HEART BEAT √

By JaisiQ

48.2K 9.6K 3K

[Sequel Wedding Dress] "Ibarat jantung manusia yang mati, entah kapan ia akan berdetak kembali." Alden dan Ar... More

2 : Hari Pertama
3 : Kematian
4 : Aku Suka Kamu
5 : Arti Menghargai
6 : Ice Cream
7 : Kesepakatan
8 : Sebatas Teman
9 : Hak Asasi
10 : Accident
11 : Masa Lalu
12 : Pupus Atau Tumbuh?
13 : Menanti Detak Jantung
14 : Mencintai Kekuranganmu
15 : Terima Kasih
16 : Satu Fakta Tersingkap
17 : Belajar Mencintai
18 : Pelukan Ternyaman
19 : Berdarah
20 : Ayah Terbaik
21 : Sepasang Luka
22 : Detak Jantung Yang Kembali
23 : Sisi Sebenarnya
24 : Sisi Sebenarnya (2)
25 : Menikmati Waktu
26 : Takut Kehilangan
27 : Pelabuhan Yang Benar
28 : Titik Terendah
29 : Sandiwara
30 : Terluka Lagi
31 : Dua Garis
32 : Salah Paham
33. Harus Diakhiri
34 : Jangan Terluka
35 : Aku di Sini
36 : Jangan Khawatir
37 : Rasa Takut
38 : Pertolongan Tuhan
39 : Pernikahan Impian
40 : Detak Jantung Yang Baru (END)

1 : Senyuman

4.7K 411 102
By JaisiQ

Bismillahirrahmanirrahim
.
.
.

Kalau senyum ke orang sambil berharap dapat balasan senyum lagi, kamu bakal ragu buat lempar senyum. Udah, senyum saja, nggak rugi, kok.

Diketuknya pintu berulangkali sambil sesekali berteriak memanggil. Tapi si pemilik rumah tak kunjung membuka.

Alden mendengar suara sesuatu. Ia melirik ke belakang, mobil pick up hitam yang terparkir di luar pagar mulai bergerak dan meninggalkan pijakan. Bola mata Alden membesar, sadar sepenuhnya bahwa orang yang pernah berjanji akan memberikan kesaksian mencoba untuk kabur.

Alden segera naik ke mobil untuk menyusul. Ban yang bergesekan dengan tanah menimbulkan debu dan partikel kecil bertebangan begitu mobil melaju. Si pengendara mulai beraksi mengejar mobil yang di dalamnya terdapat orang penting untuk pemecahan kasus yang sedang ia kerjakan.

Suara mesin mobil menderu di atas aspal kota Jakarta bersama dengan kendaraan lain yang berlalu-lalang, membelah jalan raya. Dengan dua alis menukik, tatapan setajam elang menatap ke target, rambut belah dua bagian depan yang sengaja dipanjangkan melebihi alis, Alden terus melajukan mobil dengan kecepatan kencang, menyusul apa pun yang menghalangi, ia tidak akan membiarkan saksinya lolos dan membuatnya kalah di persidangan, pun membuat kliennya harus menerima hukuman yang tidak sesuai dengan kebenaran.

Kecelakaan besar yang menimpanya hingga menimbulkan amnesia dulu tidak menimbulkan efek jera atau takut. Ada hal yang jauh lebih menyakitkan dan meninggalkan jejak jangka waktu lama daripada sekadar kecelakaan mobil.

Mobil berbelok ke kanan, Alden ikut ke kanan. Tekanan pada gas semakin diperkencang.

Begitu mobilnya berhasil menyusul, Alden membanting stir ke kiri, terdengar decitan begitu mesin mobil mati. Targetnya akhirnya berhenti secara mendadak berkat jalan yang ia blokade. Melepas sealbeat dan membuka pintu, ia berjalan dengan wajah dingin kemudian berdiri di pintu kemudi. Ia ketuk-ketuk kaca mobil supaya si pengendara segera keluar. "Pak! Anda sudah berjanji akan menjadi saksi dalam kasus ini! Jangan kabur, Pak! Buka pintunya!"

