Good Time ✔️

By Kelamkari

162K 11.3K 552

Cloudy Alfonso. Bayi berusia dua tahun berjenis kelamin laki-laki, penyuka bebek. Sama dengan Gio, Cloudy sa... More

[one] to [one]
[one] to [two]
[one] to [three]
[one] to [four]
[one] to [five]
[two] to [one]
[two] to [two]
[two] to [three]
[two] to [four]
[two] to [five]
[two] to [six]
[two] to [eight]
[two] to [nine]
[two] to [ten]
[two] to [eleven]
[three] to [one]
[three] to [two]
[three] to [three]
[three] to [four]
[three] to [five]
[three] to [six]
[three] to [seven]
[three] to [eight]
[three] to [nine]
[three] to [ten]
[Cloudy] to [Marvell]
[Cloudy] to [Gio]

[two] to [seven]

3.7K 298 10
By Kelamkari

Buru-buru Reon memasuki villa, tetapi tabrakan membuat pria itu terhempas. Ingin memaki, Reon menjadi kelabakan. Soalnya korban tabrakan itu adalah Marinka.

Wanita tua berambut putih menjerit, membuka mata kala menemukan pelaku. Netra emas itu menatapnya membara seperti api yang menyala.

"Tidak bisakah kamu berhati-hati dalam melangkah?! Untung saja jantung saya tidak terlepas dari rongganya! Jika tidak, saya bisa menuntutmu!"

"Aku minta maaf, Marinka." Reon menundukkan kepala, menyingkirkan harga dirinya untuk sementara. "Aku ingin bertemu Cloudy, makanya aku terburu-buru."

"Jangan pakai alasan yang kurang jelas! Saya tahu kamu membawa Cloudy dini hari! Jangan pikir saya lupa ingatan!"

Seperti mendapatkan kejujuran, Reon memandangnya tak percaya. "Kamu melihatnya?"

Betapa parahnya Marinka telah melontarkan rahasia hingga dia gelagapan, dan siap bangkit. Namun, cekalan di lengannya membangkitkan kemarahan Marinka yang sempat pupus.

"Lepaskan tangan saya dari lengan kotormu!" Marinka menepis sentuhan itu. "Saya tidak sudi disentuh oleh manusia tidak beradab sepertimu!"

"Justru aku bertanya kepadamu, Madam!" bentak Reon tak mengacuhkan kalau mereka beda usia. "Anda melihatku membawa Cloudy berarti Anda tahu mengapa anakku pingsan seperti itu?!"

Badan Marinka gemetar. Takut ketahuan, raut wajah itu berubah garang. Seakan tak peduli pada kondisi badannya yang perlu diistirahatkan.

"Berhenti menyudutkan saya! Mana buktinya?!"

"Kata-kata kamu tadi sudah membuktikan segalanya!"

Tak suka ditekan terus menerus, Marinka melayangkan tamparan telak. Gio baru saja memarkirkan mobil, terkesiap kala tindakan semena-mena dari ibu Oceana. Neneknya Cloudy.

"Huaaaa! Daddy!"

Jeritan batita meruntuhkan kegarangan Marinka. Menolehkan kepala sedikit, Cloudy merosot turun kemudian berlari melewati dirinya dan memeluk kaki Reon.

"Angan, angan ... huuu," rengek Cloudy mendekap erat tungkai Reon.

Panasnya tamparan di pipi bikin Reon berjongkok, dan balas memeluk Cloudy. Usapan serta kecupan bahwa pria itu merasa baik-baik saja.

Acer berjalan penuh wibawa, menatap Marinka yang tampak membeku. "Sebaiknya Anda berpikir lebih bijak. Kemarahan bisa membuat Anda mengeluarkan rahasia. Tanpa sebab, kemarahan Anda ucapkan bahkan mampu menebus dosa."

Kerutan di kening menunjukkan Marinka sedang berpikir. Desahan lelah, cemas dan keluhan tiada henti meyakinkan Marinka kalau ini takkan berhenti. Jadi tanpa berucap apa pun, Marinka melenggang berlalu sambil menyentuh dadanya.

