Tacenda [Republish]

Von cloudiens

26.7K 3.3K 1.4K

[ON HOLD] (n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence "Not all words should be spoke... Mehr

INTRODUCE
00
01
02
03
Leo 1 - Sedikit Terungkap
Raskal 1 - Pertolongan
Adriel 1 - Penasaran
Keanu 1 - Sweater untuk Cashimira
Bara 1 - Tentang Masa
Darel 1 - Luka dan Penyesalan
Adriel 2 - Kupon Burger
Leo 2 - Taman Menteng
Keanu 2 - Impian
Bara 2 - Kesederhanaan
Darel 2 - Harapan Tersembunyi
Leo 3 - Khawatir
Bara 3 - Insecure
Adriel 3 - Perbandingan
Raskal 3 - Bimbang
Leo 4 - Tears
Keanu 3 - Tak Terduga
Darel 3 - Sandaran
Intermezzo • Ketika Mereka Berkata...
Adriel 4 - Tempat Berbagi
Bara 4 - Kejutan Rindu
Keanu 4 - Kehilangan
Raskal 4 - Datang dan Pergi
Leo 5 - Selamat Ulang Tahun, dan Selamat Tinggal
Adriel 5 - Asing yang Segalanya
Darel 4 - Tak Tuntas
Bara 5 - Istirahat atau Selesai?
Intermezzo 2 • Seandainya...
Keanu 5 - Kecewa
Leo 6 - Masih Berarti
Raskal 5 - Sebuah Awal
Adriel 6 - Selalu Ada
Bara 6 - Hampir Kehilangan
The Boys
Darel 5 - Paradox
Leo 7 - Christmast Gift
Keanu 6 - Potongan Luka Masa lalu
Adriel 7 - Perihal Monoton
Raskal 6 - Tak Sejalan

Raskal 2 - Tarik Ulur

452 84 51
Von cloudiens

Raskal

Gue gak handal dalam mendeskripsikan sesuatu. Gak heran nilai gue di pelajaran Bahasa Indonesia dulu ancur parah. Ya abis mau gimana lagi, namanya gak bisa.

Kalau disuruh untuk mendeskripsikan sesuatu-atau tepatnya seseorang- gue hanya bisa mendeskripsikannya dengan satu atau dua kata. Jelas gak bisa disebut deskripsi, karena yang namanya deskripsi itu penjelasan secara terperinci.

Tapi lain ceritanya kalau seseorang meminta gue untuk mendeskripsikan dia. Dengan lancarnya mulut gue bakal ngeluarin kalimat yang menggambarkan bagaimana sosoknya.

Dia, Mikayla Beryl Ayana.

Dia cantik, semua orang juga kayaknya berpikiran demikian. Rambut cokelat gelapnya menjutai sampai punggung. Mata sipitnya akan terlihat seperti lengkungan bulan sabit saat dia tertawa. Gue suka setiap kali ngeliat dia tertawa. Ah enggak, apapun yang dia lakuin gue suka.

Mikayla Beryl Ayana selalu berhasil bikin orang lain terkesan sama sosoknya. Sosoknya yang sederhana. Sosoknya yang ambisius. Sosoknya yang selalu mempriotitaskan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dia selalu berhasil membuat orang lain jatuh pada pesonanya.

Termasuk temen gue sendiri.

Bohong kalau gue gak tau seorang Alchandra Leonardy suka sama Mikayla. Gue tau. Gue tau kalau dia begadang malem-malem demi nemenin Kayla yang insomnianya kambuh padahal besokannya dia ada kelas pagi. Gue tau dia gak pulang berhari-hari karena nemenin Kayla di rumah sakit waktu cewek itu tifus. Bahkan gue tau alasan dia sering ngajak Steffy main karena dia mau melampiaskan rasa frustasinya gak bisa memiliki Kayla. Lebih tepatnya dia gak berani. Dia gak berani mengutarakan perasaannya sendiri.

Karena gue.

Gue yang membuat seorang Alchandra Leonardy berubah menjadi seorang pecudang yang gak berani ngungkapin perasaannya sama sahabatnya sendiri.

Karena Mikayla menyukai gue. Dan dia menganggap Leo gak lebih dari seorang teman.

