Silver Maiden [Terbit]

Door Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... Meer

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

46. Smith

6.5K 747 38
Door Cassigatha19

Tubuhnya melengkung, bundar bagai pangsit gulung. Selimutnya berserak di atas lantai—merosot jatuh semalam karena ditendang. Silvana sendiri masih terlelap meski sekelilingnya telah terang benderang. Dia membiarkan kepalanya ditindih bantal. Dan selang tidak berapa lama kemudian, ketukan pintu menyadarkannya.

Silvana mengerang lirih. Saat menegakkan punggung dan melihat ke arah pintu, batinnya bertanya-tanya siapa di luar. Biasanya tidak ada yang mengganggunya di pagi hari begini. Kadang Fiona yang datang, itu pun saat siang atau sore hari. Rutinitas Silvana sendiri masih sama: tidak datang ke jam pengajaran dan lebih memilih membaca buku yang dibawanya dari rumah.

Malas-malasan, Silvana membuka pintunya. Dia pun mengerjap terkejut mendapati tiga orang siswa berseragam merah menghadapnya sekarang. Satu di antaranya berdiri di depan. Dia mengernyit melihat rambut hitam Silvana yang seperti telah dihantam badai.

"Vana?" Siswa berkacamata itu menyebut namanya, memastikan kamar yang mereka datangi benar. "Kepala asrama memanggilmu. Mohon segera bersiap."

Karena baru saja bangun tidur, Silvana tidak langsung bereaksi seperti yang diminta. Kelopak matanya sesekali berkedip cepat sambil mengamati siswa-siswa itu dari kepala sampai ujung kaki.

Sudah menduga situasi seperti ini, siswa yang berada di depan pun memberi isyarat pada yang lain untuk bertindak. Mereka langsung masuk ke kamar Silvana tanpa meminta persetujuan. Dengan gerak secepat kilat, mereka pun sukses mempersiapkan gadis itu hingga rapi dan bersih. Tampaknya para asisten khusus memang punya kemampuan sebagai dayang dadakan.

Silvana diam menurut saat mereka menggiringnya ke ruang asrama di mana Lilac menunggu. Ketika masuk ke sana, Lilac rupanya tidak sendirian. Ada Cyde dan Dalga yang langsung berdiri begitu melihat Silvana. Lilac yang melihat keanehan itupun mengernyit.

"Silakan duduk, Vana," perintah Lilac dari mejanya. Wajah gadis itu pucat. Ada kantung gelap di bawah matanya. Siapa pun bisa langsung menyimpulkan kondisinya yang kurang sehat, namun seperti biasa, Lilac berlagak tidak merasakan apa-apa.

Silvana kemudian duduk di kursi empuk yang terletak di ujung. Cyde dan Dalga menempati kursi panjang di sisi kanan kiri.

"Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?" tanya Lilac.

"Tidak," jawab Silvana seraya menggeleng.

Lilac menghela napas panjang. Penat di kepalanya sudah cukup banyak dan kini dirinya harus mengurus siswa baru yang hampir tidak pernah masuk ke kelas. Lilac sempat menyinggung hal ini pada Cyde. Dan ya, laki-laki itu langsung bertingkah aneh seakan tidak tahu apa yang harus diperbuat. Padahal untuk menghadapi situasi semacam ini, mereka sebagai kepala asrama harus menentukan sanksi. Otoritas tetap dipegang oleh Lilac. Gadis itu pun semakin merasa aneh karena kini Dalga memaksa untuk ikut campur.

Hanya karena seorang siswa baru?

Lilac mengambil secarik kertas yang diletakkan di depannya. Itu catatan Silvana di Gihon. Banyak tanda merah yang dicoretkan guru karena ketidakhadiran gadis itu.

"Apa kau punya masalah dengan mengikuti kegiatan di sini? Catatanmu sama sekali tidak membuatku senang. Apa kau sengaja membolos di semua jadwal pengajaran Ruby?" Lilac tidak berbasa-basi dan langsung ke inti masalahnya.

"Bukannya aku tidak mau datang.." Silvana merasakan lirikan Cyde dan Dalga hingga merasa tidak nyaman.

"Lalu?" Lilac mengerutkan kening.

