Aim for Aimee

nellieneiyra által

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... Több

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - ❤
16 - 💔
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

23 - Memenangkan Ego

140 14 5
nellieneiyra által

Feliz benar-benar tak mempercayai apa yang dilihatnya sekarang. Begitu pula dengan Gasta.

Di depan mereka, ada Aimee, masih dalam balutan seragam sekolah, memanggul tas di punggungnya, dan berdiri tak bergeming menatap Gasta tanpa kata.

"Mee?" cetus Feliz gugup.
"Maaf Miss... Saya tadi ngikutin Miss Feliz... Saya kira bukan Miss Feliz, tapi mirip, jadi saya ikutin aja..." aku Aimee tak kalah gugup.

Gasta masih diam saja. Menatap dalam-dalam Aimee dengan mulut setengah ternganga. Matanya membulat dan melebar perlahan, seakan apa yang dilihatnya kali itu tidak nyata.

Keduanya beradu tatap. Dikurung keheningan. Pandangan mereka saling menumbuk, dengan raut yang tidak menyangka-nyangka.

Gasta tenggelam dalam keterpanaan dan kedua biji mata Aimee. Aimee yang menyadari hal itu, kontan saja segera menyadarkannya.

"Gas? Kamu... Di sini juga?" cetusnya getir, berjalan ke arah Gasta.
Gasta tak menjawab. Wajahnya dipalingkan ke arah lain.
"Gas? Hei." Aimee menyentuh tangan kiri Gasta yang diinfus. Tak dinyana, Gasta menepisnya kasar.
"Keluar, Mee." usir Gasta dengan suara rendah, masih memalingkan wajahnya dari Aimee. Aimee menatap Gasta tak percaya.
"Kok? Kamu sakit apa? Sejak kap..."
"Keluar." sambar Gasta, datar, namun bersikukuh menyuruhnya pergi.
"Aku mau jenguk kamu sebenernya, tapi Miss Feliz bilang..."
"Aku bilang keluar ya keluar...!" bentak Gasta sinis. Tidak pernah Aimee, maupun Feliz melihat perilaku Gasta yang seperti itu.
"Gas, kok gitu sih." tegur Feliz yang sedari tadi hanya memandangi mereka berdua karena terlalu speechless melihat Aimee yang tiba-tiba masuk.
"Apa? Ini perbuatan Kakak lagi? Iya? Sekongkol lagi ama Aimee?" tukas Gasta penuh emosi.
"Ck." decak Feliz, berjalan menghampiri Gasta. "Kamu ngomong apa sih? Hah?"
"Sekongkol apa sih Gas?" tanya Aimee tidak mengerti. Gasta melengos, lalu menatap marah pada Aimee.
"Pura-pura bego segala. Udah lah." hardik Gasta.
Aimee benar-benar have no clue. Dia menggaruk-garuk lehernya bingung. "Aku bener-bener gak tau. Ada apa sih? Kamu sakit apa ini? Kenapa kamu gak ngabarin aku?" sergah Aimee panjang lebar.
"Buat apa aku ngabarin orang yang gak bisa dipegang omongannya." sahut Gasta, menyindir.
"Gas, please." Feliz menegurnya sekali lagi.
"Kamu... Kamu kenapa sih Gas? Kamu sakit apa?" suara Aimee bergetar menahan tangis.

Gasta, meski multitalenta, ada satu hal yang dia tidak ahli sama sekali: memasang wajah lempeng dan jahat. Pribadinya yang selalu sumringah, semangat, dan positif tidak bisa membuatnya terlihat kaku dan dingin. Selalu, meski sedikit, masih terpancar kehangatan di binar matanya bahkan ketika dia marah.