Sayangnya, si sopir tetap diam dan tidak mau membuka pintu.

"Pak, buka pintunya! Atau saya akan merusak kaca mobil ini! Pak! Buka pintunya!" Alden terus memukul kaca mobil diiringi emosi.

"Pak!"

"Pak! Berapa uang yang Anda dapatkan? Saya bisa kasih lebih! Dua kali lipat! Tiga kali lipat! Anggap ini bukan suap tapi sedekah karena saya meminta Anda untuk jujur!

"Pak!"

Tiba-tiba sebuah pisau tertodong ke lehernya. Shit, pantas saja mobil yang ia kejar lari ke jalur sepi. Ternyata untuk ini. Alden langsung paham akan situasi yang kini tengah mengepung.

Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya pakai uang. Termasuk menghalalkan berbagai cara demi terhindar dari hukuman. Bukan hal aneh lagi ia menemukan saksi yang berubah pikiran dan memilih berada di pihak yang salah.

Perlahan Alden mundur, dua tangannya terangkat. Alden masih cukup waras, ia tidak akan langsung menyerahkan nyawanya hanya karena ini.

"Biarkan dia pergi, atau kamu mati."

Jumlah orang yang melindungi si saksi ada tiga orang, sedangkan ia hanya sendiri. Alden berpikir keras, mampukah ia menghabisi semuanya? Menurut logika tidak, tapi hatinya berkata lain. Selama ia masih punya kemampuan, mari kita hajar. Ia mulai memikirkan strategi bagaimana cara agar bisa melawan.

Dengan menggunakan siku dan memberikan gerakan menyikut, ia berhasil membuat salah satu penjahat mundur beberapa langkah setelah mendapat pukulan di bagian dada. Yang lain langsung menyerang Alden.

Perkelahian pun tidak bisa dihindari.  Tiga lawan satu. Berkelahi bukan hal asing lagi bagi Alden, baginya melawan tiga orang masih dikategorikan mudah. Dua orang sudah tumbang, giliran satu orang lagi yang kini sedang berusaha Alden habisi. Sayangnya, salah seorang berhasil bangkit lagi dan memanfaatkan kesempatan Alden yang sedang sibuk menghajar temannya dengan mengambil pisau yang tadi jatuh.

Sebuah kaki menangkis tangan hingga pisau kembali terlempar. Alden berbalik. Ia melihat dua orang sedang berkelahi.

Raihan.

Alden kembali menonjoki wajah lawannya secara terus-menerus.

Kali ini dua lawan tiga.

Sepertinya ilmu bela diri yang Raihan miliki cukup mumpuni, ketiganya tumbang.

Merasa tak akan mampu melawan lagi, mereka langsung naik ke motor dan kabur. Meninggalkan bekas luka di sudut bibir Alden dan bagian lainnya.

Alden menyadari bahwa saksinya sudah tidak ada. Sia-sia sudah. Tersisa hanya mobil dirinya saja. Lekas pria itu mengumpat, menendang ban mobilnya.

"Udah, Pak, saksinya udah kabur. Pak Alden lihat tadi? Bapak hampir aja celaka."

"Tapi dia saksi satu-satunya, Han!"

"Yang penting Pak Alden sudah berusaha. Allah lihat kok usaha Bapak. Kalau hasilnya harus begini, kita bisa apa?"

Alden mengembuskan napas. Jika dulu ia berambisi memecah kasus atau membuktikan ketidakbersalahan klien adalah demi karirnya sendiri, sekarang berbeda. Rasa empati terhadap terdakwa lebih besar dan mendominasi.

Melihat Raihan mengingatkan Alden pada Reyhan. Sifat mereka tidak beda jauh. Alden seperti mendapatkan gantinya.

"Makasih kamu udah bantu saya."

