Aim for Aimee

By nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... More

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
14 - Mengutuk Baskara
15 - โค
16 - ๐Ÿ’”
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

13 - Terungkap

112 17 0
By nellieneiyra

Jelas saja Gasta terkesiap. "Bu, bukan saya Bu! Sungguh, bukan saya!" kilahnya gelagapan.

"... tujuh ratus... tujuh ratus tujuh puluh...delapan ratus." Bu Nia sengaja berhenti.

"Delapan ratus dua puluh." pekiknya, mengacungkan segepok uang itu ke wajah Gasta.

Mata Gasta terbelalak. Betapa hancurnya hatinya ketika tahu bahwa ada yang mencoba memfitnahnya.

Bagaimana bisa uang itu masuk ke dalam tasnya?

"Pas nih, Gas." cetus Bu Nia lagi.

Gasta memandang sekitar. Pandangan mata teman-temannya menunjukkan ekspresi tidak senang sekaligus tidak menyangka.

"Bu, sumpah bukan saya!" tandasnya getir.

"Tapi ini di tas kamu." tukas Bu Nia.

"Tapi... ini... gak, Bu! Gak mungkin saya ngambil uang mereka. Kapan saya mau ngambilnya, Bu? Gak, Bu! Ini fitnah! Ada yang ngefitnah saya!" tukas Gasta emosi.

"Uangnya pas, Gas."

"Apa ada bukti lain kalo saya yang ngambil? Kapan ada waktu saya ngambil Bu?"

Semua terdiam menyaksikan Gasta yang berkilah. Aimee lebih-lebih. Kedua matanya menyipit dingin pada Gasta.

"Tadi lo ke kelas, kan? Ijin?" tandas Lefina. Gasta menelan ludah.

"Iya kan guys? Tadi Rinka bilang Aimee abis digodain Gasta pas ke kelas ama Sandra. Ya kan?" lanjutnya lagi. Kalau saja Lefina ini laki-laki, sudah Gasta hajar mulutnya daritadi.

Aimee dan Sandra mengangguk, ragu-ragu. Batin Aimee tidak yakin bahwa Gasta pelakunya. Begitu pula Sandra. Namun, sebagai korban, Sandra tidak mungkin membela Gasta.

"Nah! Itu bukti lainnya, Gas." timpal Bu Nia. Semua anak tampak tertegun, memandang Gasta dengan tatapan tak percaya. Sungguh mencengangkan.

Gasta terdiam. Kedua matanya menghadap lantai. Dia benar-benar stuck tidak tau harus berbuat apa. Gasta tidak terima sebenarnya difitnah seperti ini. Tapi bukti bahwa uang tersebut ada di tasnya dan keberadaannya di kelas saat jam olahraga tadi cukup kuat untuk membuatnya dianggap menjadi tersangka.

"Bu, ini fitnah, Bu! Untuk apa saya nyuri? Bu Nia pikir saya nggak tau kalo nyuri itu dosa? Lagian kalo saya nyuri, saya nggak sebodoh itu Bu naruh uangnya di tas! Bu Nia nggak percaya sama saya?" tantang Gasta mulai kehilangan kesabaran. Wajahnya yang biasanya penuh senyum, kini sirna berganti raut penuh amarah dengan mata berkilat penuh kebencian. Baru pertama kali mereka melihat sisi lain dari Gasta yang memang jarang sekali ditampakkan ini.

"Percaya sama kamu? Setelah kamu membuat kericuhan pake tikus kemaren?" tukas Bu Nia sinis. Gasta terhenyak. Ternyata wanita ini sudah berada di oposisinya.

"Terus mentang-mentang saya yang di kelas, saya yang dituduh, gitu?"

"Bukan dituduh, Gas. Tapi terbukti." sanggah Bu Nia.

"Bu, terbukti itu kalo ada video yang jelas-jelas menunjukkan bahwa saya yang ngambil uang mereka. Ini mana? Jelas saya difitnah ini Bu!" amuk Gasta dengan nada tinggi.

"Siapa tau juga ada yang ke kelas ini selain saya, ya kan?" imbuhnya.

Aimee membuka suara.

"Betul Bu. Saya yakin bukan Gasta pencurinya. Satu, Gasta bukan tipikal yang seperti itu. Gasta kan kaya Bu. Dua, kalopun mencuri, gak mungkin dia masukin di tasnya gitu aja. Pasti disimpen di tempat yang aman." belanya.

Betapa terharunya Gasta. Dia menatap Aimee dengan tatapan terima kasih.

"Ini fitnah Bu! Fitnah!" bentak Gasta tak sabar.

