Aim for Aimee

By nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... More

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - โค
16 - ๐Ÿ’”
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

24 - Bicara pada Hati dengan Hati

133 14 0
By nellieneiyra


Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Pun sebaliknya.
Hal itu rupanya benar dan sedang dirasakan oleh Gasta saat itu. Dokter bilang kondisi tubuhnya membaik belakangan ini, namun semenjak insiden Aimee tiba-tiba muncul di kamarnya kemarin, dia mengalami penurunan drastis.

Jiwa Gasta sedang terguncang. Rapuh, lemah, dan terkulai. Berimbaslah pada fisiknya. Daya tahan tubuhnya ikut melemah akibat depresi berlebih. Frekuensi pendarahannya meningkat. Malam ini saja sudah dua kali dia harus ganti pakaian karena terkena darah yang mengucur dari hidung maupun mulutnya seperti beberapa waktu lalu. Feliz ikut cemas. Gasta sempat jatuh tak sadarkan diri berulang kali. Kondisi tubuhnya kali itu benar-benar drop sedrop-dropnya.

Jangankan mengobrol, berbicara saja Gasta tak kuasa. Yang keluar dari bibirnya hanyalah erangan kesakitan atau desahan panjang yang tidak jelas artikulasinya. Ini membuat Feliz ingin berteriak putus asa dan menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak, dia sendiri bingung adiknya itu maunya apa.

Sekitar pukul 10, setelah mengganti piyama Gasta untuk yang kedua kalinya, seorang dokter masuk bersama seorang perawat, untuk memeriksa kondisi Gasta saat itu. Dokter bilang Gasta sedang stres, padahal sebisa mungkin dia tidak boleh merasa tertekan agar kondisi fisiknya cepat pulih. Feliz mencari cara agar bisa memotivasi Gasta. Dia memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan adiknya itu.

Setelah dokter memberi Gasta obat, dia tertidur pulas. Feliz lega. Sepeninggal si dokter dan si perawat, Feliz memulai bicaranya dengan Gasta.

"Gas." panggilnya lembut, mengelus kepala adiknya. "Kedengeran gak?" Feliz diam sejenak. "Nggak mungkin ya. Hehe." jawabnya pada diri sendiri, merasa geli.

Mata Gasta masih terpejam. Napasnya lebih teratur dari sebelumnya. Feliz memandangi wajah adik satu-satunya itu. Seketika bibir Feliz melengkungkan senyum.

Gasta Bramastya.
Tiga belas tahun berlalu sejak perjumpaan pertama kalinya dia dengan anak laki-laki ini. Bukan, dia bukan lagi sekedar anak laki-laki. Dia seorang remaja sekarang. Sudah mengerti perasaan, cinta, maupun pacaran. Dan, tiga belas tahun lalu, mana ada terbersit di benak Feliz bahwa anak ini bakal bisa jadi semembanggakan sekarang?

Untuk kesekian kalinya dada Feliz terasa hangat saat menatap wajah Gasta yang bahkan saat terpejam pun masih memancarkan rasa kasih sayang.

Feliz yakin, ada ikatan batin yang kuat antara dirinya dan Gasta. Feliz terlalu mencintai Gasta. Begitu pula sebaliknya, meski sikap Gasta terkadang terkesan menyebalkan di mata Feliz. Feliz merasa Gasta-lah satu-satunya orang di dunia ini yang paling bisa mencintainya dengan ketulusan. Bukan mama ataupun papanya.
Karena itulah, diputuskannya untuk mencoba berbicara dengan Gasta meski adiknya itu sedang terlelap.
Terlihat nonsense memang, tapi hati Feliz yang ingin sekali melakukannya tak dapat mendustai.

"Gasta lagi sedih ya." lanjut Feliz. "Gara-gara Aimee kemaren, ya kan?"
Gasta tetap bergeming.
"Kakak cuma mau jujur sama Gasta." tutur Feliz. Dia sudah berencana untuk mengatakan yang sebenarnya. Soal semuanya. Karena Feliz sadar, beberapa waktu yang lalu dia sudah meminta - bahkan memohon - pada Gasta agar selalu jujur dan terbuka kepada dirinya. Jika dia sendiri tidak jujur pada Gasta, tidak semestinya pula dia menuntut Gasta untuk jujur padanya.

Kata-kata Feliz tertahan di ujung lidahnya. Kegamangan yang tiba-tiba menyapu batin, membuat Feliz ragu untuk berterus terang pada adiknya kali ini. Namun dikibaskanlah tangannya di depan wajahnya, hingga akhirnya dia cukup yakin untuk melanjutkan kata-katanya.