"Saya cuma perantara yang Allah kirim untuk bantu Pak Alden, mungkin." Lelaki itu mengedikkan bahu. "Pak Alden nggak pa-pa? Apa mau ke rumah sakit?"

Lelaki itu malah tersenyum kecut. Ke rumah sakit hanya untuk luka kecil seperti ini bukanlah kebiasaannya.

Langit mendung, rintik-rintik hujan mulai jatuh ke bumi. Alden mendongak, memprediksi bahwa hujan akan turun deras.

"Kamu tadi naik apa?" tanya Alden kepada Raihan. Ia tidak melihat kendaraan apa pun selain mobil miliknya.

"Ojol, Pak. Tadi supirnya langsung pergi."

"Ya udah, saya antar kamu pulang."

"Boleh, Pak?"

"Ya boleh, lah."

"Adam, Idris, Nuh, Hud, Sholeh, Ibrahim, Islamil, Luth, Ismail, Ishaq, ...."

Sambil terus fokus menyetir, Aretha menyebutkan urutan Nabi dengan lagam yang biasa dinyanyikan sewaktu kecil. Ia seperti bernostalgia ke zaman dulu. Mengikuti acara di madrasah, menampilkan apa yang ia bisa.

"Rasul yang termasuk ke rasul ulul azmi siapa aja?"

"Nabi Muhammad, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa!" jawab kompak mereka seakan sudah tertanam rekat di ingatan. Daya ingat anak kecil itu sangat kuat, jadi sangat disayangkan jika tidak dipakai untuk belajar dan menghafal.

"Masyaa Allah, pinternya kaliaaaan!"

Semua bocil yang duduk di belakang cekikikan begitu mendapat pujian.

"Nabi yang bisa bicara sama hewan siapa?"

"Nabi Sulaiman!"

"Nabi yang bisa membelah bulan?"

"Nabi Musa!"

"Eh salah! Nabi Musa itu yang membelah laut merah!" temannya mengoreksi. "Yang belah bulan itu Nabi Muhammad. Bener, kan, Kak?"

"Iya, bener, seratus buat Tasya. Awas, lho, jangan kebalik, ya!"

"Nah, sekarang kita nyanyi, ya! Nyanyi lagu anak-anak tapiii!"

"Siap, Kak!"

"Potong bebek angsa, angsa di kuali. Nona minta dansa. Dansa empat kali. Sorong ke kanan, sorong ke kiri, lalalalalalalalaaa .....

"Sorong ke kanan, Sorong ke kiri, lalalalaalalala.... "

"Topi .... saya, bundar, bundar topi saya .....

Nenek sudah tua, giginya tinggal duaaaa ....."

"Eh, kalian salah lirik!"

Mereka tertawa terpingkal-pingkal.

"Itu kan lirik burung kakak tua? Ulangi-ulangi."

"Burung kakak tua, hinggap di jendela ..."

Nyanyian Aretha berhenti kala ia merasakan sesuatu yang tidak beres pada mobilnya. Ia pun menepi.

"Tunggu, ya. Kakak periksa dulu mobilnya kenapa."

Aretha segera keluar, melihat ban mobil yang ternyata kempes. Gadis itu mengembuskan napas. Kenapa kempes di waktu yang sanga tidak tepat? Titik-titik air berjatuhan dari atas langit. Sudah kempes, hujan pula.

Sebuah mobil berhenti di dekat Aretha.

"Kenapa mobilnya?"

"Eh, Alden?"

"Ini .... Ini bannya kempes."

"Mau nebeng?" Alden melirik mobilnya.

"Boleh?"

"Kalau nggak boleh nggak bakal saya tawarin."

"Tapi ... sini deh."

Aretha membuka pintu mobil bagian belakang, Alden melihat isinya.

Ia terpaku melihat anak-anak yang awalnya sibuk bercengkerama berhenti kala matanya melihat sosok dirinya.

"Masih mau nampung?"

