Bila

By Alyaaa

1.4M 38.1K 4.9K

DITERBITKAN ### Ketika melihat sahabatmu mengakhiri masa lajang dan hal itu membuatmu susah bernapas. ### Seb... More

Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 22 - Re post
Part 23
END
Extra Part --- Daffa 1 (re-post)
Extra Part --- Daffa 2 (re-post)
Extra Part --- Daffa 3 (re-post)
Extra Part --- Daffa 4 (re-post)
Extra Part -- Daffa (5)
INFO
PO Buku Bila
PO 2
Kejutan?

Part 1

194K 3.5K 137
By Alyaaa

Mataku menatap nanar pada kedua mempelai yang ada di depan penghulu, duduk dengan tegap dia adalah Fadli, sahabatku. Seharusnya aku berbahagia melihat sahabatku mengawali hidup baru, iya seharusnya begitu. Tetapi faktanya saat ini hatiku sesak melihat prosesi itu. Bukankah seharusnya aku yang ada di sana--di sampingnya. Seharusnya aku yang menghabiskan masa tuaku bersamanya. Seharusnya aku yang jadi mempelai wanita, sedikit egois memang tetapi faktanya aku lebih mengenal Fadli daripada wanita itu. Aku lebih mengenal Fadli luar dalam dibandingkan dengannya. Aku tahu rutinitas apa saja yang dia lakukan setiap hari. Aku tahu apa makanan favorit dan makanan yang dibencinya, bahkan aku juga tahu berat badannya. Aku tahu segalanya dalam diri Fadli tetapi mengapa justru wanita yang baru satu bulan mengalihkan perhatian Fadli yang kini jadi pendampingnya. Kenapa Tuhan?

"SAH."

Suara antusias dari para saksi dan tamu seperti suara bom yang mampu menulikan telingaku. Jadi benar kisah kami akan berakhir mulai hari ini. Takdir lah yang menentukan jalan hidup manusia. Aku memang mengenal Fadli dari kecil, kami satu sekolah dan selalu pergi bersama. Cukup banyak yang mengatakan kami layaknya bunga dan kumbang. Cih, semua itu hanya kata orang. Takdir telah menunjukkan kuasanya, aku dan dia tidak ditakdirkan bersama.

"Mereka ngapain, Fa?"

"Kata Papa itu namanya menikah!"

"Menikah itu apa?"

"Kata Papa kalau orang gede menikah nanti bisa hidup bersama."

"Kalau gitu nanti Bila menikah sama Fa ya?"

"Iya."

Ingatan kebersamaan kami waktu kecil silih berganti bagai film usang yang terus diputar.

Satu Bulan yg lalu

"Bilaaaa aku jatuh cintaaaaa, aku mendengar nyanyian suara dewa dewi cinta menggema dunia!"

Aku sudah bosan mendengar ocehan Fadli yang ada di sampingku. Sejak satu jam yang lalu dia menyanyikan lagu yang sama pada lirik sama. Telingaku bahkan sudah cukup panas mendengarnya. Dia hanya ingin mengatakan kalau sedang jatuh cinta jadi tidak perlu diulang bukan? Menyebalkan.

"Bil, gimana? Dia cakep kan?" tanyanya lagi.

"Gimana aku bisa kasih komentar kalau ketemu aja belum pernah sih, Fa? Kamu hanya bilang dia cantik, cantik dan cantik. Hei ukuran cantik itu relatif, cantik bagimu belum tentu bagik," sungutku saat dia bertanya kembali mengenai foto yang dia tunjukkan.

Fadli menyandarkan bahunya ke sofa dan kembali tersenyum. Hari ini dia memang sedang obral senyum.

"Besok aku mau minta Abang buat ngenalin kami, siapa tahu ada respon positif buat PDKT," ucapnya lagi. Mataku membuka lebar mendengar ucapannya. Sejak dulu aku cukup mengenal Fadli sebagai orang selektif, tetapi kali ini dia benar-benar buta oleh cinta. Baru bertemu sekali dan langsung melakukan pendekatan termasuk gegabah bukan?

