuman manis tersungging di bibir gadis muda itu untuk membalas sapaan para karyawan yang menegurnya.

Sebagai seorang desainer, gadis yang biasa disapa Tiara itu sebenarnya memiliki latar belakang keluarga yang cukup mengagumkan. Ayahnya seorang presiden dan beberapa pamannya duduk di singasana politik di republik ini. Bisa dikatakan Tiara adalah cucu keluarga politisi, tapi justru mengambil jalur karier di luar politik. Ia lebih tertarik dengan dunia fashion dan terjun dalam pertarungan bisnis daripada mengikuti persaingan politik yang kadang menurutnya tidak sehat, baik untuk fisik, akal, atau bahkan jiwa. Ia sering melihat beberapa orang tampak gila demi mengejar posisi.

"Lama tidak bertemu." Seorang pria berambut cokelat dengan mata biru menyapa Tiara saat memasuki lift yang akan membawanya ke lantai 23, tempat ruangannya berada. Tiara menatap pria itu dari ujung rambut hingga kaki, mencoba mengenali siapa gerangan, tapi sayangnya ia tak ingat pernah mengenalnya.

"Siapa kau?" tanya Tiara pada pria itu yang untuk seseorang dengan mata dan rambut seperti bule bahasa Indonesianya terbilang sangat lancar.

"Kau tidak ingat aku? Aku Demitri Makkawaru, kita pernah bertemu di ajang Paris Fashion Week. Kau tidak ingat?" kata pria itu dan seketika Tiara teringat sosok pria yang dikenalnya saat ia menghadiri acara Paris Fashion Week empat tahun lalu.

"Demi?" kata Tiara saat akhirnya mengenali pria itu yang empat tahun lalu tampil dalam ajang Paris Fashion Week.

Demi adalah putra dari salah satu desainer di acara tersebut dan tidak seperti ibundanya, dia lebih tertarik menjadi model daripada menggeluti dunia fashion sebagai desainer.

"Lama tidak bertemu. Kelihatannya kau sangat sibuk, aku membaca beberapa liputan tentangmu."

"Kapan kau datang?"

"Belum lama, dua jam lalu."

"Lalu, sedang apa kau di sini?"

"Mengunjungi Daniel. Kebetulan aku ada pekerjaan di Jakarta, jadi sekalian mampir untuk mengunjunginya."

"Oh ya, aku hampir lupa kalau kau itu adalah adik lelaki Daniel," kata Tiara yang jujur saja ia masih tak percaya kalau pria itu masih memiliki hubungan darah dengan Daniel, salah satu asistennya. Meskipun Demi dan Daniel bukan saudara satu ibu, tapi keduanya dari ayah yang sama, seperti Tiara dengan kakak tertuanya.

Sebenarnya Tiara sendiri sudah lama tahu soal model berdarah Rusia-Bugis itu saat masih di Paris, tapi baru bertemu langsung saat acara Paris Fashion Week ketika Daniel yang memperkenalkan adik lelakinya itu. Namun, demikian karena muncul dengan penampilan berbeda ia jadi tidak begitu mengenalinya.

Ayah Demi adalah seorang pria Indonesia berdarah Jawa-Bugis dan karenanya meski rambut serta matanya seperti orang Eropa, tapi wajahnya sangat kental ciri khas orang Bugis dengan alis tebal dan wajah bulat meski warna kulitnya cukup umum untuk seseorang berdarah Melayu, kuning langsat. Tidak seperti Daniel yang lebih dominan berciri khas Eropa hingga wajahnya, satu-satunya yang berciri Bugis hanya alis tebal Daniel.

"Aku duluan. Jika kau ada waktu, bergabunglah bersama kami nanti siang. Aku berencana menculik asistenmu," kata Demi saat tiba di lantai 23 dan kala mendengarnya Tiara pun tertawa.

Demi memang sangat berbeda dengan Daniel yang sangat kaku, dia orang yang sangat ramah dan pandai membuat lelucon hingga tak heran banyak orang menyukainya, sementara Daniel kebanyakan orang takut padanya.

"Apa daftar modelnya sudah dikirim?" tanya Tiara saat tiba di dekat pintu ruangannya di mana seorang wanita sedang duduk di sana, wanita itu adalah sekretaris pribadinya.

