Ratu Balqis Tidak Berjilbab

Oleh IkhwanusSobirin

14.2K 536 9

Sebuah novel komedi religi Lebih Banyak

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
17
18
19
20
21
22
23
24
25

16

343 16 1
Oleh IkhwanusSobirin

Aku menangis terisak-isak. Meratapi kepiluan hidup ini. Hidupku serasa hancur lebur. Ketika kebebasan menjadi pintu gerbang kebahagiaanku, ibuku menghilang sejak empat tahun yang lalu. Ketika puji syukur kuhambur-hamburkan ke udara, keluargaku pecah berkeping-keping. Imah dibawa minggat suaminya ke Nganjuk. Dan bapakku...? Oh, bapak, nasibmu menggedor-gedor hatiku. Empat tahun yang lalu ketika terakhir kumelihatmu engkau tampak sehat bugar penuh keceriaan. Tapi kini, tubuhmu terhuyung lengket di atas sprei.

Aku kembali menumpahkan air mata. Tidak tega melihat bapak terbujur lemah di rumah Budhe Sri. Kata Budhe, bapak sengaja ditirahkan ke rumahnya. Mungkin saja tirahnya bisa membuatnya sembuh. Itulah kebiasaan orang Jawa. Jika ada keluarga yang sakit lama tak kunjung sembuh biasanya disuruh pindah sementara ke rumah orang lain. Berharap cepat diberi kesembuhan.

"Bismillah, minumlah air ini, Le. Air suwuk ini sudah didoain Pak Kabul. Semoga kamu kuat, Le," tutur Budhe Sri menyuguhkan segelas air putih ke mulutku.

Pandanganku kosong. Tubuhku terduduk letih. Diapit Budhe Sri dan Salsabillah, adikku, sambil memandang pilu kondisi bapak yang tengah sakit parah.

"Di mana sekarang ibu berada, Dhe? Di manaaa???" isakku kembali pecah. Dada terasa ditusuk-tusuk pisau. Wajahku basah dibanjiri airmata sendiri.

"Budhe dan Pak Dhe sudah lapor ke sana ke mari, Le. Tapi tidak ada hasil sama sekali. Kami semua bingung. Saat itu hari-hari ibumu dipenuhi gusar luar biasa sejak tiga bulan lebih tidak mendengar kabarmu. Ibumu sering sakit-sakitan, jarang makan pula. Dia bercerita, kenapa Wawan tidak pernah pulang? Padahal setiap bulan biasanya pulang. Lah, sudah tiga bulan lebih kamu tidak ada kabar. Ibumu resah. Dia mendedas Imah, menyuruhnya meneleponmu. Tapi Imah seperti tidak peduli.

Ibumu tidak putus usaha. Dia minta bantuan ke Hafid, pemilik warnet pojok. Ibumu minta dicarikan alamat kerjamu dari internet. Akhirnya berhasil. Ibumu mengantongi alamat dan nomor telepon tempat kerjamu di Surabaya. Pagi-pagi sekali ibumu pergi membawa tas selempang. Namun seperti kebiasaanya, ibumu tidak membawa HP karena memang tidak bisa menggunakannya, juga tidak membawa KTP. Pagi buta dia nekat pergi mengunjungi tempat kerjamu.

Kami semua sudah melarangnya. Kami menyuruhnya sabar. Namun, ibumu tetap saja berangkat naik ojek ke jalan raya. Di hari yang sama, Imah adikmu dibawa minggat ke Nganjuk oleh suaminya. Kami sekeluarga, budhe-budhemu, pak dhe-pak dhemu, saudaramu, tetangga, semua sangat sedih menyaksikan cobaan keluargamu ini.

Hingga berbulan-bulan sejak itu ibumu tidak pernah kembali lagi. Saking sumpeknya, bapakmu mulai terserang penyakit. Madrasah dan mushala tidak terurus lagi. Bapakmu sibuk dengan sakit strokenya itu."

Mataku terpejam. Jiwaku melayang. Tuhan memberiku cobaan yang pundakku keberatan memikulnya.

"Budhe sudah minta bantuan ke orang-orang pintar. Tapi, isyaratnya tidak jelas tentang keberadaan ibumu," tambah Budhe dalam ceritanya.