Terserah kalian mau beranggapan kalau gue jahat, bego, brengsek dan sebagainya. Gue gak menolak karena emang kenyatannya begitu.

Gue jahat karena ngebiarin temen gue sendiri hampir frustasi tanpa berniat buat membantunya di saat gue mengetahui semua fakta yang terjadi.

Gue bego karena menyianyiakan seorang Mikayla Beryl Ayana yang dari zaman gue buluk dulu-sampe sekarang masih buluk-buluk juga- secara terang-terangan menunjukkan rasa sayangnya sama gue. Dia bahkan rela menjatuhkan harga dirinya sendiri di depan gue.

Hanya karena dia mau gue seenggaknya meliriknya.

Andai lo tahu, Kay, gue bahkan bukan hanya sekedar melirik lo. Gue memandang lo. Memandang lo sebagai suatu objek yang gak akan pernah bosen untuk ditangkap sama indera pengelihatan gue.

Tapi gue memilih untuk melakukan itu secara diam-diam.

Dan jangan lupa sama apa yang udah gue lakuin sama Kayla selama ini. Cara gue memperlakukannya bener-bener menggambarkan gimana brengseknya seorang Raskal Gevanio. Tapi gue ngelakuin itu bukan tanpa alasan.

Gue mau dia benci gue.

Kalau ada yang bertanya siapa manusia paling kufur nikmat seantero kampus, gue bakal acung tangan. Iya gue emang gak bersyukur. Udah dikasih cewek cakep yang sayang sama gue melebihi rasa sayangnya sama dirinya sendiri malah gue sia-siain gitu aja.

Tapi lagi-lagi gue punya alasan.

Gue punya alasan kenapa gue mau Mikayla Beryl Ayana membenci gue.

Karena gue mau dia membuka hatinya buat Leo. Sedikit aja gak apa-apa.

Karena Leo lebih pantes buat dia.

Karena rasa sayang Leo lebih besar dari yang gue punya.

Karena gue gak ada apa-apanya buat Mikayla Beryl Ayana.

Siang ini, gue memutuskan untuk pergi ke taman FK di saat seharusnya gue memanjakan perut gue yang udah demo minta diisi. Gue cuma mau ngeliat dia. Gue cuma mau mastiin kalau hari ini dia baik-baik aja.

Iya gue munafik emang. Di depan orang banyak bersikap sok jijik, tapi sekarang malah stalkerin dia. Rasanya gue mau ngetawain diri gue sendiri.

Gue duduk di salah satu bangku taman yang berada tepat di bawah pohon akasia. Gue mengeluarkan buku apapun itu dari dalam tas dan seolah-olah tengah membacanya. Seenggaknya orang lain beranggapan kalau gue lagi sibuk, walau kenyataannya gue gak lagi melakukan apa-apa.

"Iya ini udah selesai. Tunggu ya!"

Kepala gue terangkat ketika mendengar suara yang familiar di telinga gue.

Suaranya.

"Aku mau langsung pulang aja, capek mau tidur. Kalau kamu mau ke Dago ya gak apa-apa aku pulang sendiri aja."

Dan gue berhasil menemukannya. Dia duduk di bangku panjang yang gak begitu jauh dari tempat duduk gue sekarang sambil menempelkan ponsel pada telinga kanannya. Dia kelihatannya kelelahan. Rambutnya yang dikuncir kuda udah mulai berantakan dengan anak rambut yang menempel di belakang lehernya. Mata yang biasanya berbinar sekarang terlihat sayu. Tapi itu sama sekali gak mengurangi kecantikan dia.

"Iya, Leoooo, gak apa-apa."

Refleks kedua sudut bibir gue tertarik ke atas begitu dia menyebutkan nama seseorang.

Harusnya dari awal gue tau.

Harusnya dari awal gue tau kalau rasa yang gue punya gak akan pernah bisa mengalahkan rasa yang Leo punya buat Kayla.

"Memandangi dari jauh emang lebih menyenangkan ya?"

Gue hampir loncat saking kagetnya karena sosok manusia bermulut bon cabe yang satu ini tiba-tiba duduk di samping gue, entah sejak kapan.

"Ngapain lo?" tanya gue sambil menatapnya dengan tatapan gak suka.