Hujan mulai membesar. Tidak ada pilihan lain selain mengiakan. Lagi pula Alden sudah telanjur menawarkan bantuan.

Alden berjalan duluan ke mobilnya. Sedangkan Aretha membantu teman-teman kecilnya turun dan mengajaknya masuk ke mobil Alden.

"Kalian mau ke mana?" tanya Alden.

Raihan tampak terpukau melihat anak-anak menggemaskan. Ia melambaikan tangan, mengajak berkenalan. Selain suka dengan permainan anak kecil, dia juga suka anak kecil.

"Ke restoran deket sini aja. Hujan-hujan begini enaknya makan."

Alden menepikan mobil di depan sebuah restoran seafood.

"Alden, kamu ikut makan aja, yuk. Sama kamu juga Raihan."

"Eh enggak, Mbak."

"Udah ikut aja. Ini adalah acara aku untuk ngerayain sesuatu. Aku yang bayarin, deh." Aretha bersemangat. Padahal niatnya bukan ke restoran, tapi karena kondisi mobil yang bannya malah kempes, ditambah hujan, dan berakhir menumpang di mobil orang lain, jadi Aretha memilih tempat dekat.

"Apa tuh, Mbak?" tanya Raihan kepo.

"Aku keterima jadi reporter magang di MMC TV! Aaaa seneng bangeeeet! Jadi reporter adalah salah satu mimpi aku. Walaupun bukan di tempat yang aku pengen, tapi aku harus tetep bersyukur keterima di sana juga. Yang penting kerja jadi reporter, kan?"

"Waah, selamat, ya, Mbak."

"Maka dari itu, aku mau ajak kamu makan-makan. Semacam berbagi kebahagiaan gitu."

"Pak? Mau nggak?" tanya Raihan.

Tidak ada jawaban dari Alden.

"Ayo, Al. Gratis, lho," ucap Aretha.

"Ayo, Pak, ikut aja!"

"Ayo, Al! Ayo!"

"Oke."

Aretha tersenyum.

Mereka pun bergegas keluar dari mobil.

Aretha sudah seperti pawang yang membawa rombongan anak itik masuk ke restoran.

Raihan geleng-geleng kepala melihat Aretha yang kerepotan sedangkan ia hanya menyaksikan dari belakang bersama Alden.

"Kayaknya penyayang anak kecil banget, ya, Pak?"

Alden hanya mengedikkan dua bahu.

Mereka sudah duduk dan memilih lantai dua agar bisa duduk lesehan.

"Ngomong-ngomong mereka ini anak asuh Mbak?" tanya Raihan kala mereka menunggu pesanan yang tadi sudah ditentukan.

"Bukan! Mereka cuma anak-anak tetangga. Cuma kalau ada waktu senggang, saya suka ajak mereka ngaji di rumah setelah Magrib. Saya sadar diri sih, ilmu agama saya nggak begitu bagus. Tapi kalau ajarin Iqro atau hafalan juz ke-30 bisa, lah. Hitung-hitung nambah pahala. Kenapa enggak? Lumayan. Di komplek saya itu suka main anak-anak kecil di luar. Pokoknya komplek saya itu ramai sama mereka. Seru banget! Kadang saya ikut main. Saya ajarin permainan jaman dulu yang sekarang udah terlupakan. Kayak apa itu, gobak sodor, sepdur-sepdur, yang kita bikin garis-garis kotak itu terus loncat-loncar, lompat tali. Saya suruh anak-anak beli karet, terus saya bikin jadi karet panjang biar dimainin. Kan sekarang permainan tradisional itu kalah sama permainan di gadget ...."

Alden melirik Aretha, luar biasa sekali. Satu kali pertanyaan dijawab dengan ribuan kata. Alih-alih menjadi penulis berita, kenapa tidak sekalian menulis novel saja?

"Wah, itu termasuk kerjaan mulia juga, lho, Mbak."

