AS TIME GOES BY

By Abiyasha

159K 12.6K 1.5K

[THE WATTYS 2020 WINNER] Oscar James dan Karan Johandi menjalani dua kehidupan yang sangat bertentangan. At... More

PRELUDE
1 - PASTELARIA
2 - KARAN'S AVIOPHOBIA
3 - SERENDIPITY
4 - CLOSING CEREMONY
5 - THE LUNCH
6 - THE UNEXPECTED
7 - LANGIT BIRU
8 - A NIGHT TO REMEMBER
9 - PORTO
10 - THE ACQUAINTANCE
11 - THE SIGNS
12 - AND SO HE SAID IT
13 - LOVELY SURPRISE
14 - ZOLA'S VISIT
15 - THE ACCUSATION
16 - THE NEAR REGRET
17 - LOVEBIRDS
18 - THE LANGUAGE OF LOVE
19 - PRETENDING
20 - UNFORGETTABLE
21 - THE TURNING POINT
22 - BROKEN VOW
23 - AFTER EFFECT
24 - LACUNAE
25 - THE TRUTH
26 - ZOLA'S OFFER
27 - CHASING THE REMEDY
28 - PASTELARIA PART II
29 - SOMETHING THAT SHOULD HAVE HAPPENED SOONER
30 - THE KISS
31 - SPOILING KARAN
33 - IN THE MIDDLE OF THE ROAD
34 - THE ATTACHMENT
35 - ALL IS OUT
36 - THE CHOICE HE HAS TO MAKE
37 - THE VISIT/REVISITING
38 - AS TIME GOES BY: THE WAY LOVE WORKS
BEHIND AS TIME GOES BY
IMPORTANT ANNOUNCEMENT
Forever You - The Blurb
Forever You - The Chapters
Forever You - The Quotes
Forever You is Officially Published!

32 - BRINGING BACK THE MEMORIES

2.1K 260 62
By Abiyasha


Meski tidak bisa memasak, menyiapkan makan pagi yang cuma terdiri dari toast, beberapa potong buah, dan jus jeruk bukanlah pekerjaan sulit bagi Karan. Egil masih ada di kamar dan untuk pertama kalinya, Karan ingin melakukan sesuatu sederhana untuk pria itu.

Sembari menata meja, senyumnya tidak sekali pun luntur setiap teringat kejadian malam sebelumnya. Selain memanjakannya dengan beberapa jenis masakan Italia—Karan bahkan mengakui panna cotta yang dibuat Egil mengalahkan buatan restoran Italia yang pernah dikunjunginya di Bali—Egil memberinya dua buku dari Norwegia, dan masing-masing satu dari Spanyol, Brazil, dan Italia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Knut Hamsun, Juan José Saer, Elena Ferrante, dan Rodrigo de Souza Leão adalah nama-nama yang begitu asing di telinga Karan, tapi dia tidak pernah keberatan atau menolak mendapatkan buku sebagai hadiah ulang tahun. Egil juga menyelipkan kartu kecil di salah satu buku yang membuatnya sempat terdiam.

One day, Karan, I will see your name in bookstores with something written on the cover, 'translated from Indonesian by the best-selling author of ...' and you will have a book tour around Europe and America and you'll be invited to speak on literary events. You may think I'm crazy or simply being ridiculous, but I believe in your writing, though I have only read two of it after so much persuasion. You have no reason to not believe in yourself.

Happy birthday.

Love,

Egil

Kepercayaan diri Karan tidak pernah setinggi itu. Dia tidak pernah punya ambisi berlebihan jika menyangkut cerita yang ditulisnya. Namun mengetahui Egil menyuarakannya, tak ayal menimbulkan haru. Oscar pun pernah mengatakan hal serupa ketika dia mendapati fountain pen di tangannya. Karan tak hentinya bergumam dalam hati, bagaimana mungkin orang lain menaruh kepercayaan begitu besar pada dirinya sementara dia sendiri ragu?

Dia menyingkirkan pikiran itu saat menyadari beberapa menit sudah terbuang percuma sementara mereka belum sarapan. Jika matahari sudah meninggi, dia tidak yakin masih ingin ke LX Factory. Begitu sarapan yang disiapkannya tertata, Karan melangkah menuju kamar. Keningnya mengerut melihat Egil masih berada di tempat tidur dengan mata terbuka, menatap jendela yang tirai yang tersingkap oleh angin. Rambutnya berantakan, punggungnya tersandar ke headboard, sedangkan kakinya masih tertutup selimut.