"Excuse me? Bukannya kebalik? Harusnya gue yang nanya ngapain lo di sini?"

Iya ya. Kenapa jadi gue yang nanya. Kan ini fakultas dia.

"Suntuk sama FT. Mau cari pencerahan di sini."

Apaan sih, ngasal banget gue.

Gue memasukkan kembali buku gue ke dalam tas. Mencoba menghindari tatapan mengintimidasi khas Darel Azio Farjana. Rasanya kalau ditatap sama Darel dengan tatapan kayak gitu berasa mau dieksekusi mati.

"Kenapa bisa ya gue punya temen bego-bego semua."

Kontan gue menghentikan aktivitas gue dan beralih menatapnya dengan kening berkerut. Darel sama sekali gak menatap gue, tatapannya justru tertuju pada sosok cewek di depan sana yang sekarang lagi masukin ponsel ke dalam tas.

Iya, Darel tau. Darel tau tentang perasaan gue ke Mikayla.

"Semuanya pengecut. Gak berani bergerak."

Bukannya gak berani, tapi gue gak mau.

Gue gak mau melakukan apapun buat dapetin seorang Mikayla Beryl Ayana. Karena gue cukup tahu diri. Gue gak pantes dapetin itu.

"Bukannya waktu itu lo nyuruh Leo buat merjuangin Kayla? Kenapa sekarang tiba-tiba lo memihak ke gue?"

"Gue gak memihak siapapun," katanya sambil menoleh ke arah gue.

"Gue mau lo berdua tuh gerak. Bersaing secara sehat. Bukannya gue mau bikin konflik antara lo sama Leo, tapi gue mau kalian usaha. Usaha buat dapetin apapun yang kalian mau. Bukannya diem aja nunggu keajaiban dateng kayak gini. Sampe lebaran monyet juga gak bakal dateng tuh keajaiban kalo gak ada usaha."

Gue diem. Mencoba berpikir apa kiranya kalimat yang cocok buat bales wejangan panjang kali lebarnya itu.

"Apa yang udah lo lakuin buat dapetin Trisha lagi?"

Awalnya gue gak berpikir untuk bertanya demikian, tapi kayaknya gak ada salahnya. Dia bersihkeras menyuruh gue dan Leo buat merjuangin apa yang kami mau, tapi dia sendiri gak berjuang sama sekali buat dapetin apa yang dia mau.

Gue kira Darel bakal marah atau mengatai gue tukang ngeles dan sebagainya, tapi ternyata enggak. Dia malah tertawa. Tertawa miris lebih tepatnya.

"Gue gak pantes dapetin dia lagi. Jadi usaha pun percuma."

Nah, itu. Itu juga yang jadi alesan gue kenapa gue memilih buat diem di tempat tanpa berniat sedikitpun buat bergerak. Gue gak pantes. Gue gak pantes buat dia, Rel.

"Selagi masih ada kesempatan lo harus berusaha. Karena penyesalan itu sifatnya berat, Kal."

Gue cuma tertawa kecil mendengar ucapannya. Walaupun gue tau dia gak lagi ngelucu. Gue hanya mencoba untuk meyakinkan diri gue sendiri kalau pilihan gue ini tepat supaya nantinya gak bakal berujung sama penyesalan.

Iya semoga.

Semoga begitu.

***

Mikayla

Selesai kelas terakhir gue berniat buat langsung pulang karena gue mendadak gak enak badan. Tadi niatnya sih mau pulang bareng Leo, tapi katanya dia mau ke studio band bareng temen-temennya. Temen-temen satu grup nya Leo ini bukan Adriel dan kawan-kawan, pokoknya ada deh anak band kampus yang tengilnya sama kayak Leo. Makanya pas gue diajak buat ikut gue menolak dan memutuskan buat pulang sendiri.

Hari ini gue gak ketemu Raskal. Gak berniat buat mencarinya juga. Semenjak kejadian gue bertengkar sama Leo di mobil beberapa hari yang lalu, gue berpikir untuk mengurangi intensitas gue bertemu Raskal. Bukannya gue udah gak suka sama dia, perasaan itu masih sama entah sampe kapan, tapi gue mau belajar. Gue mau belajar terbiasa tanpa dia.

