Meet In the Real Life

By trooyesivan

1.6M 199K 69.9K

[BOOK 2 OF WHEN THE BADBOY MEETS THE FANGIRL] Kata Johnny Deep, "Jika kau mencintai dua orang dalam waktu ya... More

THE CAST!
1. Wake Up
2. Meet Him
3. I Told You
4. Again
5. Shocked
6. Same
7. Seriously?
8. Darling, Just Hold On
9. Heaven
10. Confused
11. Stupid Standing Character
12. The Other Side
13. Let Me Breath
14. Fanwar
15. Boom!
16. Middle Finger
17. Nippon Flag
18. Exhausted
19. Shut Up
20. Dying
21. What The Heck [RE-PUBLISH]
22. A Little Bit of Flashback
23. Stuck in The Elevator
Question and Answer!
24. Rules
25. V? Such A Weird Name
26. When He Can Speak Korean Language
27. Date
28. Move On, Dude.
29. Truth
30. What The Heck is Dreamisode?
31. Tell Him the Freaking Truth
32. Love You Goodbye
33. Right Now
35. Finally
36. Bad Feeling
37. Inhale-Exhale
Announcement & FunFact
SPIN OFF
OPEN PRE-ORDER!

34. Passed Out

31.3K 4.3K 1.3K
By trooyesivan

Empat tahun kemudian...

"Olivia! Bengkokkan kaki kirimu sedikit!" suruh wanita berumur empatpuluh lima tahun dengan tegas.

Merasa terpanggil, Olivia cepat-cepat membengkokkan kaki kirinya seperti yang diperintahkan coach Magda. Ia berlenggak-lenggok di atas stage sembari memberikan ekspresi yang sesuai dengan baju yang dikenakannya. "Yap, cukup! Next!" teriak Magda menunjuk model lainnya untuk melakukan hal serupa seperti Olivia.

Olivia menghela napas lega. Ia turun dari stage sembari melepas sepatu heels yang dikenakannya. Sialan, sepatu heels yang dikenakannya itu memiliki ukuran yang tinggi, siapa yang tidak kesakitan memakainya? Olivia tahu ini lebay tapi demi apapun, ia benci menggunakan heels. Kalau saja, bukan tuntutan pekerjaan, Olivia tidak akan memakainya.

Kini, empat tahun sudah berlalu. Setelah lelaki brengsek yang tidak ingin Olivia sebutkan namanya, meninggalkannya. Ia lebih memilih untuk berfokus pada kuliahnya hingga akhirnya mendapatkan gelar S-1. Kemudian setelah lulus, ia ditawari oleh agensi model fashion ternama saat dirinya sedang berlari pagi bersama Bundanya.

Jujur, awalnya Olivia tidak mau. Tapi, Bundanya memaksa dengan beralasan, kalau ia bekerja nanti, akan dapat uang. Dan uang hasil jerih payahnya itu dapat digunakan untuk menonton konser. Kan lumayan, jadi ia tidak harus meminta uang pada Dinda lagi. Maka dari itu, Olivia menerima tawaran agensi, dan melakukan sekolah modelling selama tiga bulan.

Ia merasa salah jurusan selama ini. Berkuliah dengan jurusan sastra, dan berakhir menjadi model. Lain kali, jika kalian hendak kuliah, berpikirlah dua kali agar tidak seperti Olivia.

Lamunan Olivia tersadarkan kalau saja coach Magda tidak memegang pundaknya. "Kau harus banyak latihan lagi, Olivia. Jangan banyak melamun, dan perhatikan langkah kakimu. Ingatlah! Malam ini kau akan berjalan di catwalk Japan Fashion Week! Jangan memalukan negaramu sendiri, ingat itu?" ujarnya sambil tersenyum.

Bisa dibilang, coach Magda adalah wanita yang melatihnya hingga ia bisa seperti ini, dan wanita itu lebih suka bicara menggunakan bahasa baku, ketimbang bahasa sehari-hari. Mendengar ucapan pelatihnya, Olivia menghela napas dan mengangguk. "Oke, coach."