Adora menyingkir tanpa melepas pandang. Wanita itu telah kehilangan segalanya. Suami dan anaknya. Jikalau Cloudy yang merupakan cucunya seolah membenci perbuatannya, mungkin wanita tua itu sedang menunggu ajal menjemput.

Tergerak untuk melangkah, Adora mengusap rambut Reon yang agak berantakan. "Maafkan Marinka. Kamu tahu, bukan? Kekeraskepalaan anak kecil seperti Kakek, dimiliki oleh Marinka. Kita perlu beradaptasi."

Tangan Reon terangkat, meraih tangan Adora, lalu mengecupnya pelan. "Dia belum menganggapku menantunya, jadi buat apa menuruti keinginannya. Bahkan aku tidak kuat apabila Cloudy lebih menerimanya."

"Reon ...."

"Master, Young Master tidak bisa tidur nyenyak. Dimohon Anda untuk segera menidurkannya," potong Acer. Adora mengernyit. "Nak, waktu bisa menguapkan kemarahan di kepala," bujuknya mampu membungkam Adora.

Reon mengangguk.

Dengan tambahan tenaga, Reon menggendong Cloudy dan membawanya menuju kamar. Acuh tak acuh atas keberadaan Gio yang masih tersentak kaku.

"Aku pulang dulu," kata Adora tak begitu suka suasana agak canggung. "Queen perlu aku."

Sebelum Adora pergi, Gio mencegah. "Tidak mungkin Queen berani tinggal di villa sendirian. Kenapa kamu tidak mengajaknya ke sini?"

"Ada Alice yang menjaganya," sahut Adora tanpa mengetahui sekilas ketegangan di raut muka Gio.

Alice adalah Jelice. Alice yang pemberani. Alice yang berani memecah solusi. Alice yang mempunyai ladang bela diri.

"Dia di sini?" Reon tak menyangka bahwa adiknya muncul lagi kali ini. Ingatan pun bermula saat sosok yang benar-benar mirip dengan Cloudy.
Tak ada menghalangi, Adora berlalu. Meninggalkan Gio yang termenung. Sebelum kedatangan Marinka, Gio dikejutkan oleh model boneka berbentuk manusia hidup. Gio mengira itu Adora, tetapi penjelasan dari Reon menuturkan segalanya.

Berarti Cloudy yang palsu hanyalah jebakan. Tetapi, untuk apa?

Bunyi perut membawa Gio kembali ke bumi. Pada saat memeluk, Gio bersitatap dengan Acer yang mengulas senyum tipis.

"Untung saja Adora tidak mendengar suara perutmu, Nak."

Pria muda itu pun terlihat malu-malu.

***

Reon menghantarkan Cloudy menuju alam mimpi, tak sepenuhnya meninggalkan. Pelupuk mata yang sangat bengkak, menandakan Cloudy ingin sekali menutup mata.

Rasa sayang ditampakkan ketika Reon mengelus rambutnya. Awan-awan hitam membelenggu pikirannya terhempas oleh angin kelegaan. Anaknya belum sekarat, seperti dikatakan dokter Sandy. Bekas cekikan betul-betul mengarah pada sosok pelaku di villa ini.

Ingin sekali Reon menuduh seseorang, tetapi bukti yang sedikit memberi benteng pelindung bagi si pelaku. Reon tak bisa menuduh sembarangan.

Tetapi untunglah, Cloudy masih berada di sini. Tak ke mana-mana. Masih bernapas. Masih bergerak dan tidak ada luka sama sekali.

Pintu terbuka cukup pelan meski bunyi gesekan mengejutkan Reon yang sedang melamun. Pria tampan sedang mendorong sesuatu dengan hidangan yang terpampang jelas.

"Kata Daddy, kamu belum makan. Sambil menunggu Young Master bangun, kita makan terlebih dahulu. Aku buatkan sup kesukaanmu."

Reon berdecak. "Masih sore jikalau kamu begitu antusias, Gio."

Kening Gio berkerut, menggeleng kepala lelah. "Ada kalanya aku memikirkan sahabat yang butuh resonansi dariku. Sebelum kamu bertemu dengan adikmu yang penuh dengan teka-teki itu."

