Is This Love? (TAMAT)

By AyaEmily2

1.1M 90K 2.7K

[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Farrel Aditama Effendi. Muda, tampan, dan kaya yang hobinya bersenang-senan... More

1. Prolog
2. Tunangan sang Kakak
3. Jahil
4. Sikapnya Berubah
5. Lukisan
6. Alergi
7. Kenangan
8. Rasa Bersalah
9. Fachmi Kembali
10. Rekayasa
11. Panik
13. Aku Mencintaimu
14. Si Dingin Fachmi
15. Pilihan Kanza
16. Curahan Hati
17. Mama si Kembar
18. Para Gadis
19. Yang Dicintai Kanza
20. Usaha Farrel
21. Permohonan Farrel
22. Meminang
23. Epilog

12. Semakin Tegang

42.1K 3.2K 154
By AyaEmily2

Jumat (08.54), 21 September 2018

---------------------------

"Kau harusnya lihat wajah Farrel. Dia tampak sangat tersiksa." Juan tertawa girang. "Akhirnya dia terjebak dengan permainannya sendiri."

Fachmi yang sibuk bermain playstation hanya menggumam tak jelas.

"Kenapa tanggapanmu hanya seperti itu? Seharusnya kau senang karena rencanamu berhasil."

"Aku sangat senang. Kau tidak lihat wajahku?" Fachmi menoleh sekilas ke arah Juan dengan raut datarnya lalu kembali memperhatikan layar.

Juan melongo. "Sejak kapan raut senang jadi seperti itu?"

"Sejak aku lahir."

Geram, Juan pindah duduk di hadapan Fachmi lalu menarik kedua sudut bibir Fachmi ke atas. "Seharusnya senang seperti ini."

PLAK!

Dengan kejam Fachmi memukul kepala Juan ke samping. "Kau membuatku kalah."

Juan langsung membalasnya dengan mendorong belakang kepala Fachmi.

"Whoaa, boy! Jangan buat aku terpaksa memukul pantat kalian karena bertengkar, oke!"

Freddy tiba-tiba datang dari arah dapur lalu duduk di sofa belakang Fachmi dan Juan yang tengah duduk di lantai sambil bersandar.

"Dia yang mulai, Pa. Sejak kapan wajah senang seperti ini?" Juan menatap Freddy lalu menirukan raut datar Fachmi.

Freddy terbahak melihat itu. "Wajah senang versi Fachmi. Harusnya tadi kau memotretnya lalu tunjukkan pada anaknya kelak."

"Pasti anaknya tidak kaget lagi, Pa. Wajahnya memang seperti itu dari dulu." Juan menunjuk wajah Fachmi yang kembali asyik bermain.

"Jangan salah, Nak. Seorang lelaki bisa berubah jika sudah bertemu dengan wanita yang dia cintai. Papa berani bertaruh, Fachmi pasti akan lebih mudah tersenyum setelah menemukan seorang wanita yang berhasil membuatnya jatuh cinta."

"Ah, benar juga. Seperti Farrel." Juan menyeringai.

"Memangnya Farrel kenapa?"

"Dia sedang jatuh cinta dan sikapnya jadi berubah. Lucu sekali melihatnya frustasi."

"Suruh dia cepat perkenalkan wanita itu sebelum disambar lelaki lain."

Juan mengangguk pelan. "Berbicara cinta, aku jadi merindukan Kirana. Dia masih akan pulang beberapa hari lagi."

"Acara berlibur dengan Mamanya itu?"

Juan mengangguk.

"Ngomong-ngomong, Om Freddy bilang jatuh cinta bisa membuat seorang lelaki berubah." Mendadak Fachmi berkata dengan mata tidak lepas dari layar kaca. "Menurutku Juan tidak benar-benar mencintai Kirana. Buktinya dari dulu dia begitu-begitu saja."

"Apa maksudmu?"

"Yah, sebenarnya Om juga pikir begitu. Om pikir Juan hanya sayang pada Kirana dan ingin menjaganya. Bukan cinta dalam arti perasaan menggebu-gebu yang menguasai hati dan pikiran, membuatmu merasa sakit tiap saat tapi tidak menyesal telah merasakannya." Freddy berkata dengan tatapan menerawang membayangkan wajah sang istri.

"Papa, memang itu yang kurasakan pada Kirana."

"Tunggu sampai kau bertemu wanita yang tepat. Kau tidak akan berkata seperti itu lagi."

Juan melotot ke arah Fachmi. "Tidak ada wanita yang tepat selain Kirana."

"Ya, ya, terserah." Freddy terdengar meremehkan seraya berbaring di sofa.

