My Dearest is A Programmer

By Himekazeera

10.8K 845 40

[[UNFINISHED]] CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN KARENA BERBAGAI SEBAB, DIMOHON UNTUK TIDAK LAGI MENUNGGU CERITA I... More

A Sad Opening Story
Prolog
1. My Dearest is A Programmer - Damn!! I am Late
2. My Dearest is A Programmer - Lovely Brother
3. My Dearest is A Programmer - He with His Friend in Korea
4. My Dearest is A Programmer - Work it
5. My Dearest is A Programmer- I'm Back
6. My Dearest is A Programmer - Feel It
7. My Dearest is A Programmer- Comparison
8. My Dearest is A Programmer- After One year
9. My Dearest is A Programmer - A Man In Her House
10. My Dearest is A Programmer-Home
11. My Dearest is a Programmer- Ace Hardware Shopping Date
12. My Dearest is A Programmer- Neighbour
13. My Dearest is A Programmer- Old Friend ??
14. My Dearest is A Programmer-教えて
15.1. My Dearest is A Programmer - Take Care with Your Health
15.2 My Dearest is A Programmer- Take Care with Your Health
15.3 My Dearest is A Programmer-Take Care With Your Health
16. My Dearest is A Programmer - Office Hours
17.1. My Dearest is A Programmer- Unexpeted
17.2 My Dearest is A Programmer - Unexpeted
Meet Characters
18.1 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
18.2 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
18.3 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
18.4 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
18.4.2 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
18.5 My Dearest is A Programmer- Abel and Ardian Time
19.1 My Dearest is A Programmer- Tell All
19.2 My Dearest is A Programmer- Tell All
20.2 My Dearest is A Programmer- Airport Goodbye
Author's Notes
20.3 My Dearest is A Programmer- Airport Goodbye

20. 1. My Dearest is A Programmer- Airport Goodbye

214 19 0
By Himekazeera

20. My Dearest is A Programmer – Airport Goodbye

Airport Goodbye is the Absolute Worst.

Ika Vihara- The Danish Boss

Abel menyandarkan punggungnya pada dada Ardian, sementara Ardian menyandarkan dagunya pada puncak kepala Abel, kedua tangannya melingkari perut Abel. Mereka tengah duduk pada sebuah kusen jendela yang berada di bagian belakang rumah Abel. Kedua tangan Abel sibuk dengan ponsel Ardian, memainkan game Gajah terbang yang dibuat oleh Ardian. Masih belum ada perkembangan dari tampilan game itu, padahal sudah nyaris empat bulan.

Sesekali sebuah senyum tersungging pada wajah Ardian saat Abel berhasil menyelesaikan sebuah level.

"Kamu enggak niat bikin game ini lebih bagus?" tanya Abel tanpa mengalihkan fokusnya dari game.

"Hmmm..." Gumam Ardian, "Kayanya enggak deh, paling aku bikin level lanjutannya buat kamu. Aku lagi pengen bikin aplikasi buat kita."

Abel mendongkak, "Aplikasi apa?"

"Semacam aplikasi buat video call gitu." Ardian menggedigkan bahu.

"Kan udah ada WhatsApp, Face time, sama Skype di hp aku. Kamu sendiri yang pasang terus bilang, 'ini aplikasi biar kita bisa video call terus, kalo bosen tinggal pilih deh mau yang mana.'" Kata Abel, "Terus ngapain kamu bikin aplikasi lagi? Nanti ram aku penuh."

Beberapa hari yang lalu Ardian membeli dua buah ponsel yang sama persis, salah satu ponsel itu, ia berikan pada Abel. Menurut Ardian, kondisi ponsel Abel sudah cukup mengkhawatirkan. Selain itu, ponsel baru yang Ardian belikan memiliki performa yang cukup bagus, mulai dari kamera, baterai, hingga kemampuannya menangkap sinyal meskipun berada di wilayah pelosok.

"Bukan cuma aplikasi buat video call, ya pokoknya itu aplikasi khusu buat LDR."

Abel tersenyum lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada game, "Kamu kayanya enggak rela aku pergi."

Ardian enggan menjawab, ia lebih memilih mengeratkan pelukannya pada Abel. Ini malam terakhir Abel berada di dekatnya, setelah itu mereka akan berpisah selama tiga bulan. Jika pun sempat, mereka akan bertemu kembali sebentar lalu berpisah satu tahun, karena Ardian harus pergi ke California. Atau yang lebih parah, mereka tidak akan bertemu selama empat tahun, jika Abel langsung melanjutkan studinya di Jepang tanpa kembali terlebih dahulu.

"Ar..." panggil Abel setelah menghentikan sejenak game pada ponsel Ardian.

