Aim for Aimee

Av nellieneiyra

9.9K 933 397

"Karena terkadang orang ketiga itu bukan manusia, tapi perasaan kita sendiri." . . . . . . . . Gasta adalah g... Mer

1 - Gasta
2 - Aimee?
4 - Yang Telah Lama Hilang
5 - Sebuah Pengakuan
6 - Menemani Hati
7 - Sebuah Ketulusan
8 - Gasta Dimusuhi
9 - Keadilan untuk Gasta
10 - Gasta Diserang
11 - Aimee dan Kejutannya
12 - Tertuduh
13 - Terungkap
14 - Mengutuk Baskara
15 - ❤
16 - 💔
17 - Dia Bukan Gasta
18 - Tapi Dia Masih Aimee
19 - Diagnosa yang Mematahkan
20 - Definisi Kecewa
21 - Pertemuan yang Terulang
22 - Bertualangnya Aimee
23 - Memenangkan Ego
24 - Bicara pada Hati dengan Hati
25 - Agar Aimee Mengerti
26 - Kebenaran dari dan untuk Deon
27 - Deon Telah Memutuskan
28 - Sebuah Akhir yang Mengawali
29 - Baskara VS Feliz
30 - Baskara VS Gasta
31 - Aimee VS Gasta... Wait, What?
32 - Kedatangan Hati yang Lain
33 - Di Depan Mata Aimee
34 - Di Balik Sikap Aimee
35 - Ketika Mencoba Berubah
36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan
37 - Malaikat Tak Pernah Dusta
38 - Mengalah Hingga Menang
39 - Dibalas dengan Luka
40 - Tergerusnya Kepercayaan
41 - Pentingnya Tahu Diri
42 - Tersuratkan
43 - Masih Ada(kah) Harapan
44 - Mee, Peduli Tidak?
45 - Refleksi Perasaan Gasta
46 - Melihatnya Rapuh
47 - Pertarungan dan Pertaruhan
48 - Tidak Ada Aimee di Sini
49 - Kali Ke-Entahlah
50 - Kelanjutan Kemarin
51 - Danes Kembali
52 - Airmata Terderas Gasta
53 - Masa Lalu yang Menguji
54 - Terus Terang, Terus Menerangkan
55 - Dia atau Dia, Aku atau Mereka
56 - Pengungkapan Penuh Derita
57 - Susah Dibunuh
58 - Berani Tega yang Tak Disadari
59 - Dikira Pengkhianat
60 - Semudah Membalik Telapak Tangan
61 - Rintangan Mustahil Tak Ada
62 - Hadiah Pertandingan
63 - Rapuh, Tumbang, dan Terinjak
64 - Tidak Tepat, Tapi Tidak Terlambat
65 - Aimee si Penggerak Hati
66 - Hati Papa yang Terketuk

3 - Gasta, ternyata Aimee...

279 24 8
Av nellieneiyra

Waktu selepas sholat jum'at adalah waktu kesukaan Gasta. It's Band Time! Selain basket, Gasta juga ikut ekskul band. Dia jadi drummer. Keren kan? Gasta sudah berlatih drum sejak kelas 3 SD, karena ada ekskulnya juga di SDnya. Jaman Feliz dulu, boro-boro ada ekskul band di SD. Pramuka ada saja sudah lebih dari untung.

Entah darimana datangnya talent Gasta bermain musik. Papa mamanya tidak punya bakat musik; mungkin punya, tapi tidak dikembangkan. Sedangkan Feliz, sedikit bisa bermain piano, itupun otodidak. Gasta juga bisa bermain gitar, tapi tak selihai bermain drum.

Gasta masuk tim inti band indie sekolah. Dia masuk ke tim 2. Sering perform kalau ada perform ekskul mingguan. Kebayang kan betapa histerisnya fans-fans Gasta waktu melihat Gasta manggung. Apalagi, drum bukan alat musik biasa. Diperlukan kelihaian yang benar-benar memukau agar performa band tersebut bisa jadi maksimal.