Juan tidak sempat menanggapi karena tiba-tiba terdengar suara bel. Juan segera berdiri, merasa bersyukur karena hal itu mengalihkan pembicaraan mengenai Kirana. Dia selalu tidak suka jika ada yang meremehkan cinta antara dirinya dan Kirana.

Klek.

"Mama?" Juan melongo melihat Mamanya yang berdiri di depan pintu sambil menenteng tas.

Ratna merengut lalu tanpa permisi masuk ke dalam apartemen Juan. "Mama di rumah sendirian. Jessie menginap di rumah Kakek dan Nenek."

Juan menahan senyum geli di belakang Mamanya. Si Mama memang lucu. Tidak mengizinkan Papa pulang tapi mengeluh karena sendirian. "Kan ada Papa." Juan berusaha memancing.

"Papamu lebih senang menemani wanita genit bertubuh seksi itu dengan alasan pekerjaan daripada menemani Mama," gerutu Ratna seraya terus berjalan ke ruang tengah tapi langkahnya terhenti di dekat sofa panjang saat melihat keponakannya asyik bermain game. "Oh, ada Farrel di sini."

Fachmi menoleh dengan raut datarnya. Sudut bibirnya melengkung sedikit sebagai tanda bahwa dia baru saja tersenyum, "Halo, Tante."

"Eh, ternyata Fachmi. Tante kira Farrel."

Fachmi hanya mengangguk singkat lalu kembali memusatkan perhatian pada gamenya.

Sebenarnya Fachmi bukannya tidak bisa berekspresi. Dia hanya suka menunjukkan isi hatinya melalui raut wajah saat dirinya sendirian atau saat orang lain tidak memperhatikannya. Namun tidak jarang juga dia tertawa lepas di depan orang lain terutama keluarganya, tersenyum mengejek, atau menampilkan raut sedih dan marah. Hanya saja, melihat lawan bicaranya terintimidasi atau frustasi dengan wajah kaku dan datar Fachmi adalah kesenangan tersendiri baginya.

"Ya, Fachmi menginap di sini," jelas Juan seraya berdiri di samping sofa untuk menghalangi pandangan Mamanya ke arah sang Papa yang sedang berbaring di atas sofa. "Mama juga mau menginap di sini?"

"Yah, mungkin."

"Kalau Papa pulang bagaimana?"

"Biarkan saja. Toh Papamu tidak pulang sejak kemarin malam." Nada suara Ratna terdengar ketus.

"Oh ya? Yakin Mama tidak mengunci pintu hingga Papa tidak bisa masuk?"

"Mama memang mengunci pintu depan. Tapi pintu belakang dan jendela kamar tidak Mama kunci. Kalau Papamu memang menganggap Mama tempatnya pulang, harusnya dia...hiks, dia..."

Juan meringis melihat Mamanya mendadak menangis. Buru-buru dia menghampiri sang Mama lalu memeluknya. Fachmi juga jadi merasa tidak enak hati. Perlahan dia meletakkan stick game di tangannya lalu mematikan playstation.

"Ma, jangan menangis." Juan membelai lembut punggung sang Mama.

"Papamu pasti sudah...hiks...tidak mencintai Mama lagi."

"Siapa bilang, hm?"

Seketika tubuh Ratna menegang. Perlahan dia menoleh lalu matanya beradu dengan mata abu-abu itu.

"Ke-kenapa..."

"Papa datang ke sini karena Mama mengunci pintu," jelas Juan.

"Salah Papa juga. Seharusnya Papa lebih berusaha mencari cara agar bisa masuk ke rumah." Freddy bangkit dari posisi berbaringnya.

Buru-buru Ratna menghapus air mata lalu berkacak pinggang menghadap Freddy. "Jadi kau mengaku salah?"

Sementara itu Fachmi memberi kode pada Juan agar keluar. Tanpa pikir panjang, Juan mengikuti Fachmi.

"Kadang mereka berdua seperti anak kecil," Juan geleng kepala.

Refleks bibir Fachmi melengkung membentuk senyuman. Benar-benar tersenyum. "Melihat orang tua kita, aku percaya satu hal. Kau tidak akan pernah jadi dewasa di hadapan pasanganmu."

***

Kanza mendesah seraya mengangkat kelopak mata. Refleks tangannya meraba-raba samping tubuh, mencari sosok Fachmi yang biasanya ia dapati tengah memeluknya saat dia terjaga. Namun kali ini untuk pertama kali sejak mereka tidur bersama, Fachmi bangun lebih dulu darinya.