"Sekarang, kau bisa beristirahat. Nikmatilah musim dingin yang ada di Tokyo ini. Telepon Ibumu dan beri tahu dia mengenai apa saja yang sudah kau lakukan di sini."

Lagi-lagi, Olivia mengangguk. Saat hendak keluar, Olivia baru ingat kalau sekarang musim dingin. Maka dari itu, ia mengambil mantel tebalnya, dan memakai sepatu sneaker putih.

Helaan napasnya menimbulkan asap dari mulutnya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam mantel, dan mulai melangkahkan kaki. Matanya menangkap para penduduk yang sedang berbincang-bincang, bersenda gurau, bahkan ada yang sibuk menelepon dengan ponselnya sendiri.

Menurut Olivia, itu semua hal yang wajar ketika ia tahu kalau orang-orang Jepang biasanya adalah orang yang gila bekerja. Ia melihat bangku taman yang kosong, dan mencoba untuk kesana.

Sesampainya disana, Olivia membersihkan salju yang ada pada bangku dan terduduk dengan termenung. Kini, ia berada di satu negara yang sama dengan Oliver. Ia takut. Ia takut bertemu lelaki itu. Sudah empat tahun lamanya Olivia tidak mengetahui kabar lelaki itu, Fino pun sudah berusaha untuk memberi kabar mengenai Oliver padanya, namun Olivia menolak. Dengan alasan, ia akan membenci Fino seperti ia membenci Oliver kalau saja lelaki itu memberitahunya.

Ya, mendengar hal itu Fino pun hanya bisa pasrah. Tapi, apabila ia sedang mengobrol dengan Olivia, pasti Fino sering mengungkit tentang Oliver.

Getaran pada ponsel Olivia, membuat dirinya kaget dan segera mengangkatnya saat melihat nama Dafino muncul di layarnya. "Yeoboseyo?" sahut Olivia sambil tersenyum. Namun, tak lama ia tertawa sendiri saat mendengar aksennya yang aneh. Semenjak Oliver meninggalkannya, hanya Fino yang bisa membuat Olivia bangkit dari keterpurukannya.

Apakah mereka pacaran? Jawabannya tidak, karena pasalnya, Fino bercerita padanya kalau ia sedang menyukai dokter seniornya sendiri di rumah sakit tempat ia melaksanakan koas.

"Yeu! Ngikutin mulu lo! Oh ya, lo siap buat malam ini?" tanya Fino.

Olivia mendengus. "Siap sih, tapi coach Magda masih nyuruh gue buat jalan yang bener dan jangan banyak melamun."

"Ngelamun mikirin doi right?" tanya Fino lagi, kali ini dengan nada menggoda di dalamnya. Tuhkan, setiap berbicara dengan Fino pasti topiknya tidak jauh dari Oliver.

Olivia menunduk sambil mengayun-ngayunkan kakinya. Ia memilih untuk diam, daripada menjawab pertanyaan Fino. "Ih malah diem. Ya udah gue nanya lagi, lo lagi pake mantel hitam yang gue kasih enggak?"

"Iya, emang kenapa?"

"Cek kantongnya, di situ ada surat Oliver yang sempat lo buang empat tahun lalu. Gue harap lo membacanya, karena sekarang lo berada di kota yang sama dengannya."

Nafasnya tercekat saat Fino mengatakan surat pemberian Oliver ada di dalam mantel yang ia kenakan. Dengan cepat, Olivia mengecek mantel pemberian Fino, dan benar saja ada sebuah amplop putih yang sudah lusuh akibat diremas seseorang. Ia memegangnya dengan tangan bergetar. Memejamkan mata, Olivia mencoba untuk tidak menangis. "Gue gak berani buka, karena itu bukan punya gue, jadi mending lo buka aja daripada penasaran hayo?" ujar Fino menggantung.