"Sudah, Bu, saya letakkan di meja."

"Oke," kata Tiara sambil mendorong pintu ruangannya dan mulai membuka amplop besar di mejanya yang berisi foto para model dengan berbagai pose. Salah satunya seorang model bermata tajam dengan kulit cerah, alis yang menyerupai bulan sabit dengan lesung pipi yang sangat manis, Raka Mahardika. Senyuman langsung tersungging di wajah Tiara saat mengenali model itu yang ia tahu persisi siapa orang yang telah menyusupkan foto Raka Mahardika di antara foto para model ini, dan pastinya bukan Daniel.

Suara ketukan pintu terdengar dan saat itu pintu ruangan sudah terbuka, bahkan sebelum ia mempersilakan. Pria itu adalah Daniel Makkawaru, asisten pribadinya, sekaligus teman lama Tiara. Tidak seperti bawahannya yang lain, Daniel memiliki hubungan pribadi yang cukup dekat dengan Tiara. Sejak masih tinggal di Paris ia sudah berteman dengan Daniel hingga saat pertama kali membuka bisnis perusahaan fashion-nya sosok Daniel yang pertama kali diajaknya bergabung di perusahaan, setelahnya barulah beberapa teman Tiara dan sebagian besar teman-temannya di Paris karena sejak lulus SMA bisa dikatakan Tiara jarang berada di Indonesia dan lebih banyak menghabiskan waktu di Paris, entah itu untuk belajar atau merintis usahanya. Karenanya di antara para bawahannya Daniel salah satu yang tidak memanggilnya dengan sebutan 'Bu', tapi langsung nama karena di antara mereka tak pernah ada sikap formal satu sama lain meski mereka tetap bekerja secara profesional.

"Sudah di situ kenapa tidak kemari?"

"Aku ingin bersikap sedikit sopan padamu, tapi kurasa gagal, tanganku sudah lebih dulu mendorong pintu sebelum aku mengetuknya," kata Daniel sambil tersenyum seraya berjalan menghampiri Tiara.

"Kenapa kau harus melakukannya?"

"Ada yang mengkritikku dan mengatakan aku bawahan paling lancang."

"Siapa yang berani melakukannya?"

"Salah satu klien. Aku rasa dia tak terlalu menyukaiku."

"Abaikan saja. Kalau dia membuatmu dalam masalah, biar aku yang mengurus."

"Tidak, kurasa dia hanya menuangkan isi pikirannya. Bukan masalah besar."

"Baguslah kalau kau menganggapnya begitu."

Selain asisten desainer, sosok Daniel adalah wakil presdir perusahaan, yang merupakan posisi yang terbilang cukup tinggi hingga jarang sekali orang yang berani menyinggungnya. Tapi klien yang baru-baru ini ditangani perusahaan bersikap sedikit berbeda hingga membuat Daniel agak tersinggung dengan sikapnya, meski begitu tetap saja ia tidak terlalu memikirkan masalah itu dengan serius karena toh seperti apa pun sikapnya, hasil kerjanyalah yang lebih diutamakan. Klien itu pun juga akan sangat menyesal jika menyudahi kontrak kerja sama hanya karena tidak menyukai Daniel yang bukan pertama kali seseorang tak menyukai sikapnya lantaran menganggap lancang caranya memanggil Tiara.

"Itu para model yang akan tampil di ajang fashion show nanti?"

"Iya, dan aku ingin pria ini sebagai pendamping model utama. Minta bawahanmu untuk menghubunginya," kata Tiara seraya menyerahkan selembar foto pada Daniel yang seketika terdiam saat ia melihatnya.

"Raka Mahardika? Kau serius?" tanya Daniel sambil mengangkat foto itu dengan wajah kaget.

"Iya, dia akan mendampingi Nadia."

"Kenapa harus dia?" Nada bicara Daniel membuat Tiara bingung. Ia tak mengerti apa yang sudah membuat Daniel begitu terkejut sampai mempertanyakan alasannya memakai model itu. Padahal selama ini Daniel tak pernah mendebatnya apalagi sampai mempertanyakan alasannya. Dia selalu setuju dengan setiap pilihannya dan Tiara juga sangat jarang berbeda pendapat dengan Daniel karena selera mereka dalam memilih segala hal untuk urusan pekerjaan selalu sama.

