Story Of Luca

By niuaster97

16.4K 839 49

[O N G O I N G] Selamat datang diceritaku Cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama d... More

Story Of Luca | 01
Story Of Luca | 02
Story Of Luca | 03
Story Of Luca | 04
Story Of Luca | 05
Story Of Luca | 06
Story Of Luca | 07
Story Of Luca | 08

Prolog

7.3K 162 3
By niuaster97

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan tempat, nama dan juga cerita adalah suatu kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
~Niu Aster~

----------------------------------------------------------------

Keadilan, mungkin kata itu memang sudah benar-benar hilang dari dunia ini. Sekarang semua orang lebih memuja kekuasaan dari pada keadilan. Semua sudah buta, karena kini uang lebih berharga dari pada sebuah keadilan. Uang lebih banyak berbicara dari pada keadilan. Suara uang lebih nyaring daripada teriakan keadilan.

Kekuasaan, uang, dan keserakahan adalah suatu gabungan yang luar biasa apik memainkan perannya di dunia kejam ini. Kekuasaan, bertindak dan patuh terhadapan uang karena manusia memiliki keserakahan.

Sungguh, Luca muak dengan semua itu. Semua yang ada di dunia ini sungguh, membuatnya muak.

"Minta maaflah padanya," kata seorang lelaki yang terlihat begitu frustasi di hadapannya.

Luca menatap lelaki di depannya, pandangannya begitu hancur. "Saya tidak melakukan sesuatu yang salah, tapi kenapa saya harus meminta maaf," ujarnya.

"Aku tahu. Tapi kau juga tahu bukan, dia bukanlah orang sembarangan. Jika kau benar-benar akan melaporkan kasus ini ke polisi. Kau tahu benar, siapa yang akan menang nantinya?"

Luca memutar matanya dengan helaan napas panjang lolos begitu saja dari bibirnya.

"Dunia ini kejam Luca, semua yang ada di dunia ini takluk dengan uang. Karena uang bahkan kekuasaan pun bisa dibeli. Keadilan mungkin sangat berharga bagi orang kecil seperti kita, tapi apa gunanya jika kita tidak punya uang."

"Tapi ini sungguh tidak adil. Dia benar-benar sudah berusaha melecehkanku, tapi aku yang harus minta maaf?" ucapnya tercekat.

"Apa kau pernah menemukan keadilan di dunia ini?" lelaki itu menjeda ucapannya sejenak, "Tidak. Semuanya menang karena uang. Karena uang adalah segalanya, maka dari itu keadilan pun bisa dibeli hanya dengan uang," lanjutnya menjawab pertanyaannya sendiri.

"Sekarang minta maaflah. Dan semuanya akan selesai."

Lagi, Luca menghela napasnya. Sungguh, dia tidak tahu dunia apa yang sudah dia tinggali selama 24 tahun hidupnya. Mengapa semua yang ada di dunia ini terasa benar-benar sangat kejam. Tidak ada keadilan, kekuasaan bahkan sudah dibutakan karena uang.

Andai dia terlahir sebagai orang kaya akankah hidupnya terasa lebih nyaman? Akankah dia bisa hidup lebih baik, bahkan barang sedikit saja?

***

"Apa menikah?" lelaki itu begitu terkejut, hingga menegakkan tubuhnya yang semula terbaring.

Perlahan dia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, "Aku akan memikirkannya," lanjutnya.

Devan memijat pelipisnya yang semakin terasa nyeri. Sungguh, ini bukan persoalan mudah untuknya. Ditambah permintaan ayahnya yang terasa mendesak untuk segera menikah. Dia tahu usianya mungkin memang sudah memasuki jenjang 31 tahun, tapi bukankah usia itu masih cukup wajar untuk seorang lelaki?

Pernikahan adalah hal terkonyol yang tidak pernah dia pikirkan. Hidup terkekang dengan anak-anak dan urusan keluarga. Sungguh, itu sangat tidak sesuai dengan gaya hidupnya yang selalu ingin bebas.

Sebagai seorang pelukis dia bahkan harus sering bepergian kemana-mana. Untuk pekerjaan atau bahkan hanya untuk sekedar mencari ide dan menyegarkan pikirannya. Lantas, bukankah menikah akan menghalangi hidupnya?

Helaan napas Devan terasa begitu berat, sungguh dia butuh udara segar untuk saat ini. Perlahan dia beranjak dari duduknya dan melangkah keluar kamar.

Devan memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya pada dinding lift yang membawanya. Bunyi 'Ting' membuatnya kembali membuka matanya. Dengan langkah malas dia beranjak keluar.

Semilir angin kencang menyambutnya dengan membawa aroma yang menyejukkan. Devan semakin melangkahkan kakinya, memasukkan kedua tangannya di saku celananya.