Olivia mematikan teleponnya. Ia menatap amplop putih itu dengan nanar. Dengan helaan napas yang dibilang berat, tangan Olivia mulai membuka amplop itu.

°°°°°

Oliver mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bersandar pada bangkunya sembari memejamkan mata. Ia lelah. Membuka matanya kembali, Oliver mengambil gagang telepon dan menelepon sekretarisnya. "Haruka, cepat kemari. Ada yang ingin aku bicarakan," ujarnya to the point menggunakan bahasa Jepang.

Lelaki itu menatap layar komputernya, dan melihat desain pakaian yang dibuat oleh divisinya. Sungguh, tidak bisakah mereka menggambar dengan baik? Oliver menyuruh mereka untuk membuat desain pakaian musim dingin untuk karakter game terbarunya. Tetapi desain itu, tidak cocok sama sekali dengan karakter game yang Oliver buat.

Seorang wanita ber-hak tinggi langsung masuk tanpa mengetuk pintu, ditangannya ada beberapa berkas-berkas. "Ada apa Oliver?"

Oliver menunjukkan layar komputernya pada Haruka. "Pakaian itu tidak cocok untuk karakter Olivia di game-ku. Mengapa divisi desain disini buruk sekali?"

Haruka menaruh berkasnya pada meja Oliver, ia melipat kedua tangannya dan mengamati layar komputer Oliver yang menampilkan karakter perempuan tiga dimensi dengan berciri rambut dikuncir kuda, dan di punggungnya tersedia panah beserta pedang yang digunakan oleh karakter itu untuk membunuh musuh. "Kemarikan tab-mu," ujar Haruka sebal.

Oliver memberikan tab yang ia pegang pada gadis sipit itu. Matanya melihat tangan Haruka yang sibuk menyentuh tab-nya. "Lihat itu, menurutku divisi bagian desain sudah melakukan yang terbaik. Apanya yang masih kurang?" tanya Haruka yang memperbesar karakter Olivia.

"Bajunya tidak cocok."

"Lalu kau mau apa? Menyuruh divisi desain untuk mengulang pekerjaannya lagi?"

Oliver menggeleng cepat.

Haruka mendengus. Ia sebal akan perilaku bos-nya yang selalu perfeksionis. Bayangkan saja, Haruka telah menyuruh divisi bagian desain untuk membuat baju karakter Olivia sebanyak 5 kali! Tapi, Oliver tetap tidak suka. Mungkin ini efek akibat Oliver belum bisa melupakan Olivia.

Bisa dibilang, Haruka telah menjadi sekretaris Oliver sekitar empat tahun lamanya. Tentu saja, ia tahu sifat-sifat Oliver, apalagi lelaki itu sering curhat dengannya mengenai Olivia, perempuan yang Oliver cintai, namun terpaksa ia tinggalkan karena harus bekerja disini.

Kalau Haruka jadi Olivia, tentu saja ia akan sedih. Siapa sih yang tidak sedih saat lelaki yang kita cintai, meninggalkan kita begitu saja? Apalagi Oliver pergi tidak bilang-bilang.

Seketika Haruka baru ingat akan surat undangan yang diberikan temannya tadi. "Ah ya, Oliver! Bagaimana kalau kita ke Japan Fashion Week malam ini? Temanku adalah perancang busana, dan kebetulan rancangan busananya ditampilkan disana, tema malam ini juga pakaian musim din-"

Oliver menjetikkan jarinya, memotong perkataan perempuan berambut pendek itu. "Aku ikut!"

Haruka mengacungkan jempolnya, perempuan itu mengatakan pada Oliver untuk memakai pakaian formal, dan setelah itu ia pamit untuk mengurusi pekerjaan lainnya. Oliver memijat-mijatkan pangkal hidungnya, dan menatap bingkai foto pada mejanya yang menampilkan foto Olivia yang ia ambil empat tahun lalu.