"Nggak penting aku sakit apa. Yang penting sekarang aku nggak mau liat kamu di sini, Mee. Kamu pergi. Pergi!"
"Aku nggak akan pergi sampe kamu cerita." ancam Aimee serius. Dia malah duduk di samping Gasta, di ranjangnya.
Gasta menyipitkan matanya, menatap Aimee kesal.
"Aku sahabat kamu, Gas. Cerita, lah." lanjutnya.
Gasta nyeri mendengar ucapan Aimee itu. Sahabat katanya?
"Sahabat ya." desis Gasta sinis. "Sahabat nggak akan ember, Mee. Nggak akan bocorin rahasia sahabatnya ke siapapun!" balas Gasta, penuh amarah.
Aimee terang saja bingung. "Rahasia apa sih?" Aimee celingukan. Menatap Feliz dengan tatapan 'jadi-Miss-Feliz-cerita-ke-Gasta'? Tatapan khawatir dan curiga.
Feliz menatapnya iba dan bingung pula. Dia hanya bungkam seribu bahasa.

Gasta yang asalnya bersandar, kini berusaha bangkit. Hatinya bahagia bisa melihat Aimee hari itu mengingat rindu yang ditahannya berhari-hari, namun sakit hatinya pada Aimee juga terlalu menyakitkan. Kini dia menatap Aimee lurus-lurus.
"Apa?" sahut Aimee.
"Aku kecewa sama kamu, Mee."
"Kenapa?"
Gasta menunduk, lalu mengerling ke arah kakaknya.
"Kakak keluar dulu bisa?" pintanya.
Feliz ingin menolak, namun tidak ingin memperkeruh suasana. Jadilah dia mengiyakan perintah Gasta dan langsung melenggang begitu saja ke luar ruangan tanpa bicara.

"Kenapa Gas?" lanjut Aimee.
"Aku nggak nyangka kamu bakal sengecewain ini."
"Gasta, stop." sela Aimee. "Please langsung aja ngomongnya. Aku kenapa? Kenapa kamu kecewa ama aku? Kenapa kamu marah ama aku? Kenapa kamu nggak..."
"Karena kamu cerita semuanya ke Kak Feliz Mee!!" jawab Gasta, dengan nada tinggi dan membentak, membuat Aimee terperanjat.
"Cerita... Apa?" sahut Aimee ketakutan.
"Cerita ini." Gasta mengangkat piyamanya dan menunjukkan luka lebam yang masih bersisa di perut kanannya. "Soal aku yang dipukuli mereka. Aku yang dianiaya mereka sampe aku nggak bisa bangun waktu itu. Aku kan udah ngelarang kamu Mee buat cerita ke siapapun. Kamu nggak inget? Apa nggak peduli?" cerocos Gasta masih diliputi amarah. Aimee tentu saja tercengang, menatap Gasta tak percaya bahwa dia bisa semarah itu.
"Enggak, Gas." kilahnya. "Aku nggak cerita, kok."
"Nggak mungkin." balas Gasta. "Kak Feliz emang nggak bilang kalo dia tau dari kamu. Tapi sapa lagi Mee yang bocorin kalo bukan kamu?"
"Bukan aku!" tandas Aimee, masih bertahan dengan dustanya. "Jadi kamu marah cuma gara-gara dugaan tanpa alasan ini? Cuma gara-gara kamu ngira aku ember, mulut aku bocor, terus cerita semuanya ke kakak kamu?"
Gasta memalingkan wajah ke arah lain dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

"Aku yang lebih pantes kecewa, Gas."
Gasta menarik napas panjang, karena tahu Aimee bakal bicara panjang soal ini.
"Sekarang aku tanya." ujar Aimee. "Kenapa kamu nggak bisa dihubungi akhir-akhir ini? Kenapa kamu nggak ada kabar sama sekali? Kamu pikir aku nggak khawatir apa?" cecar Aimee menahan tangis.
Gasta masih diam.
"Kamu sakit apa pun aku nggak tau sampe Miss Feliz masuk waktu itu dan bilang kamu cuma demam ama sakit perut. Tapi dalam waktu yang selama itu, aneh banget kan? Dan aku yakin, kamu pasti yang ngelarang Miss Feliz buat cerita ke siapa-siapa soal keadaanmu waktu itu."
Aimee menatap lantai. Gasta terhenyak mendengar betapa tepatnya ucapan Aimee.
"Aku yang harusnya kecewa ama kamu, Gas. Kecewa banget. Aku... Aku bukan marah ama kamu. Tapi aku... Aku kecewa. Kecewa itu lebih sakit daripada marah." lanjutnya dengan airmata yang mulai mengalir, tapi tanpa suara yang menunjukkan bahwa Aimee sedang menangis. Melihat itu, hati Gasta runtuh. Merasa bersalah karena terlalu kasar pada Aimee tadi.