"Egil?" panggil Karan seraya melangkah mendekati tempat tidur.

Panggilan itu langsung membuat Egil menoleh dan tersenyum. "Kamu sudah bangun lama?"

"Aku udah siapin sarapan," ujar Karan begitu dia duduk di tepi tempat tidur. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu menyadari leher Egil sedikit basah oleh keringat.

"I don't feel well," jawabnya disertai senyum yang terkesan lemah.

Dengan cepat, Karan langsung mengangkat lengan dan meletakkan telapak tangannya di kening Egil. Sedikit hangat. "Kamu demam."

"Aku cuma merasa tidak enak. Sedikit pusing."

"Aku bawa sarapannya ke sini, ya?"

Egil menggeleng. "Kamu harus segera ke LX Factory."

"Kita bisa ke sana besok."

Namun Egil bersikeras. "Karan, kita harus kembali ke Porto Selasa nanti dan flea market cuma ada setiap Minggu."

"Kamu mau aku bersenang-senang sementara kamu sakit?"

"Aku cuma butuh istirahat sebentar. I'll be fine by the time you come back."

"Then, I'm staying."

"Karan, please .... Kalau aku sampai jadi penghalang kamu untuk pergi ke sana, aku justru merasa bersalah. You're looking forward to it. It's good to stay away from me for a few hours," ujarnya ringan. "Find inspiration, write .... LX Factory is a perfect place for that."

Ketika Karan masih belum yakin mampu meninggalkan Egil sendirian, pria itu menggenggam tangan Karan dan mendekatkannya ke wajahnya. Dia mendaratkan kecupan lembut. "Aku akan baik-baik saja."

"Oke."

Senyum Egil terkembang. "Kamu bisa ambil bus nomor 756 dari Praça de Espanha kemudian turun di Calvário. Ikuti saja jalan besar, kamu tidak akan tersesat begitu sampai di sana. And take the same bus on the way back. Kalau kamu bingung, kamu bisa telepon."

"Kamu yakin akan baik-baik aja aku tinggal?"

"I'll be fine."

"Aku akan tetap bawa sarapannya ke sini, dan aku akan pergi setelah kita sarapan." Karan bangkit dari tempat tidur dan berjalan meninggalkan Egil, tetapi berhenti begitu dia mencapai pintu kemudian membalikkan tubuh. "By the way, I've never seen you sick before."

Egil tergelak. "I am a super human, Karan, but some days, I can't help but be a commoner."

***

Chocolate cake yang dipesan Karan di Landeau Chocolate—tempat yang hanya punya satu menu—tinggal seperempat. Saking enaknya, dia tidak mau terburu-buru menghabiskannya. Ide yang mengaliri kepalanya tanpa henti perlahan mulai dia tuangkan ke dalam notebook yang isinya hampir separuh terisi.

Setelah berkeliling dan menyaksikan berbagai barang yang dijajakan di flea market, Karan membeli satu set perhiasan buatan tangan untuk Zola—terdiri dari kalung, anting, dan gelang yang cukup membuat dompetnya menipis—dan satu syal yang langsung mengingatkannya akan mata Egil ketika melihat warnanya. Untuk dirinya sendiri, Karan membeli satu sandal kulit karena dirinya tidak membawa sandal dari Indonesia untuk musim panas. Setelah lelah mengelilingi LX Factory, Landeau Chocolate menjadi tujuannya untuk melemaskan otot sekaligus memuntahkan inspirasi yang didapatkannya sejak meninggalkan apartemen.

Kesibukan tempat itu tidak mengganggu Karan. Mengamati setiap pengunjung disertai riuh orang-orang bercakap dalam bahasa Portugis justru memperkuat ide-idenya. Sesekali dia mengetik pesan ke Egil, menanyakan keadaannya, dan berusaha tidak menimbulkan tawa keras saat pria itu menceritakan lelucon khasnya. Seperti beberapa detik sebelumnya, Egil mengiriminya pesan, "Do you know why the inventor of umbrella called it umbrella?" Saat Karan menjawab bahwa dia tidak tahu, Egil membalas, "He was going to call it 'brella' but he hesitated. That's why it's called umbrella."(1) Dia masih berusaha menahan tawa ketika telinganya menangkap namanya dipanggil.