"Padahal aku yang dukung kamu buat berangkat ke Jepang. Tapi kok sekarang aku yang ngerasa nggak rela kamu pergi, ya?" Ardian memejamkan matanya. Ia tidak pernah merasa tidak rela seperti ini saat seseorang akan pergi jauh darinya. Bahkan pada anggota keluarganya, karena mereka hanya pergi sebentar, paling lama dua minggu.

"Padahal aku udah berusaha biar kuat, jauh dari kamu lagi." Ujar Abel sambil mengusap tangan Ardian yang melingkar pada perutnya. "Kenapa sih kita selalu berjauhan? Seolah Tuhan dan seluruh dunia enggak setuju kalau aku sama kamu deket?"

Ardian menarik napas dalam, "Ujian cinta itu berat banget ya? Apa hasilnya bakalan setimpal sama apa yang udah kita usahain?"

Takut dan kehilangan. Dua kata itu terus berputar dalam pikiran Ardian beberapa waktu belakangan. Apalagi setelah bertemu dengan Kazuki, laki-laki yang akan menemani Abel selama berada di Jepang. Laki-laki bertubuh jangkung bermata biru dan memiliki karisma tersendiri. Ardian berhasil menemui laki-laki dan dosen pembimbing Abel saat menemani Abel mengurus berkas terakhir untuk pergi ke Jepang.

Ardian merasa takut Abel akan berpaling pada laki-laki itu. Walau seperti apa pun Ardian mengenyahkan pemikiran itu, namun sebuah kalimat membuat pemikiran itu terus kembali. 'Seseorang yang setia akan kalah oleh seseorang yang selalu ada.' Selama berada di jakarta, Ardian berusaha menjadi orang yang selalu ada untuk Abel. Lalu bagaimana saat di Jepang nanati? Hanya Kazuki yang akan selalu ada untuk Abel, bukan Ardian.

Kehilangan begitu terasa, meskipun Abel belum beranjak dari sisinya. Lalu bagaimana dengan Abel saat ia tinggal ke California nanti? Astaga! Ardian bisa menjadi gila hanya karena Abel akan pergi.

"Kita berdoa aja semoga hasilnya setimpal." Abel berusaha menenangkan Ardian, meskipun hatinya ikut diselimuti rasa takut.

Risa. Nama itu belum bisa Abel enyahkan. Setelah kejadian di pasar malam, Abel belum pernah bertemu lagi dengan Risa. Abel merasa sedikit lega, namun juga was-was.

"Apa kamu bakal kembali?" tanya Ardian dengan nada yang dalam dan berat.

"Aku pergi, untuk kembali." Jawab Abel dengan yakin. Abel membalikan tubuhnya dan memeluk Ardian, "Aku akan kembali, buat kamu." Gumam Abel pada dada Ardian.

Mereka berpelukan cukup lama sampai akhirnya Abel mengeluh bahwa ia merasa sesak dengan pelukan Ardian.

"Kenapa kamu enggak anggap aja kaya waktu kamu masih di Korea? Jepang dan Korea 'kan enggak terlalu jauh." Abel berusaha tersenyum, "Cuma sekarang kita tukar posisi, aku di luar negeri, kamu di Indonesia."

Ardian menghela napas sambil menggenggam tangan Abel, "Semuanya enggak akan semudah itu, sayang." Wajah Abel seketika merona mendengar Ardian memanggilnya sayang.

"Kalo gitu, bisa kamu percaya sama diri kamu sendiri, kalo kamu bisa ngelewati semuanya dengan kuat. Kaya aku ngelewatin semua itu dulu?"

"Aku enggak tahu."

Abel mengambil kedua tangan Ardian dan menggenggamnya, "Trust me, kamu ah bukan. Kita pasti bisa lewati semua ini."

Ardian memejamkan matanya sambil menarik napas, "I will try to trust it."

Abel menyunggingkan sebuah senyuman, "Terima kasih."

"Teteh, ayo makan!" seru ambu dari dalam rumah.

"Ayo!" ajak Ardian sambil membantu Abel berdiri, keduanya pun berjalan menuju meja makan.

"Hari ini kamu tidur di sini 'kan?" tanya Abel.

Ardian mengangguk, "Aku bakal nemenin kamu sampai ke bandara besok."

Lagi-lagi Abel menyunggingkan sebuah senyuman. Keluarganya sudah berada di meja makan. Ardian memberikan kejutan dengan menjemput keluarga Abel satu minggu yang lalu, padahal mereka berencana akan pergi ke Jakarta satu hari sebelum keberangkatan Abel.

***

Ardian merasa perjalanan menuju bandara kali ini adalah perjalanan paling singkat yang pernah ia lalui. Abel tidak melepaskan genggaman tangannya selama Ardian menyetir mobil. Bibir Abel terus menyunggingkan sebuah senyuman, namun raut kesedihan –ketidak relaan- terlihat jelas pada wajahnya. Mata bulatnya yang biasa memantulkan kebahagiaan, hari ini berubah sendu.