"Aku kecewa karena ketertutupanmu, Gas. Ketidakjujuranmu. Kesan bahwa aku ini nggak penting dan nggak perlu tahu keadaan kamu. Karena bagi aku... Kamu itu penting buat aku."
Kali ini Gasta mendongak ke arahnya.

"Dan aku akhirnya nyadar... Kamu bukan sekadar temen deketku. Kamu... Lebih dari itu, Gas. Kamu berarti banget buat aku." tutur Aimee lirih, mungkin malu-malu.

"Aku memang pacar Deon. Aku suka dia. Aku cinta ama dia. Tapi, jujur aja." Aimee memotong kalimatnya. "Kehadiran kamu ada di atas Deon, Gas." lanjut Aimee, menatap kedua mata Gasta yang juga terperangah menatapnya.

"Setelah aku pikir-pikir... Status in relationship itu bukan patokan tertinggi untuk bahagia dan nyaman bersama seseorang. Tapi, hati yang terbuka, Gas... Sikap yang terbuka, terbuka untuk mendengarkan dan didengarkan. Dan aku, mendapatkan itu semua bukan dari Deon... Tapi dari kamu."

Sebutir airmata Gasta jatuh di depan Aimee untuk pertama kalinya.

"Makanya. Jujur aja. Dulu... Saat Deon nggak ada buat aku, kamu orang pertama yang muncul di benakku, Gas. Tapi sekarang... Kemarin-kemarin, Deon selalu ada buat aku, dan ternyata..." Aimee menangkupkan kedua tangannya ke wajahnya. "Aku malah pengen nyari kamu dan berharap kamu yang ada di sana..."

"Dari situ aku ngiranya dulu kamu itu tempat pelarianku, Gas. Karena aku ngerasa kalo kamu itu selalu ada buat aku. Tapi ternyata... Saat Deon sudah ada buat akupun, aku masih ngerasa butuh kamu..."

Gasta menunduk, menyembunyikan airmatanya, dan sesekali menyekanya.

"Jadi...?" akhirnya Gasta buka suara. Terdengar serak, namun dia tak peduli.

"Jadi... Aku rasa... Aku selama ini sayang sama kamu tanpa pernah aku sadari, Gas." pungkas Aimee, pelan, rendah, namun penuh kemantapan.

Gasta kembali menatap Aimee dengan tatapan paling tak percaya. Bagian bawah matanya menebal, menampakkan keterperanjatan dalam tingkatan yang tak terukur. Bibirnya mengatup kuat, dan tangannya meremas-remas selimut rumah sakit yang sejak tadi dimainkannya.

Kembali, keduanya membisu.
"Dan ternyata, kamu sekarang sakit. Sama kayak Deon. Deon juga di rumah sakit ini. Aku barusan jenguk dia tadi. Lagi-lagi, Deon nggak bisa selalu ada buat aku. Dan aku... Aku mau nyari kamu, Gas, tapi kamu nggak ada. Kamu hilang."
Gasta mulai takut.