Bu Nia tampak tak setuju. "Oke. Tapi kamu harus tetep ikut ke BK dulu. Untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Gigi Gasta gemeretak. Tangannya mengepal kuat-kuat. Rasanya ingin sekali ditonjoknya muka Bu Nia yang setidak percaya itu dengannya.

"Bu. Denger ya. Gimanapun Bu Nia mau interogasi saya, Bu Nia nggak akan pernah dapet jawaban pengakuan dari saya Bu. Karena memang bukan saya pelakunya!" sentak Gasta sekali lagi.

"Terserah. Ikut ibu ke BK sekarang." Bu Nia menarik tangan Gasta.

Gasta kontan menyentakkan genggaman Bu Nia.

"Fine!!!!" pekik Gasta. Bu Nia melotot ke arahnya. "Nggak usah ditarik begini. Saya bisa sendiri." lanjutnya, dingin.

Bu Nia menatapnya penuh kekesalan. Digiringnya siswa yang menurutnya biang onar itu ke ruang BK.

***

"Ceritakan sejujur-jujurnya, Gas. Semuanya." pinta Bu Nia.

"Apanya Bu? Nggak ada yang bisa diceritakan." bantah Gasta.

"Gasta, tolong. Jangan buat saya makin dongkol melihat tingkahmu, ya. Baru minggu lalu kamu saya skors. Kamu pengen waktu skors yang lebih panjang rupanya?"

Semakin memuncaklah emosi Gasta. Guru satu ini rupanya sudah mengejudgenya salah.

Brak! Gasta menggebrak meja."Saya nggak salah, Bu!"

Bu Nia berdecak kesal. "Sulit ya, ngomong sama kamu. Saya panggil kakak kamu ya biar tau kelakuan adiknya kaya gini?"

"Panggil aja Bu. Kalo saya emang gak salah, saya gak bakal takut."

Feliz datang ke ruang BK. Bu Nia menjelaskan semua kejadian itu. Awalnya Feliz menatap marah ke arah Gasta, namun tatapan mata adiknya menyiratkan bahwa dia memang tidak bersalah.

"Kakak ngerti aku kan? Ngerti nakalku model gimana kan Kak? Senakal-nakalnya aku, aku nggak akan nyuri. Kakak tau sendiri kan?" desak Gasta pada Feliz. Feliz menatapnya iba.

Gasta menceritakan runtutan kejadian yang dialaminya sejak jam pelajaran olahraga hingga Bu Nia masuk ke kelasnya tanpa kurang satu apapun. Feliz tidak bersikap membela adiknya, tapi dia juga tidak memihak Bu Nia.

"Siapa tau ada yang diam-diam masuk ke kelas Bu." kali ini Feliz buka suara. Gasta mengiyakan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Bu, seingat saya, yang izin pas pelajaran olahraga bukan cuma saya. Ada beberapa anak lain Bu."

"Siapa aja emang?"

"Marco, Tofan, dan Danes."

Alis Feliz terangkat.

***

Tiba di ruang BK, Marco, Tofan, dan Danes memasang tampang kesal. Mereka tidak habis pikir, kenapa sih Gasta tidak mengaku saja agar masalah ini cepat selesai? Gasta memandangi mereka satu persatu dengan tatapan tajam, berharap mereka dapat mengaku. Feliz sudah meninggalkan mereka karena sudah tiba waktunya mengajar kelas lain, sehingga Gasta bisa leluasa bicara tanpa takut teguran Feliz yang bisa diperpanjang jadi omelan kalau sudah di rumah nanti.

"Kok kami juga dipanggil sih Bu. Kan jelas kalo Gasta yang ngambil." gerutu Marco pada Bu Nia. Gasta mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia semakin yakin bahwa Marco lah pelakunya.

"Masa ya saya Bu? Orang uang saya sendiri juga hilang." timpal Tofan. Danes hanya bungkam. Matanya melirik Gasta dan Bu Nia bergantian, dengan tatapan yang sama seperti Tofan. Tatapan tidak terima.

"Mereka ini tadi juga sempet izin waktu jam olahraga Bu, nggak cuma saya!" papar Gasta.

"Yeee, kita kan ke toilet, kalo lo kan ke kelas." timpal Danes, diiyakan oleh Tofan dan Marco.

"Ya kan bisa aja lo nyeleweng!" balas Gasta geram.

"Oke, oke." Bu Nia menengahi. "Marco." panggilnya pada Marco. Marco kaget.

"Kamu ke toilet mana? Depan apa belakang?"

Marco mencoba mengingat-ingat. "Belakang Bu!"

"Kalo kamu, Tofan?"

"Saya ke toilet depan Bu. Karena tau kalo Marco ke toilet belakang."

Bu Nia berhenti sebentar. "Sungguh?"