Tim 2 terdiri dari beberapa siswa. Sandra, cewek, sekelas dengan Gasta, sebagai vokalis. Maruli, kelas 8H, sebagai gitaris. Fico, kelas 8B, sebagai bassis. Dan kadang, Vino, kelas 8C, sebagai keyboardis. Kelimanya cukup akrab, tapi hanya di saat ngeband saja. Di luar itu, mereka hanya berteman biasa.

Setiap Jum'at, Gasta selalu pulang menjelang Ashar, atau bahkan selepas Ashar. Cinta Gasta pada band kadang-kadang mengalahkan cintanya pada Feliz, sang kakak. Tak jarang Feliz pusing karena Gasta tidak pulang-pulang, tapi Gasta akhirnya sadar dan selalu mengabari kakaknya jika pulang terlambat.

Seperti siang itu. Sepulang Jum'atan, Gasta sudah nangkring manis di atas kursi drumnya. Asal-asalan memainkan, yang penting 'mukul' katanya. Yang lainnya juga masih nyetem-nyetem. Sandra malah masih jajan cimol di luar.

Lima menit berlalu, Sandra akhirnya masuk studio dengan membawa sebungkus cimol yang langsung ludes diserbu empat ekor cowok kelaparan. Akhirnya dia gondok dan tidak mau nyanyi. Malah nyuruh Maruli beliin cimol. Maruli mengalah, akhirnya mereka semua menunggu Maruli.

"Ayo mulai dong. Lama-lama jadi ajang nyimol nih, bukan ngeband!" celetuk Gasta gemas. Stik drumnya sudah dia mainkan dan putar-putar dengan jari tangan kanannya.

Maruli datang. Setelah mengunyah beberapa cimol, Sandra mulai tes mic. Suara Sandra ini khas, serak tapi tinggi. Jadi lucu, tapi tetap merdu. Outlook Sandra juga termasuk cantik jelita, hanya saja badannya sedikit mekar, dengan tekstur badan seperti squishy. Empuk dan enak dipeluk. Tapi Sandra ini jahilnya sama seperti Gasta. Tak jarang mereka berdua saling mengerjai di kelas.

"One, two, one two three go!" Gasta memberi aba-aba. Kali ini mereka berlatih lagu Kiss Me milik Sixpence None the Richer. Lagu klasik 90an, legend sekali. Sepertinya tidak ada yang tidak tahu lagu ini. Suara Sandra juga cocok membawakan lagu ini.

Saat tiba di reff-nya, tiba-tiba...

Brak! Pintu studio terbuka.

"Ssstt! Numpang sembunyi ya!" ujar cewek yang menginterupsi latihan mereka.

"Wuooooooo!" rutuk mereka berempat. Yang dirutuk hanya cengengesan.

"Aaaah, Aimeeee! Lagi klimaks nih!" keluh Sandra kesal.

"Lo cewe sih, coba cowo, udah gue gebuk pake gitar nih!" timpal Maruli, tapi senyum juga.

"Sorry, sorry, gue lagi dikejar nih! Sembunyiin gue dong." sahutnya kebingungan mencari tempat sembunyi. Pintu studio segera ditutupnya.

Semua ngedumel gara-gara Aimee, kecuali Gasta. Dia hanya tertegun, dengan senyum merekah di bibirnya yang menganga. "Aimee..." gumamnya lirih.

Brak! Pintu studio terbuka lagi.

"Nah, di sini ternyata. Sini! Sini!" seorang cowok menyusul masuk studio. Yang lainnya tak kalah kesal. Turut merutuk mereka berdua.

"Kyaaaa! Kok tau sih aku di sini!" pekik Aimee, tapi tertawa bahagia.

"Sini kamu! Siniiii!"

"Ampuuuuun! Ampun! Hahahahaha!"

