Mata Angin (UTARA)

By MusMusculus3

12.4K 1.7K 157

____ (CERITA DALAM PROSES REVISI) - Silahkan simpan dahulu ke DAFTAR PUSTAKA atau PERPUSTAKAAN anda. Utara ti... More

part 1
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
Apel
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
part 13
part 14
part 15
part 16
lanjut?
part 17
part 19
part 20
part 21
part 22 hukuman hari kedua
part 23
part 24 hukuman hari ketiga
part 25
Comeback

part 18 hukuman hari pertama

162 16 12
By MusMusculus3

_____Dangerous Of Utara_____
______@MusMusculus3______

Pagi itu, hujan mulai mengguyur perlahan demi perlahan hingga lambat laun menimbulkan suara yang nyaring ketika terus mendarat pada berbagai media.  Kaca jendela sebuah kamar telah mengembun tebal. Satu tangan menyentuh benda bening itu hingga dirasakan dingin yang menjalar hingga ke tengkuknya. Gadis itu termangu. Utara sudah satu jam lebih menyumpal telinganya dengan headset.

Ting!

Message from Raya
'Are u okay, Ra?'

Utara mengeryit. Kemudian dengan cepat jarinya bergerak pada layar ponsel.

Sent to Raya
'Baik dalam hal apa yang kau maksut?'

Utara meletakkan ponselnya kembali ke meja. Tatapannya kembali pada kaca bening yang tengah ramai oleh titik-titik air hujan. Ia menyukai hujan dalam kondisi tertentu. Seperti hari ini, hujan mampu menenangkan sedikit hatinya yang baru saja tersulut karena pertengkarannya dengan Jerry. Rasanya sudah lama ia tidak sefaham dengan saudara kembarnya itu. Biasanya Jerry selalu menutupi kesalahan dan kelakuan buruknya di depan Willson, ayahnya.  Mendengar Jerry menyudutkannya kini membuat Utara terasa asing dan sedikit kecewa. Bukan bermaksud manja atau bagaimana. Hanya saja ini mengenai sebuah kepercayaan yang  tidak pernah Jerry serahkan seutuhnya untuk dirinya. Semua orang tahu jika mereka sudah sama-sama dewasa, seharusnya lebih mengerti lagi mana yang baik dan yang buruk. Tidak perlu dikekang seolah Utara tidak memiliki pikiran dan naluri.

Ting!

Message from Raya
'Apa Jerry marah? Kau juga hampir mati tadi malam Ra.'

Utara tersenyum geli. Pas sekali dengan yang ia fikirkan. Itulah Raya, seorang anak yang banyak memiliki jiwa-jiwa ingin tahu masalah orang lain.

Sent to Raya
'Ya, kami sedikit bertengkar. Kau tau? Dia bahkan mengadukan masalah ciumanku dengan Gaza kepada Ayah.'

Selang beberapa detik ponsel Raya kembali bergetar panjang. Raya menelfonnya.

"Ya, hallo?"

"Serius kamu Ra?"

Utara menjauhkan sedikit ponselnya mendengan teriakan Raya, kemudian mendekatkannya lagi.

"Em."

"Trus gimana?" tanya Raya antusias.

"Apanya yang gimana?"tanya Utara balik.

"Bokap lo? Em.. Maksutnya, ayahmu?" tanya Raya meralat. Mereka memang telah terbiasa memakai bahasa sopan sejak pertama bertemu. Meskipun Raya sering memakai bahasa 'Lo-Gue' dengan teman-teman lainnya.

"Ayah? Nggak tau. Aku udah adu mulut duluan sama Jerry sampe lupa sama Ayah."

"Aduh Ra, kayaknya kalo Om Willson bisa memaklumi deh. Lagian kamu kan udah gede. Pacaran udah waktunya kali."

"I think so, Ray," balasku mengangguk menyetujui. "Tapi Jerry lain cerita," kata Utara lagi.

"Kenapa?"