Kanza menggeliat lalu mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Pandangannya langsung tertuju ke arah balkon, berharap menemukan Fachmi di sana. Tapi ternyata tidak ada. Kanza sudah siap turun saat pandangannya jatuh pada kelopak-kelopak bunga mawar yang memenuhi ranjang, dan dirinya sendiri.

Dia ternganga, takjub sekaligus tidak percaya. Pikirannya langsung tertuju pada Fachmi. Ya, siapa lagi yang bisa melakukan semua ini selain Fachmi?

Klek.

Perhatian Kanza langsung tertuju pada pintu kamar yang baru saja terbuka. Dia tersenyum lebar saat melihat Fachmi masuk ke kamar sambil membawa nampan di tangannya.

"Hai, Cantik. Kau sudah bangun dari tadi?" tanya Farrel seraya meletakkan nampan di nakas lalu duduk di hadapan Kanza.

"Baru saja. Ada apa ini?"

"Apanya?"

Kanza merengut. "Kau mulai lagi. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."

Farrel terkekeh. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin memanjakanmu hari ini."

"Wow, kedengarannya menyenangkan."

"Tentu saja menyenangkan. Kau beruntung akan mendapat layanan penuh dari lelaki tampan ini selama dua puluh empat jam."

"Dan semua itu dimulai dari kelopak bunga." Kanza tidak bisa menyembunyikan binar bahagia di matanya.

"Dan juga sarapan di atas ranjang. Kau tidak boleh makan sendiri. Aku yang suapi."

"Ini benar-benar suatu kehormatan, wahai tuan Fachmi yang agung."

Mendadak senyum Farrel menghilang. Dia segera berdiri untuk mengambil nampan seraya berusaha memadamkan api cemburu yang mendadak membakar hatinya.

"Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?" tanya Kanza, menyadari perubahan sikap Farrel.

Farrel menghela napas pelan lalu duduk kembali di hadapan Kanza dengan seulas senyum yang berhasil ia paksa muncul di bibirnya. "Tidak. Sekarang waktunya sarapan." Farrel mengiris roti lapis yang dia buat khusus untuk Kanza. "Ini satu-satunya makanan yang bisa kumasak. Jadi jangan mengeluh."

"Tidak akan." Kanza nyengir.

Mendadak Farrel berdiri menuju lemari, mengambil salah satu kemeja Fachmi lalu menyerahkannya pada Kanza. "Aku tidak bisa konsentrasi dengan kesadaran penuh bahwa kau duduk telanjang di hadapanku."

Pipi Kanza memerah. Segera ia memeluk kemeja itu di dadanya. "Aku menutupi tubuhku dengan selimut."

"Tapi aku tahu kau tidak mengenakan apapun dibalik-nya. Sudah, pakai saja kemeja itu." Farrel memalingkan wajah, memberi Kanza privasi untuk berganti pakaian sekaligus mencegah dirinya sendiri hilang kendali.

Kanza buru-buru mengenakan pakaian itu lalu bergumam, "Sudah selesai."

Farrel kembali menghadap Kanza dengan seulas senyum. "Itu lebih baik. Sekarang buka mulutmu." Begitu wanita itu membuka mulut, Farrel menyuapinya dengan roti lapis yang sudah dia iris. "Bagaimana rasanya?"

"Hmm, lumayan."

"Lumayan? Hanya seperti itu penilaianmu?" Nada suara Farrel terdengar merajuk, membuat Kanza tertawa kecil.

"Jadi, kau lebih suka kata-kata manis penuh kebohongan atau kejujuran yang menyakitkan?"

Mendadak raut wajah Farrel berubah sedih, teringat situasinya saat ini. "Jika kau yang diberi pilihan itu, mana yang akan kau pilih?"

"Hmm, aku lebih suka kejujuran. Meski menyakitkan, waktu akan menghapus rasa sakit itu."

"Tapi bagaimana jika waktu sekalipun tidak sanggup menghapus rasa sakitnya?"

"Maka aku akan memilih pergi, mengalihkan perhatianku dari rasa sakit itu. Sedari kecil hidupku sudah sulit. Karena itu aku tidak ingin menghabiskannya dengan dipenuhi rasa sakit. Tiap langkah yang kupilih, aku akan berusaha mencari kebahagiaan di dalamnya. Tapi jika tidak bisa, aku akan memilih jalan lain." Kanza tersenyum. "Yah, sesederhana itu pilihanku."

Farrel tertunduk, menyembunyikan rasa sakit di matanya dari Kanza. Pernyataan Kanza tadi jelas menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki peluang untuk bersama wanita itu.