"Semua buku-buku yang harus kupelajari di Gihon.. aku sudah mempelajari semuanya."

Hening beberapa detik. Alasan diamnya Cyde dan Dalga berbeda dengan Lilac.

Buku-buku yang diberikan pada siswa baru bukan hanya berisi materi tahun pertama, melainkan tahun-tahun selanjutnya. Totalnya ada delapan buku tebal. Bagaimana mungkin siswa baru sepertinya mengklaim telah mempelajari semuanya? Masuk di akal jika Silvana berkata dia tidak ingin belajar. Tapi mengaku-ngaku telah menguasai buku-buku itu? Lilac tidak mungkin akan memercayainya begitu saja.

Menahan kegusarannya, Lilac menghampiri raknya lalu mengambil buku Ruby secara acak. Dia kemudian menunjukkan sampul buku itu pada mereka semua.

"Jabarkan secara singkat apa yang kau pelajari dari buku ini," perintah Lilac tanpa bisa didebat. Cyde pun tidak memiliki alasan untuk menghentikannya.

Bagaimana jika Lilac menentukan hukuman untuk Silvana? Mereka tidak akan bisa menyelamatkan Silvana tanpa memberitahu identitas dia yang sesungguhnya pada Lilac. Bukannya menyelesaikan masalah ini, mereka justru akan mendapat masalah baru.

Mendadak atmosfer kaku di antara mereka pecah ketika Silvana angkat bicara. Pengucapannya tenang dan lancar. Menjabarkan secara singkat, tanpa mengabaikan kesan rinci yang seketika membuat Lilac mematung di tempat. Bukan hanya Lilac, Cyde dan Dalga juga memberikan respon sama. Buku yang dibawa Lilac adalah buku pegangan untuk tingkat ke tiga—hanya satu tingkat di bawah angkatan para kepala asrama itu.

Berdehem masih tidak percaya. Lilac mencoba lagi. Kali ini dia tidak mengambil buku dari rak, melainkan dari lacinya sendiri: buku pedoman yang baru saja Lilac pelajari kira-kira setahun ini. Mereka pun tercengang mendengar Silvana memaparkan lagi semuanya, bahkan sebelum Lilac menyuruhnya mulai.

Ruby adalah asrama bagi para siswa yang mengenyam pendidikan sosial dan politik. Mereka mempelajari semua hal soal masyarakat, kondisi geografis, hubungan-hubungan politik hingga taktik perang. Para siswanya hampir secara otomatis akan berkontribusi langsung pada kemajuan negerinya dan akan memanfaatkan ilmunya secara maksimal apabila memegang kekuasaan. Namun Silvana menjabarkan seluruhnya dengan ringan, seolah-olah.. dia telah lebih dini dididik menjadi seorang penguasa.

Apa itu mungkin? Dalam catatannya, Silvana tidak mencantumkan nama marga. Minimal dia punya latar belakang keluarga bangsawan yang berpengaruh apabila mampu menyerap semua buku-buku itu.

Cyde dan Dalga berkutat dengan pikiran masing-masing. Pada intinya tidak jauh berbeda. Menjadi putri tunggal yang mengemban nama besar Burö, Silvana jelas mewarisi segala hal dari Argent. Tapi tetap saja mencengangkan, karena Silvana masih sangat muda untuk menguasai topik seberat itu.

"Umurmu.." Lilac berucap ragu, berniat memastikan. "Tujuh belas tahun?"

Silvana mengangguk.

Tatapan Lilac berubah tajam. Bukan untuk Silvana. Matanya dan mata Cyde bertemu. Sorotnya menuduh laki-laki itu tengah menyembunyikan sesuatu.

"Ada yang ingin kau jelaskan padaku?" tanya Lilac. Cyde hendak menjawab, namun dia terlalu bingung untuk menemukan alasan yang tepat. Untungnya sebelum Cyde keceplosan, senyum Lilac mengakhiri kekakuan kali itu. "Kau memaksaku mengurus kepindahan siswa baru karena menemukan anak yang luar biasa jenius? Astaga, kau baik sekali."