"Dia nggak suka aku sama Gaza,"

"Emang kamu sama Gaza?"

"Enggak sih."

"Nah terus?"

"Ya, gitu."


"Lah? Gimana Ra! Muter-muter deh kamu nih," sahut Raya terdengar jengkel dari seberang telepon.

Utara terkekeh sambil menggaruk tengkuknya. Rasa marah yang tadinya mendominasi kini menguar sedikit demi sedikit walaupun hanya sebentar mengobrol dengan Raya. Berbicara dengan teman dan mengeluarkan unek-unek memang cara terbaik meringankan pikiran.

"Udah. Besok aja aku ceritain. Ngabisin pulsa. Kan sayang," ucap Utara menyudahi.

"Iya deh Nyonya irit. Janji ya besok ceritain?" balas Raya mengancam.

"Hm.. " jawab Utara. Kemudian sambungan telepon dari Raya terputus.
Utara memandang butiran benang-benang air hujan yang semakin lama semakin memburamkan kaca jendelanya. Lamunannya melebar luas hingga berhenti pada saat sebelum ia pindah ke rumah tempat ia tinggal sekarang. Satu tarikan ujung bibirnya tersungging untuk beberapa saat ketika hujan mulai turun semakin deras hingga menenggelamkan semua suara.

Author POV
07:30
Suara bel masuk menggema di sekolah Raya Wasita. Keina berlari sekuat tenaga masuk ke dalam gerbang yang mungkin beberapa detik lagi akan tertutup sempurna. Hari senin menjadi hari mengenaskan bagi semua siswa dimana mereka akan berdiri dibawah sinar matahari yang memungkinkan untuk menguapkan minyak wangi yang mereka bekaskan di setiap inchi pakaian.

Lapangan upacara mulai dipenuhi manusia dengan berbagai celotehan mereka. Keina merasa lega karena ia selamat dari hukuman Pak Waris yang galaknya bisa menandingi guru Fisika sewaktu-waktu. Ia berjalan santai di koridor kelas dengan sedikit sudut bibirnya tersungging manis. Matanya menjuru ke segala arah menikmati pemandangan senin pagi yang begitu menggelikan.

Diujung sana dekat dengan gerbang terlihat seorang siswa berkacamata tengah berlari sekuat tenaga untuk menghindari beberapa detik lagi tertutupnya gerbang. Di sebelah lapangan juga terlihat beberapa siswi dengan terburu menuju barisan upacara dengan ligat. Di barisan depan lapangan terlihat anak-anak OSIS yang mencoba mendisiplinkan teman-temannya untuk segera berbaris rapi. Ada beberapa siswa yang bahkan tidak peduli dengan waktu tengah berjalan santai menuju lapangan, termasuk Raya. Seorang siswi tengah berlindung di balik tong sampah yang cukup besar untuk menutupi tubuhnya entah dari siapa. Keina hampir tertawa setelah ia menemukan bahwa ia mengenal siswi tersebut.

"Princess?" Keina menyipit memandang seorang gadis yang berjongkok di belakang kotak sampah kotak berwarna biru. Utara menoleh kaget. "Princess?" ulang Keina mencoba meyakinkan penglihatannya.

Utara menegakkan badannya kembali setelah mendengar sebuah panggilan. Ia memandang Keina memelas sebelum kemudian berlalu pergi menjauh ke arah barisan upacara.

"Princess!!!" Keina berlari mengejar Utara dan menghadangnya dengan tangan yang ia rentangkan lebar-lebar.

Utara berhenti dengan kesal. Ia menyadari gelagat berbeda dari orang-orang di sekitarnya sejak pertama kali memasuki gerbang. Sebelumnya Utara bukanlah anak yang berada di deretan anak-anak populer hingga kemudian saat ini mungkin Ia telah berada di urutan teratas, trending topic. Mungkin sebagai 'orang yang tadi malam,' atau 'anak penghianat' atau 'pacar Gaza' mungkin? Yang pasti Utara terlalu menyadari perbedaannya.

