Aim for Aimee

By nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... More

1 - Gasta
2 - Aimee?
3 - Gasta, ternyata Aimee...
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - โค
16 - ๐Ÿ’”
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

8 - Gasta Dimusuhi

180 24 0
By nellieneiyra


Semenjak Aimee bercerita soal dirinya yang membutuhkan sosok yang selalu 'ada' untuknya, Gasta makin yakin untuk merebut Aimee dari Deon. Busuk memang, namun Gasta tidak ingin kehilangan kesempatan. Lagipula, sudah seminggu Deon dirawat di rumah sakit, dan berdasarkan pengakuan Aimee, Deon jarang sekali menghubunginya. Bukankah itu suatu kesempatan emas? Bodoh sekali jika Gasta sampai melewatkan Aimee saat ini.

Menurut Gasta, Feliz tak perlu tahu rencananya ini. Cukup soal perasaan Gasta yang menggebu pada Aimee saja yang perlu Feliz ketahui. Selebihnya, baiknya tidak. Jelas Feliz akan berceramah soal etika berpacaran dan berteman, belum lagi jika ada hukuman bagi Gasta yang akan membuatnya tidak nyaman dan menghalangi jalan menuju Aimee.

Kealpaan Deon secara tidak langsung mengubah Aimee menjadi ignoran pada orang lain, terutama pada Deon. Sosoknya yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang - yang biasa dia dapatkan dari Deon - menjadi target yang empuk bagi Gasta. Hujan perhatian dan limpahan perlindungan dicurahkannya pada Aimee. Aimee yang lugu, tidak menyadari hal tersebut, sehingga sedikit demi sedikit, kehadiran Deon dihidupnya mulai terabaikan. Kisah asmara anak SMP, baiknya dimaklumi saja.

Berbeda dengan Feliz dan Baskara. Meski hampir tiap malam Raymond mengajaknya berbincang melalui Whatsapp, Feliz tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Dia lebih memilih Baskara. Karena, di alam bawah sadarnya, ada bekas luka yang tidak pernah bisa hilang yang ditorehkan oleh Raymond. Belasan tahun lalu itu.

"Fel, cowok kamu yg guru itu kan?"

"Bukan cowok sih. Ga jadian kok. Tapi ya gitu, deket."

"Kenapa ngga jadian ajah?"

"Kalo putus ngga enak. Kan rekan kerja."

"Ya jangan ampe putus. Orang udah gede juga. Terus, kalian berdua udah pernah ngungkapin perasaan masing-masing?"

"Lewat kata-kata, gitu maksudnya?"

"Yap. Pernah ngga?"

"Dengan action kan juga bisa. Action speaks louder than words kan? Harus yah pake bilang 'I love you' gitu?"

"Mmm, kalo bisa sih iya, kan buat memastikan. Kalo ternyata cuma bapernya masing2 gimana? Lagian kenapa sih kok ngga saling ngungkapin, gitu?"

Feliz skeptis dengan pertanyaan Raymond kali ini. 25 years old man dan masih membahas cinta yang harus diungkapkan? Grow up, man!

"Mau tau kenapa? Aku trauma, takut ditinggalin setelah aku ngungkapin perasaanku." Feliz membuat jawaban yang sangat menusuk.

Hati Raymond terkulai lemas. Setengah mati dia merasa tersindir dan tertohok setelah membaca ucapan Feliz.

Suatu sore, di akhir minggu, Gasta dan Feliz bersantai ria di teras rumah, sambil menikmati secangkir teh dan sepiring kukis coklat. What a quality time, menurut Feliz. Itu adalah saat yang tepat untuk bertukar pikiran dan cerita dengan Gasta, ajang mengevaluasi diri dan hal-hal yang berkenaan dengan aspek kehidupan lainnya satu sama lain.

"Kak, aku makin deket lho ama Aimee." beritau Gasta. Bangga dan senang.

"Oh ya? Waaah. Eh, tapi inget batasannya kan?"

"Inget dong. Lagian kan cuma temen kita. Bener kata kakak. Kalo kita beneran sayang, bisa deket ama dia aja udah bikin kita bahagia ya." tutur Gasta.

"Tuh, bener kan." ujar Feliz. "Deon masih dirawat ya?"

Gasta angkat bahu. "Aimee udah jarang bahas Deon."

Alis Feliz terangkat, lalu dia menyeruput tehnya yang masih hangat.

***

Sementara itu, Aimee di rumahnya sedang dalam rasa rindu yang menggebu. Rindu pada Deon. Bagaimanapun, Deon masih ada di hatinya.

"Deon, gimana kondisimu?" Aimee mencoba menghubungi Deon.

"Aku udah baik-baik aja kok. Lusa aku pulang ke rumah. Udah boleh sekolah malah kata dokter."