Oliver rindu dengannya. Perasaan bersalah itu masih ada, dan Oliver merasa menyesal karena ia terlalu pengecut untuk mengatakan secara langsung pada Olivia. Sebagai seorang lelaki, ia merasa seperti lelaki cupu yang hanya bisa mengirimkan surat setelah dirinya pergi.

Dan Oliver, membenci dirinya empat tahun lalu.

Oliver pun hanya tahu kabar Olivia dari Fino. Ia sendiri cukup terkejut karena Olivia tidak membaca suratnya dan memilih untuk membuangnya. Akun sosial media Oliver di block, sehingga untuk mengatasinya, ia harus membuat akun palsu untuk men-stalking-nya, dan dari sosial medialah, ia tahu kabar perempuan itu. Setelah lulus sebagai seorang sarjana, Olivia memilih untuk menjadi model.

Sifat Olivia yang tadinya kekanak-kanakkan pun berubah menjadi dewasa seiring berjalannya waktu. Oliver pun penasaran, apakah Olivia masih meneruskan kegiatan fangirling-nya? Karena kalau iya, tarik perkataan Oliver yang bilang kalau Olivia sudah dewasa.

Oliver menaruh kepalanya diatas lembaran kerjanya, dan menutup mata. "Gue kangen sama lo, Oliv."

°°°°°

Semenjak Olivia membaca surat itu, dirinya tidak bisa fokus. Yang ia lakukan hanyalah melamun hingga akhirnya dimarahi oleh coach Magda. Sekarang, ia sedang dirias oleh seorang make up artist. Setelah selesai, Lou-orang yang merias Olivia tersenyum karena melihat hasilnya. "Good luck, Olivia."

Olivia tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Ia berdiri dan merapikan pakaian yang dikenakannya.

Well, pakaiannya kali ini bisa dibilang tertutup, bajunya berwarna merah menyala dengan sedikit motif bunga dan juga kulit harimau. Celananya bermaterial corduroy warna hitam panjang, dilapisi lagi oleh kain merah di depannya. Sungguh, ini sulit untuk dijelaskan. Pakaian yang Olivia kenakan saat ini lebih cocok dipakai untuk berperang. Tapi aksen musim dinginnya masih terasa karena ia mengenakan boots berwarna kuning tua yang di sekelilingnya ada bulu-bulu wol.

Waktu Olivia untuk tampil keatas catwalk sekitar sepuluh menit lagi, dan ia menggigit kukunya karena panik. Salahkan ini semua pada Fino, karena lelaki itu memberitahu surat pemberian Oliver sehingga Olivia yang penasaran malah membukanya.

Dafino sialan.

Tangannya berkeringat. Hingga tak butuh waktu lama, namanya pun dipanggil.

Coach Magda mendampinginya. Ia menepuk pundak perempuan itu, dan memberinya semangat. "Kau pasti bisa Olivia, good luck!"

Olivia menghela napas, dan mengangguk. Suara kru memanggilnya, dan ia langsung berjalan di catwalk mengikuti alunan lagu berjudul Kill Em With Kindness dari Selena Gomez. Bentuk catwalk kali ini adalah huruf I. Jadi Olivia, hanya berjalan lurus ke depan, lalu berbalik lagi ke belakang. Sorot kilat kamera membuat mata Olivia sedikit buram namun ia mencoba untuk mengerjapkan matanya berkali-kali, ia berpose dengan raut wajah yang dibilang sombong, dan menaruh tangan kanannya di pinggang.

Tepat saat ia berbalik, dirinya melihat seorang lelaki di kursi penonton. Lelaki itu menatap Olivia dengan kaget. Olivia berjalan cepat hingga sebuah teriakan seseorang memanggil namanya. "Olivia!"

Jantung Olivia berpacu dengan cepat saat mendengar suara itu. Langkahnya yang tadinya santai pun ia percepat, tidak peduli akan orang-orang yang menatapnya aneh. Ia turun dengan keadaan sesak, karena dirinya melihat lelaki itu, dan tanpa sadar, surat yang ia baca kembali terputar di memorinya.

