Garis Interaksi

De Lestahayu

701K 27.3K 847

Judul Awal: Klop! (Bukan Asal Pacaran) Status Rara dan Al itu jelas pacaran, meski jadian secara sepihak. Han... Mais

Catatan
1. Pertemuan
2. Antar Lagi?
3. Sepasang Jomblo
4. Nando
5. Belajar Bersama
6. Kontes
7. Pamit
8. Kamuflase
9. Pangeran Sekolah
10. Hah!?
11. Drian
12. Cemburu
13. Al, Siapa?
14. Partrian
15. Rencana
17. Jujur
18. Senewen
23. Kiriman
24. Reaksi
27. G-A-L-A-U
32. Kuliah Tujuh Menit
33. Dangkal
42. Extra Part - 1
43. Extra Part - 2
44. Extra Part - 3
Catatan Akhir Kisah
Once More With You

16. Jangan Ditunda

12.3K 791 2
De Lestahayu

Rara tak masuk sekolah selama empat hari, jika dihitung dengan hari Minggu. Dan ia baru tiba di sekolah saat jam pelajaran pertama hari Rabu ini sudah berakhir.

"Setelah ini jamnya Pak Judika, kan?" tanya Rara pada Yuna. Dibalas kekehan dan anggukan dari lawan bicaranya tersebut.

"Tadi gue kira lo nggak berangkat lagi, Ra?"

"Ya berangkat, Na. Gue nggak rela ketinggalan jam mapelnya Pak Judika," jawab Rara sambil tersenyum.

Pak Judika alias Pak Munawar. Dijuluki demikian, karena guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam nan humoris itu, wajahnya memang hampir mirip dengan Judika, penyanyi papan atas Indonesia tersebut. Sosok itu kini muncul dari balik pintu, dengan gaya khasnya. Santai, seperti biasa. Mengucapkan salam, dan dijawab serentak sekaligus bersemangat oleh para siswanya.

"Minggu lalu materinya sudah sampai mana?" Pertanyaannya tak jauh-jauh dari minggu ke minggu.

"Minggu lalu mencatat ki es Al-Ahzab ayat sembilan, Pak." Fatma menyahut, karena posisinya paling dekat dengan Pak Munawar berada.

"Qur'an surah. Ki es, ki es!" Pak Munawar menepukkan bukunya pada meja Fatma dengan gemas, ketika meralat perkataan dari satu siswinya itu.

Fatma meringis sebentar. "Itu, Pak, maksud saya."

"Artinya sudah dicatat, belum?"

"Belum, Pak."

"Jadi, sekarang tinggal mencatat artinya?"

"Betul, Pak."

Setelahnya, guru berpeci tersebut membalik lembar demi lembar kertas dari buku yang dipegangnya. "Yaa ayyuhalladziina aamanudzkuruuni'matallaahi." Pak Munawar mulai membaca ayat yang hendak diterjemahkan. "Artinya. Titik dua." Beliau menunggu sejenak. "Hai, orang-orang yang beriman!"

"Hai juga, Pak!" Para murid putra menjawab dengan kompak, juga cengengesan. Para cewek kontan melotot. Khawatir bila itu dianggap sebuah tindakan yang melenceng.

"Kenapa, pada melotot? Kalau nggak jawab, ntar kami disangka nggak beriman. Kan repot," kilah Abdi, tak mau disalahkan.

Pak Munawar terperangah sesaat. Lalu, "Yang tidak beriman, tidak hai!" kekehnya menambahkan.

"Kok Bapak makin mirip sama Judika, sih?" tanya Rara, geli. Melampiaskan rasa heran, mengapa Pak Munawar selalu selangkah lebih maju dari para muridnya.

"Pegangin, guys! Mumpung masih sempet. Pak Munawar mulai terbang ke awang-awang tuh, dimirip-miripin sama Judika!" komentar Fani, tak kalah geli.

"Bener, Fan. Pak Munawar kok dibandingin sama Bebeb Judika. Ya beda jauh, Ra!" tambah Bia.

"Nah, benar kata Mbak Bia. Saya dengan Judika memang beda jauh, karena saya merasa lebih ganteng sedikit, dari Judika," sahut Pak Munawar narsis. Sebelum para siswanya menyoraki, beliau sudah terlebih dahulu menambahkan, "Tapi Judika jelas lebih ganteng banyak, dari saya."