"Benar Bu. Saya liat sendiri." cetus Gasta.

"Ibu nggak nanya ke kamu, Gas."

"Tapi saya memang liat, Bu!" dengus Gasta, kesal.

Bu Nia beralih ke Danes.

"Kamu, Dan?"

"Dia ke toilet belakang, Bu!" Gasta menyahut lagi.

"Gas, jangan bikin ibu kasih skors kamu lebih panjang ya." tukas Bu Nia. "Betul begitu, Dan?"

Danes mengangguk.

"Tuh kan, semuanya memang ke toilet, Gas. Nggak ada yang ke kelas seperti yang kamu duga." ujar Bu Nia menyimpulkan.

Gasta menggigit bibir. Dia yakin, pelakunya pasti salah satu di antara mereka. Gasta menatap satu persatu wajah temannya itu, mencoba mencari petunjuk wajah siapakah yang paling patut dicurigai.

Tiba-tiba sebuah petunjuk datang ke benak Gasta. Matanya menyipit, lalu didekatkannya wajahnya ke Bu Nia.

"Saya minta dicek CCTVnya, Bu. Bukannya ada CCTV di sekolah ini? Di lorong kelas kami?" tanya Gasta.

Bu Nia terhenti sejenak.

"Hmmm. Setau saya, CCTV yang di sebelah situ sudah tidak berfungsi. Tapi ada CCTV di toilet." tukasnya.

Tofan dan Marco terbelalak kaget. Takut mereka ternyata direkam saat buang air.

"Maksudnya, bukan di dalam toiletnya. Tapi di koridornya. Di luar pintu WC-WC itu, tapi di dalam toilet. Tapi sayangnya, yang toilet belakang aja yang aktif."

Gasta menjentikkan jemarinya.

"Nah! Sip itu Bu! Mari, kita cek!"

Anehnya, Tofan, Marco, dan Danes diam tak berkutik. Mereka seakan berkata dalam hati, "Terserah lo, deh, nyet. Mo lo cek mo kaga, kaga ngaruh orang bukan kita yang salah."

Pusat CCTV ada di ruang BK. Bu Nia mencoba membuka rekaman-rekaman pagi ini. Gasta dengan getol memaparkan ulang jam dan runtutan kejadiannya.

"Oke, yang pertama Marco. Ini, di jam ini... Yap." Bu Nia menunjuk ke layar. "Itu kamu, kan?" Marco mengangguk cepat. "Iya Bu, itu saya."

"Baik. Kalo Tofan, sayangnya di toilet depan jadi nggak ada rekamannya." gumam Bu Nia. Gasta menggerutu dalam hati. Coba ada CCTV di sana, pasti Uzi, Alam, dan Fais kali itu sudah dikeluarkan dari sekolah.

"Kalo Danes?" Bu Nia beralih pada Danes.

"Harusnya nggak lama setelah Marco, Bu." timpal Gasta. "Iya Bu. Saya sebelum Tofan ke toilet." jawab Danes.

Bu Nia memutar rekaman dengan kecepatan tambahan. Matanya dengan jeli mengamati setiap sudut rekaman toilet belakang itu. Hingga 20 menit setelah Marco masuk, tidak ada satupun anak ke situ.

Tofan, Marco, Bu Nia, dan tentu saja Gasta, mendongak bersamaan ke arah Danes.

"Apa?" cetusnya heran.

"Nggak ada lo gitu, di situ." tandas Gasta, mulai menaruh curiga.

"Ya gak tau. Error kali kameranya." sahut Danes.

"Mana ada, dongo! Ya otak lo tuh yang error." tukas Gasta, disambut bentakan Bu Nia.

"Gasta, jaga mulutnya!"

Danes menatap sebal pada Gasta.

"Danes, kamu yakin kamu ke toilet belakang?" tegur Bu Nia lagi.

Danes nampak speechless. Mukanya lebih seperti "kok bisa sih ga ada gue" dibandingkan "mampus gue ketauan". Lalu tiba-tiba dia menepuk jidatnya.

"Astaga, Bu. Saya ke WC depan. Baru inget saya." akunya polos sambil senyam-senyum.

"Nggak mungkin." Gasta menggeleng. "Kalo lo ke WC depan, pasti ketemu Tofan, kan? Lo gak liat dia kan Tof?" sela Gasta.

Giliran Tofan yang speechless. Tidak menyangka bahwa kasus pergi ke toilet bisa jadi serumit itu.

"Seinget gue sih..." Tofan menjeda kalimatnya. "Engga."

"Tuh, kan!" Sekali lagi Gasta menjentikkan jarinya.

Danes gusar. "Lo seneng banget sih nyalah-nyalahin gue?" tandasnya sinis.