Dalga mengangkat alis. Mereka bahkan tidak memerlukan kebohongan supaya Lilac tidak curiga. Sebaliknya, gadis itu tampak senang. Sesekali dia bergurau. Nadanya melunak pada Silvana.

"Tapi sayangnya aku tetap harus memberikan sanksi untukmu," kata Lilac hingga kelegaan yang sempat meliputi Cyde dan Dalga menguar tak berbekas. "Materi tertulis sudah kau kuasai. Baiklah. Aku bisa mengurus ini dengan para pengajar. Bagaimana kalau aku memasukkanmu ke daftar peserta untuk turnamen panah Ruby bulan depan? Aku akan melupakan masalah ini jika kau setidaknya tersaring sampai tahap semifinal."

"Kurasa itu tidak-.." Cyde hendak memprotes tapi Lilac tidak membiarkan keputusannya diganggu gugat.

"Aku tidak pernah berkata sanksi yang kuberikan akan ringan." Kepala asrama Ruby itu menyilangkan tangan. "Ini setimpal dengan perbuatannya yang mengabaikan jadwal pengajaran tanpa alasan jelas."

Satu hal yang dipahami Cyde dan Dalga, Lilac bukan orang yang mudah mengubah keputusan. Apalagi jika gadis itu telah mengetuk palunya, sebagai tanda sesi kompromi yang tertutup rapat.

"Kalau begitu, aku akan menantikan turnamen bulan depan," tandas Lilac secara tidak langsung menyelesaikan pertemuan kali itu.

Cyde yang berwajah keruh kemudian menggiring Silvana keluar ruangan. Dalga tadinya hendak menyusul mereka. Laki-laki itu menoleh ke belakang, melihat Lilac yang menenggelamkan wajahnya ke kedua tangan yang menengadah miring. Sikap Lilac yang tegas rupanya tidak sepenuhnya mampu menghilangkan kesan pucat pada gadis itu—tidak untuk Dalga.

Lilac tersentak ketika tiba-tiba sebuah telapak tangan menempel di dahinya. Dia mendongak. Pandangannya mengerjap pada Dalga.

"Jika Ren saja tidak bisa menyembuhkanmu, kau bisa beralih ke Cith. Kau ingat saranku bukan?" Dalga menatap Lilac penuh makna. Tatapan yang lembut. Entah sejak kapan laki-laki itu terkadang menunjukkan perhatiannya dengan atau tanpa balasan yang berarti dari Lilac.

"Mm." Lilac tersenyum. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."

Tangan Dalga beralih mengusap tulang pipi Lilac tapi dengan halus gadis itu menepisnya.

Lilac lagi-lagi tersenyum, mencairkan suasana kaku di antara keduanya. "Aku ingin menjenguk Ren. Kau mau ikut?"

***

Silvana dan Cyde membisu saat berjalan bersisian di lorong terbuka Ruby. Cyde bingung memikirkan jalan supaya Lilac menarik kembali perintahnya pada Silvana. Dari generasi ke generasi, keluarga Delcary-Amun selalu merapatkan hubungan dengan keluarga Burö. Cyde yang setiap saat mengikuti perkembangan Silvana pun tahu jika seumur hidupnya, gadis itu tidak pernah memegang senjata. Argent Burö tidak akan mengizinkannya, terlebih setelah Silvana beberapa kali mencoba melukai diri pada masa suram setelah Pangeran Mikhail meninggal.

Dan dengan entengnya Lilac menyuruh Silvana bergabung ke turnamen, minimal mencapai tahap semifinal?

Cyde menghela napas gusar. Laki-laki itu tidak terlalu memperhatikan jalan. Tahu-tahu mereka sudah sampai di pintu keluar asrama. Cyde menoleh pada Silvana yang sejak tadi mengamati wajahnya yang cemas.

"Jangan khawatirkan apa pun," kata Cyde halus. "Aku akan melakukan apa saja supaya kau tidak perlu ikut turnamen. Kau akan baik-baik saja. Kepala Sekolah pasti akan mengerti."

Silvana tidak membalas. Tatapannya tetap terarah pada Cyde. Laki-laki itu memberanikan diri mengulurkan tangannya ke wajah Silvana, merapikan anak-anak rambut yang berantakan.