"Kamu yakin?" tanyaku sedikit ragu dan dibalas dengan anggukkan kepala olehnya, kemudian dia kembali berdendang.

Dua Minggu yang lalu

"Bila," panggilan Fadli menarikku kembali ke alam nyata.

Beberapa menit yang lalu dia mengatakan kalau usahanya berhasil. Wanita itu bersedia menerima Fadli dengan syarat mereka menikah. Wanita gila! Lebih gilanya lagi karena Fadli menerima syarat itu. Lamaran akan dilakukan minggu depan.

"Gimana? Besok mau ikut lamaran kan?" tanya Fadli antusias.

Aku menggeleng malas dan langsung diartikan kalau aku menolaknya. Padahal seandainya saja dia tahu, aku menggelengkan kepala karena tidak percaya atas keputusannya, tidak percaya kalau dia akan menerima syarat itu.

"Ayolah, Bil! Masa kamu tega sih. Kamu kan tahu sendiri aku pasti akan grogi kalau melihatnya," rengeknya manja sambil menarik lenganku.

Aku menggelengkan kepala lagi kemudian mengacak rambut frustasi. Tidak boleh kah untuk sekali saja dalam hidupku aku menolak keinginannya? Sekali saja aku tidak mendukungnya. Aku meragukan kesanggupan diriku sendiri untuk menyaksikan acara lamaran itu.

"Nggak, Fa! Aku gak bisa,,, ehmm kebetulan hari Minggu besok mau ada acara!" tolakku mencoba mencari alasan.

"Gak masalah, kalau kamu gak bisa Minggu besok kita bisa tunda untuk hari Senin. Aku gak mungkin berbahagia tanpa kamu. Kamu sendiri kan yang mengatakan kalau kita harus berbagi?"

Fadli menatapku penuh pengharapan sementara aku hanya menatapnya gusar. Setengah hatiku ingin mengiyakan tetapi setengah hatiku tidak terima melihat dia berbahagia karena orang lain. Arrrrghhhhh kenapa aku jadi begitu protektif kepada sahabatku sendiri. Ingat Bila kalian hanya teman dan tidak lebih.

Setelah perdebatan singkat kami akhirnya Fadli mengalah dan memilih pulang. Tidak ada raut kebahagiaan dari wajahnya, aku tahu dia sangat kecewa terhadapku. Teman yang sama sekali tidak mendukungnya. Maafkan aku, Fa!

-Mama pengen kamu dateng Bil!-

Sebuah pesan singkat dari Fadli sukses membuatku gamang. Mamanya sudah seperti Bunda dan aku tidak pernah bisa menolak permintaannya. Saat ini adalah pertama kalinya aku menolak permintaan kedua orang yang kusayangi.

-Maaf Fa aku gak bisa-

Satu minggu yang lalu

"Minggu depan kamu harus ada di rumahku seengaknya dari H-3," ucap Fadli setelah menyampaikan berita pernikahan yang akan digelar minggu depan.

Aku hanya bisa menatapnya kosong. Satu minggu lagi, hanya satu minggu lagi aku bisa berada di sampingnya. Kenapa di saat aku seharusnya berbahagia namun justru ada sedikit sesak saat tahu dia akan pergi dengan orang lain.

"Aku gak janji," tolakku.

"Oh ayolah! Kamu tega banget sih Bil sama aku. Tega-teganya gak mau nemenin aku. Aku butuh supportmu sebagai sahabat. Setidaknya buat ngajarin aku ngehafal kalimat sakral itu. Please Bil!"

Aku hanya diam, memainkan sendok makan dan mengaduk isi piringku sampai tak berwujud. Yeah, Fadli memang datang saat aku sedang sarapan. Dia sukses membuatku kehilangan nafsu makan.

"Maaf."

Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Lidahku terasa kelu.