Pemandangan kota malam itu, terasa begitu luar biasa indah dari rooftop bangunan ini. Lampu-lampu tampak bagai bintang menghiasi gelapnya malam yang berkabut.

Langkahnya semakin mendekati tepi, lantas mendudukkan bokongnya pada kursi kecil yang terletak di sana. Helaan napas panjang kembali lolos begitu saja.

Lagi, dia memejamkan matanya. Menikmati setiap sentuhan semilir angin yang membelai wajahnya. Menghantarkan sebuah kenyamanan pada hati kosongnya. Sungguh, rasanya sudah terlalu lama Devan tidak merasakan kenyamanan seperti ini.

Hiks... Hiks...

Sekejap Devan membuka matanya. Pandangannya begitu waspada menatap sekeliling.

"Siapa yang menangis malam-malam begini?" lirihnya, sembari mencari sumber suara.

Dia beranjak dari kursinya. Berjalan mencari sumber suara itu berasal. Hingga akhirnya langkahnya terhenti tatkala menatap seseorang tengah menangis dengan pandangan lurus ke depan.

"Kenapa dunia begitu kejam?! Tidak bisakah keadilan bertindak sebagaimana mestinya?! Kenapa uang mengacaukan segalanya?!" teriak wanita itu.

Dari jauh Devan masih terpaku di tempatnya. Wajahnya tetap datar tanpa berekspresi. Ditatapnya wanita yang kini menjatuhkan tubuhnya, berjongkok di sana.

Wanita itu semakin terisak, "Ayah kenapa aku yang selalu disalahkan?" gerutunya, "Aku bahkan tidak melakukan suatu yang salah. Kenapa aku yang harus minta maaf?"

"Lelaki brengsek itu bahkan yang hendak memperkosaku, tapi kenapa aku yang minta maaf?! Kenapa?!" teriaknya, semakin marah entah pada siapa.

"Apa karena aku tidak punya uang, atau karena dia bisa membeli semuanya dengan uangnya? Ayah! Kenapa kita tidak menjadi orang kaya? Ayah... Kenapa kau meninggalkanku sendirian di dunia kejam ini. Aku... Aku muak dengan semuanya," ucapnya benar-benar merasa hancur.

Dari jauh Devan masih dengan setia mengamatinya. Posisinya bahkan masih bersedekap dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"HEI!!" teriaknya seketika saat wanita itu hendak menaiki pagar pembatas.

Segera dia berlari dan menarik tubuh wanita itu. Hingga mereka sama-sama tersungkur, dengan posisi wanita itu berada di atas.

Sesaat mereka sama-sama terpaku. Pandangan mereka sama-sama terkunci, hingga suara Devan menginterupsi.

"Apa kau pikir hidup semurah itu?" ucapnya sembari menyingkirkan wanita itu dari atas tubuhnya.

Wanita itu terguling ke tanah, dia mengerang saat merasakan tangannya terbentur.

"Itu bukan urusanmu," ucap wanita itu.

Devan menghela napasnya, "Itu mungkin memang bukan urusanku. Tapi apakah kau tidak berpikir jika hidupmu terlalu berharga untuk mati begitu saja?"

Wanita itu mendongakkan wajahnya, "Itu bukan urusanmu!" teriaknya. Air mata kembali luruh dari pelupuk matanya.

"Apa kau pikir masalahmu adalah yang terberat hingga kau berusaha mengakhiri hidupmu? Apa kau tidak berpikir, jika di luar sana masih ada jutaan orang yang memiliki masalah lebih berat dari pada dirimu? Apa kau tidak malu mengakhiri hidupmu dengan sia-sia, sementara masih banyak orang di luar sana yang berjuang untuk hidup?"

"Itu bukan urusanmu," ucap wanita itu semakin hancur. Tangisnya bahkan semakin pecah. Merasa sesak luar biasa. Dadanya bergemuruh, merasa bersalah. Sungguh, dia tidak bisa berpikir jernih untuk sesaat tadi.

Namun perkataan lelaki di depannya, seperti gamparan keras yang diberikan untuknya. Semua yang dikatakan lelaki itu benar. Dia bahkan seperti seorang pengecut karena berusaha mengakhiri hidupnya karena masalah yang dia alami. Dia benar-benar bodoh, hingga tidak berpikir sejauh itu.

***

"Minumlah," Devan menyodorkan sebotol air mineral pada wanita di depannya.

Wanita itu menerimanya, "Terimakasih," lirihnya lantas menegak isi botol yang sudah dibukakan tutupnya.

Devan mendudukkan pantatnya di samping wanita itu. Matanya menatap lurus pemandangan kota di depannya.

"Terimakasih karena sudah menolongku," ucap wanita itu lirih mengalihkan pandangan Devan.