"Aku merindukanmu..," gumam Cyde pelan. "Maaf tidak bisa sering menemuimu."

Menghela napas panjang, Cyde menarik diri. Bibirnya menyunggingkan senyum manis sebelum meninggalkan Silvana seorang diri. Saat sosok Cyde tidak lagi terlihat, Silvana berbalik. Dia berniat kembali ke kamarnya untuk meneruskan membaca buku yang belum selesai. Namun di tengah jalan, samar-samar dia mendengar bunyi sesuatu yang dilontarkan lalu tertancap.

Kalau tidak salah jam pengajaran masih berlangsung. Silvana pun tidak melihat siswa lain yang bersliweran di luar kelas seperti dirinya. Gadis itu kemudian melangkah, mengikuti bunyi tadi. Pada akhirnya dia sampai dekat sebuah area terbuka di mana beberapa siswa tampak sedang berlatih memanah. Mereka mengarahkan ujung panah pada papan bundar yang permukaannya tergambar lingkaran-lingkaran skor. Mereka berlatih sendiri tanpa arahan guru.

Penasaran, Silvana mengambil sebuah busur dan satu anak panah tanpa diketahui siapa pun. Tangan kirinya memegangi pertengahan kayu busur yang cekung, sementara tangan kanan bersiap mengacungkan panah. Tapi sayangnya, gadis itu tidak memperkirakan jika tali busur ternyata kaku dan susah ditarik.

"Hei, coba lihat itu." Salah satu siswa yang berlatih panah tidak sengaja melihat Silvana. Laki-laki di sebelahnya kontan menegang melihat Silvana yang seperti mengarahkan ujung panah ke arah mereka.

"Dia mau menembak?!"

"Yang benar saja!"

"Jangan-jangan dia pengawas dari komite? Karena kita tidak izin memakai tempat ini?!"

Mereka tambah gelagapan saat Silvana sekuat tenaga menarik tali busur. Sedikit pun gadis itu tidak terlalu memikirkan ke mana dia mengarahkan tembakan. Para siswa tadi langsung berlari panik. Bahkan satu di antaranya tersandung kakinya sendiri sampai jatuh terjerembap. Dia tidak memiliki pilihan selain berbaring tiarap.

Tapi ketegangan mereka langsung hilang melihat panah Silvana justru jatuh dengan sendirinya—hanya gara-gara dia memegang busur miring. Silvana mengernyit. Dia memberengut. Dipungutnya lagi panah itu. Di percobaan kedua, dia terperanjat karena kaget merasakan tali busur melenting setelah ditarik. Bukannya berlatih menembak, Silvana justru kelabakan memegangi busur dan panah supaya selaras.

Payah sekali.

"Jangan-jangan dia.. tidak bisa memanah?" gumam siswa tadi yang lantas saling berpandangan.

Kalau saja salah satu dari mereka menoleh ke sisi timur laut lalu sedikit mendongak, dia akan bisa melihat Cambyses yang tertawa terbahak-bahak. Bukan soal kepanikan siswa Ruby yang idiot itu, melainkan Silvana.

Gadis Perak apanya, batin Cambyses meremehkan seraya terkekeh geli.

***

Var dan Rife mendatangi tempat pandai besi. Sekitar dua hari yang lalu di uji ketangkasan, lawan Rife kala itu benar-benar kuat hingga pedangnya sampai bengkok di bagian ujung. Var bersumpah, itulah kali pertama mulut Rife mengeluarkan makian jengkel meski tanpa suara. Sadar jika Var tengah memperhatikan, Rife pun meringis. Senyumnya jelek sekali.

Sementara pandai besi memperbaiki pedang Rife, Var mengalihkan perhatian dengan melihat-lihat pedang-pedang yang belum lama selesai dibuat. Tubuh Var yang tegap dan bidang membuat beberapa wanita yang berlalu lalang mencuri pandang. Sosoknya menyamping, dengan wajah yang agak mendongak. Var membiarkan rambutnya tergerai agak berantakan, sebagai ganti tudung, karena dia tidak memakai jubah hari ini.

Melamun, pikirannya mengingat Silvana tanpa bisa dicegah. Sudah beberapa hari terlewat sejak gadis itu meninggalkannya pergi bersama Kia. Ke mana dia waktu itu?