"Karan?"

Jantung Karan seperti tahu, bahwa suara itu tidak pernah gagal mengacaukan ritmenya. Dia memejamkan mata sesaat, berharap apa yang didengarnya hanyalah ketidaksinkronan antara otak dan indera pendengarnya. Namun harapannya buyar begitu dia mengangkat wajah. Pria yang sudah setahun tidak ditemuinya, berdiri dengan senyum yang begitu leakat dalam ingatan. Kacamata hitam wayfarer yang tersangkut di saku kemeja putih telurnya serta topi kep putih polos yang menutupi rambutnya, segera dia lepaskan. Rambut-rambut tipis yang memenuhi dagu Oscar James pun tidak luput dari perhatian Karan.

"Boleh aku duduk di sini?"

Karan menelan ludah sebelum mengangguk. Keterkejutannya masih terlampau kuat untuk mengeluarkan kata-kata. Matanya mengikuti setiap gerakan Oscar saat pria itu menarik kursi yang ada di depannya dan langsung duduk. Dengan cepat, Karan menutup notebook yang masih terbuka dan bergegas memasukkannya ke dalam tas, berharap mata Oscar tidak sempat memperhatikan benda bersampul kulit itu.

"Apa kabar, Karan?"

"Aku baik."

"I can't believe I ...."

"It's a small world, isn't it?" tukas Karan ketika Oscar tidak melanjutkan kalimatnya.

Oscar mengangguk, mengedarkan pandangan ke penjuru kafe sebelum kembali menatap Karan. "Salah satu produk yang menjadikanku brand ambassador ada kuis berhadiah nonton final Euro di Lisbon. I came here with five of the winners."(2)

Sejujurnya, ucapan Oscar melegakan Karan. Dia tidak perlu bertanya alasan pria itu ada di Lisbon. Hatinya berontak. Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benaknya untuk dilontarkan, tapi dia pun ingin secepatnya beranjak dari Landeau Chocolate agar bisa bersama Egil.

Dan menghapus fakta bahwa Oscar James ada di hadapannya.

"Aku pernah ke hotel dan mereka bilang, kamu udah enggak kerja lagi. They said you went to Porto for volunteering."

Ingatannya saat Farah menginap di Wuluh Tirta tiba-tiba menyeruak. Kalimat balasan yang dia berikan ketika Farah mengatakan Oscar ingin bertemu dengannya pun ikut mengemuka.

"Did Farah tell you about what I said to her?"

Oscar membasahi tenggorokannya sebelum mengangguk.

"Then why did you still look for me? And clearly, it took you long enough if you persisted to see me."

"I am a coward, Karan. You know that pretty well."

Mulut Karan langsung terkatup mendengar Oscar menyebut dirinya pecundang tanpa berpikir lebih panjang.

"Can we have a conversation somewhere else?" tanya Oscar pada akhirnya setelah mereka tenggelam dalam keterdiaman masing-masing.

"Bicara tentang apa?"

"Banyak."

"What if I don't want to?" tukas Karan tidak kalah cepatnya. "Things have changed, Oscar," lanjutnya, melirik orang tua dengan dua orang bocah laki-laki yang baru memasuki Landeau.

"Is there someone?"

Pandangan Karan kembali ke Oscar, senyum yang tadi diperlihatkannya memudar. Dia sadar, pertanyaan itu akan didapatkannya cepat atau lambat. Ada kalimat panjang yang rasanya ingin dia berikan mengenai Egil. Namun dia mengurungkannya. Tidak ada perlunya Oscar tahu tentang Egil. Tidak sekarang. "There is."

"He's lucky," balas Oscar dengan senyum tipis. Senyum yang jelas sekali dipaksakan. "Aku enggak akan minta waktu lama, but I need to talk to you."

Mudah bagi Karan untuk menolaknya, mengucapkan selamat siang, keluar dari tempat ini, pulang, dan terbebas dari tatapan yang tidak yakin pernah dilihatnya dari Oscar. Namun justru itu yang membuatnya bimbang. Dia tidak mampu membohongi diri sendiri bahwa ada banyak yang ingin diketahuinya sejak Oscar memutuskan hubungan. Ada pertanyaan-pertanyaan yang mengusiknya karena selama satu tahun, dia tidak bisa menjawabnya karena hanya Oscar yang mampu. Beranikah dia mengambil kesempatan itu sekarang?