Tak ada tanggapan lain, selain gelak tawa dari seisi kelas. Selalu saja, guru ini tak kehilangan akal untuk membuat candaan agar para siswanya tak bosan.

Kegiatan belajar mengajar berlangsung normal, setelah tawa benar-benar terhenti. Meski ada beberapa siswa yang cekikikan, namun tak sampai mengganggu. Mereka bahkan tetap menyempatkan diri untuk menggoda Pak Munawar, hingga jam pelajaran usai, bahkan saat pengajar itu hendak menuju ruang guru.

"Pak Judika apa banget, ih! Udah dibela-belain sama Rara buat ikutan pelajaran beliau, eh Rara-nya digituin. Pak Judika, Pak Judika. Ada-ada aja." Bia menggeleng pelan, teringat kejadian ketika diajar oleh guru PAI itu, bahkan hingga hendak ke kantin.

"Gue masih inget banget ekspresinya Rara pas tadi disuruh baca ayat. Udah pakai acara dehem-dehem segala. Eh, ternyata dikerjain," tambah Ikha, seraya tergelak.

"Pak Judika kan emang nggak mau kalah sama Rara. So, nggak mau ngelewatin kesempatan emas yang tadi. Biasanya kan Rara pas disuruh baca ayat Al-Qur'an, belum tentu dibaca sampai selesai."

"Enak aja," sahut Rara tak terima. "Kalau disuruh baca, pasti gue baca sampai selesai. Kalau hafalan, gue belum tentu hafal. Jadi, gue bacanya sepotong, terus ...."

"Ila akhirihi alias dan seterusnya sampai akhir!" lanjut keempat sahabat itu secara bersamaan, juga terkikik.

"Oh, iya. Nenek lo gimana, Ra?" tanya Ikha penasaran.

"Nenek langsung sembuh, begitu ketemu cucunya yang paling manis dan cantik ini," jawab Rara cengengesan, seraya mengibaskan rambut yang ia kucir.

"Sejak kapan sih lo jadi centil gini!?" tanggap Bia sebal. Rara, Yuna, serta Ikha terkekeh-kekeh. "Terus, pulangnya kapan?"

Rara menjelaskan bahwasanya ia baru sampai di rumah, tadi pagi. Ayahnya pula yang mengantar, sekaligus meminta surat izin tak masuk satu jam pelajaran.

Sampailah mereka di tempat yang dituju. Lalu memilih meja yang sekiranya nyaman untuk ditempati, sebelum kantin penuh dengan siswa-siswi lain.

Ikha, Yuna, serta Bia mengutarakan rasa rindunya pada Rara. Dan bukan Rara namanya, jika tak menyangsikan kerinduan yang tertuju padanya. Terlebih, ia tak masuk sekolah hanya selama beberapa hari. Melewatkan banyak hal yang terjadi, meski sudah diceritakan melalui sambungan telepon seluler. Akan tetapi, Bia mengatakan bahwa itu belum apa-apanya.

Rara menggeser kursi kantin. "Ada lagi?" tanyanya. Lalu ia duduk, mengikuti jejak ketiga sahabatnya yang sudah terlebih dahulu menduduki kursi masing-masing.

"He-eh," sahut Bia. "Pertama dan yang paling utama sekaligus terpenting, Aya juara pertama lomba kaligrafi tingkat regional, dan otomatis lolos ke tingkat provinsi."

Rara berdecak kagum. Sudah lama ia mengagumi salah satu teman satu kelasnya itu. Kini, kadar kekagumannya kian bertambah.

Bia menceritakan perihal Abdi yang menjadi pendiam, karena tak memiliki lawan sepadan yang bisa diajak ribut. Lalu Dito, kehilangan sosok perayu para pengurus OSIS untuk menyapu. "Tapi yang paling bikin gue melongo itu Kak Nando, Ra."

"Kenapa, sama Kak Nando?"