"Kenapa?"

"Kenapa harus dia? Ada banyak model yang bisa kaupilih selain dia, tapi kau justru memilihnya padahal aku bahkan tidak pernah merekomendasikannya," kata Daniel yang telah merekomendasyikan beberapa model terbaik untuk mendampingi model utama, tapi Tiara malah memilih seseorang yang tidak termasuk dalam rekomendasinya dan entah bagaimana foto pemuda itu bisa ada di antara deretan foto para model padahal ia ingat betul tak pernah menyerahkan foto pemuda tersebut pada anak buahnya.

"Dia model yang bagus. Jadi, apa masalahnya?"

"Tapi Raka Mahardika tidak punya image yang bagus."

"Maksudmu?"

"Dia mantan model dari Sun Agency yang empat tahun lalu kontraknya tidak lagi diperpanjang karena skandal memalukan yang dibuat ibunya dengan seorang pejabat dan sejak saat itu tak ada satu pun perusahaan yang mau memakainya, kecuali perusahaan kecil."

"Ekspresi wajahnya aku suka dan kehidupan pribadinya aku tak ada urusan," sahut Tiara.

"Tapi–"

"Apa pun yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya aku tak peduli. Aku sedang mencari model, bukan pacar atau calon suami."

"Meski begitu–"

"Laksanakan atau aku akan memintamu sebagai gantinya!"

"Apa?" Nada suara Daniel tiba-tiba meninggi.

"Kalau bukan dia maka kau yang akan menjadi penggantinya," ancam Tiara dan saat mendengarnya Daniel hanya terdiam. Ia piawai dalam berbagai urusan, tapi tidak dengan menjadi model. Kepercayaan dirinya hanya untuk mengurusi event perusahaan atau menjadi asisten Tiara, tapi bukan sebagai model, apalagi sampai memunculkannya di ajang fashion show sebesar itu. Ia telah lama mengenal Tiara hingga ia cukup tahu kapan Tiara hanya sekadar bercanda atau kapan dia sedang serius. Kali ini dia benar-benar serius dan Daniel sama sekali tak bisa melawannya.

"Baiklah, aku akan menghubunginya," kata Daniel dengan suara lemah.

"Aku tunggu kabar baiknya."

"Baiklah," kata Daniel sembari berlalu dengan perasaan kesal, tapi tak berdaya karena berdebat dalam situasi seperti ini percuma, apalagi ia tak pernah menang jika harus berdebat dengan Tiara.

***

Sementara itu, tidak jauh dari kantor Akira Mode seorang pemuda terlihat memasuki sebuah café kecil berlantai dua, Raka Mahardika namanya. Dia berjalan memasuki café dan seorang pelayan menyambutnya dengan ramah. Sayangnya Raka sedang tidak berselera membalas senyuman pelayan itu dan tetap memasang wajah muramnya sembari berlalu menuju lantai dua cafe yang berada di dekat meja kasir.

Ada yang sedang menganggu suasana hati pemuda berusia 23 tahun itu. Perasaannya tengah dilanda gelisah dan pikirannya juga tengah frustrasi menghadapi hidup yang demikian keji terhadapnya. Bukan saja karena skandal sang ibunda yang empat tahun lalu membuat ayah dan ibunya berpisah, tapi juga penghentian kontraknya dengan sebuah perusahaan agensi model dari Korea Selatan hanya karena perbuatan ibundanya. Ia benar-benar tak mengerti setelah semua yang telah terjadi dan menimpanya, kenapa ia harus kembali menghadapi masa-masa sulit ketika dirinya tidak lagi dipercaya untuk menjadi model oleh perusahaan-perusahaan besar yang dulu memuji-muji dirinya, bahkan menyebutnya ikon dunia mode? Kini, jangankan menyebutnya sebagai ikon dunia mode, mereka bahkan tak mau lagi memajang fotonya dalam iklan dan akhirnya membuat ia harus kembali ke Indonesia karena sudah tak ada lagi kesempatan baginya berkarier di Korea Selatan.