Aimee terkekeh saat cowok itu menggelitikinya. Segera, Fico dan Maruli mendorong mereka berdua sambil tertawa-tawa. "Heee, pergi lo bedua! Ini studio, bukan kamar tidur!" usir Fico, ngakak. "Kaga ngerti orang lagi latian apa!" imbuhnya.

Senyum Gasta sirna. Bibirnya terkatup kuat. Matanya terbelalak perlahan.

Aimee...

"Hehehe. Sorry yah guys. Nih bocah centil lagi kena hukuman gelitik dari gue, malah kabur. Untung kalian nangkepin. Makasih ya!" ujar si cowok yang notabene bernama Deon tersebut.

"Iya iya udah pegi sana. Kita lagi latian. Dasar monyet kasmaran." dengus Sandra.

Mereka berdua lalu pergi meninggalkan studio.

"Mereka... Jadian?" lidah Gasta terlalu kelu untuk berkata.

"Kemana aja lo Gas? Udah tiga minggu lebih." timpal Sandra.

"Salah. Baru tiga minggu." ralat Fico sok bijak.

"Itu... Deon kelas 8H kan?"

"Yup. Lo kenal?"

Gasta menggeleng. Tak sanggup mengeluarkan suara.

"Berarti, cuma tau?"

Gasta mengangguk.

"Lo tau dari Miss Feliz, gitu?"

Lagi-lagi Gasta mengangguk.

"Lo kenapa Gas?" Maruli merasa heran dengan perubahan sikap Gasta yang drastis. Mukanya muram sekali, tak ada senyum pula di bibirnya.

"Ha? Gak papa. Yuk, lanjut lagi. Kunci aja pintunya." sahut Gasta, mengalihkan pembicaraan.

Sandra mengunci pintu. Maruli mulai masuk melodi intro. Gasta menerawang jauh, merasakan dasar hatinya yang mulai retak perlahan-lahan.

Jadian? Tiga minggu lebih?

Gasta kalut. Pikirannya terasa kusut. Surat itu kemarin... Tiba-tiba saja Gasta merasa sangat bodoh telah mengirim surat untuk Aimee.

Selanjutnya, latihan jadi kacau balau. Gasta selalu ketinggalan ritme, kadang malah terlalu cepat. Semua jadi kesal. Sandra bersungut-sungut. Maruli berkacak pinggang, dan Fico ngomel-ngomel tidak jelas. Gasta merasa bersalah. "Sorry banget yah guys, sorry. Gue lagi mendadak gak enak badan nih. Sorry gak bisa maksimal."

Yang lainnya tetap kesal. Tak pernah Gasta seperti ini. Sungguh aneh. Sedih sekali mereka.

"Ya udah kalo gitu, kita udahin dulu latiannya. Minggu depan lagi deh ya." Maruli mengakhiri latihan kali itu.

Gasta pulang. Karena Feliz sudah pulang duluan dari tadi, Gasta pulang naik angkot. Beruntung, sedang ada angkot ngetem tepat di depan sekolahnya. Gasta cepat-cepat berjalan keluar sekolah, sementara ada suara yang memanggil dari belakang.

"Gas! Barengan dong!"

Aimee lagi.

Hati Gasta semakin remuk. Mau pura-pura budeg, tapi itu bukan gaya Gasta untuk nyuekin orang. Terpaksa dia menahan langkahnya agar Aimee bisa bareng dengannya.

"Kok tumben naik angkot?" basa-basi Gasta kacau sekali. Padahal kan, Aimee biasanya ya naik angkot.

"Iya, Bundaku ada perlu soalnya jadi nggak bisa jemput."

Masuklah mereka ke dalam angkot.

Di bagian paling belakang, mereka duduk berhadapan. Gasta dan Aimee sudah sekelas sejak kelas 7. Kelas mereka tidak diacak lagi karena kelas unggulan. Dan Gasta sudah setahun lebih memendam perasaannya untuk Aimee.