Tatapan Bia menerawang, mengingat peristiwa hari kemarin saat Nando menegur. Ia lalu menceritakannya pada cewek di sebelahnya, pun tersenyum bangga. Sama sekali tak menyangka jika salah satu kakak kelasnya itu diam-diam memperhatikan, hingga hafal bahwa mereka memang sering jalan berempat.

Sementara itu, dari lantai tiga blok sebelah, posisi yang strategis bagi pengintai, tampak sepasang mata mengawasi gerak-gerik empat cewek itu menggunakan teropong.

Nando.

Senyumnya mengembang tatkala mendapati satu sosok yang selama beberapa hari ini tak terlihat. Setelahnya, memungkasi pengawasan yang sudah dilakukan semenjak sepuluh menit lalu, sebelum ada yang memergoki seperti yang sudah-sudah.

"Kok cuma bertiga?"

Secara refleks; Bia, Yuna, serta Ikha menoleh ke arah sumber suara, begitu mendengar pertanyaan itu.

"Biasanya berempat, kan?" Pertanyaan disertai senyum ini, seketika membuat tiga cewek itu terbengong. "Yang satunya mana?"

"Emang yang satunya siapa, sih?" tanya salah satu teman Nando pada cowok di sebelahnya. Ekspresinya dibuat sepolos mungkin. "Kok nggak disebutin, namanya?"

"Nggak perlu disebutin, lagi. Nama orang yang disayang itu cuma sampai di lidah doang. Kalau disebutin, takutnya ntar otak dan hati nggak sinkron. Otak maunya biasa aja, eh nggak tahunya jantung jadi balapan. Maksud hati emang nggak bisa diterka. Maunya memiliki, tapi terhalang oleh ragu nan mengganjal ini. Hohoho. Lo nggak ngerti juga, kan?"

Meski hari kemarin tatapan penjawab nan cengengesan itu bukan tertuju padanya, tetap saja Nando merasa bahwa itu jelas-jelas sindiran untuknya. Dan ia akan berkilah, setiap digoda semacam itu. Sebab, belum memiliki keberanian untuk mengambil tindakan. Dampak bagi pemilik hatinya itu, yang ia pikirkan.

Cowok itu mulai menuruni anak tangga, menuju lantai di bawahnya.

Kalau cinta, ya bilang cinta

Kalau sayang bilang-bilang sayang

Jangan ditunda-tunda

Nanti diambil orang

Kalau cinta, ya bilang cinta

Kalau sayang bilang-bilang sayang

Jangan berpura-pura

Nanti kau kesepian.

Belum juga kakinya menapaki anak tangga terakhir, penggalan lirik sebuah lagu yang sangat familier baginya itu, menggema. Ia paham, juga sudah hafal akan kebiasaan jahil dari para temannya ini. Tanggapannya santai, terkesan mengabaikan.

Sebab, ia ingin hanya dirinya saja yang tahu bahwa hatinya masih meragu. Hanya dirinya saja yang tahu besarnya rasa ingin memiliki itu. Dan hanya dirinya saja yang tahu, seberapa besar keinginannya untuk melindungi dan memastikan keamanan pemilik hatinya. Lebih tepatnya, inilah alasan untuk menutupi rasa takut saat nanti perasaannya tak bersambut.

Sampailah ia di kantin yang dituju. Lalu membaur dengan para temannya selepas mengembalikan teropong milik adik angkatannya. Ekor mata cowok itu kini mengamati segerombolan cewek yang sepertinya hendak menuju kantin di blok sebelah.

Perhatiannya kini teralihkan saat seorang teman menepuk bahunya, pelan. Memaksanya untuk membiarkan gerombolan itu menghilang dari pandangan.

Continue lendo

Você também vai gostar

1.3M 59.7K 52
#HUJAN.SERIES.1 [Beberapa chapter sudah dipindahkan ke KK] "Utari" Aku tatap wajah tampan itu yang penuh jejak airmata. "Iya Langit" "Lo harus janj...
ARGALA De 𝑵𝑨𝑻𝑨✨

Ficção Adolescente

6.5M 277K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
2.6M 312K 47
(Spin Off End Up With Him, Bisa dibaca Terpisah) Inggrit Clarissa Surendra tinggal jauh dari kedua orangtuanya yang menetap di London. Tapi, tiba-tib...
1.6M 70K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...