Setidaknya sampe dia sadar. Sampe dia sadar betapa besarnya perasaan gue ke dia. Walaupun gue tau masa itu gak akan pernah dateng, tapi yang namanya berharap gak ada salahnya kan?

Kali ini gue mau dengerin omongan Leo. Gue udah terlalu sering membantah ucapannya dan menganggap remeh saran yang dia berikan. Gue mau nyoba buat jalanin pelan-pelan apa yang dia saranin.

Berhenti. Bukan berhenti mencintai, tapi berhenti bertindak bodoh.

Iya, gue sadar kalau selama ini gue selalu kelihatan bodoh di hadapan Raskal Gevanio. Dan gue mau berhenti berbuat demikian.

Gue juga bodoh karena memilih untuk pura-pura gak tau sama perasaan Leo ke gue sekarang.

Gue tau tentang perasaanya ke gue. Tapi gue memilih untuk pura-pura gak tau.

Iya gue emang jahat, terserah lo semua mau bilang apa. Tapi, gue begini bukan tanpa alasan. Gue punya alasan tersendiri kenapa gue lebih memilih bungkam dan bersikap seolah-olah gue gak tau apa-apa.

Gue gak mau keadaannya berubah. Gue gak mau Leo tau kalau gue mengetahui perasaannya. Karena rasanya bakal sakit banget, ketika seseorang yang sangat lo sayangi tau perasaan lo yang sebenernya tapi gak bisa membalasnya.

Gue gak mau Leo menjauh. Gue gak mau hanya karena gue gak bisa membalas perasaannya dia pergi ninggalin gue. Gue belum siap untuk itu.

Gue emang egois. Serakah. Gak punya hati. Ya pokoknya yang jelek-jelek ada di gue deh.

Namanya perasaan gak bisa dipaksain kan?

Gue sayang Leo. Tapi hanya sebatas rasa sayang seorang sahabat untuk sahabatnya. Gue gak pernah berniat untuk mencoba lebih. Lebih tepatnya gak berani. Gue gak berani untuk mencoba menyayangi Leo lebih dari sekedar sahabat. Karena rasanya gue gak pantes buat punya perasaan itu. Dan Alchandra Leonardy berhak untuk dapetin perempuan yang jauh lebih baik dari gue yang gak ada apa-apanya ini.

Untuk sekarang biarin begini dulu. Gue gak mau ada perubahan apapun. Sekalipun ada perubahan yang gue mau adalah perasaan gue ke Raskal. Cuma itu, dan semoga dalam waktu dekat ini terwujud.

"Mikayla."

Gue yang semula fokus pada layar ponsel karena lagi mesen ojek online, kontan menengadah saat mendengar nama gue dipanggil seseorang.

Gue kenal suaranya. Tapi gue berharap itu cuma suara orang yang kebetulan mirip sama dia.

"Mikayla, gue manggil lo ya."

Dan saat itu gue memutar badan gue ke belakang untuk memastikan kalau gue gak salah denger.

Ternyata emang gak salah denger. Itu beneran dia.

Dia menggenakan sweater navy dan jeans hitam. Sepasang earphone yang terpasang di kedua telinganya dan jangan lupa masker yang selalu dia pake setiap baru dateng atau mau pulang. Rambut cokelat gelapnya sedikit berantakan tapi sama sekali gak menghilangkan kadar kegantengannya. Heran.

Dia berdiri beberapa meter di belakang gue sambil menenteng plastik kecil dengan logo salah satu mini market. Gue bisa ngerasain jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya begitu dia mulai melangkah menghampiri gue. Keadaan gerbang yang sepi semakin mendukung gue untuk melakukan aksi pura-pura pingsan sekarang juga.

Seketika rasanya jantung gue turun ke perut.

Raskal Gevanio berdiri di hadapan gue dengan jarak kurang dari satu meter.

Dari jarak sedeket ini gue bisa ngeliat iris cokelat gelapnya. Gue mencoba untuk mengatur ekspresi sebiasa mungkin. Gue gak mau kelihatan bodoh lagi di depan dia. Cukup kemarin-kemarin aja, sekarang gak.lagi.

"Ada titipan, katanya buat lo."