Alangkah sukacitanya hati Aimee mendengar kabar itu. Tak sabar dia menanti hari Selasa. Kalau sudah ketemu Deon nanti, satu hal yang ingin Aimee lakukan: memeluk Deon erat-erat!

Namun tiba-tiba, bayangan Gasta melintas di benaknya. Teringat jelas saat di menginap rumah Gasta tempo hari, betapa bahagianya sorot mata Gasta saat bercanda dengannya di bawah sinar rembulan, dengan latar lampu-lampu komplek yang kata Gasta lebih keren dari bintang-bintang. Ah, tapi wajah Gasta memang terdesain selalu tampak bahagia kok. Senyumnya yang tak pernah pudar bisa membuat siapapun yang melihatnya menjadi semangat kembali.

"Ah, Gasta. Such a real friend." gumam Aimee, sambil memandangi foto-foto selfienya bersama Gasta di ponselnya saat mereka berdua di atas atap kemarin.

***

Senin tiba. Kemarin Gasta barusan main ke rumah Valdi. Valdi adalah salah satu teman sekelasnya yang hobi memelihara ular. Gasta juga suka ular. Saat di rumah Valdi kemarin, Gasta ikut-ikutan memberi makan ular-ular milik Valdi.

"Makannya tikus mencit. Lo berani ga megang tikus?" tanya Valdi sambil mengeluarkan seekor tikus mencit dari kotaknya.

"Yeee, berani lah. Sini." Gasta meraih seekor dari tangan Valdi. "Langsung lempar, nih?"

"Yoih." sahut Valdi.

Plung! Dan hap! Dibelitnya mencit itu oleh si ular, dan langsung dilahapnya bulat-bulat, dari kepalanya dulu.

"Wow... Berasa nonton discovery channel." gumam Gasta.

Gasta meminta seekor mencit pada Valdi. Katanya buat peliharaan. "Itu mencit loh, bukan hamster." Valdi mengingatkan.

"Ngerti. Emang kenapa?"

"Ya ga semestinya dipelihara."

"Ga papa lah. Buat lucu-lucuan."

Valdi nyengir. "Serah dah."

Dan pagi ini, di sekolah, Gasta membawa mencit itu di dalam tasnya. Sudah diwadahi kotak bening, sih. Tapi tetap saja, bagi yang tidak suka tikus bakal menjerit jika melihatnya.

Otak jahil Gasta mulai beraksi. Dia ingat benar, satu-satunya teman cowoknya yang takut pada tikus adalah Marco. Marco ini berpawakan kecil, pendek, tapi lucu. Duduknya di bangku yang paling belakang. Sehingga, timbullah ide busuk di kepala Gasta untuk mengerjainya.

Saat semua sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing - ya, saat itu kebetulan sedang jam kosong, Gasta diam-diam menaruh mencitnya itu di kolong meja Marco. Tempat Marco menaruh buku-bukunya. Pasti seru melihat Marco teriak-teriak ketakutan, batin Gasta. Gasta lalu duduk di bangkunya, yang berada di sebelah bangku Marco.

Si pemilik bangku sedang ke toilet bersama teman sebangkunya. Gasta menunggu dengan deg-degan. Tawanya sudah dia tahan-tahan agar tidak pecah sebelum waktunya.

Tak dinyana, salah seorang teman sekelas Gasta, Danes, berjalan menuju bangku Marco.

"Dimana, Mar? Kolong meja lo, kan?"

"Yoiiih." sahut Marco, ternyata sudah di kelas tapi di dekat pintu.

Gasta terhenyak. Gugup, semoga mencit itu tidak muncul sebelum Marco yang menemukan.

Tangan Danes merogoh-rogoh kolong meja Marco. Gasta menggigit bibir menahan gugup. Dan, benar saja.

"Wuaaaaaaa! Tikuuuuus!" pekik Danes keras-keras. Si mencit sempat merambati tangan Danes hingga ke siku sebelum dia lompat dan lari ke kolong lemari di belakang kelas. Danes, yang terlampau kaget, serta-merta tersentak ke belakang, terjerembab hingga jatuh ke lantai dalam posisi duduk, dan tiba-tiba berteriak kencang kesakitan.

Para cewek menjerit-jerit kesetanan. Ketakutan oleh tikus dan teriakan Danes yang masih dalam posisi duduk. Valdi, Azhar, dan beberapa teman lainnya berlari menghampiri Danes, tak terkecuali Gasta.

Danes masih terduduk sambil mengerang kesakitan. Berteriak-teriak seperti orang melahirkan. Gasta panik, begitu juga yang lain. Di tengah kegaduhan itu, dengan polosnya Valdi berteriak, "Itu mencit lo yang gue kasih kan, Gas?"