Rumah Gasta tidak terlalu jauh dari rumah Aimee, hanya berjarak kurang lebih satu kilometer. Makanya, angkot mereka sejurusan. Beda komplek saja. Aimee tidak jarang main ke rumah Gasta, tapi juga tidak terlalu sering. Biasanya sih, urusan English Club dengan Feliz.

"Gas." panggil Aimee saat angkotnya mulai berjalan.

"Hm?"

"Kok tumben latihan band jam segini udah kelar?"

"Iya. Aku lagi gak enak badan."

"Oh. Kenapa?" nada Aimee terdengar khawatir.

"Pusing." Gasta berbohong. Eh, nggak bohong juga sih. Pusing mikirin Aimee yang udah jadian dan ngeliat aksi mesra Aimee dan Deon di studio tadi.

"Oh. Ya udah ntar nyampe rumah istirahat aja."

Gasta tersenyum. "Ciye. Perhatian banget sih." selorohnya.

"Lah, bener kan?" bela Aimee pada dirinya sendiri.

Keduanya lalu terdiam. Gasta menatap keluar angkot, sedangkan Aimee memainkan ponselnya.

"Mee." panggil Gasta dengan tatapan masih melihat jalanan.

"Ya?"

"Tadi itu Deon kan?"

"Kamu kenal?" tanya Aimee antusias.

"Nggak. Cuma tau. Muridnya Kak Feliz kan." tukasnya. "Udah resmi?" lanjut Gasta nekat bertanya.

"Maksudnya?"

"Ya kamu, ama Deon. Udah resmi jadian?" Gasta memperjelas.

Aimee tersenyum jahil. "Udah dong." tukasnya malu-malu.

Patahlah jadi dua hati Gasta kala itu.

"Ciye, dari kapan?" tak disangka pandai sekali Gasta menyimpan kehancuran hatinya.

"Ada dua minggu kayanya. Sekitar segitu lah."

Ah, rupanya Sandra benar.

"Dia yang nembak?"

"Ya iya, masa aku."

"Jadi kemaren surat kamu buat..."

"Dia, lah." sela Aimee bangga. "Surat dia juga buat aku." lanjutnya. Gasta tersenyum, terpaksa.

"Kamu sendiri kemarin dapet surat berapa?"

"Banyak dong."

"Ya tau, tepatnya berapa?"

"Dua lusin. Hehehe."

"Boong."

"Tanya Kak Feliz." Gasta malas berdebat. "Kak Feliz aja keheranan."

"Kamu keren sih, Gas. Makanya banyak yang ngefans."

Lagi-lagi Gasta hanya tertawa. Tertawa palsu. Batinnya pedih.

Angkot terus berjalan hingga tiba saatnya Aimee harus turun duluan. "Aku duluan yah, Gas."

Gasta hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Tubuhnya terlalu lemas untuk banyak berbincang dengan Aimee. Kenyataan bahwa Aimee sudah punya pacar, siang itu, membuat Gasta tidak berhasrat untuk melakukan apa-apa selanjutnya.

***

Kejadian tadi siang di studio band sekolah itu terus menghantui Gasta. Dia jadi lebih pendiam dan banyak merenung. Saat makan malam pun dia lebih memilih berdiam di kamar, membaca komik anime kesukaannya. Feliz jadi heran.

"Gas, gak makan?" kepala Feliz menyembul dari balik pintu kamar Gasta.

"Suapin." sahutnya asal, tetap fokus pada komiknya.

"Kamu kenapa sih? Sakit?" Feliz masuk ke kamar Gasta. Menyentuh dahi Gasta yang acuh tak acuh membaca komik, dengan punggung tangannya.

"Tuh kan. Tadi siang udah makan?"

Gasta menggeleng.

"Pantesan. Makanya, ayo makan."

"Suapin." Gasta masih cuek.