"Kamu nggak ada kabar berhari-hari. Ternyata kamu di sini, sakit. Sakit yang bahkan aku nggak tau penyakitnya apa karena kamu emang nggak mau kasih tau. Kenapa sih Gas? Kenapa kamu begitu tertutup?" Aimee kembali menyerang Gasta dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun Gasta tak kunjung menjawab. Hatinya diliputi perasaan gelisah.
"Aku nggak mau bikin kamu khawatir, Mee." jawab Gasta seadanya, masih menutupi perasaan takutnya.
"Justru aku lebih khawatir kalo kamu nggak ada kabar gini, Gas." timpal Aimee serius.
"Dan kamu nggak perlu tau soal sakitku. Itu nggak penting Mee. Karena aku nggak berhak buat lapor-lapor ke kamu. Aku siapamu, ya kan?"
Aimee menggeleng samar dan menatap Gasta penuh marah.
"Siapamu?" ulang Aimee. Gasta tercekat.
"Sumpah ya Gas. Aku bener-bener nggak habis pikir sama jalan pikiran kamu." dengus Aimee, memandang Gasta tak percaya.
"Fine. Aku pergi." Aimee bangkit dari duduknya, bersiap meninggalkan ruangan. Gasta hendak menahannya karena lebih takut dengan amarah Aimee. "Tapi asal kamu tau." lanjutnya lagi. Kali ini dia sudah berdiri di samping Gasta.

"Aku udah bela-belain putusin Deon demi kamu karena aku nggak mau ngebebanin Deon dengan aku yang selalu mikirin kamu. Dan kamu ternyata kayak gini. Makasih, Gas. Makasih buat semuanya." pungkas Aimee sarkas. Dia berbalik menuju pintu dengan tatapan Gasta yang menajam. Gasta kembali terperangah dengan kata-kata Aimee barusan.
Aimee melenggang pergi.

Drama memang.

Tapi, usia SMP memang stagenya drama kehidupan, khususnya percintaan. Namun di kasus ini, Aimee cukup serius. Meski, dia telah berdusta pada Gasta soal dia yang katanya sudah memutuskan hubungannya dengan Deon tersebut. Namun itulah apa yang memang Aimee inginkan kali itu. Mengakhiri hubungannya dengan Deon dan berpaling pada Gasta.

Tapi rasa kecewanya pada Gasta lebih besar.
Gasta, di sisi lain, tentu saja masih ingin Aimee untuk dirinya. Namun, sisi yang dia tunjukkan pada Aimee malah sebaliknya. Hal ini merupakan sesuatu yang paradoks bagi Aimee. Masing-masing saling menunjukkan sisi yang tak seharusnya mereka ditunjukkan.
Keheningan menyelimuti kamar inap Gasta. Feliz di luar, diam saja saat Aimee pergi dan melengos ke arah kiri, sementara dia di sebelah kanan pintu kamar. Feliz tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi meski dia tidak menguping pembicaraan mereka. Aimee berjalan cepat sekali, penuh emosi, hingga meninggalkan suara derap langkah yang mungkin bisa terdengar hingga ke dalam kamar Gasta.
Feliz membuka pintu. Tampak Gasta sedang terduduk bersandar kembali, dengan wajah muram yang belum pernah dilihatnya selama ini.

"Gas? What's wrong?"
Gasta tak menatap Feliz. Dia memalingkan wajahnya hingga Feliz tak bisa melihatnya. Namun dijawabnya pertanyaan Feliz dengan gelengan.
"Beneran?"
Gasta mengangguk. Tentu saja, tidak mungkin Gasta baik-baik saja.
"Aimee kenapa?" Feliz terus menguak.
Gasta menyeka pipinya, wajahnya masih berpaling dari Feliz. "Nggak apa." sahutnya parau.
"Kok kayak marah, gitu?" desak Feliz. Gasta tak menjawab.
Setelah dia merasa pipinya sudah kering, dia menatap ke depan lurus-lurus, bukan ke arah Feliz.
"Kakak keluar." pintanya.
"Kok?"
"Keluar." tegur Gasta. "Gasta butuh waktu buat sendiri."
"Tapi kan..."
"Keluar nggak!" Gasta melempar bantal ke arah Feliz dengan penuh amarah. Sungguh bukan pribadi Gasta sama sekali.