"Tatap aku Bil!" perintahnya. Aku bahkan tidak sanggup untuk menatapnya dan memilih tetap menunduk.

"Bila!"

Mendengarnya merengek membuat pertahananku nyaris hancur. Setetes, dua tetes dan kemudian air di pelupuk mata yang sudah kutahan mati-matian keluar tidak terbendung. Wajahku menelungkup di atas maja berusaha menyembunyikan tangis dari Fadli walaupun kutahu akan percuma.

"Bil," panggil Fadli lirih sambil menepuk pundakku pelan.

"Bila," panggilnya lagi. Hatiku tidak semakin tenang dan justru kian sesak.

Kuangkat kepalaku dan pada saat yang sama Fadli langsung merengkuhku ke dalam pelukan. Tangisku kian menjadi. Tuhan, bolehkah aku menangis saat temanku berbahagia.

"Aku tahu kamu terharu, tapi tolong jangan seperti ini."

"Fa.."

"Hemn."

"Gak bisa dicancel ya? Kamu tega ninggalin aku? Selama ini kita selalu bersama, gimana nanti hidupku tanpamu?"

"Kita gak mungkin selamanya bersama Bila! Kamu gak perlu khawatir, aku tetap selalu ada buatmu!"

"Tapi untuk yang kedua setelah istrimu." Hatiku berteriak.

"Biarkan seperti ini. Setidaknya untuk yang terakhir!" pintaku saat Fadli berusaha menjauhkan tubuhku. Aku memeluknya semakin erat, hidup tanpa ada Fadli di sampingku terasa gelap. Kurasakan usapan halus di bahuku, dia mencoba menenangkanku.

Tanganku menggenggam tas kecil yang kubawa dengan erat. Mataku masih menatap ke depan, kepada Fadli yang sedang memasang cincin pada jari wanitanya. Tuhan, kenapa rasanya dadaku begitu sesak.

Tanganku berhenti menggenggam ketika tangan lain menggenggamku. Hangat dan terasa menenangkan namun seiring dengan ketenangan itu justru pertahananku hancur. Kutarik lengan orang di sampingku dan wajahku langsung bersembunyi di balik punggungnya, terisak di sana. Aku tidak peduli pada tubuh yang terasa menegang. Aku sungguh tidak peduli.

Sebuah tangan mengusap bahuku pelan sebelum membawaku ke dalam pelukannya dan tidak lagi bersembunyi di balik punggungnya.

"Fa," panggilku lirih.

Tidak ada jawaban karena faktanya tangan yang mendekapku bukan lagi tangan Fadli. Tidak akan pernah lagi ada tangan yang mendekapku saat aku terjatuh, tangan ini bukan tangan Fadli. Aku bahkan sangat hafal bagaimana rasanya saat tangan itu menopangku.

Derap langkah kaki membuatku mau tidak mau membawaku pada keadaan yang sebenarnya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menatap Fadli. Dari penglihatanku yang buram terlihat Fadli sedang menyalami beberapa tamu. Dia terlihat bahagia, sangat berbalik denganku saat ini. Sakit, seperti inikah rasanya kehilangan sahabat? Aku bahkan tidak pernah tahu kalau rasanya akan sesakit ini.

Satu persatu tamu undangan pergi dan menyisakan aku dengan orang disampingku.

"Mau ke sana?" tanyanya.

Aku menarik nafas panjang mencoba mencari ketenangan. Badanku seakan tidak punya energi untuk menyapa pasangan berbahagia itu. Sampai akhirnya mataku bertemu pandang dengan Fadli. Dia tersenyum melihatku. Itu berarti mau tidak mau aku harus ke sana bukan?

"Iya, kita ke sana!" ucapku sedikit ragu.

Tangan lain membantuku untuk bangkit berdiri, menopangku agar tidak terjatuh. Kupaksakan kaki melangkah meskipun terasa membawa beban sampai berpuluh kilogram. Tuhan, kenapa takdir sekejam ini?