Perasaan Abel terbelah antara berangkat dan tetap tinggal di sini, mengabaikan impiannya yang sudah berada di depan mata. Namun, Abel sudah memantapkan hati untuk pergi. Bialah untuk beberapa waktu ia tidak berada di sisi laki-laki yang ia cintai, biarlah Ardian merasakan perasaan yang ia rasakan dahulu saat laki-laki itu berada di negeri ginseng.

Gerbang keberangkatan internasional. Bukan tempat yang asing bagi Ardian. Namun rasanya berbeda saat ini. Bandara ini terasa seperti musuhnya.

Dua orang laki-laki yang pernah Ardian temui di kampus Abel berdiri di dekat security check point. Laki-laki jangkung yang mengenakan kemeja berwarna merah yang digulung hingga siku, melambaikan tangannya pada Abel.

Ardian menarik koper Abel sambil tetap menggenggam tangan Abel. "Kamu beneran mau pergi?" tanya Ardian dengan nada yang sendu.

"Aku pergi, untuk kembali." Abel mengusap pelan wajah Ardian.

Ardian menghela napas dengan berat lalu memeluk Abel untuk terakhir kalinya. Ardian tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya, termasuk orang tua Abel. Ardian menumpahkan semua perasaannya dalam pelukan itu.

Abel melepaskan pelukan Ardian dan menggelengkan kepalanya saat Ardian hendak melayangkan sebuah ciuman. Orang tua Abel berjalan mendekati Abel, air mata sudah menganak sungai pada wajah Ambu dan Abah. Bahkan pada wajah Daniel, meskipun anak itu sudah berusaha menahannya.

Abel memeluk kedua orang tuanya bergantian, "Jaga diri ya, Teh di sana." Ujar Abah dan Ambu.

Daniel langsung memeluk Abel sesaat setelah Abel melepaskan pelukan dari Ambu, "Teteh harus sering ngabarin ya."

"Iya... iya... udah jangan nangis, kamu jadi jelek." Abel mengusap air mata pada pipi Daniel lalu berjalan kembali pada Ardian. "Aku harus pergi." Abel berusaha mengambil kopernya yang sengaja Ardian jauhkan.

Ardian menarik napas, lalu memberikan koper Abel. "Kok aku pengen waktu berhenti sekarang ya?"

"Enggak mungkin bisa berhenti 'lah."

Ardian berusaha untuk tersenyum lalu mengecup kening Abel, "Aku cinta kamu, Bel." Kata Ardian setelah melepaskan ciumannya pada kening Abel.

Abel mengangguk, "Aku juga." Abel berjalan melewati security check point, bergabung dengan dosen pembimbingnya dan Kazuki.

Abel berjalan ke dalam bandara. Mata Ardian hanya bisa mengikuti punggung Abel yang semakin menjauh. Abel menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya pada Ardian serta keluarganya yang belum berpindah tempat.

Pertahanan Ardian runtuh saat punggung Abel menghilang dari pandangannya. Abah mendekati Ardian dan mengusap bahu Ardian. "Sudah nak, ayo kita pulang. Abel pasti nggak akan senang liat kamu kaya gini."

"Abel pasti ngejaga hatinya buat kamu." Lanjut ambu. Ardian hanya bisa mengangguk lalu mengajak keluarga Abel untuk kembali ke rumah Abel.

Saat hendak meninggalkan bandara sebuah WhatsApp dari Abel masuk pada ponsel Ardian.

Abel : Kalo kamu sayang sama aku, kalo kamu rindu aku, kamu bisa melampiaskannya pada keluarga aku. Karena sekarang keluarga aku, juga jadi keluarga kamu.

With love, Abel.

Ardian tersenyum lalu menyimpan ponselnya pada dashboard, Ardian menolehkan kepalanya untuk sekadar melihat orang tua Abel yang tengah duduk di kursi belakang. Sedangkan Daniel duduk di samping Ardian, berjaga-jaga jika Ardian tidak fokus saat menyetir nanti.

"Jadi pulang?" tanya Ambu.

"Jadi dong!" Ardian pun langsung menancap gas dan meninggalkan bandara.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

170K 13K 30
Bagaimana cara nya hidup bersama orang yang sama sekali tidak kita sukai?. Akankah hubungan mereka baik-baik saja, atau mungkin?, Ikutin cerita ini...
14.9M 724K 68
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
Mine By kiki_7722

General Fiction

94.7K 4.4K 33
Menguatkan Cinta dengan Bersama Melupakan Cinta karna Takdir sang pencipta. (Muhammad Faizan Zayyan Al-Gifari)
147K 7.5K 13
(Sekuel Dianggap Sang Pendosa) | Bisa dibaca terpisah Pertemanan yang seharusnya berjalan dengan baik harus terputus karena seorang Ning dari Pondok...