"Ah, biasa aja, kok. Sebenarnya mengajari orang lain juga adalah cara termudah untuk kita belajar juga. Intinya kita sama-sama belajar. Lagi pula, setelah mengajari mereka, saya bisa inget lagi sama ilmu-ilmu agama yang sempat dilupakan karena sibuk sama ilmu dunia. Kayak kisah-kisah Nabi, dan lain sebagainya."

"Mbak tahu nggak? Pekerjaan yang patut diapresiasi itu guru ngaji. Kasian gajinya sedikit. Padahal itu kan pekerjaan yang bisa bikin anak-anak para orang tua kenal sama ilmu agama yang nanti dibawa sampe akhirat."

"Katanya kalau ngajar orang ngaji terus dibayar itu haram, ya?" tanya Aretha.

"Katanya ada dua ulama beda pendapat, Mbak."

Wajah Aretha terlihat antusias. Sepertinya Raihan lebih banyak tahu ilmu tentang ini. Aretha suka orang yang punya banyak ilmu. Apalagi jika dijadikan sebagai teman, akan ia tanyai terus agar ia ikut kecipratan daya pintarnya.

"Ada yang bilang halal juga haram. Kita ambil kesimpulan aja. Kalau kita sengaja ngajarin mereka dengan mengharapkan imbalan, atau bayaran itu dijadikan sebagai syarat untuk dia mau ngajarin orang lain, itu jatuhnya haram. Beda lagi kalau ada orang yang sengaja ngasih hadiah sebagai ucapan terima kasih, itu bisa jadi halal. Semua tergantung situasinya, Mbak."

"Ooh begitu, ya. Berarti saya salah, ya. Orang tua mereka kadang kasih saya uang, atau barang lain sebagai ucapan terima kasih mereka. Katanya mereka nggak punya waktu buat ngajarin ngaji anak. Ada juga anak yang rewel kalau diajarin ibunya, beda lagi kalau diajarin orang lain."

"Dari tadi diem terus." Mata Aretha mengekor ke arah Alden. "Oh, iya, paham. Pasti sakit, ya." Gadis itu melihat luka di sudut bibir Alden, juga luka-luka memar di bagian lain.

"Ngomong-ngomong, Mbak, kalau jadi reporter itu nanti bisa sering ketemu artis, dong, Mbak? Wah, pasti seru, tuh wawancara mereka. Nanti kalau ketemu sama Rio Dewanto titip salam sama dia ya, Mbak."

Aretha terkekeh. "Ya ampun. Kamu ngefans sama Rio Dewanto? Tergantung, sih. Kalau wartawan hiburan iya, tentulah bakal banyak ketemu artis. Tapi kalau wartawan lain, beda lagi."

"Oooh begitu." Raihan manggut-manggut. "Kayaknya bakal seru, ya, Mbak. Nanti kalau butuh berita atau kebenaran suatu insiden, bisa hubungi kita aja. Ya nggak, Pak?" tanya Raihan kepada Alden yang tengah menenggak air putih. Pria itu hanya mengangguk-angguk pelan.

Keluar dari toko kue, Aska dan Aina berhenti saat menyadari bahwa hujan turun lumayan deras.

"Yah, hujan, Ka. Parkir mobilnya juga agak jauh, kan?"

Aska melirik ke samping, ia melihat ada supermarket di ujung. Untuk sampai ke sana hanya melewati beberapa toko saja.

Ia melepas jasnya, kemudian dipakaikan ke tubuh Aina. "Dingin, Ai."

"Eh, nggak usah. Aku udah anget, kok."

"Nggak pa-pa. Aku ke sana dulu, siapa tahu ada payung."

"Buat apa payung?"

"Pertanyaan kamu kayak anak TK yang belum ngerti apa fungsi payung."

Aina terkekeh. "Ya maksud aku, buat apa? Kan kita bisa nunggu."