"Please?"

Karan menelan ludah, lantas mengangguk pelan. Sisa chocolate cake-nya menjadi tidak penting lagi setelah pertemuannnya dengan Oscar. "Let me pay my cake and then we can go."

***

"Happy birthday. I know it was yesterday, but better late than never. Aku pasti bawa kado kalau tahu kita akan ketemu."

Karan tertegun. "Kamu masih ingat."

"Bagaimana aku lupa?" balas Oscar sambil tersenyum. "And I'm happy that you're still using the notebook. Have you written what I asked you that night? To write a story about a hypocrite man named Oscar James?"

Karan mengangkat wajah dari menu makan siangnya untuk menatap Oscar yang masih belum mengenakan kacamata hitamnya meski matahari bersinar sangat terik di luar. Mereka saling bertatapan sebelum Oscar menyingkirkan piring di hadapannya dan menyeka mulutnya dengan serbet. Mengembuskan napas pelan, dipandanginya sungai Tagus yang terlihat jelas dari tempat mereka duduk, meski terpisah oleh dinding kaca.

"Kamu benar, things have changed," kata Oscar. "Dan kamu pasti berpikir aku udah lupa dengan kita. You have right to think so after what I did."

Karan menelan ludah. Dipandanginya Ponte de 25 Abril sebelum mengalihkannya ke setiap sudut Rio Maravilha, sebuah gastro bar yang menjadi pilihan Oscar. Begitu melihat daftar menunya, Karan mengerti kenapa Oscar mengajaknya ke sini di antara banyak tempat lain di LX Factory: atmosfer serta harganya sangat ramah di kantong Oscar meski bagi Karan, dia akan menimbang berkali-kali sebelum menginjakkan kaki di Rio Maravilha.

"Apakah kamu masih bisa percaya denganku?"

"I don't see why you should bother asking me that question."

Oscar menyandarkan punggung, memainkan garpu di atas sisa squid salad-nya. "Aku terburu-buru ambil decision about us. Harusnya aku bisa lebih ... calm. Tapi aku enggak biasa dengan spotlight seperti itu, untuk sesuatu yang bukan keinginan aku. I got panic." Oscar menelan ludah, matanya menerawang. "Aku enggak bangga dengan apa yang aku lakukan buat kita. Aku enggak bisa cerita ke siapa-siapa kecuali Farah, bahkan Ibu dan Dad tanya soal kamu. I felt terrible. I was an asshole."

"Tapi karir kamu selamat, kan? That was the point why we broke up, to save your image in public."

"If I had known that my career was intact, I wouldn't do what I do to us."

Karan mendesah pelan. "Apa gunanya sekarang? We've moved on, haven't we?"

Oscar memastikan tatapannya dengan Karan tidak teralih oleh apa pun. "I haven't."

Apakah Karan mengira jawaban atas satu pertanyaan besar yang mengganggunya selama ini akan seperti yang baru didengarnya? Keterdiamannya menunjukkan dia sama sekali tidak menyangka. Jika pertanyaannya terjawab satu bulan lalu, reaksi Karan mungkin akan berbeda. Bahkan ada kemungkinan dia akan dengan senang hati meruntuhkan semua tembok yang dibangunnya sejak Juni tahun lalu. Namun sekarang hanya Egil yang memenuhi pikirannya.

Melihat Karan terdiam, Oscar berujar, "Apakah dia buat kamu bahagia, Karan? The man you're with now. Dia pasti enggak pengecut kayak aku."

Karan tidak ingin mengiyakan atau membantah ucapan Oscar. Ada terlalu banyak yang berkelebatan di pikirannya hingga dia tidak tahu mana yang harus dia pilih untuk diucapkannya ke Oscar.

"We're ... not official, but I enjoy his company."

"Selama dia treating kamu baik-baik, aku enggak perlu khawatir."

Setelah menimbang, Karan akhirnya mengutarakan apa yang mengganggunya sejak sapaan Oscar di Landeau Chocolate tadi. "What do you want, Oscar?"

"I miss us, Karan. Tapi sekarang aku ngerti udah enggak punya hak minta itu. After what I did, and most importantly, you've found someone else now."

"Will you dump our relationship for the sake of your career again?" Balasan itu begitu cepat meluncur dari mulutnya, tanpa menyadari bisa saja Oscar menyalahartikan pertanyaannya.