Semua mata tertuju pada Gasta, termasuk Marco.

"Ngapain lo bawa ke sekolah?" lanjut Valdi lagi.

Mata Danes yang berurai airmata, bergeser tajam ke arah Gasta. Berkilat-kilat penuh amarah. Danes mengerang lagi.

Gasta di ambang kebingungan. Jika dia diam saja, dia bakal dicap berniat mengerjai teman-teman sekelas. Namun jika Gasta mengaku akan mengerjai Marco, mungkin Danes tak jadi marah padanya, namun Marco pasti yang akan berang. Akhirnya Gasta buka suara.

"Sorry, sorry guys. Gue tadi mo ngerjain Marco sebenernya, makanya gue taroh tikusnya di kolong Marco. Sorry ya. Dan, lo ga papa?" tanyanya pada Danes. Danes masih menangis lirih kesakitan. Tanpa kata-kata, dia menghujamkan tatapannya yang menyiratkan kebencian pada Gasta.

Gerutuan mulai terdengar, baik dari para cewek maupun para cowok. Ada yang tertawa-tawa, ada yang merutuk Gasta. Tapi mereka fokus pada Danes yang masih belum bisa bangun karena kesakitan. "Ayo, kita anter ke UKS aja." ajak Azhar. Semuanya mengiyakan. Danes dibopong menuju UKS. Gasta hanya menyaksikan dari bangkunya, karena tak sanggup bergerak apalagi berkata-kata. Speechless. Ingin pingsan dan lemas rasanya, karena takut terjadi apa-apa dengan Danes.

Gasta menoleh ke arah Aimee. Yang ditoleh hanya memandangi Gasta dengan tatapan nanar, lalu menggeleng-geleng samar. Hati Gasta hancur.

Sekembalinya mereka dari UKS, mereka menghampiri Gasta. "Lo ngapain sih pake acara ngerjain segala hah?" bentak Lefina, salah satu cewek yang ikut mengantar Danes ke UKS tadi. "Sorry, gue gak niat ngerjain Danes. Gue nyesel banget. Sorry." ujar Gasta cengengesan, berusaha menutupi gugupnya. "Gak niat ngerjain Danes tapi ngerjain gue, sama aja!" timpal Marco sambil ketawa, ketawa nyindir. Gasta membalasnya dengan tawa. Atmosfer yang asalnya tegang, jadi mencair. "Udah, udah. Ayo balik ke bangku masing-masing. Doain aja biar Danes gak kenapa-kenapa." pungkas Valdi bijak.

Insiden siang itu ternyata membuat pihak UKS ke kelas Gasta untuk mengambil tas Danes. Danes dipulangkan. Bukan pertanda baik, namun Gasta optimis saja. Setidaknya dia terbebas dari amukan Danes siang itu.

Danes dikenal sebagai sosok yang tengil dan sedikit angkuh. Kulitnya putih, berwajah ganteng, tapi tidak sedap dipandang. Berbeda dengan Gasta yang meski tidak begitu putih namun selalu terlihat menyenangkan. Danes tidak terlalu pintar, tapi dia jago sekali matematika dan fisika, sampai diikutkan olimpiade oleh sekolah. Dia juga berteman dengan berandalan-berandalan sekolah, punya geng yang paling ditakuti di sekolah yang beranggotakan murid-murid Feliz, berandalan kelas 8H. Dan ciri khas Danes yang bahkan sampai guru-gurupun hafal, yakni sifatnya yang suka menyalahkan, menyalah-nyalahkan, dan mencari kesalahan orang lain. Dengan kata lain, he's totally judgemental.

Maka, membuat kesalahan pada Danes termasuk hal yang riskan dan dapat berdampak sangat buruk bagi diri dan orang lain. Banyak yang kurang menyukai Danes sebab sifat pendendamnya sangat tinggi. Begitu juga dengan sifat congkaknya.

Masih teringat di benak Gasta insiden di kelas 7 saat awal-awal dia menyukai Aimee. Saat jam olahraga. Gasta, Danes, dan para siswa laki-laki lainnya bermain voli di lapangan. Sementara yang perempuan, karena jam olahraga sudah hampir habis, hanya duduk-duduk saja di pinggir lapangan.

Aimee saat itu hendak kembali ke kelas bersama Sandra dan Rinka. Mereka berjalan menyusuri pinggir lapangan. Tiba-tiba, buk!

Kepala Aimee dengan sukses dihantam oleh bola yang dismash oleh Danes.

"Aaaaah!" rintih Aimee kesakitan. Sedetik kemudian, dia merasakan bagian hidungnya meneteskan darah. Ternyata pukulan Danes terlampau keras hingga menyebabkan hidung Aimee berdarah.