"Aku nggak mau bikin kamu terlalu lama kedinginan. Tunggu, ya?" Aska bergegas pergi. Aina hendak mencegah tapi Aska sudah telanjur pergi. Ia pun geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

Hanya butuh waktu beberapa menit, sebuah benda yang tadi Aska maksud sudah ada di tangan seraya dipamerkan dengan senyum manis mengembang.

Aina yang paham membalas senyum itu.

Aska membuka payung. Tangan kanan memeluk Aina agar ia terhindar dari tempias, sedang tangan kiri memegang payung. Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang ada di tempat parkiran.

"Kehujanan nggak?" tanya Aska.

"Sedikit basah, tapi nggak pa-pa, lah."

"Payungnya buat kamu sendiri aja." Aska menggeser posisi payung agar sepenuhnya melindungi istrinya.

"Nggak perlu, Aska. Nanti kamu kehujanan, terus sakit."

"Asal kamu nggak sakit, kenapa enggak?"

Aina tertawa pelan. Lelaki itu memang suka sekali mendahului keselamatan, kenyamanan, dan kebahagiaan istrinya.

Ia bukakan pintu untuk Aina, Aina masuk. Kemudian Aska mengitari mobil. Ditutupnya payung dan ia langsung masuk ke dalam.

Melihat rambut dan wajah Aska sedikit basah, segera Aina mengelap wajah lelaki itu dengan tisu yang ada di dashboard mobil.

Setiap perhatian kecil yang Aina berikan, akan Aska balas dengan satu kecupan di kening. Kemudian mereka akan tersenyum bersama.

Setelah membantu anak-anak turun dan memberi nasihat untuk lekas pulang ke rumah masing-masing, Aretha masuk lagi ke dalam lagi.

"Ekhem-ekhem."

"Aku punya sesuatu buat kamu." Aretha mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.

"Kamu obati luka kamu. Sebagai tanda terima kasih aku karena udah mau kasih tumpangan, sekaligus ikut ngerayain kebahagiaan aku karena aku bisa magang sebagai reporter untuk pertama kalinya. Fix, hari ini aku nambah temen. Kamu mau kan jadi temen aku? Aku paham situasi, kok. Kali ini nggak bakal kasih permen, tapi obat."

Alden menatap gel berbungkus kardus kecil warna putih biru di tangan Aretha, ternyata ini alasan kenapa tadi wanita itu meminta untuk mampir dulu ke apotik.

"Ini bagus buat luka lebam. Kamu terima, ya."

Meski ragu, Alden pun menerimanya.

"Sekali lagi makasih." Aretha tersenyum lebar, "Hati-hati!" Ia pun keluar dari mobil. Begitu sudah ada di luar, ia melambaikan tangan ke jendela sembari tersenyum, lebih tepatnya ke tempat di mata Alden duduk.

Sayangnya, Alden tidak menghiraukan termasuk balik melempar senyum.

Tapi hal itu sama sekali tidak menyurutkan senyum Aretha yang malah semakin lebar. Aretha tipe orang yang akan tersenyum kepada siapa saja yang ia jumpai. Senyum kan ibadah. Tidak peduli orang yang disenyuminya akan senyum juga, yang terpenting dia sudah berusaha bersikap ramah. Ia selalu meniatkan diri bahwa tersenyum bukan untuk mengharapkan balasan agar tidak merasa kecewa atau marah. Layaknya orang bersedekah yang tidak mengharapkan imbalan.

Mobil kembali melaju meninggalkan pijakan.

Aretha menjangkau kepergian mobil Alden, barulah senyum yang sejak tadi membingkai memudar. "Judes banget, sih .... Tapi ... Nggak pa-pa, lah. Karena judes bukan berarti jahat."

Sampai di depan rumah, Alden melihat mobil Aska terparkir. Sekon berikutnya, terlihat ada Aina dan Aska keluar dari mobil.

Ternyata mereka sedang berkunjung ke sini.