"Kakak cuma mau jujur, kalo... tebakan kamu yang kemaren itu benar." sambung Feliz. Gasta masih terdiam di ranjangnya. "Gasta benar... Kakak emang tau dari Aimee." ungkap Feliz diiringi napas yang memburu. “Tau semuanya…” lanjut Feliz lirih.

Giliran Feliz yang diselimuti gelisah. Tapi ini yang harus dilakukannya. Menetralkan kembali keadaan antara Gasta, Aimee, dan dirinya nanti. Kembali normal. Feliz harus menemukan cara agar Gasta tidak marah pada Aimee, dan agar Aimee tidak marah padanya, setelah peristiwa pengaduan-pengaduan tersebut.

"Gasta nggak perlu takut... Nggak usah marah. Terutama ke Aimee. Aimee itu sebenernya tujuannya baik, Gas. Bukan pingin jatuhin kamu di mata Kakak."

Suasana kamar semakin terasa hening. Feliz bahkan bisa mendengar bunyi tetesan air yang menetes dari kran kamar mandi Gasta.

"Aimee itu care ama Gasta. Aimee nggak mau Gasta disakiti lagi ke depannya. Terutama ama mereka yang pernah nyakitin Gasta." lanjut Feliz, membelai punggung tangan Gasta dengan lembut.

"Kakak baru sadar, kakak nggak seharusnya nyerocosin kamu kayak kemarin. Tapi Kakak khawatir, Gas, khawatir banget ama keadaan kamu." Feliz meremas jemari Gasta. "Kakak juga nggak seharusnya bocorin kalo sebenernya Aimee yang ngasih tau Kakak soal Gasta dipukulin itu. Nggak seharusnya kakak gitu."

"Kakak nyesel Gas. Maafin Kakak ya?" sesal Feliz tulus. "Kakak tuh sayang banget ama Gasta."

Ikatan batin itu ada. Feliz yakin sekali, sehingga dia berharap adiknya itu bisa mendengar permohonan maafnya barusan.

"Gas? Gasta denger gak sih? Hehe. Nggak kan ya? Udah. Gasta nggak perlu marah. Nggak perlu sedih. Aimee itu peduli ama Gasta. Aimee cuma nggak mau Gasta kenapa-kenapa lagi."

Dibelainya sekali lagi rambut adiknya yang masih terlelap itu, lalu dikecupnya keningnya perlahan.

Feliz beranjak ke sofa panjang di ruangan itu. Dia sudah sangat mengantuk, meski sebenarnya dia ingin sekali untuk tetap terjaga karena bisa saja adiknya itu tiba-tiba tersentak bangun karena nyeri perut atau batuk. Tapi sepertinya rasa kantuknya lebih minta diperjuangkan. Maka tidur adalah pilihan yang tepat.

Sementara itu, yang tidak Feliz ketahui, diam-diam daritadi Gasta mendengar semua ucapan Feliz. Ya, semua. Dari awal hingga akhir. Meski matanya terpejam, kondisi Gasta sadar 100%.

Aimee.

Gasta tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di benak Aimee tentangnya. Mengapa dia begitu peduli padanya? Meski hatinya hancur, Gasta mulai menyadari satu hal: ada sesuatu dalam diri Aimee yang berbeda terhadap dirinya. Entah apa, yang pasti ada.

Gasta mendengar dengan jelas semua perkataan Feliz dan daritadi airmatanya sudah ditahannya agar tidak meluap di depan mata kakaknya. Kini, menyadari bahwa kakaknya sudah menjauh darinya, ditumpahkanlah semua keharuan itu tadi. Gasta menangis dengan mata terpejam dan bibir mengatup. Begitu deras airmatanya, menggelinding cepat di pipinya yang halus. Batinnya dipenuhi rasa haru dan kehangatan yang terasa mengalir lembut.

Kakak, dulu kukira cinta terbesarku pada manusia adalah pada Aimee. Tapi, ternyata, cintaku pada Kakak, lebih dari yang terbesar.