Lupa. Reon melupakan hal itu. Dalam tiga puluh menit---habis menidurkan Cloudy---bayangan yang terlintas tentang pelaku pencekikan anaknya. Bukan mengenai seseorang tengah melibatkan diri dalam masalah ini.

"Daddy menjelaskan bahwa Jelice ada di sini sampai urusan perceraian antara Adora dan George kelar. Apalagi teror-teror dialami Adora dari seluruh keluarga kerajaan, membuat adikmu jarang terbuka."

Bibir itu terkatup ketika mata Reon memelototinya tajam. Tubuh itu tergerak bangkit, menyentil pelipis Gio hingga mengaduh.

"Darimana kamu mendapat kabar itu?!" geram Reon tertahan, takut membangunkan Cloudy.

Geragapan, Gio jadi bungkam.

"Ya Tuhan, Gio. Seandainya aku tahu, aku tidak mungkin tinggal diam begitu saja."

"Reon, please."

"Bagaimana bisa aku tidak tahu apa-apa mengenai masalah yang menimpa adikku." Reon menarik rambutnya kasar. Raut wajahnya seketika murka dan serba salah.

"Look at me, Reon!" teriak Gio.

Di tempat tidur, Cloudy sontak membuka mata. Tidak ada jeritan, tak ada tangisan, tak ada membalas dengan teriak. Bocah itu adem, tenang dan tidak berlebihan seperti layaknya bocah.

Merasa cukup tidur dan kedua pria itu tak tahu menahu tentang keadaannya, Cloudy mengucek kedua matanya. Meregangkan kedua tangan seolah tubuhnya mendapat energi lebih.

Kedua pria itu masih bergelut emosi, membiarkan kata demi kata keluar tanpa memedulikan siapa yang kini terduduk diam di ranjang.

"Apa yang perlu aku lihat, eh?!" Reon membalas dengan geraman. "Sampai detik ini, aku tidak mengerti apa-apa mengenai penderitaan adikku!"

"Tolong, redakan otak panasmu!" jerit Gio. "Apakah kamu tidak melihatku?! Aku juga langsung marah saat Daddy menceritakan segalanya! Bahkan aku tidak mampu bertindak!"

Pria duda menatap pria yang masih lajang. "Bagaimana pun, kamu melebihi pecundang! Lihatlah dirimu, sejak Adora menikah, kamu menjadi pria yang sulit dibantah. Semenjak Adora mempunyai masalah, kamu mulai mendekatkan diri. Bukannya itu memalukan?!"

Adegan depannya tak memberi Cloudy pemahaman yang baik. Karena malas memanggil, Cloudy lebih menghampiri hidangan tertata rapi di meja. Anak kecil itu santai mencicipi sup kesukaan Reon di tempat duduk telah disediakan.

"Aku memang memalukan, Reon! Sangat memalukan!" Gio mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Tapi, kamu tidak menolak kehadiranku di mana aku menghibur adikmu, bukan? Malah kamu membiarkan diriku yang masih mencintai adikmu!"

Memandang pergulatan kata-kata di hadapannya, Cloudy menyambar sandwich sungguh menggiurkan. Hingga makanan-makanan terhidang itu tinggal setengah. Sejak pagi, Cloudy makannya sedikit. Sementara siang tadi menjelang sore, asupan makan Cloudy berantakan.

"Terus, mau sampai kapan?!"

"Apanya?"

"Hatimu itu, sialan!"

"Daripada menyebutku sialan, kamu lebih sialan lagi, Reon!"

"Apa kamu bilang?!"

Ucapan mereka rada melantur. Berubah dari lajur sebenarnya. Sampai mereka berdua berdiri berhadapan, saling melempar tatapan mengerikan.

Cloudy menyantap makanan dengan tenang, sembari menoleh ketika pintu terbuka. Senyum Cloudy melebar kala menangkap sosok tegap dan berwibawa sedang berdiri di ambang pintu, dengan pandangan sulit diartikan.

Dengan langkah tegas, Acer menjepit telinga kedua-duanya. Mereka langsung berteriak kesakitan, lalu kaget menatap Acer yang memandang mereka marah, namun tenang.

"Apakah kalian kehilangan tata krama yang pernah diajarkan sejak kecil?" tanya Acer dingin.