"Ya Allah, temukanlah ibuku, pulangkanlah Imah ke rumah ini, sembuhkanlah penyakit bapakku. Satukan kembali keluargaku ya Allah. Hamba mohon," tangisku tersedu-sedu. Budhe dan Pak Dhe ikut larut bersama tangisanku.

***

Di pagi hari, selepas sholat Subuh, tubuh kugerakkan pelan. Kutatap matahari yang muncul malu-malu dari arah timur. Udara bertiup pelan dari lereng gunung Arjuno. Aroma dedaunan teh Wonosari laksana angin rahmat dari Allah SWT.

"Le, ini kopimu. Segera diminum, Le. Mumpung hangat," ucap Budhe Sri menaruh segelas kopi beraroma harum di atas meja teras.

"Iya, Budhe. Terimakasih."

"Le?"

"Iya, Dhe."

"Budhe kasihan sama kamu."

"Iya, Budhe. Wawan juga sedih. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini?"

"Kamu harus kuat ya, Le. Jiwa kuat itu adalah bekal utama. Selanjutnya kamu harus bersabar. Selanjutnya lagi usaha tiada henti. Selanjutnya lagi tawakal ya, Le."

"Iya, Budhe. Tapi, apakah setiap usaha dan doa pasti dikabulkan ya, Budhe?"

"InsyaAllah, Le. Kamu harus yakin. Kamu ingat kisah Nabi Adam? Ratusan tahun mencari Siti Hawa, istrinya? Akhirnya mereka berdua bisa bertemu kembali, kan? Budhe yakin, kita juga pasti bisa menemukan kembali ibumu."

"He, em, Budhe," anggukku pelan.

"Kamu juga ingat kan, Le? Kisah sakitnya Nabi Ayyub? Bertahun-tahun dia sakit parah dan beliau sabar menjalaninya. Akhirnya beliau bisa sembuh kan, Le?"

"Enggeh, Budhe."

"Dan Budhe yakin bapakmu juga pasti bisa sembuh!"

Masukan sederhana dari Budhe itu seperti pemantik membakar lautan minyak. Membara tinggi hingga ke langit. Dalam dadaku mendadak muncul semangat luar biasa. Aku harus yakin pada usahaku sendiri. Allah tidak mungkin menghianatiku. Aku harus bangkit menyembuhkan bapakku, mencari keberadaan ibu dan membawa pulang Imah ke rumah.

"Budhe kok khawatir yah sama Imah, Le? Sebelum dibawa minggat, dia bertengkar hebat dengan suaminya. Mereka memang sering bertengkar," bebernya.

"Wawan tahu Budhe. Imah pernah satu kali berkunjung ke penjara bercerita padaku. Dan Wawan juga tidak habis pikir kenapa Imah tidak lagi menjengukku. Dan ternyata dia dibawa kabur suaminya."

"Kamu harus kuat pokoknya, Le. Budhe dan Pak Dhe selalu mendukungmu. Ketika dulu orang-orang mencemooh keluargamu karena kamu dipenjara, Budhe tetap percaya bahwa kamu dan keluargamu adalah orang baik-baik, Le," ungkap Budhe.

"Kenapa dulu orang-orang bisa tahu bahwa aku masuk penjara, Budhe? Padahal sudah sangat kurahasiakan?"

"Yah, namanya juga kabar dibawa angin, Le. Jika di kampung ada satu orang saja yang tahu, itu artinya satu kampung pasti tahu semua, Le.

Yah, sesuai ceritamu kemarin, jika memang kamu benar-benar tidak bersalah, kamu harus berjuang mengembalikan nama baikmu, Le. Budhe tidak tahu bagaimana cara mencari kembali nama baikmu itu. Kamu seorang sarjana, Le. Kamu pasti bisa. Otakmu cerdas. Sejak kecil kamu suka belajar. Kamu pasti bisa, Le! Kamu pasti bisa!"

"Te, terimakasih banyak, Budhe. Wawan beruntung punya Budhe sebaik Budhe Sri!" ucapku mengharu biru.

Segelas kopi sudah habis. Aku segera beranjak ke kamar bapak.

"Pak? Sudah bangun?" tanyaku. Bapakku membuka matanya.

"I, iyaaa, Le," sahutnya sangat lemah.

Kubopong dia keluar kamar. Kubawa ke halaman samping. Kutuntun mengitari halaman tanah tanpa alas kaki sambil menikmati segarnya pagi dan hangatnya matahari.