***

"Makan yuk."
Gasta menggeleng.
"Udah dateng tuh sarapannya." Feliz menunjuk makanan di meja. Tetap saja Gasta menggeleng.
"Sayurnya kakak yang makan deh, Gasta nasi ama lauknya aja." bujuk Feliz.
"Nggak..." sahut Gasta lirih.
"Makan dong, Gas... Dari kemarin kan kamu belum makan."
"Aku nggak laper, Kak."
"Dikiiiiit aja."
Gasta mendengus kesal. Dipalingkannya wajahnya ke arah lain. Feliz jadi pusing.
"Gasta masih marah ama Kakak?" pancing Feliz, melipat kedua tangannya di depan dada. Gasta menimpali dengan gelengan.
"Terus?"
"Aku nggak marah kok ama Kakak."
"Lantas?"
"Lantas apanya?"
"Kok Gasta diem mulu ke Kakak?"
Gasta kembali diam.
"Tuh, diem kan."
Gasta menghembuskan napas kuat-kuat. Masih dalam kerisauan mendalam akibat ucapan Aimee kemarin.

Benarkah Aimee telah memutuskan Deon demi dirinya? Pertanyaan itu terus berputar di dalam kepala Gasta.

Gasta tentu saja tidak akan bilang ke Feliz bahwa semalam sebenarnya dia mendengar ucapan Feliz. Gengsi, lah. Lagian kasihan juga Feliz kalau dia tahu dia tertangkap basah berbicara sedrama itu semalam. Gasta akan merahasiakannya dari siapapun.

"Jadi....?" kembali Feliz memancing.
"Apanya?"
"Kakak boleh ngomong nggak?"
"Soal?"
"Banyak. Tapi Gasta jawab ya."
"Tergantung."
"Tergantung apanya?"
"Pertanyannya lah."
Feliz jadi gedek. Mendengus kesal, dia memutar bola matanya ke arah lain.

"Oke!" seru Feliz, memulai.
"First."
"Hm?"
"Aimee kemarin kenapa?"
"Males kalo bahas Aimee."
"Gasta." tegur Feliz. "Dia marah sebegitunya. Kamu apain dia?"
"Kakak nggak perlu tau."
"Perlu, lah!" sanggah Feliz.
"Buat apa?"
"Ya kan Aimee murid Kakak, ketua club yang dihandle ama Kakak. Kalo Aimee ada apa-apa ama kamu, terus dia jadi ikutan ada apa-apa ama Kakak, kan jadinya ngeganggu jalannya club itu nantinya!" Feliz berargumen.
"Aimee nggak akan gitu. Aimee profesional."
"Who knows, ya kan?"
"Nggak mungkin."
Feliz lagi-lagi mendengus kesal.
"Sekenal apa sih kamu ama Aimee?"

Gasta melirik Feliz dengan sinis. Kalau sudah ngomongin yang beginian, pertanda Feliz bakal panjang lebar nyerocos sampai telinga Gasta panas.

"Nggak tau."
"Katanya deket. Katanya sayang. Mana?"
"Apa sih Kak!" Gasta berpaling memunggungi Feliz.
"Hei, lihat ke Kakak!" Feliz menarik tubuh Gasta. Wajah Gasta berubah masam.
"Kakak tanya sekarang. Kamu punya temen?"
"Punya lah."
"Maksud Kakak, temen yang bener-bener temen?"
"Temen, ya temen Kak, gimana sih!"
"Temen yang selalu ada buat kamu? Sahabat? Tempat kamu cerita apapun? Tempat kamu mempercayakan apapun ke dia? Temen yang ngerti semua aib dan kurangmu tapi masih mau jadiin kamu bagian hidupnya? Temen yang pasti cari tau keadaanmu pas kamu ga ada kabar?" sergah Feliz habis-habisan.