Raka tak tahu harus berbuat apa, semua penghasilan besarnya yang dulu didapat ketika bekerja sebagai model di Sun Agensi sudah hampir habis, ia bahkan telah menjual mobil dan rumah mewahnya demi menutupi kebutuhan hidup serta membiayai kuliahnya yang cukup mahal selama di Seoul. Namun, apa yang terjadi begitu gelar sarjana diperolehnya dan ia kembali ke Jakarta? Bukannya mendapatkan kembali pekerjaannya, ia malah nyaris menjadi pengangguran. Jika saja bukan karena dirinya masih dipercaya beberapa perusahaan kecil di Jakarta untuk menjadi model mereka mungkin sekarang ia benar-benar akan menjadi pengangguran.

"Selamat siang, Anda mau pesan apa?" tegur seorang pelayan sembari menyodorkan daftar menu ke hadapannya.

"Hot chocolate," kata Raka tanpa melihat daftar menu.

"Ada lagi?"

"Tidak, itu saja," jawab Raka singkat dan dengan senyum ramah pelayan itu berlalu pergi.

"Ini masih pagi untuk menghabiskan waktu seorang diri." Suara pria bernada ceria menyentak Raka yang sontak mengangkat wajahnya. Tepat di hadapannya seorang pemuda duduk menatapnya.

"Adit?" kata Raka kaget melihat sahabatnya itu muncul.

"Tidak ada masalah di rumah, kan?"

"Tidak."

"Kenapa pergi ke tempat ini? Kopi di sini sama sekali tidak enak."

"Tapi aku suka cokelat buatan mereka."

"Ini pesanan Anda." Seorang pelayan datang membawa pesanan Raka dan melihat hot chocolate yang dibawa pelayan itu Adit sontak menatap Raka.

"Terima kasih," kata Raka mengabaikan tatapan Adit.

"Anda mau pesan sesuatu, Tuan?" tanya pelayan itu kepada Adit.

"Teh hangat saja."

"Baik, mohon ditunggu," kata si pelayan sembari berlalu.

"Kau sedang stres?" tanya Adit tiba-tiba dan tentu saja tak perlu ditanya bagaimana dia bisa tahu karena selama ini ia selalu tahu kebiasaan Raka yang selalu meminum hot chocolate setiap kali stres, bukannya merokok. Raka memang memiliki gaya hidup yang sehat dibandingkan Adit yang lebih senang menggunakan rokok untuk mengusir stresnya daripada hot chocolate.

Tiba-tiba suara ponsel Raka berdering, menyelamatkannya dari keharusan menjawab pertanyaan Adit.

"Halo," jawab Raka dan suara wanita membalas sapaannya.

Raka terdiam sejenak dan memikirkan siapa gerangan si penelepon, tapi ia tak bisa mengingatnya. Akhirnya, Raka menjauhkan sebentar ponselnya untuk menatap sejenak nomor yang tertera di layar dan Raka tidak mengenal nomor itu. Sepertinya ia bahkan tak ingat pernah mendapat telepon dari nomor itu, apalagi suara wanita yang berbicara padanya terdengar asing dengan logat Sunda yang demikian kental.

"Maaf, siapa ini?" tanya Raka saat kembali menempelkan ponsel di telinga kanannya.

"Saya Bela dari Akira Mode."

"Akira Mode?" tanya Raka bingung sekaligus heran karena seingatnya ia tak pernah bekerjasama dengan perusahaan besar itu meski pun ia kenal fotografer perusahaan itu yang kini sedang duduk di hadapannya. Mendengar nama perusahaan itu ia refleks menatap Adit yang sedang duduk memandanginya.

"Saya Bela, atasan saya meminta saya menghubungi Anda."

"Anda tahu nomor ponsel saya dari siapa?"

"Kami mendapatkannya dari Sun Agensi," jawab si penelepon dan mendengar nama perusahaan tempat Raka sempat menjadi modelnya benar-benar membuatnya kaget. Ia bahkan sudah tak pernah berhubungan dengan siapa pun dari perusahaan agensi asal Korea Selatan itu.

"Saya sudah bukan lagi model mereka."

"Saya tahu, saya hanya meminta nomor ponsel Anda pada mereka."

"Untuk apa?"

"Atasan saya ingin meminta Anda sebagai model di perusahaannya untuk fashion show pertengahan tahun nanti."