"Bapak harus sembuh ya! Harus pokoknya! Kalau sembuh, nanti tak ajak mancing ke Singosari. Ikannya gedhe-gedhe. Asyik toh, Pak? Kurang baik apa Wawan? Kail milik Bapak yang di belakang rumah itu di buang saja! Wawan janji wes, kalau Bapak bisa sembuh, Wawan belikan kail pancing yang paling bagus, yang paling mahal! Bapak milih sendiri di toko Pak Sugi."

Mataku berkaca-kaca. Hatiku sembab. Perasaanku gerimis. Menyeruak keharuan. Namun aku tetap tersenyum menuntun bapak menjelajahi halaman yang luas.

Qurotun adikku yang tuna wicara itu sibuk menyapu halaman, dan Salsabillah pamit berangkat ke sekolah.

"Billah? Sini!"

"Iya, Mas?"

"Yang biayain kamu sekolah siapa? Kok masih bisa sekolah? Kamu tahu, kakakmu ini tidak punya pekerjaan! Baru keluar dari penjara! Bapak sakit-sakitan! Ibu tidak ada! Kamu masih bangga pakai seragam SMA itu?" tudingku ke arah Salsabilllah. Dia tertegun mendengar kata-kataku. Mataku kembali berkaca-kaca. Tanpa bicara apa-apa lagi adikku yang nomor tiga itu begitu saja pergi setengah berlari menuju jemputan temannya.

Aku kembali menitikkan air mata. Aku harus kuat. Aku harus menjadi lelaki nomor satu di keluargaku. Aku harus bertanggung jawab. Aku harus menegakkan punggungku demi menjadi tumpuan keluarga.

Setelah merendam kaki Bapak dengan air garam, aku baru tahu ternyata Salsabillah jualan baju keliling sepulangnya dari sekolah. Selain dibantu Budhe, ternyata Salsabilla usaha sendiri mencari uang. Hatiku tersentuh seperti ditusuk pisau tajam.

Sambil menuntun Bapak ke kursi, suara Qurotun adikku memanggil-manggil.

"A eg ah a e  aaa u e aa..," ucap Qurotun terbata-bata sembari memberi isyarat kuncup tangannya ke mulut. Dia menyuruhku sarapan pagi.

"Sebentar, Tun. Nanti Mas Wawan ke dapur sendiri," jawabku.

"Hoe eh.. ek." Qurotun mengangguk -angguk. Aku tersenyum lebar.

***

Ini adalah hari keduaku semenjak bebas dari penjara. Sore meronakan cahaya kuning dari arah barat. Berjalan pelan dengan menyetir motor butut. Aku menuju segunduk tanah di sebuah areal pekuburan.

Sebuah buku yasin kumasukkan dalam saku. Tak luput, sebotol air dan seplastik bunga untuk menyekar.

Empat tahun tidak mengunjunginya. Bisa jadi kuburannya kini sudah dipenuhi semak belukar karena tidak ada yang merawatnya.

Sesampai di areal pekuburan aku mengucap salam. Menyapa seluruh penghuni alam barzak.

Kakiku mulai melangkah bersama kerinduan yang membusa-busa. Rasa rindu teramat menyelekit relung hati. Rasa cinta tak mudah hilang begitu saja. Semakin melupakannya maka rasa cinta ini semakin kuat.

Balqis Assidiqiah. Namanya terukir di sebuah batu nisan berwarna putih. Jasadnya menyatu dengan tanah. Jiwanya lepas menuju langit sana.

"Apa kabarmu, Sayang? Bagaimana keadaanmu di sana? Banyak sekali cerita yang sebenarnya ingin kubagi padamu. Kamu tidak tahu ya? Kalau aku sekarang sedang jatuh cinta pada seseorang yang mirip sekali denganmu. Namanya Nona Ayu. Atau jangan-jangan sebenarnya dia itu memang dirimu ya? Kau sengaja pura-pura menyamar ke tubuhnya biar kau bisa bersamaku lagi kan? Iya, kan? Jujur saja, Sayang! Nggak papa kok. Malah aku senang bisa hidup kembali berdua denganmu. Kita bisa makan bakso jamur di Purwodadi. Hujan-hujan kamu tak bonceng, tapi harus berpegangan erat dari belakang loh, yah. Kalau nggak mau memelukku, aku tidak akan mengajakmu makan bakso lagi!