Hai, Olivia.

Ini Oliver.

Maaf sebelumnya, kalau gue membuat lo bingung karena kepergian gue yang terkesan mendadak.

Seharusnya gue tau, kalo gue harus bilang sama lo secara langsung, tapi gue enggak mau membuat lo nangis. Ya, walaupun gue sangat yakin lo akan menangis saat baca surat ini. Ngomong-ngomong, gue brengsek ya? Meninggalkan seseorang yang gue cintai demi sebuah pekerjaan.

Ada beberapa hal yang harus lo tau tentang hal ini, Olivia. Sebenarnya gue gak mau mengatakan ini lewat kertas, tapi mau gimana lagi?

Here we go. Alasan gue ke Jepang adalah untuk membantu Ayah gue. Pemimpin yang kemarin menjabat perusahaannya, ternyata korupsi, dan gak tanggung-tanggung, jumlah uang yang dikorupsinya pun bisa dibilang banyak. Makanya Ayah nyuruh gue buat bantuin dia, dan ya, gue bantuin dia sebagai balas budi karena mereka udah merawat gue dengan baik, walaupun gue sering dianggap anak nakal juga sih.

Nah, maka dari itu, gue mohon sama lo, jangan benci gue. Gue melakukan hal ini juga untuk menjadi lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab. Kalo kata Chandra sih, 'Jadi sukses dulu, baru jalin hubungan yang serius.' dan gue setuju sih sama kutipan itu.

Hm, apalagi ya? Intinya adalah lo jangan pacaran sama orang lain, apalagi sama Fino. Deket boleh tapi jangan pacaran. Tunggu gue balik jadi orang yang sukses.

Gue yakin, kalau kita bakal ketemu lagi suatu hari nanti.

Dan di pertemuan itu, gue akan melamar lo.

p.s : Gue harap lo baca surat ini, dan please jangan benci sama gue.

Lots of Love,
Oliver.

Olivia terisak di dalam backstage, karena dirinya masih shock melihat Oliver. Tiba-tiba ia mendengar suara debuman dan gemerincing besi yang terjatuh. Di sana, ada Oliver yang menatapnya dengan tatapan kosong. Lelaki itu meringis, menghiraukan darah yang mengalir di dahinya. Ia berjalan menuju Olivia dengan tubuh sedikit terhuyung. Saat sudah sampai di hadapan Olivia, Oliver memegang pipi perempuan yang tidak dijumpainya selama empat tahun belakangan ini. Dan tak lama, ia terjatuh di pelukan Olivia.

Tunggu, apakah lelaki itu pingsan?

Tubuh Olivia membeku seketika,  tangannya dengan sigap memeluk lelaki itu, agar Oliver tidak terjatuh ke lantai.

"Oliver!" teriak seorang wanita berambut pendek dengan mata sipit, tangannya memegang anak perempuan yang umurnya sekitar enam tahun, dan Olivia semakin terkejut saat melihat wajah anak kecil itu.

"Dira?!"

°°°°°

Oliver gablag, lari gak liat-liat. Btw, masa gue ngebayangin Haruka kayak Courtney di 13 Reasons Why...

-marcel

Continue Reading

You'll Also Like

813K 108K 17
#NEWVERSION - "Aku sukanya dari dulu. Kamu sukanya nanti dulu." Awalnya kenalan karena bisnis, lama-lama kok ada hati yang berdebar gitu ya [ Cerit...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.3M 295K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.5M 190K 26
Mika, cowok aneh, suka berbicara sendiri, bertingkah konyol dan berturut-turut menjadi badut kelas ternyata mantan dari cewek terpintar, kalem, manta...
4.8M 420K 50
#3 in Teenfiction (24 Juni 2017) [SUDAH TERBIT] [SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] Dia itu arogan, bossy, ketus, pemarah, tukang ngatur dan suka seenakn...