Tangannya terulur untuk menyerahkan plastik kecil itu ke arah gue. Gue yang masih kaget gak langsung bergerak buat ngambil plastik tersebut. Gue malah mengangkat kepala untuk menatapnya. Menatapnya dengan penuh tanda tanya dan penuh keterkejutan. Gue berharap ini bukan sekedar delusi.

Gue menatapnya cukup lama, dan tanpa gue sangka dia juga ikut menatap gue.

Pengen rasanya gue berteriak di depan mukanya dan berkata;

Kenapa lo muncul di saat gue mencoba menghindari lo sih?!

Tapi yang gue lakukan adalah tetap diam dan terus menatap bola matanya seolah gak akan pernah bosen.

Tapi gue sadar, tindakan gue yang kayak gini malah makin memperbesar perasaan gue ke dia dan akan membawa gue ke tahap gagal move on.

Gue pun mengalihkan padangan dari wajahnya dan meraih plastik tersebut. Membukanya sedikit untuk lihat apa isinya sekaligus menghindari tatapan Raskal. Bisa runtuh benteng pertahanan gue yang masih seperempat jadi ini.

Dan lagi-lagi gue dibikin terkejut ketika melihat apa yang ada di dalam plastik itu.

Pringless, biskuit saltcheese, roti mocca dan dua kotak susu strawberry.

Semuannya favorit gue.

Siapa yang ngasih? Dan darimana dia tau?

"Kata yang nitipin ini, lo harus makan itu semua."

Kali ini gue kembali menatapnya, tapi gak berani untuk menatap matanya lagi.

"Siapa yang ngasih? Dan kenapa nitipnya ke lo?"

Dia gak jawab, bikin gue semakin penasaran. Walupun mulut dan hidungnya tertutup masker, gue bisa liat kalau dia tersenyum. Cuma senyum tipis tapi sampai ke matanya.

Kita terlalu lama bertahan pada keheningan sampai gue gak sadar kalau ojek pesanan gue udah tiba. Gue berbalik untuk meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun karena gue gak tau harus bilang apa.

"Mikayla."

Panggilannya berhasil menghengtikkan langkah gue. Cuma berhenti tanpa menoleh. Gue gak sanggup buat liat mukanya.

"Jangan sakit,"

Telapak tangan gue basah, dada gue mendadak sesak. Gue memejamkan mata seraya menarik nafas perlahan. Raskal, kenapa lo gini sih?

"Jangan sakit. Begitu kata si pengirim."

Dan rasanya gue mau menertawakan diri gue sendiri.

Gue tuh kayaknya emang bego banget ya. Gak ngerti lagi. Kenapa bisa-bisanya coba gue  berharap kalau ucapan jangan sakit itu tulus dikeluarkan dari hati seorang Raskal Gevanio?

Di saat gue mencoba untuk berhenti bertindak bodoh, justru gue malah makin menambahnya. Menambah kebodohan seorang Mikayla Beryl Ayana.

***

"Minum, Kay."

Gue hanya membalas ucapan itu dengan anggukan dan senyum simpul. Gue gak tau apa yang mendasari gue datang ke tempat ini. Kaki gue seolah berjalan dengan sendirinya.

"Jadi kamu beneran mau berhenti?" tanya Kak Naina sambil memamerkan senyum terbaiknya.

Iya, gue sekarang ada di apartemen seorang Naina Syarmila. Gue butuh temen cerita dan gue gak punya banyak temen-i mean temen yang bener-bener temen. Gak mungkin gue menceritakan semua ini ke Leo. Dan Kak Naina kayaknya orang yang tepat mengingat kita kenal udah cukup lama.

"Gak tau, Kak. Bingung."

Saking bingungnya sampe pengen nangis menjerit.

"Jadi mau belajar buka hati buat Leo?"

Apa bisa? Apa bisa gue melakukan itu?

Leo. Dengan mendengar namanya aja udah berhasil bikin rasa bersalah itu muncul lagi. Rasanya gue seperti manusia paling berdosa sejagat raya.

Apa pantes manusia berlumur dosa kayak gue ini disandingin sama Alchandra Leonardy?

"Kay,"

Gue hanya menjawabnya dengan deheman karena rasanya lidah gue mendadak kelu.