Eh, sayangku Balqis? Aku ingin curhat padamu. Aku saat ini sedang berada di posisi sangat sulit. Ibuku sekarang hilang entah ke mana. Bapakku sakit parah dan Imah juga tidak ada di rumah. Katanya dia habis bertengkar hebat dengan suaminya, terus minggat, sampai sekarang dia tidak pulang.

Wahai Balqis. Ratuku. Jika benar jiwamu hinggap dalam tubuh Nona Ayu, maka izinkanlah aku mencintainya yah, Sayang. Tapi aku juga bingung, Balqis. Nona Ayu itu bukan orang Islam. Dia tidak sepertimu yang memakai jilbab. Dia agamanya Hindu. Kalau aku menikah dengannya apakah bisa ya? Ah, coba kamu tanyakan ke malaikat saja. Mungkin dia tahu. Kamu kan sudah pernah bertemu dengan malaikat, toh? Minta tolong tanyakan padanya, apakah boleh aku menikahi Nona Ayu? Jika boleh segera sms aku yah!

Oh, ya. Kamu nggak tahu yah? Sampai sekarang nomormu masih kusimpan loh. Iseng-iseng kadang aku mengirim pesan lucu-lucu ke kamu. Kira-kira kamu diperbolehkan megang HP nggak ya di alam sana?"

Aku serius menatap batu nisan almarhumah Balqis Assidiqiyah.

"Plekkk!"

Aku terkaget. Ada orang meneblekku dari belakang. Dengan pelan aku menoleh. Semoga saja dia Balqis.

Ah, ternyata bukan.

"Loh, kamu Salsabillah?" kagetku menoleh ke arahnya. Dia berdiri tegap di belakangku. Dia membawa tas keranjang berisi baju-baju yang mungkin dia jual itu.

Aku kembali meratapi gundukan tanah. Nisannya kuelus pelan dan tanahnya kuremas-remas lembut.

"Balqis? Aku rindu padamu! Pulanglah, Balqis! Bantu aku! Temani aku menghadapi semua ini! Temani aku mencari ibuku! Temani aku merawat bapakku! Pulanglah, Sayang! Pulanglah! Aku sangat rindu padamu!!!" Teriakku histeris. Melonglong menggebrak-gebrak pusaranya.

Aku menangis.

"Mas? Mas Wawan harus kuat! Mas Wawan nggak boleh begitu! Mbak Balqis itu sudah tidak ada. Dia sudah tenang di alam sana. Jangan lagi membuatnya tidak tenang. Ikhlaskanlah, Mas. Ikhlaskanlah," ucap Salsabillah menenangkanku.

"Ayo kita sama-sama menghadapi semua ini!" ucap Salsabillah.

Aku balik menatapnya. "Billah? Ya sudah. Ayo kita pulang! Kamu pasti capek dari tadi membuntutiku?"

Salsabillah menatapku miris. Tanganku kotor penuh tanah. Wajahku berkeringat. Rambut tidak tertata. Bajuku ditempeli rerumputan kering.

"Ayo pulang, Mas!"

"Ayo."

Kami berdua meninggalkan area makam.

"Mas punya tabungan uang di rumah. Nanti Mas mau belikan kamu rak etalase dan banner yah. Kita buka toko baju saja di rumah, gimana? Setuju?" tawarku.

"Yang benar, Mas?" ujar Salsabillah girang.

"Benar!"

"Ya, udah. Ayo kita pulang. Cepat! Tak bonceng!" kataku setengah berlari menuju motor.

Kami berdua pulang. Salsabilllah kubonceng. Kucoba sedikit mengebut. Gas kutarik mendadak. Salsabillah hampir terpental ke belakang.

"Mas, Wawan! Hadeuh!"

"Makanya pegangan erat!"

"Huh!"

"Ha ha ha! Tarikkkk!!!"

Motor kubawa kencang. Salsabillah tertawa senang.

"Ye ye ye ... yuk kita terbangggg ...." serunya.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

729K 6.3K 19
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
17.1M 819K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
348K 22K 24
menceritakan seorang masinis tampan yang jatuh cinta ke pada pramugari cantik nya.. Cast: Aliando Prilly Kevin Jesica
830K 31K 34
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...