Sret! Feliz mencabut komik dari tangan Gasta. Gasta terperanjat. "Kasih gak?" ancamnya pada Feliz.

"Makan dulu. Baru baca lagi."

"Dibilangin suapin! Gasta males makan, Kak!" dengusnya kesal.

Feliz ikutan kesal. Tapi dia mengalah saja. Takut Gasta mogok makan beneran dan akhirnya sakit beneran. Jarang-jarang Gasta manja begini.

"Ya udah, Kakak ambilin makannya dulu ya." Feliz keluar kamar.

Saat kembali, Gasta sudah asyik dengan komiknya lagi. Feliz mulai menyuapi. "Ayo, aaak!"

Gasta makan. Feliz membatin, anak ini ternyata bukan malas makan. M

Tapi, malas ngambil makanan sendiri, malas nyuapin diri sendiri. Gasta makan sambil terus baca komik, dengan wajah muram.

Jarak usia Feliz dan Gasta yang terpaut 12 tahun membuat Feliz kerap memanjakan Gasta. Apalagi, sejak orangtua mereka berpisah dan Feliz memilih tetap tinggal di rumah itu dengan Gasta. Namun, pada dasarnya Gasta adalah sosok yang mandiri. Segalanya akan dia lakukan sendiri selama dia mampu mengerjakannya seorang diri.

"Gini ya kelakuannya cogan sekolah." sindir Feliz saat menyuapi Gasta.

"Apaan?"

"Di lapangan aja jago three point, di stage jago ngedrum, di rumah ya disuapin juga."

"Bodo. Mager tau."

"Kakak videoin ya?" goda Feliz jahil.

"Eit. Gigit nih?" ancam Gasta.

"Yah, biar fans-fansmu tau kelakuan kamu kalo di rumah kaya gimana." timpal Feliz geli.

"Anying."

"Ya Gas ya?" Feliz meraih ponselnya.

"Eit! Berani-berani awas ya!"

Tawa Feliz terdengar. Disentuhnya lagi dahi Gasta. "Udah agak mendingan. Kamu kenapa sih? Stres pelajaran?" tanya Feliz curiga.

Gasta diam, terus membaca komik. Feliz mengabaikannya. Tak lama kemudian, Gasta buka suara.

"Kak, kakak pernah patah hati waktu SMP?"

Feliz tertegun. Kedua alisnya naik bersamaan dengan senyumnya terkembang.

"Kenapa? Kamu lagi patah hati ya? Yang kamu kasih coklat kemarin udah punya pacar ya?"

Glek. Gasta menelan ludah. Canggih benar kakaknya ini, bisa tahu tanpa dia cerita.

"Yeee apaan sih. Jawab aja Kak. Pernah ga?"

Feliz memutar bola matanya, lalu memasang tampang 'Pernah-Gak-Ya?' beberapa detik.

"Pernah sih."

"Ceritanya gimana?"

Tersenyumlah Feliz. Duh, sudah bukan lagi dongeng-dongeng luar angkasa lagi cerita yang dinanti Gasta. Sekarang, adiknya itu minta kisah-kisah asmara masa muda kakaknya karena dia sendiri sudah memasuki fase itu sekarang.

"Gimana ya? Yang waktu SMP ya?"

Gasta mengangguk.

"Dulu pas SMP, kakak gampang suka gampang lupa ama cowok. Hehehe."

"Playgirl berarti Kakak?"

"Yey, enak aja. Ya nggak dong. Kan sekedar suka, nggak pacaran."

"Tapi pernah kan pacaran?"

"Pernah sih, sekali, hehe."

"Terus patah hatinya gara-gara dia?"

Feliz mencoba mengingat-ingat. "Sempet, sih. Tapi ada yang lebih bikin patah hati selain dia. Padahal bukan mantan."

"Oh ya? Siapa namanya Kak?"

"Namanya... Raymond."