Tiba-tiba tangan Kanza menggenggam lembut tangan Farrel yang tidak memegang garpu, membuat lelaki itu mendongak.

"Sebenarnya apa yang mengganggumu?"

Farrel berusaha mengulas senyum tapi tidak berhasil. Akhirnya dia memilih menggeleng pelan. "Tidak ada."

"Kadang masalah itu lebih baik diungkapkan untuk meringankan hatimu."

"Andai bisa, aku ingin melakukannya. Tapi aku tidak bisa karena kejujuranku akan membuat banyak hati terluka."

Perlahan, Kanza mengangkat tangan Farrel yang dia genggam ke pipinya. Kali ini dia sudah tidak memikirkan lagi konsekuensi yang akan diterimanya jika terbawa suasana. Dia hanya akan menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Terutama menikmati rasa cinta Fachmi yang datang tak terduga.

"Kalau begitu, ikuti saja kata hatimu untuk menentukan langkahmu."

Farrel tersenyum, menikmati halus pipi Kanza di telapak tangannya. "Sayangnya, hatiku menyuruhku untuk terus berbohong."

"Sayang sekali. Kalau begitu kau harus mempersiapkan diri jika suatu saat kebohongan itu terbongkar. Karena lebih baik kau sendiri yang jujur daripada orang lain yang mengatakan kebenarannya."

Farrel tercekat. Ia memalingkan wajah dari Kanza, tidak ingin wanita itu tahu betapa kacau kondisinya saat ini.

Melihat itu Kanza memindahkan kedua tangannya, melingkari belakang leher Farrel. Dengan berani dia menggeser tubuh mendekat seraya menarik lembut lelaki itu.

Merasakan tarikan Kanza, Farrel menoleh. Sejenak dia tersentak kaget saat tiba-tiba bibir Kanza mendarat di bibirnya. Begitu lembut dan manis, seolah berusaha menyalurkan ketenangan dalam diri Farrel.

Farrel mengerang dengan dada sesak. Ia pejamkan kedua matanya lalu membalas ciuman Kanza dengan tak kalah lembutnya.

------------------------

Suka cerita fantasy? Nih ada cerita dari akun sebelah The_Queenza . Kali aja suka ^_^


Manis.

Darahnya sungguh lezat.

Itu adalah hal pertama yang dipikirkan Kingsley begitu terjaga dari tidur panjangnya. Perlahan kegelapan yang sebelumnya menyelimuti pandangannya memudar, digantikan cahaya lembut sang rembulan yang menyinari tempatnya berbaring.

Sial! Ternyata bukan sekedar tempat berbaring. Tempat ini adalah kuburannya. Dan-lihat dirinya sekarang. Tangannya yang terangkat di depan wajah hanya berupa tulang belulang. Terlihat begitu menjijikkan. Memangnya berapa lama dirinya tertidur? Sepuluh tahun? Lima puluh tahun? Atau sudah lebih dari seratus tahun?

Kingsley bangkit dari posisi berbaringnya seraya memperhatikan seluruh tubuh. Apanya yang tubuh? Seluruh bagian dirinya hanya tersisa tulang. Pasti para cacing dan binatang pemakan bangkai di sini berpesta pora menikmati tubuhnya.

Gerakan kecil itu menarik perhatian Kingsley. Dia menoleh, mendapati seorang wanita duduk meringkuk di sisi terjauh darinya, diselimuti kegelapan yang tak tersentuh cahaya bulan. Mata wanita itu membelalak ngeri, sementara kedua tangan membekap mulut, seolah meredam jeritan.

Seketika, mulut Kingsley yang hanya berupa kerangka tulang bergerak seolah sedang tersenyum. Wanita itu yang telah membangunkannya menggunakan darahnya. Dan dengan darahnya juga bisa membuat tubuh Kingsley kembali utuh. Tapi sayang, dengan menghisap darahnya, kekuatan Kingsley akan diserap oleh si wanita. Hanya satu hal yang bisa membuat kekuatannya kembali. Dengan bercinta. Seperti dulu...

------------------

~~>> Aya Emily <<~~

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 478 38
❝Dari jutaan manusia, mengapa harus dia?❞-GL ❝Untukmu sang fatamorgana, aku mencintaimu. Dari sang aksara amerta.❞-LBQ ❝Bahkan ketika kau pergi menin...
3.3M 178K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
Blue & Grey By A L

Teen Fiction

992 148 11
Buta warna total sejak lahir, orangtua yang bercerai, anggapan publik bahwa dirinya pembawa sial adalah paket komplit di hidup Asha Tsabita. Di saat...
2.6M 277K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...