Bukan hanya memadangi Adit, Raka bahkan melotot ke arahnya yang tampak kaget.

"Apa?" Raka benar-benar tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sebuah perusahaan besar sekelas Akira Mode sedang memintanya sebagai model dalam acara fashion show mereka yang bahkan Sun Agensi saja membuangnya. Raka benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi dan bagaimana mungkin mereka memilihnya padahal ia punya reputasi buruk.

"Apa Anda bersedia?" Suara si penelepon menyentak Raka yang masih sibuk dengan pikirannya.

"Apa Anda tidak salah orang?"

"Jika Anda Raka Mahardika berarti saya tidak salah orang."

"Iya, saya Raka Mahardika."

"Kalau begitu saya tidak salah orang. Besok siang jam satu datanglah ke kantor kami, temui Ibu Tiara di aula delapan lantai dua belas. Mohon datang tepat waktu."

"Besok siang?"

"Iya, besok semua model yang akan terlibat dalam fashion show akan berkumpul, jadi Anda juga harus datang."

"Oke."

"Lokasi kantor kami ..."

"Saya tahu," potong Raka sembari memandang ke arah gedung tinggi di seberang jalan dan ini untuk ke sekian kalinya ia memandangi gedung berlantai 24 itu. Hanya saja ia tak mengira akan datang ke gedung itu untuk menjadi salah satu model mereka. Raka bahkan masih tak yakin ia benar-benar diminta menjadi model perusahaan besar itu.

"Baiklah, sampai bertemu besok," kata si penelepon mengakhiri pembicaraan.

"Dari siapa?" tanya Adit saat melihat Raka mendadak diam sambil meletakkan ponselnya di atas meja. Mendengar pertanyaan sahabatnya itu Raka langsung menegakkan tubuh dan menatap Adit dengan wajah serius.

"Apa kau yang meminta mereka?" tanya Raka karena ia tak bisa menduga siapa pun lagi karena Adit selalu membantu setiap kesulitannya. Seperti ketika Sun Agensi mengakhiri kontraknya, Aditlah yang membantunya untuk mendapatkan beberapa job pemotretan meskipun tak banyak perusahaan yang bersedia. Hanya segelintir perusahaan kecil yang sedang butuh popularitas saja yang bersedia, tapi tidak banyak. Kini, saat ia kembali mendapat tawaran dari perusahaan besar tak ada orang lain yang bisa dipikirkannya terlibat dalam hal ini selain Adit.

"Aku tidak mengerti maksudmu," kata Adit yang malah memasang wajah polos seolah tak tahu apa-apa padahal Raka merasa sahabatnya itu tahu apa maksudnya.

"Kau tidak dengar? Baru saja Akira Mode meneleponku," kata Raka berusaha menjelaskan meski ia yakin sahabatnya itu sudah mengerti.

"Iya, aku memang mengajukanmu, tapi hanya sebatas itu," kata Adit akhirnya mengaku.

"Kau ...."

"Perusahaan itu milik sepupuku, tapi dia bukan orang yang bisa dipengaruhi oleh alasan pribadi. Kalau dia memilihmu artinya dia benar-benar ingin memilihmu, bukan atas permintaanku. Aku bukan orang yang bisa mempengaruhi keputusannya,"

"Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi terima kasih karena sekali lagi kau membantuku."

"Hanya sedikit. Selama ini sebagai sahabat aku tak banyak membantumu."

"Tidak, kau sudah banyak membantuku, terima kasih."

"Sama-sama."

"Besok biar aku yang mengantarmu, sekalian aku ada urusan di kantor."

***

www.istanakatatintaemas.my.id

Instagram II @istanakatatintaemas

Facebook II@ istanakatatintaemas

#novel #novelcinta #novelromansa #paragrafcinta #catatanhati #aksara #literasi #sastra #seni #cerita #sastradanseni #cinta #hati #baper #karyaanakbangsa #ceritacinta #romansa #ceritakeluarga #ceritakeluarga #novelmetro #istanakatatintaemas #penulisindie #penulis #penulisprosa #galau #suarahati

Note :

Joglo : Rumah adat Jawa

Continue Reading

You'll Also Like

17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.9M 303K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
375K 1.5K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
385K 21.6K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...