"Saat orang yang kita sayang tau perasaan kita ke dia tapi dia gak bisa membalasnya rasanya emang sakit, tapi lebih sakit lagi saat kita tau kalau ternyata orang itu hanya pura-pura gak tau karena dia gak bisa balas perasaan kita."

Gue terhanyak. Merasa tertampar.

"Pura-pura gak tau kadang emang lebih menenangkan tapi belum tentu itu berlaku buat orang lain."

Ingin rasanya gue bilang kalau gue punya alasan untuk itu semua. Tapi yang gue lakuin sekarang hanya diam. Gue gak bisa membantah karena gue merasa semua yang dia ucapin itu benar.

Leo. Apa dia bakal sesakit itu kalau tau ternyata selama ini gue hanya pura-pura gak tau tentang perasaannya?

Apa reaksi dia ketika mengetahui semuanya?

Gue gak siap. Gak akan pernah siap untuk kehilangan sosok Alchandra Leonardy.

"Aku kenal Raskal dari kecil, Kay. Udah hafal banget sama sifatnya. Dia bakal bilang suka kalau dia emang suka, begitupun sebaliknya. Dia lebih suka berterus terang sekalipun itu bisa nyakitin orang lain."

Iya aku tau, Kak.

Raskal benci sama orang yang bermuka dua. Di depan sok memuji, di belakang mencaci maki. Karena itu dia berusaha untuk selalu berterus terang walaupun kadang berpotensi membuat orang lain sakit hati.

Jujurlah meski kadang itu menyakitkan. Begitulah prinsip hidup seorang Raskal Gevanio.

Dan saat dia mengatakan bahwa dia gak menyukai gue dan memerintahkan gue untuk pergi menjauh, he really mean it. Dia berterus terang kalau dia gak menyukai gue. Gue hanya hama yang mengganggu hari-harinya.

Harusnya gue tahu diri.

"Kalau aku disuruh memilih untuk hidup bersama orang yang aku cintai atau orang yang mencintai aku, aku bakal pilih opsi kedua."

Kali ini gue memberanikan diri untuk menatap wajah Kak Naina yang selalu cantik sekalipun dia gak pakai make up. Menatap dalam bola matanya yang juga tengah menatap gue. Gue mencoba mencari kebohongan lewat matanya, tapi gue gak mendapatkan itu. Dia berkata jujur.

"Karena dicintai itu lebih membahagiakan daripada mencintai."

Tapi kenyataanya gue gak merasakan kebahagiaan itu.

"Kamu udah ngerasain itu, Kayla. Tapi kamu ragu untuk mengakuinya."

Iya gue ragu. Gue ragu untuk mengakuinya.

Gue ragu untuk mengakui kalau gue bahagia dicintai seorang Alchandra Leonardy. Karena itu gue memilih untuk mengubur perasaan itu dalam-dalam.  Berkali-kali gue mengingatkan diri gue sendiri untuk tahu diri. Gue gak boleh merasakan kebahagiaan itu. Ada orang lain yang lebih pantas.

Ada orang lain yang lebih pantas untuk dicintai seorang Alchandra Leonardy.

Dan jelas bukan gue orangnya.

"Pikirin semuanya baik-baik supaya gak nyesel nantinya."

Supaya gak nyesel nantinya.

Apa penyesalan itu akan datang?

Apa rasa penyesalan itu sesakit rasanya ditinggalkan?

Atau mungkin lebih berat?

Gue gak tau. Gak ada yang tau kapan sebuah penyesalan itu datang. Yang jelas penyesalan itu sifatnya pasti. Entah kapan tapi pasti akan terjadi.

Dan gue hanya bisa berharap kalau apa yang gue lakuin ini benar, sehingga gak akan mendatangkan penyesalan nantinya.

Semoga.

***

Happy saturday!

Didedikasikan untuk pyong_kim dan semua orang yang merasa gak pantas untuk menyayangi/disayangi seseorang :)

Jangan lupa untuk vote dan comment!

-Dee

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

57.4K 5.9K 43
Chava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehang...
3.9M 86.8K 53
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
Cinta Sang Prajurit Von Nst

Aktuelle Literatur

84.8K 6.9K 79
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
43.7K 2.7K 18
Akankah lian kembali membuka hati untuk salma? ikuti cerita aku terus yaa