Cakrawala ingatan Feliz memutar kembali memori 12 tahun yang lalu.

Ada seorang cowok, kurus, tinggi, culun, putih, yang berbeda sekolah namun satu kelas les dengan Feliz kala itu. Dia benar-benar menyita perhatian Feliz. Setelah dia cari info, diketahui namanya Raymond. Sekolah di SMP sebelah. Jelas, sama-sama kelas 3nya. Raymond anaknya pendiam, tapi murah senyum. Senyumnya aneh tapi memikat menurut Feliz. Kalau pulang sekolah, tak jarang Feliz satu angkot dengannya, karena angkot Feliz rutenya memang melewati SMP Raymond juga, dan ternyata Raymond tinggal di komplek yang sejalan dengan komplek Feliz. Feliz diam-diam selalu mengamati Raymond.

Singkat kata, Feliz mendapatkan nomor telepon rumah Raymond (ya, jaman itu, anak remaja masih jarang ada yang punya ponsel) dari teman sekelas Feliz yang notabene teman SD Raymond. Feliz berkenalan dengan Raymond via telepon. Mereka berteman di les, sering duduk bersebelahan.

Kalau pulang sekolah, seringkali naik angkot bareng. Feliz jalan kaki dulu ke sekolah Raymond, mencari Raymond, lalu naik angkot dari sana. Pokoknya, waktu yang dimiliki Feliz terasa sangat berharga bila bisa dihabiskan dengan Raymond.

Setelah UNAS, Feliz dan Raymond pergi makan siang bareng di suatu restoran dekat sekolah Raymond. Feliz mengungkapkan perasaannya pada Raymond, namun bukan menembak.

"Aku suka ngehabisin waktu sama kamu, Ray. Aku suka sama kamu."

"Apa?"

"Ya. Aku ngerasa, kita ini lebih dari teman. Menurutmu?"

Raymond terdiam, menatap Feliz dengan aneh.

"Kamu ngomong apa sih Fel. Kita kan cuma teman, nggak lebih." tukas Raymond, meluruskan. Namun semua itu malah membuat pikiran Feliz kusut.

Sejak saat itu, Raymond selalu menghindar dari Feliz. Hingga akhirnya, Raymond menghilang dari kehidupannya. Namun, perasaan Feliz padanya tidak menghilang begitu saja. Cintanya ada dalam diam. Selama 3 tahun SMA, 4 tahun kuliah. Tiap selesai mengakhiri hubungan dengan seseorang, Raymond-lah yang kembali mengisi benak dan hati Feliz. Apalagi, Raymond selalu jomblo, sepengetahuan Feliz.

Detik ini, jika Raymond tiba-tiba muncul di kehidupannya, tidak menutup kemungkinan bahwa Feliz akan masih membukakan hatinya lebar-lebar untuknya. Meski, sudah ada seseorang yang diam-diam mengisi hatinya.

Ya, Baskara.

Gasta terkagum-kagum mendengarkan cerita kakaknya. "Kadang, pepatah tidak selalu benar. Orang bilang kalo cinta itu harus diungkapkan. Tapi kalo yang dicintai itu model Raymond, ya pengecualian. Ya kan?"

Gasta tertawa kecil. "Ya udah, Kak. Lagian kan udah lama banget itu."

"Yup. Udah ada... Ehm. Herr Baskara." Feliz menyetil ujung hidung Gasta.

"Ih, nggak banget Kak. Kakak pacaran sama dia? Kok mau sih." muka Gasta berubah ilfil. "Idih, siapa yang pacaran? Ta'arufan aja, biar syar'i." seloroh Feliz. "Beeeuh... Palsu. Udah sana. Aku mau bobok." Gasta bersiap meringkuk di selimutnya.

"Eits. Sholat isya dulu!" tegur Feliz.

"Bereeeees!"

***

Seperti biasa, Feliz dan Gasta pergi ke sekolah naik motor. Jalanan sudah cukup ramai, karena mereka berangkat agak siang.