Ditatapnya wanita yang tengah sibuk menatap botol di genggangannya. "Aku hanya melakukan hal yang memang seharusnya dilakukan."

Hening. Mereka kembali sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Kalau begitu saya permisi dulu," ucap wanita itu setelah beberapa saat, sembari meletakkan botol minumnya lantas beranjak dari duduknya.

Wanita itu melangkah meninggalkan Devan yang tidak bersuara apapun. Matanya menatap botol minum di sampingnya lantas beralih pada wanita yang berjalan menjauh dari tempatnya.

***

"Aish... Dimana wanita sialan itu?" terdengar amarah seseorang.

"Maafkan kami, Tuan," lelaki muda itu terus saja meminta maaf pada lelaki bertubuh tambun di depannya.

"Berani sekali dia menolakku. Dia pikir dia siapa. Seharusnya dia merasa tersanjung sebagai wanita rendahan seperti itu." lelaki tambun itu semakin geram, "Ah.. Itu dia," ucapnya saat matanya menatap Luca dari ujung lorong.

Dia berjalan tergesa mendekat dan sebuah tamparan keras dia sematkan hingga membuat semua orang yang ada di sana terkejut luar biasa. "Dasar wanita jalang, berani-beraninya kau mengancamku untuk melapor ke polisi! Apa kau tidak tahu siapa aku, hah?! Sadarlah kau itu siapa? Kau hanya pelacur kecil yang tidak tahu diri!"

Lelaki itu kembali hendak memukul wanita yang sudah tersungkur itu, hingga semua orang sudah tercekat dibuatnya. Namun, sebuah lengan kekar mencekam erat tangannya.

"Siapa kau berani ikut campur urusanku?!" lelaki itu tampak geram dengan seseorang yang masih mencekal tangannya.

"Apakah anda masih pantas disebut sebagai lelaki setelah memukul wanita?" ucap lelaki yang tak lain ialah Devan.

Dengan sekali hentakan Devan melempar tangan lelaki itu, hingga lelaki tambun itu mundur beberapa langkah.

Devan berjongkok di depan Luca yang bahkan tidak mengangkat wajahnya. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

"Bawa aku pergi dari sini," lirih wanita itu.

Segera Devan membantu wanita itu berdiri. Sebelum melangkah dia menolehkan kepalanya ke arah lelaki yang masih meringis merasakan pergelangannya yang memar, "Untuk laporannya, akan aku pastikan semua akan diproses sebagaimana mestinya."

"Sialan! Dasar bajingan, apa kau tidak tahu siapa aku?! Kau tidak akan pernah bisa menuntutku?! Dengarkan  itu!"

Ucap lelaki itu terputus saat mereka sudah memasuki lift. "Kau tidak apa-apa?" kembali Devan menanyakan hal itu, saat wanita di sampingnya tidak bereaksi apa-apa. Pandangannya bahkan masih lurus pada ujung sepatunya.

Tidak ada tangis atau suara darinya. Helaan napasnya pun masih cukup teratur, hingga membuat Devan cukup bingung pada kondisi wanita itu.

Mereka keluar dari lift yang membawanya. "Sekali lagi terimakasih," ucap wanita itu saat mereka sudah keluar dari lift.

Wajahnya tidak terangkat sama sekali, bahkan hingga dirinya sudah berbalik dan meninggalkan Devan. Namun, dengan cepat Devan mencekal lengannya. Membuat wanita itu menoleh ke arahnya.

Saat itulah Devan cukup terkejut, saat melihat pipi wanita itu yang terlihat memar dengan sudut bibir mengeluarkan darah. "Kau... Terluka?" lirih Devan.

Segera Luca mengusap sudut bibirnya, "Hanya luka kecil. Sekali lagi terimakasih untuk semua bantuan anda hari ini, saya akan membalasnya lain kali. Kalau begitu saya permisi dulu," ucap wanita itu begitu cepat, hingga Devan tidak sempat untuk menyelanya.

Dengan langkah cepat wanita itu menjauh darinya. Dan menghilang di persimpangan lorong.

Devan masih terpaku di tempatnya. Siapa wanita itu, dia bahkan belum sempat menanyakan namanya. Semua yang dia dengar darinya hanya kata terimakasih yang terus terucap.

-----------------------------------------------------------

Cerita hasil iseng.. Bisa lanjut juga enggak. Aku cuma pengen publish semua cerita yang udah aku tulis, meski cuma dikit. Yang penting kalian ikut merasakan hasil dari cerita absurdku

Silahkan mampir ke bio, dan membaca ceritaku yg lain...

Peluk hangat
~Niu Aster~

Continue Reading

You'll Also Like

622K 27.2K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
815K 52.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1.1M 47.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
949K 88.1K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...