"Buktinya? Ga ada kan lo disitu? Lo cuma akting kan ke toilet belakang? Padahal mah ke kelas." balas Gasta.

"Sudah, sudah, sudah." Bu Nia menengahi.

"Danes, yang jelas dong. Kamu ke toilet belakang apa depan?" interogasinya lagi pada Danes.

"Ke depan, Bu. Asalnya mau ke belakang, tapi di lorong deket situ ada anak kelas 9 yang nakal-nakal, jadi saya balik. Langsung ke toilet depan." paparnya santai dan apa adanya.

"Tapi Tofan nggak liat kamu." tukas Bu Nia.

"Tofan lama kali Bu, di toilet. Ampe mau bel." kata Marco setelah lama diam. Danes manggut-manggut.

"CCTV yang lain, Bu! Di deket koridor selatan. Harusnya Danes kerekam kalo lewat situ!" cetus Gasta. Danes semakin geram. Gasta tampak seperti ingin menjatuhkan Danes sejatuh-jatuhnya. Siapa sih yang nggak sebel? Tapi begitulah Gasta. Level kecerdikannya sama tingginya dengan level ketampanannya.

Kembali Bu Nia mengutak-atik rekaman di monitor komputernya itu. Setelah diputar ulang, tidak nampak seorang cowok pun yang lewat situ, apalagi yang berbaju olahraga sebagaimana Danes.

"See, Bu?" timpal Gasta, dengan senyum cerahnya. "Terakhir, Bu." lanjutnya.

"Apa lagi, Gas?" Bu Nia juga ikut kesal lama-lama dengan tingkah Gasta.

"Coba dicek CCTV dekat koridor depan kelas saya. Dari situ keliatan kok pintu kelas saya. Meskipun sedikit. Kalo ada yang masuk, apalagi dari arah berlawanan dari toilet belakang, pasti keliatan, Bu." papar Gasta.

"Nggak dari tadi aja sih...!" dengus Tofan, diiyakan oleh Marco.

Klik. Klik. Klik. Bu Nia mengeklik.

"Look! Siapa itu? Pause Bu, pause!" pekik Gasta.

Bu Nia menge-zoom video tersebut. Tampak sosok yang buram, kabur, tapi berpakaian olahraga, dari arah toilet belakang, masuk ke kelas 8A. Dan sosok itu adalah... Danes.

"Tuh kan. Liat kan." gumam Gasta lirih.

"Busuk banget lo Dan. Busuk! Busuuuk!" Amarah Gasta tidak terbendung. Dia memberontak hendak menyerang Danes, namun Tofan dan Marco menahannya. Bu Nia kewalahan. "Sudah, sudah, hey! Gasta!" bentak Bu Nia, disusul tamparan keras ke pipi Gasta. Sakit sekali, pipi maupun hatinya. Jelas-jelas Danes yang salah, kenapa dirinya yang ditampar?

Gasta terdiam memegangi pipinya. Namun matanya berkilat tajam ke arah Bu Nia dan Danes.

"Udah jelas kan siapa pelakunya. Tuduh aja gue terus. Susah emang urusan ama orang-orang kaya kalian!" desis Gasta lirih, rendah, namun tajam, sambil menunjuk-nunjuk mereka bertiga. Lalu dia berbalik badan meninggalkan ruangan BK dengan membanting pintu keras-keras.

Continue Reading

You'll Also Like

78.1K 2K 30
A little AU where Lucifer and Alastor secretly loves eachother and doesn't tell anyone about it, and also Alastor has a secret identity no one else k...
30.2K 575 36
หš ยท . "Welcome to FPE Oneshots!, feel free to make requests." โ•ฐโ”ˆโžค โœŽ ๐™๐™š๐™ฆ๐™ช๐™š๐™จ๐™ฉ๐™จ ๐™–๐™ง๐™š ๐™˜๐™ก๐™ค๐™จ...
267K 7.8K 133
"๐‘ป๐’‰๐’†๐’“๐’†'๐’” ๐’“๐’†๐’‚๐’๐’๐’š ๐’๐’ ๐’˜๐’‚๐’š ๐’๐’‡ ๐’˜๐’Š๐’๐’๐’Š๐’๐’ˆ ๐’Š๐’‡ ๐’Š๐’ ๐’•๐’‰๐’†๐’Š๐’“ ๐’†๐’š๐’†๐’” ๐’š๐’๐’–'๐’๐’ ๐’‚๐’๐’˜๐’‚๐’š๐’” ๐’ƒ๐’† ๐’‚ ๐’…๐’–๐’Ž๐’ƒ ๐’ƒ๐’๐’๐’๐’…๐’†."
52.4K 938 25