Oscar diam. "Aku masih belum bisa jujur ke banyak orang karena kita tinggal di Indonesia, but I won't sacrifice our relationship again."

"It hurts, Oscar. Do you know that?"

Oscar menelan ludah sebelum mengangguk pelan. "I know, Karan, you were not the only victim. I was, too."

"We were the victim of a choice, Oscar." Karan dengan segera meraih tas yang disampirkannya ke kursi dan menyilangkannya di pundak, tapi dia masih duduk. "Porto adalah caraku buat bisa bikin kenangan baru. Since that night at Batu Belig, I kept asking myself so many what ifs." Karan membasahi tenggorokkannya. "Bahkan setelah sampai di Porto, masih ada terlalu banyak Oscar James di pikiranku. I did my best, but I failed."

"Lacunae is about us, isn't it?" Oscar mencondongkan tubuh hingga kantung matanya yang menghitam terlihat semakin jelas. "Aku masih baca cerita kamu di Wattpad, aku masih sering buka Instagram kamu, aku masih sering lihat all the photos and videos we made in Laos and Thailand. Karan, I suffered, too. And I've been missing you since that night."

Akan jadi kebohongan besar bagi Karan jika dia tidak terhenyak mendengar pengakuan Oscar. Ditatapnya pria yang pernah begitu membuatnya bahagia, berusaha mencari celah kebohongan, tetapi Karan tidak menemukannya. Apa yang dia dengar sama tulusnya dengan semua yang pernah Oscar katakan selama mereka bersama. Oscar Andrew James, bukan Oscar James yang dikenal banyak orang.

"Things are different," kata Karan setelah dia mampu menguasai emosinya, mengabaikan pertanyaan Oscar tentang Lacunae.

"Aku tahu." Oscar menundukkan wajah, menekuri arlojinya sebelum mengangkatnya kembali. "I thought I still have a chance to make things right, but now I know there's no more chance for me."

Karan membuang napas pelan, mengabaikan keringat di punggungnya yang mulai membuatnya gerah. Dia tidak ingin Oscar mampu membaca emosinya saat ini.

Aku nggak boleh seperti ini. Think about Egil, and what he has done. Aku harus pergi sekarang.

"Aku harus pergi, Oscar."

Oscar tidak bereaksi sebelum akhirnya mengangguk. "It's good to see you, Karan."

"Take care."

Mereka saling pandang sebelum Karan bangkit dari kursi dan segera berlalu. Ditelannya semua emosi yang mendesak keluar dengan mempercepat langkah keluar dari Rio Maravilha. Dan saat dirinya memasuki lift yang akan membawanya turun, Karan langsung menutup pintu besi sebelum menekan tombol 1. Sementara lift kuno yang masih beroperasi dengan baik ini mulai menurunkan kecepatan, Karan menyandarkan punggung pada kaca di belakangnya dan memejamkan mata.

Begitu lift itu berhenti di lantai 1 dan dirinya berada di jalan utama LX Factory, Karan berheti sejenak di pinggir jalan dan mengeluarkan ponselnya. Diketiknya sebuah pesan untuk Egil:

I'm leaving FX Factory now

I miss you

***

(1) Original joke ini sebenernya adalah: "I like to imagine the guy who invented the umbrella was going to call it the 'brella'. But he hesitated." Yang dibikin oleh Andy Field. Dan joke ini masuk longlist di 2017 Dave's Funniest Joke of The Fringe di Edinburgh Festival Fringe.

(2) Final EURO 2016 diadakan di Saint-Dennis, Prancis pada tanggal 10 Juli 2016. Namun demi kepentingan cerita, saya ubah lokasi dan tanggalnya menjadi di Lisbon di pertengahan bulan Juni. Dalam fiksi, ini disebut alternating history. Biasanya memang lebih sering ada di historical fiction, tapi kadang ada juga di contemporary fiction meski jarang.

***

Continue Reading

You'll Also Like

SCH2 By xwayyyy

General Fiction

88.9K 14.1K 40
hanya fiksi! baca aja kalo mau
41.1K 3K 22
Gimana rasanya jadi seseorang yang belum move on apalagi sang (mantan) pacar sudah punya yang baru? Apalagi sang (mantan) pacar menjanjikan sesuatu.
503K 4K 16
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...