Feliz tak banyak bicara. Dia berbalik dan keluar kamar dengan membanting pintu keras-keras, membuat Gasta terperanjat. Gasta tahu, Feliz fix marah padanya. Terlihat dari perilakunya dengan bantingan pintu tadi.

Sepeninggal Feliz, Gasta kembali berbaring di ranjangnya. Menghadap ke tembok, membelakangi pintu. Sekujur tubuhnya ditenggelamkan dalam selimut. Dia meringkuk ke samping, dengan derai airmata terderas yang pernah mengalir di pipinya. Hati, jiwa, dan perasaannya terasa pedih dan luka.

Adakah yang lebih menyedihkan; dari cinta yang sudah lama ada namun tak kunjung berbalas?
Ada.
Cinta yang sudah lama ada, akhirnya berbalas, namun belum terwujudkan. Pembalasan cinta yang hanya berupa rencana, dan urung dilakukan.
Bayangkan saja cinta kita yang hampir saja terbalas; hingga akhirnya dia memutuskan untuk tidak jadi membalasnya, tepat di depan kedua mata kita.
Yang lebih menyedihkan lagi, kita mencintainya namun dianggap tidak mencintainya, hanya karena satu alasan: keegoisan kita yang sebenarnya hanya topeng belaka.
Gasta ada dalam keterpurukan yang amat dalam, seakan langit dan bumi sedang menghimpitnya habis-habisan kali itu; padahal hanya selimut dan kasur saja yang melingkupi tubuhnya. Dia merasa telah menghancurkan semuanya; usaha, perjuangan, dan hatinya yang dibangun untuk Aimee. Dia sadar dialah yang membuat ini semua rumit, padahal seharusnya sederhana.

Salahku kenapa aku terlalu tertutup.
Salahku kenapa aku selalu berpikir aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri.
Salahku kenapa aku terlalu egois.
Salahku kenapa aku tidak jujur saja pada Aimee bahwa aku terlalu takut dianggap seperti Deon, yakni sebagai sosok yang tidak bisa selalu ada untuknya.
Salahku semua.

Kalimat-kalimat tersebut melayang-layang di benak Gasta. Lama sekali, hingga semakin memenuhi kepalanya. Lalu mereka mulai memuai, menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Gasta masih tenggelam dalam isak dan gigil penyesalan akibat ucapannya pada Aimee. Hingga akhirnya dia kelelahan, dan tertidur sendiri di kamarnya.

***

Feliz, yang amarahnya masih tersisa, memutuskan untuk meninggalkan Gasta. Dia sendiri sedang dalam kekalutan yang menyesakkan. Seakan dada dihimpit beban. Entahlah, dia seperti tidak bisa menyalahkan Gasta. Dia benci sikap Gasta yang kasar seperti tadi, namun alam bawah sadarnya seakan berkata 'tidak apa-apa adikmu begitu'. Tapi tentu saja logikanya tak bisa menerima.
"I really wanted to hate you, Gas. But sadly I can't." gumam Feliz pada dirinya sendiri.
Dia sedang berada di resto rumah sakit, dan butuh teman berbicara. Tiba-tiba dia teringat Raymond, berikut sikap dinginnya yang terkesan cuek, terutama pada perasaannya, beberapa waktu lalu.

"Ray, masih di RS? Ngopi yuk." ketik Feliz di ponselnya.
Ding. Tak lama kemudian ada balasan.
"Iya. Dimana?"
"Resto rumah sakit. I'm here already. Cepet yah." balas Feliz. Diam-diam hatinya bergejolak riang mendapatkan balasan dari Raymond.
"Ok." ternyata Raymond membalas lagi.

Lima menit kemudian, Raymond datang.
"Hey." sapanya. "Udah lama?"
"Baru dateng ini pesenanku. Udah, pesen dulu sana." ujar Feliz.