Kedua pria itu menunduk takut sambil mengintip di atas ranjang. Mereka terlonjak tatkala tak ada penampakan Cloudy di tempat tidur. Saat ingin berucap, Acer meminggirkan badan agar Reon bisa melihat sendiri.

"Cloud? Kamu bangun, Nak?" Reon terkesiap begitu pula dengan Gio.

"Anak sendiri bangun, Anda tidak tahu?" Acer mengejek tingkah laku Reon yang barusan sangat kekanakan. "Usia kalian sudah memasuki tiga puluhan, sebaiknya kalian hentikan sebelum saya mengajarkan kalian untuk belajar seperti semasa dulu."

Membayangkan pelajaran pernah diterima sewaktu kecil, membuat mereka merinding. Keduanya menggeleng seraya mengucapkan maaf.

"Soal Nona Adora, selesaikan urusan Anda dengan Madam Marinka. Dengan begitu, keesokan hari kita mempunyai amunisi menghadapi keluarga kerajaan. Dan untuk saat ini, Nona Jelice selalu ada di samping keduanya selama suami adik bungsu Anda mengizinkan."

Gio dan Reon mengangguk memahami. Tepukan di pundak menunjukkan masalah selesai sampai di sini. Penantian soal permasalahan Adora disimpan baik-baik.

"Daddy!" jerit Cloudy senang, usai merasakan kemelut perasaan keduanya.

Kedua lengan Reon terbuka menyambut gerak cepat Cloudy untuk menerjangnya. Pria itu menemukan tenaga ekstra agar bisa berhadapan dengan Marinka, hari ini atau esok-esok hari selanjutnya.

"Daddy apal," kekeh Cloudy menunjuk perut di balik kaus tipisnya.

Reon mengusap perutnya, tersenyum. Kemarahan barusan mengikis pelan-pelan saat ingin mengecapkan rasa masakan dari Gio. Untuk kali ini, Reon mesti memedam penasaran sangat berkecamuk ini.

***

"Katakan!"

Marinka mendongak, berdecak kesal. "Apa ini hukuman gara-gara saya tidak menganggapmu menantu?"

"Ini bukan soal itu." Reon hendak duduk di samping Marinka, tetapi wanita itu menunjuk arah lain. Lebih menuruti daripada berdebat hal-hal sepele. "Kenapa kamu bisa mengetahui peristiwa tadi pagi?"

Duduk dengan anggun, tak terpengaruh intimidasi dari setiap kalimat Reon, Marinka menjelaskan yang sesungguhnya. "Bermulanya saya tertidur pulas bersama Veera. Dengar jeritan seseorang, tentu saya keluar untuk mencari tahu. Saya mendapati Cally dan Cloudy pingsan, kaget bekas itu juga."

Reon menatap lekat sepasang mata Marinka tak pernah bohong itu. Hari ini memang membuatnya sakit kepala apalagi tak bikin dia tertidur nyenyak.

Tersenyum mengembang, ada saatnya Reon mengutarakan maksud. "Tidak bisakah aku memanggilmu Mama?"

Tubuh Marinka menegang. Ini tak sepatutnya dibahas. Marinka bangkit, lalu menatap Reon. "Jika kamu tidak berbohong, saya akan menerima panggilan itu," jawabnya gegas pergi.

Reon malah mengembuskan napas. Entah kelegaan meresapi atau keletihan yang sarat.

Tbc

***

03 Januari 2018
Update: 22 Januari 2018

Continue Reading

You'll Also Like

94.9K 7.4K 23
Istri adalah penarik rezeki. Terluka hati istri maka putuslah rezeki suami. Satu persatu usaha Panji mengalami kebangkrutan usai dia menikah lagi. Pa...
Lakara By FavoriteA

Teen Fiction

1K 68 7
Amaranggana berniat balas dendam kepada Ayhara, Gadis yang merundungnya semasa SMA. Cover By Pin
693K 29.3K 32
Gandhi bias dengan sosok ayah. Ia terlanjur terbiasa tanpa sosok ayah di hidupnya. tapi bagaimana jika sosok itu akhirnya datang?
748K 27.5K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...