"Heh, ngawur aja lo! Sapa tadi yang ngesmash bola?" amuk Sandra pada cowok-cowok itu. Semua menunjuk-nunjuk Danes. Aimee menangis di tepi lapangan, dengan Rinka di sisinya membantu membersihkan darah dari hidung Aimee.

"Goblok lo Dan! Minta maaf sana ama Aimee!" suruh Sandra.

"Idih, ngapain? Yang salah dia lah, sapa suruh jalan di lapangan pas kita lagi main!" tolak Danes angkuh.

"Sialan lo Dan. Berarti gue juga salah, gitu? Rinka juga? Udah jelas-jelas yang mukul itu elo, masih gak mau minta maaf?" balas Sandra.

"Heh, denger ya. Kalo lo bertiga kaga lewat situ, kaga bakal bola tadi kena ke kepala dia! Mikir dong!"

"Ya elo tuh yang mikir. Gue laporin ke Pak Pram ya!"

"Brengsek lo Ndra! Berani beraninya lo..."

amukan Danes terhenti karena para siswa laki-laki lain menahannya. Gasta menatap Aimee yang sedang menangis, lalu menghampirinya.

"Udah, bawa ke UKS dulu aja." ujar Gasta. Diantar oleh Sandra, Rinka, dan Gasta, Aimee tertatih menuju UKS. Setibanya di sana, Sandra dan Rinka pamit balik duluan ke kelas karena bel ganti pelajaran sudah berdering dan mereka harus ganti baju. Sementara Gasta menunggui Aimee di UKS.

Aimee masih menangis sesenggukan, meski hidungnya sudah tidak berdarah lagi. Kepalanya sudah tidak terlalu sakit, tapi hatinya sangat sakit.

"Udah, udah, ga papa. Masih sakit emangnya? Enggak kan?" hibur Gasta.

"Udah nggak sih Gas." desis Aimee. "Tapi aku masih sebel, emosi banget ama Danes." Aimee terisak lagi. "Kok ada sih orang yang congkaknya kaya gitu. Aku dongkol banget Gas, benci! Udah jelas-jelas dia yang ngenain bola ke aku, ya kan? Masih mangkir, malah nyalahin aku lagi! Aku sebel, Gas! Dia harusnya minta maaf ke aku!"

Gasta tersenyum iba. Sambil menyentuh tangan Aimee, Gasta menatapnya lekat-lekat. Dia masih sesenggukan.

"Udah udah." ujarnya lembut. "Kalo kamu masih marah, gini aja. Apa perlu aku yang maju ke Danes? Bujuk dia biar minta maaf ke kamu?"

Aimee menatap Gasta dengan mata yang masih sembab.

"Enggak, Gas. Kamu nggak perlu nyuruh dia minta maaf. Biar dia sendiri aja yang nyadar."

"Kalo gitu kamu jangan sedih lagi. Jangan nuntut Danes buat minta maaf. Danes itu beda, nggak kayak kita. Dia... Dia nggak akan mau buat minta maaf." tutur Gasta halus, namun tegas.

"Kamu harus tau Mee." Gasta berhenti sejenak. "Nggak semua orang itu normal dan sesuai ekspektasi kita. Jangan terlalu berharap sama orang. Karena ga semua orang punya prinsip yang sama dengan kita."

Kesedihan Aimee pagi itu berakhir sudah.

Gasta tersentak dari lamunannya. Kali itu, dia hanya duduk diam di bangkunya, berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada Danes.

9P

Continue Reading

You'll Also Like

196K 10K 89
Being flat broke is hard. To overcome these hardships sometimes take extreme measures, such as choosing to become a manager for the worst team in Blu...
267K 7.8K 133
"๐‘ป๐’‰๐’†๐’“๐’†'๐’” ๐’“๐’†๐’‚๐’๐’๐’š ๐’๐’ ๐’˜๐’‚๐’š ๐’๐’‡ ๐’˜๐’Š๐’๐’๐’Š๐’๐’ˆ ๐’Š๐’‡ ๐’Š๐’ ๐’•๐’‰๐’†๐’Š๐’“ ๐’†๐’š๐’†๐’” ๐’š๐’๐’–'๐’๐’ ๐’‚๐’๐’˜๐’‚๐’š๐’” ๐’ƒ๐’† ๐’‚ ๐’…๐’–๐’Ž๐’ƒ ๐’ƒ๐’๐’๐’๐’…๐’†."
53.3M 378K 66
Stay connected to all things Wattpad by adding this story to your library. We will be posting announcements, updates, and much more!
24.5K 581 83
Continuation of Modesto story who happens to intercourse with friends,mature,classmates,strangers and even family...