Setelah memilih menunggu selama beberapa menit, barulah Alden keluar dari mobil dan masuk ke dalam. Sesampainya di dalam ia langsung mengucap salam. Sekarang Alden memang lebih sering pulang ke rumah dan mulai dekat dengan orang tuanya.

"Waalaikumussalam."

"Eh, ada Alden. Kebetulan banget."

Galiena beranjak dari duduknya, kemudian menghampiri sang putra. Tangan dia terangkat, menyentuh sudut bibir Alden yang membiru, pun dengan luka lainnya.

"Ini apa lagi?"

"Tadi cuma ada masalah kecil, Bu." Alden memegang tangan sang ibu. "Nggak usah khawatir. Udah banyak hal yang aku lalui, kalau cuma luka kecil, jangan terlalu dianggap."

Mengerti akan ucapan Alden, Galiena pun menganggukkan kepala.

Alden pun ikut bergabung dengan kakak dan kakak iparnya. Bagaimanapun Alden harus menyambut kedatangan mereka.

"Kamu nggak pa-pa, Al?" tanya Aina.

Alden benci situasi ini. Ia ingin bersikap wajar kepada Aina, layaknya adik kepada kakaknya. Tidak canggung untuk bertegur sapa, merayakan kebahagiaan sama-sama, bermanja-manja, dan lain-lain. Tapi untuk membangun interaksi seperti itu ternyata sulit sekali untuk ia lakukan. Masa lalu mereka menjadikan tembok penghalang.

Andai mereka tidak pernah berpisah, pasti tidak akan seperti ini, kan?

Tidak lucu seorang adik mencintai kakaknya sendiri.

Dunia ini memang sebercanda itu.

Alden menghempaskan tubuh ke atas kasur setelah membersihkan badan, menatap langit-langit.

Sampai detik ini ia masih terjebak di masa lalu. Menerima orang yang selama ini ia cintai dan sayangi sebagai seorang kakak bukanlah hal mudah.

Alden sampai trauma untuk mencintai lagi. Terlalu pengecut untuk memulai kembali.

Ibarat jantung manusia yang mati. Entah kapan ia akan berdetak lagi.

Jumlah perempuan di dunia ini banyak, bahkan melebihi jumlah populasi laki-laki, tapi Alden sudah berasumsi bahwa mau sebanyak apa pun perempuan yang hidup, tidak akan pernah ada yang mampu membuatnya jatuh cinta kembali.

Jika pun ada, Alden akan mengingkarinya karena ia takut ujung-ujungnya akan terluka juga.

Setelah melewati patah hati yang dahsyat kemarin, Alden mempelajari satu hal : bahwa cinta dan luka adalah dua hal yang tidak akan pernah bisa terpisahkan.

Demi menghindari luka, ia juga berusaha menghindari bahagia karena cinta. Lebih baik tidak merasakan keduanya. Seperti manusia yang lebih memilih mati daripada mencicipi pahit manisnya hidup ini.

Langit di luar sudah cerah kembali.

Cinta layaknya langit.

Ada masa terang dan gelap, seumpama rasa bahagia dan sakit.

Ada masa panas dan dingin.

Terik matahari dan hujan.

Keduanya tidak bisa terpisahkan, bukan?

Suara dering pendek notifikasi
terdengar di keheningan. Pria itu membawa ponsel yang tergeletak di nakas kemudian membuka isi pesan.

Satu kalimat pertanyaan terpampang di layar ponsel.

Gimana? Kamu udah sembuhin lukanya?

Di tempat lain, Aretha menatap layar ponsel, padahal ia tidak begitu menanti jawaban dari Alden. Ia hanya tidak bisa cuek melihat orang lain terluka, cepat khawatir terhadap orang lain, dan punya rasa empati lebih. Hitung-hitung iseng juga. Karena dapat dikatakan, cara dia mendapatkan nomor ponsel Alden termasuk 'ilegal'.

Beberapa menit kemudian, ada chat masuk. Ia bergegas membukanya.