"Kakak sih. Bangunnya nelat!" gerutu Gasta.

"Kayak kamu gak pernah bangun nelat aja!"

"Tuh, jalanan udah rame tuh." tunjuk Gasta ke sekeliling.

"Bawel deh. Sekali lagi, Kakak turunin kamu."

"Sini Kak! Aku aja yang nyetir!"

"Tuh kan, turunin nih ya. Ada polisi tau."

Begitulah. Layaknya kakak-adik di belahan dunia mana saja, mereka juga kerap beradu mulut, meski akhirnya seringkali Feliz yang mengalah.

However, rasa sayang Gasta pada Feliz jangan ditanya. Melebihi apapun! Bahkan, melebihi pada mamanya. Ya, mamanya yang lebih memilih meninggalkan anak-anaknya untuk tinggal bersama pria lain yang baru dinikahinya.

Tibalah mereka di sekolah. Gasta, seperti biasa langsung melompat dari jok ketika motor Feliz sudah terparkir sempurna. Feliz msih harus bongkar muatan dulu, Melepas jaket, masker, helm. Mengangkut lembar soal latihan dari dalam jok motor, dan lain-lain.

Parkiran motor guru terletak tepat di balik pagar sekolah. Jadi, dari tempat parkir itu, terpampang jelas jalan raya depan sekolah dan hiruk pikuknya yang biasanya dimulai pukul 06.45. Sekarang pukul 06.50, pantas saja jalanan sedang ramai-ramainya.

Tiba-tiba, mata Feliz tertumbuk pada seorang pria berkemeja rapi, di atas motornya, melambaikan tangan ke arah gerbang sekolah. Pria itu tampak seusia Feliz. Jangkung, putih, berkumis tipis. Senyumnya merekah saat tangannya melambai ke arah gerbang. Nampaknya dia sedang mengantarkan seseorang. Feliz melihat ke arah pagar. Tidak ada satupun murid di situ yang Feliz kenal. Kembali mata Feliz mengarah ke pria itu, dia bersiap meninggalkan sekolah.

Mungkinkah itu... Raymond?

Benak Feliz melesat ke percakapannya dengan Gasta semalam. Lalu Feliz mengingat-ingat dimana domisili Raymond sekarang. Setahu Feliz, dari beberapa temannya yang juga teman Raymond dan masih berkontak dengannya, Raymond sekarang tinggal di Bogor karena ditugaskan bekerja di sana. Jadi, kemungkinan kecil kalau itu Raymond.

Ah, tapi yang tadi itu...

Benar-benar mirip...

Senyumnya. tatapannya...

Ya, Feliz merasa bahwa ini CLBK.

Bukan Cinta Lama Bersemi Kembali, tapi Cinta Lama Belum Kelar.

Tak ada akhir yang jelas antara dia dan Raymond. Karena mungkin memang tak ada awal yang jelas pula.

Namun bagi Feliz, sudah ada kisah di antara mereka.

Dan Feliz yakin,

tidak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Semuanya tercipta karena suatu alasan. Bukan kebetulan jika memang Feliz melihat sosok yang mirip, atau mungkin memang Raymond.

Pagi ini jatahnya kelas 8H. Kelasnya Deon, yang Feliz belum tahu bahwa dia pacarnya Aimee. Kelas 8H adalah kelas yang butuh tenaga ekstra untuk mengajarnya. Feliz hafal betul, ada 3 berandal kelas di sini. Uzi, Alam, dan Fais.

Sedangkan Deon, dia termasuk pendiam. Meski, kadang-kadang ikut bercanda dengan tiga berandal kecil itu, karena duduknya di depan mereka. Deon ini berkulit putih, seperti vampir. Tapi wajahnya tidak bule maupun oriental. Tingginya pun tidak jauh berbeda dengan Aimee. Jelas, masih lebih tinggi Gasta, dan masih lebih gelap Gasta juga.