Utara berusaha menggeser Keina yang mencoba menghalangi jalannya. "Minggir lo!" kata Utara jengkel. Semua kejadian semalam juga termasuk campur tangan Keina. Jadi, wajar saja jika saat ini Utara kesal padanya.

"Wuiihh.. Masih marah ya? Udah dong Princess. Maafin Key," jawab Keina membujuk. Tangannya ia satukan sebagai simbol ucapan maaf. Keina mengedip-kedipkan matanya berusaha memelas.

"Nggak!" Utara berbalik arah menuju kelasnya. Rasa aneh di sekitarnya membuatnya semakin tidak nyaman.

Keina menghela nafas sambil mengedikan bahunya acuh. Ia berbalik hendak kearah lapangan dan 'bukk'.

"Ahh!"

Keina mendongak mendapati segerombolan anak yang sedang cengengesan setelah menumpuk kepalanya dengan bola. Ia menggeram sambil menyambar bolanya dan melemparkan ke lelaki yang masih tertawa terbahak-bahak.

"Mak lampir ngamuk!" lelaki itu beranjak lari menghindari Keina yang berjalan kearahnya. Dilihat targetnya kabur, ia beralih ke lelaki lainnya. "Woowooo! Slow down girl,"

"Siapa tadi yang lempar?" ucap Keina menantang yang dibalas dengan ekspresi seolah-olah mereka takut.

"Kayaknya bolanya deh yang terbang sendiri," sahut salah satu lelaki.

Lelaki disebelahnya menoyor kepalanya, "eh ipul! Lo kira ini Hogwarts? Anak mami pecinta Disney Club ya?" ejeknya menirukan suara donal bebek yang disembur tawa pecah dari teman-temannya.

"Udah Kei. Gimana mau dibilang feminin kalo kelakuan lo kayak gini," kata Aldo yang sedari tadi ikut tertawa dalam rombongan itu. Ia menarik Keina menjauh yang masih menodongkan tinjunya ke teman-teman Aldo.

"Lepasin Do. Kayak cowok gue aja lu ah!" kata Keina menepis tangan Aldo.
"Yee! kayak gue pede aja jadi cowok lo."

Mereka berjalan menuju lapangan yang sudah dipenuhi siswa. Mereka berhenti ketika berhadapan dengan seseorang.

"Eh, anak ilang ya?" panggil Aldo kepada seseorang.

lelaki yang merasa terpanggil menoleh ke  arah sumber suara. pakaian putih celana abu-abu seperti yang lain. tapi sangat menonjol bagian lambang segitiga di lengan kirinya yang berbeda dengan siswa lain yang seharusnya menggunakan lambang segilima.

"Upacara disini nggak enak. Panas!" kata seorang lelaki yang tengah menengadahkan tangannya menghalangi cahaya matahari menerpa langsung wajahnya.

Lelaki itu berjalan keluar barisan upacara sambil mengelap keringatnya yang mulai bergulir. "Eh, kemana lo? Diem disini!" Aldo mengancam dengan merentangkan salah satu tangannya.

Lelaki itu menepis tangan Aldo kasar demi menyelamatkan dirinya pergi dari lapangan panas itu. Ia berjalan membelok di ujung lorong pertama. Bagai sudah menghafal segala penjuru sekolah Raya Wasita, ia langsung masuk ke sebuah kantin yang paling dekat dengan kawasan kelas. Lelaki itu membantingkan badannya ke sebuah kursi panjang. "Bu Ras, es jeruknya satu, lontong Reza satu," teriaknya mengisi kesunyian di kantin Bu Rasih.

"Loh, nak Reza ngapain di sini?" tanya Bu Rasih sedikit memekik.

"Ah Bu Rasih. Emang Reza nggak boleh ke sini?" katanya membalas.