Gasta nampak merenung. Matanya kosong, menatap ujung kakinya yang menyembul di balik selimut rumah sakit. Setelah sekian detik, Gasta malah balik bertanya.
"Kalo kakak, punya gak?"
"Punya lah! Banyak! Temen jaman sekolah, ada. Temen kuliah, lebih banyak. Temen kerja, ada Miss Rahma, Miss Farina, Miss Era, Mister Sandi, Herr Bas. Banyak. Dan kamu kenal semua ama mereka kan? Karena apa? Karena mereka akrab ama Kakak! Mereka bener-bener temen Kakak. Sedangkan kamu? Kakak nggak pernah tuh, liat kamu punya sahabat yang bener-bener care sama kamu!" cecar Feliz geregetan dan panjang lebar.
"Aku ama Azhar akrab kok di kelas." dalih Gasta membela diri.
"Akrab karena sebangku. Kalo istirahat, mana pernah kalian ke kantin bareng? Keluar kelas bareng? Pernah kamu cerita soal isi hati kamu tentang Aimee ke dia? Dia aja nggak tau kalo kamu sayang ama Aimee, ya kan?"
Gasta terdiam.
"Emang dia tau, kamu sekarang lagi dimana dan sakit apa? Nggak kan? Karena apa? Karena kamu nggak pernah mau terbuka ama siapapun, Gas."
Gasta semakin menunduk.
"Tapi aku kan cerita ke Kakak kalo aku naksir Aimee!" Gasta terus membela diri.
"Kebangetan kalo kamu nggak sampe cerita. Dan yang Kakak tau hanya sebatas itu aja. Kakak nggak pernah tuh denger kamu curhat soal perkembangan kamu ama Aimee, atau ada sesuatu apa kamu dengan Aimee, atau apalah. You never told me about that." sahut Feliz.
"You never give 'em a chance to know you deeper. Kamu nggak pernah ngerasa kalo mereka itu juga pengen tau tentang kamu." lanjutnya.
"Ya karena aku ngerasa itu urusanku, Kak, dan mereka emang nggak perlu tau!" Gasta terus berkilah.
"Hey, look." Feliz menarik satu tangan Gasta. Yang ditarik jelas terkesiap. Tapi tak sedikitpun dia berani menatap Feliz.
"Semakin kamu tertutup sama orang, semakin orang itu nganggep kamu nggak penting, Gas." Feliz menegaskan.

Kini Feliz beranjak. Melangkah perlahan, ke arah meja tempat barang-barang. Lalu dia berdiri di sebelahnya, sambil memandangi Gasta yang masih termenung di atas ranjangnya.
Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, Feliz kembali berceloteh.
"Nggak semua orang itu suka bercerita. Contohnya kamu. Tapi, bukan berarti semua cerita harus disimpan sendiri. Terutama, suatu hal yang membahayakan."
"Aku nggak mau orang lain khawatir, Kak."
"Justru kalo kamu simpen, mereka malah khawatir, Gas! Udah berapa kali Kakak ngomong gitu ke kamu?" timpal Feliz, penuh emosi. Dadanya berdebar kencang. Sulit sekali berbicara serius dengan adiknya ini.
"Lihat sekarang. Mana ada kamu sahabat dekat?"
"Ada!"
"Siapa?"
"Banyak!"
"Hash! Udah lah Gas, nggak usah ngeyel kamu kalo Kakak bilangin." Feliz marah.
"Denger ya, Gas." Feliz mengacungkan telunjuknya di depan wajah Gasta. "Ini terakhir kali kamu bersikap tertutup. Setelah ini, nggak ada rahasia-rahasiaan, nggak ada sembunyi-sembunyian. Semuanya harus terbuka. Jujur-jujuran. Sampe ada yang kamu tutup-tutupi lagi, awas! Gak usah tinggal ama Kakak lagi. Tinggal aja sana ama Mama." ancam Feliz tidak main-main. Gasta hanya menunduk tanpa melihat ke arah Feliz. Feliz melangkah ke luar kamar.

"Maaf ya Kak." celetuk Gasta. Langkah Feliz kontan berhenti. Dia mendongak ke arah adiknya.
"Ha?"
"Iya. Maaf. Aku yang salah. Maafin aku ya?" ulang Gasta, memasang raut mengiba.
Feliz terpana. Rasa haru merambah di relung hatinya. This is how Gasta can be that sweet.
"Maafin karena?" pancing Feliz.
"Kelewat tertutup." sahut Gasta. "Aku selalu nyimpen sendiri masalah aku. Aku cuma nggak mau Kakak khawatir Kak. Itu aja."
Feliz menghampirinya, lalu menyandarkan kepala Gasta ke dekapannya. Dia membelainya sambil tersenyum.
"Hey." ujar Feliz. "Just tell me everything, okay?"
Gasta mengangguk dan mengurai senyum. Ah, keindahan itu nampak lagi.

"Jadi... Aimee..." Gasta memulai ceritanya.

Continue Reading

You'll Also Like

31.1K 577 36
หš ยท . "Welcome to FPE Oneshots!, feel free to make requests." โ•ฐโ”ˆโžค โœŽ ๐™๐™š๐™ฆ๐™ช๐™š๐™จ๐™ฉ๐™จ ๐™–๐™ง๐™š ๐™˜๐™ก๐™ค๐™จ...
5.2M 45.5K 54
Welcome to The Wattpad HQ Community Happenings story! We are so glad you're part of our global community. This is the place for readers and writers...
239K 1.3K 33
This is a mix of different animes that have smut in them