Sekembalinya dari memesan, Raymond mulai bercerita.
"Tadi ada cewenya adek aku kesini. Kamu kenal?"
Feliz terkejut, namun kemudian tersadar kembali. "Oh, iya. Aimee, kan?"
"Iya. Kamu ngajar kelasnya?"
"Enggak. Dia sekelas ama adekku. Terus dia juga ketua English Club yang mana penanggung jawabnya itu aku, jadi ya lumayan akrab gitu."
"Oh..."
"Yap."
"Kok, kamu kemari lagi? Besuk lagi? Emang sapa sih yang sakit?" Raymond mencecap kopinya.
Feliz galau. Bingung hendak cerita atau tidak pada Raymond, karena kemarin terlanjur berbohong. Tapi akhirnya diceritakan juga padanya.
"Sebenernya" Feliz menjeda ucapannya, "adek aku yang sakit, Ray."
Raymond terperangah menatap Feliz lurus-lurus.
"Sakit apa Fel?"
"Sirosis kata dokter. Gejala kanker hati."
"Astaga." desis Raymond. "So sorry, Fel."
"That's OK." tukas Feliz.

Tiba-tiba terlintas di benak Raymond, cerita adiknya beberapa waktu lalu soal adik Feliz yang notabene saingan adiknya itu. Sebenarnya, Raymond ingin kepo, tapi kedewasaan menahannya. Biarlah hal tersebut menjadi rahasia tentang dirinya dan Deon yang tidak Feliz ketahui.
"Gimana Deon?"
Raymond berubah murung.
"Ngedrop kemarin. Mendadak butuh banyak transfusi. Entahlah, kanker darah itu emang aneh banget. Pusing aku rasanya." keluh Raymond, mengelap wajahnya.
"Ya yang sabar aja, Ray." ujar Feliz mencoba membesarkan hati Raymond.
"Udah sabar ini, kalo nggak sabar ya udah bunuh diri kali aku Fel." cetus Raymond putus asa. Feliz geleng-geleng sambil tersenyum.
"Aku baru tau rasanya, Ray. Jagain adik yang lagi sakit seorang diri, dia bisa tiba-tiba nangis, tiba-tiba teriak-teriak, dan kita gak ngerti kudu ngapain, ya kan?"
"Nah." timpal Raymond. "Bikin frustrasi, kan?"
"Iyap." sahut Feliz setuju.
"Kita ama adik kita sama-sama berjarak dua belas tahun kan Ray?"
"Kurang lebih. Buktinya kita seangkatan, mereka juga."
"First child has to be strong, Ray." gumam Feliz pada Raymond. "It's a must."
"Apalagi first child yang nggak tinggal ama orangtua lagi kaya kita, Fel." sahut Raymond.
"Exactly that!" tukas Feliz sebelum menyeruput lemon tea hangatnya.

Senja sore itu terasa getir; baik di hati Feliz maupun Raymond. Di hati Gasta maupun Aimee. Semua sedang dalam kegetiran hati yang menggelisahkan. Temaramnya langit yang menjingga seakan tahu bahwa hati mereka juga sedang meredup. Raymond dan Feliz menatap jauh-jauh langit senja dari restoran rumah sakit kala itu. Semburat warnanya menciptakan keindahan dalam bayang-bayang mega mendung. Langit sebetulnya cerah dan indah, namun tertutup kabut. Sehingga keindahan itu mengabur perlahan-lahan. Ya, sebagaimana kisah cinta mereka dahulu.

Olvasás folytatása

You'll Also Like

1M 1.6K 37
There will probably be some fluff but there will mostly be smut stories. And I'm very sorry my miss spelling This is my first ever book so please let...
24.5K 581 83
Continuation of Modesto story who happens to intercourse with friends,mature,classmates,strangers and even family...
53.3M 378K 66
Stay connected to all things Wattpad by adding this story to your library. We will be posting announcements, updates, and much more!