Muncul sederet huruf menghasilkan kalimat ambigu.

Udah. Tapi sakitnya masih ada.

Sakitnya masih ada.

Sakitnya masih ada.

Sakitnya

masih,

ada ....

Sakitnya masih ada?

Sakitnya di sebelah mana?

Organ dalam

Sedalam apa?

Saking dalamnya, orang lain nggak bakal tahu dan paham.

Oh, ya? Memang susah, sih. Ya udah, aku siap kok dengerin curhatan kamu.

Beberapa lama kemudian Alden baru sadar, kalau yang mengirim pesan adalah nomor tidak dikenal. Seketika ia mengernyit, dan dengan polosnya dia menjawab chat-nya seakan sudah tau siapa si pemilik nomor.

Sementara di sana Aretha tertawa 'ngikik' setelahnya. Tidak menduga bahwa Alden akan langsung menjawab pesannya dengan kalimat curhatan pula. Ternyata dia sedang sakit hati, 'toh.

Tiba-tiba chat Alden yang tadi berubah.

Pesan ini telah dihapus.

Pesan ini telah dihapus.

Pesan ini telah dihapus.

"Nah, kan! Baru nyadar!" Tawa di bibir Aretha tak kunjung hilang. Membayangkan wajah bingung  dan kaget Alden.

Kok dihapus?

Luka itu emang nggak segampang hapus pesan, kok. Butuh waktu yang lama supaya benar-benar hilang. Tapi kamu juga perlu berusaha untuk ilangin dengan cara terus kasih obat biar cepet sembuh.

Tunggu, ini siapa?

Secret admirer.
Mybe?

Holaaaaa yang kangen Alden mana suaranya??

Gimana sama part 1 nya? 🤣

Duuh jariku kepeleset publish nih cuma gara2 satu dua pembaca yg memelas update. Oke. Aku orangnya gak tegaan 🤧 kasian jg kali kelamaan, nanti hilang feel.

Aku juga klo gak dipublish banget nulisnya, banyak malesnya karena terlalu santai alhasil takutnya keenakan dan bablas gak nulis sama sekali.

Aku cuma berharap cerita ini gak gantung kayak yang lain, takut banget, kebanyakan ceritaku gantung. Semoga ini enggak. Bismillah bismillah bismillah 😢😢😢😢

Oke kebanyakan curhat 😶

Selamat bulan baru, mari menyambut bulan baru bersama kisah Alden yang baru, semoga gak sesuram sebulan lalu wkwk 😂😂 semoga ada matahari yang menyinari hidupnya, eaaaa 😂

Btw style Alden di HB ini beda sedikit ya dari pas di WD biar gak monoton dan sama. Supaya lebih fresh.

Rambutnya agak panjang dan penampilan gak begitu formal, lebih santuy dengan pipi chubby. Wah sakit hati membawa berkah, pipinya jadi chubby 😂😂
Tapi kasian jadi pendiam 😆

Hiks ganteng banget anakku. Boleh dijadiin pacar gak 🤧

Kawal Heart Beat sampai tamat!!!

Garut, 13 November 2022

Continue Reading

You'll Also Like

7.2K 1.1K 20
TAMAT || PART MASIH LENGKAP "Kuy!" "Kuy?" 'Aisyah' berkacak pinggang. "Maksud gue, yuk, itu cuma kata yang dibalik!" "O-oh. Mari, kita berangkat kebu...
1.2M 25.5K 7
PROSES PENERBITAN. "Datangmu seperti hujan. Tanpa kondisi jua tanpa permisi. Tiba-tiba." Sebelumnya, ia tak pernah berpikir akan menjadi seperti saat...
327 76 14
"Mungkin dia bukan jodohku. Yasudah Aku nekat saja menikahi orang lain." ~Januar Adam~ "Gak punya orang untuk dicintai ngenes banget yah! Mumpung ada...
3.6M 27.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...