"Good morning, guys!" sapa Feliz riang.

Hening. Sekelas terdiam.

"Lho, Miss, kan nanti jam ke 5-6!" cetus salah seorang siswa.

Astaga.

Bayangan Raymond membuat konsentrasi Feliz bubar. Dia jadi salah jadwal; yang harusnya pagi ini dimasuki kan, kelas 8G!

Feliz tertawa pelan. "Sorry, sorry, I really forgot. Hehehe. See you at 11, then!" ujarnya, melenggang ke kelas sebelah.

Di kelas Gasta, pagi ini Baskara yang mengajar. Pelajaran Bahasa Jerman. Dedikasi tinggi adalah motto Baskara. Sehingga, totalitas mengajarnya jangan ditanya. Gasta sebenarnya suka dengan bahasa Jerman, tapi sosok Baskara sebagai guru pelajaran inilah yang membuatnya malas mengikuti pelajaran ini.

Gasta tahu benar perasaan Baskara pada Feliz. Gasta melihat, ada kejahatan di mata Baskara yang akan dilakukannya pada kakaknya. Menurut Gasta, Baskara memang tertarik pada kakaknya, namun tidak didasari oleh niatan yang benar-benar serius untuk ke depannya.

Gasta melihat bangku sebelah Aimee kosong. Rinka, teman sebangkunya izin keluar kota. Jadilah Gasta ingin duduk di sebelah Aimee pagi itu. "Zhar, gue selingkuh dulu ya." pamitnya pada Azhar, tapi diabaikan begitu saja olehnya. Azhar belum tahu kalau Gasta menyukai Aimee.

Sret. Gasta duduk di sebelah Aimee saat Baskara menghadap ke papan tulis.

"Hei." sapa Aimee pelan.

Gasta menyunggingkan senyum. Hatinya patah memang setelah tahu Aimee sudah punya pacar. Tapi mengetahui pacar Aimee yang hanyalah seorang Deon, Gasta tak ambil pusing.

Deon is not popular. Deon is a quiet guy. Deon tidak terlibat di ekskul manapun. Intinya, Deon sucks, and Gasta rules!

"Aku duduk sini ya."

"Iya."

"Mee."

"Ya?"

"Kamu suka ga ama bahasa Jerman?"

"Suka sih. Kenapa?"

"Kalo aku, ga suka ama yang ngajar."

"Lho, kok gitu?"

"Iya. Dia hobinya modusin Kak Feliz tau ga. Dan bodohnya, kakakku mau!"

"Hihihihi."

"Malah ketawa."

"Udah, jangan gosip. Tuh Herr Baskara liat ke arah kita tuh."

Akhirnya mereka berdua berpura-pura sibuk baca buku materi.

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

267K 7.8K 133
"𝑻𝒉𝒆𝒓𝒆'𝒔 𝒓𝒆𝒂𝒍𝒍𝒚 𝒏𝒐 𝒘𝒂𝒚 𝒐𝒇 𝒘𝒊𝒏𝒏𝒊𝒏𝒈 𝒊𝒇 𝒊𝒏 𝒕𝒉𝒆𝒊𝒓 𝒆𝒚𝒆𝒔 𝒚𝒐𝒖'𝒍𝒍 𝒂𝒍𝒘𝒂𝒚𝒔 𝒃𝒆 𝒂 𝒅𝒖𝒎𝒃 𝒃𝒍𝒐𝒏𝒅𝒆."
194K 9.9K 89
Being flat broke is hard. To overcome these hardships sometimes take extreme measures, such as choosing to become a manager for the worst team in Blu...
290K 20.4K 152
Tác phẩm: Toàn thế giới đều đang đợi người động tâm. Tác giả: Tố Tây Người gõ: Mia của bạn nè Beta: Hoa Hoa của bạn đây Ý là truyện này gõ nhanh quá...