Selang beberapa saat kemudian, Rife kembali menghampiri Var.

"Aku akan kembali ke sini besok," kata Rife. "Kau jadi mau mencari batu asah?"

Batu asah milik Var telah terkikis hingga nyaris habis. Lebarnya hanya sebatas satu buku jari telunjuk. Padahal belum lama sejak terakhir Var membelinya. Var terlalu sering menggunakannya hingga pedang serta tombaknya jadi amat tajam. Jika dia menebas leher orang dengan itu, mungkin rasa sakitnya tidak akan terasa. Tahu-tahu dia akan menyadari kepalanya menggelinding di atas tanah.

Var hanya menggumam singkat menjawab pertanyaan Rife. Mereka hendak keluar tempat pandai besi itu ketika tiba-tiba seseorang menghadang. Var mengernyit sedangkan Rife mengerjap heran.

Fiona menatap mereka berdua sambil tersenyum aneh.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rife.

Namun bukannya menjawab, Fiona masih tersenyum meringis. Alisnya naik turun, seakan memberi isyarat pada Var dan Rife supaya mendongak.

Tiba-tiba saja rambut hitam panjang mengayun ke bawah, langsung dari atap tepat di atas Rife. Jeritan Rife melengking memekakkan telinga, sedangkan Var mematung—irisnya mengambang di sisi atas sklera.

Sejak kapan dan bagaimana Silvana Burö ada di atas genting kayu?

Melihat Var, senyum Silvana mengembang senang. Tubuhnya tengkurap di atas genteng dan kepalanya menjulur ke bawah. Hal itu lantas membuat rambut legamnya menjuntai menyeramkan. Sedikit pun dia tidak tampak peduli pada wajah pucat Rife yang syok karena kaget.

"Var!" seru Silvana.

"Sedang apa kau di situ?" Var sebenarnya juga kaget. Tapi dia lebih mampu mengendalikan refleks reaksinya dibanding Rife.

"Mencarimu."

Var mengerutkan kening.

"Kia dan Fiona membelikanku busur dan panah. Lihat!"

Gadis itu menjulurkan kedua tangannya yang memegangi busur kayu dan wadah tabung berisi batang anak-anak panah. Dia tersentak saat menyadari tubuhnya merosot ke depan karena genting yang miring. Fiona dan Rife bersamaan terkesiap. Namun Var yang tenang langsung menangkap tubuh gadis itu dalam dekapannya.

Berbanding seratus delapan puluh derajat dari ekspresi sedihnya saat meninggalkan Var beberapa waktu yang lalu, Silvana memandang Var dari jarak yang sedemikian dekat dengan sorot yang berbinar antusias. Lengan gadis itu mengalung di leher Var.

"Ajari aku memanah!"

Var langsung menurunkannya, tidak memedulikan raut bingung Silvana.

"Kenapa aku harus melakukannya?" balas laki-laki itu.

"Kau bilang aku harus memberi diri ditempa," kata Silvana yang lantas membuat Var terdiam. Dia pun menatap Var penuh harap. "Apakah aku tidak bisa memilih penempaku?"

.

.

.

"I think of you daily

Loving every day about you

And I hope that you

.. love everything about me too."

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

196K 12.4K 19
Keira Hanirasya adalah gadis Jakarta yang cukup berandalan di sekolahnya. Ketika seorang temannya mengatakan jika ia mirip dengan seseorang, Keira ta...
586K 91.5K 28
[Fantasy & (Minor)Romance] Carmelize selalu berakhir bermimpi tentang sebuah kerajaan setiap malam. Hanya ada satu orang yang bisa melihatnya, yaitu...
147K 14.7K 53
Frederic d'Ourson, Comte de Danslesoir, adalah bangsawan di Perancis yang menjunjung tinggi aristokrat. Hingga suatu hari dia harus menikahi Madame D...
10K 1.2K 46
"Mereka menembak saudariku, ayahku, ibuku, para pelayan setiaku, dan aku sendiri." Tsarevich Alexei Nikolaevich - [Juli 17, 1918]. . [Fiksi-Sejarah M...