"Selamat ya, Fa!" ucapku pelan. Kupaksakan senyum sebaik mungkin walaupun kutahu pasti yang muncul di wajahku adalah senyum masam.

Tangan Fadli hampir saja meraihku ke dalam pelukan seandainya saja tidak ada tangan lain yang menghentikannya. Pupus sudah, aku resmi kehilangannya termasuk pelukan yang selama ini menguatkanku.

"Hei, kamu pasti sangat terharu ya sampai-sampai nangis kaya gitu. Oh ayolah Bila, tersenyum lah buang wajah jelekmu itu," ejeknya dengan sedikit canggung.

Aku tersenyum masam, dunia sudah berubah.

"Aku pulang ya!" pamitku kemudian.

"Hei, kenapa pulang? Bukannya dulu katamu akan menemaniku sepanjang acara?" tanyanya lagi dengan senyum yang terkembang.

"Aku mau pulang!" ucapku lagi. Sebuah tangan yang ada di bahuku terasa mengusap pelan. Mencoba memberiku ketenangan agar aku lebih bersabar.

"Maaa, Bila mau pulang!" ucapku kini kepada sosok yang ada di samping Fadli, mencoba mencari pembelaan. Beliau, Mama Fadli yang sudah kuanggap seperti Bundaku sendiri.

Mama menarikku ke dalam pelukan dan kemudian membawaku jauh dari keramaian seakan beliau mengerti betapa kacaunya aku.Akhirnya kami duduk di sudut ruangan.

"Maafin Mama ya, Sayang! Mama gak bisa mengubah pikiran Fadli. Dia bersikeras menikah dengan wanita pilihannya padahal Mama ingin kamu yang mendampingi dia. Fadli memang bodoh!" gumam Mama sambil tertawa hambar. Beliau menyodorkan satu gelas air mineral kepadaku.

"Ma," ucapku lirih. Aku tidak bisa mengatakan apapun, semua terasa tidak pada tempatnya.

"Sampai kapanpun Bila tetep anak Mama. Semoga nanti kamu menemukan kebahagiaanmu sendiri. Sekarang tenanglah, walaupun Fadli sudah menikah dia tetap sahabatmu bukan? Kalian masih bisa pergi bersama. Pernikahan bukan berarti berhentinya hubungan kalian. Mama tinggal dulu ya, Sayang! Makasih udah dateng, kamu hati-hati. Mama panggilin partnermu."

Kemudian sosok itu menghilang bersamaan dengan sebuah kecupan di dahiku. Rasanya ingin sekali aku berteriak mengatakan kalau semua yang dikatakan Mama adalah kebohongan. Pernikahan ini adalah pertanda berakhirnya hubungan kami. See, bahkan tadi saat Fadli akan memelukku wanita atau istrinya itu sudah mencegahnya.

Berulang kali aku menarik nafas dan menghembuskan perlahan. Saat kurasa emosiku mulai stabil aku beranjak berdiri untuk pulang dan pada saat yang sama satu sosok menghampiriku. Tangan kirinya menggenggam tanganku, sementara tangan lainnya ada di bahuku.

"Kita pulang?" tanyanya yang hanya kujawab dengan anggukan.

Aku pulang, aku menghilang tanpa perlu berpamitan. Bagiku sudah cukup untuk hari ini. Esok hari, akankah ada cahaya dalam hidupku? Jawabannya aku tidak tahu.

Terdengar konyol memang, faktanya aku baru sadar saat kehilangan. Aku baru sadar kalau aku menyayangi Fadli lebih dari sahabat.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 322 44
Start : 14 Agustus 2020 Andai Senja Besari Erlangga bukan anak Erlangga, mungkin sore hari akan dia habiskan untuk membangun tinggi mimpi-mimpinya di...
2M 9K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
3.6M 52.3K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
3.4K 376 35
Pacaran dengan Indri adalah salah satu harapan yang selalu Aidan ingin capai. Meski tau gadis itu sangat sulit di luluhkan, Aidan tidak pernah gentar...