"Ya bukan gitu. Tapi kan nak Reza udah nggak sekolah di sini. Ntar nak Reza dimarah sama Bapak lagi loh," ucap Bu Rasih sambil meracik lontong yang sudah dihafal dengan Bu Rasih sebagai lontong Reza. Dengan sambal dan kuah yang banyak tanpa bawang goreng dan tanpa kul.

"Ciee.. Bu Rasih perhatian banget deh. Jadi terharu," Reza tersenyum lebar meledek. Sementara Bu Rasih hanya geleng-geleng kepala menanggapi gurauan reza.

__Dangerous of Utara__

kelas terasa sangat sepi karena hampir semua siswa tengah mengikuti upacara bendera. Hanya Utara yang tengah mengukir kertas putih dengan pena hitamnya pada  sebuah buku kecil berwarna hitam. Ia menggambar sesuatu diselingi tulisan-tulisan kecil di setiap luang kertas yang tersisa. Kemudian ia menjatukan kepalanya bosan.

Suara decitan pintu terdengar hingga membuat Utara menoleh cepat. Disana seorang lelaki melongokkan kepalanya menelusuri ruangan kelas itu. "Hai?" sapanya ketika melihat Utara tengah duduk di sana seorang diri.

"Reza?" Utara meyipitkan matanya berusaha meyakinkan penglihatannya. "Reza? Ngapain di sini?" tambah Utara lagi setelah Reza masuk dan menghampiri dirinya.

"Kamu ngapain disini?" Reza duduk di sebuah meja depan Utara. Ia menyilangkan kakinya dan memperhatikan Utara serius.

"Ini kelasku," jawab Utara asal.

"Tapi ini waktunya upacara setahuku," Ujar Reza lagi menyahuti.

Utara kesal meladeni Reza yang entah kenapa bisa ada di hadapannya saat ini. Ia menjatuhkan kepalanya lagi mencoba tidak peduli dengan kehadiran Reza.

Hening menyelimuti selama beberapa saat. Reza melihat kelas itu dengan seksama. Sudah lama ia tidak melihat isi kelas itu hingga tampak banyak perubahan yang tidak ia sadari sebelumnya. Seolah memori di masa lalu terulang kembali ketika ia masih sekolah disana, membuat dadanya sedikit sesak.

"Utara," panggil Reza. Utara tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan Reza. Ia tetap menutup kepalanya malas.

"Lo, Pacaran sama Gaza ya?"

Utara mendelik dibalik lengannya. Kemudian ia mengangkat wajahnya menghadap Reza yang tengah melihatnya dengan tampang polos penuh tanya.

"Hah? Eng... Enggak," jawab Utara.

Reza menyipitkan matanya. Ia berusaha mencari kebohongan pada jawaban Utara. Namun, yang ia temukan hanya muka datar tanpa ada unsur kebohongan satu pun. Utara memang tidak berbohong bukan? lagian menurutnya tidak ada yang perlu disembunyikan jikapun itu adalah kebenaran.

"Ooh,.." Reza menganggukan kepalanya. "Kalo gitu kita pacaran yuk?"

Utara kembali melotot lebar atas ucapan Gaza yang keluar seenteng ember kosong. "Sinting! Awas ah, Za. Pergi sana!"

"Eh eh, kok ngusir?" Reza berusaha menahan tubuhnya yang di dorong oleh Utara. 

"Please please! Oke. Nggak jadi nembak kalo gitu. Aku diem di sini, tapi jangan diusir oke?"

Tangan Reza menahan Utara yang masih saja mendorongnya. Ia terkikik geli melihat wajah ditekuk Utara yang benar-benar buruk.

"Kenapa ketawa?  Nggak lucu!" ucap Utara menepis tangan Reza dan berlalu pergi ke luar kelas.

"Yahh.. Ngambekan,"

Tidak peduli lagi dengan celotehan Reza, Utara menyelinap ke kantin sekolah dengan mengendap-endap. Karena akan jadi masalah jika ia ketahuan oleh guru piket yang mempergoki muridnya tidak ikut upacara tanpa alasan yang jelas.

Setengah jam berlalu. Upacara bendera di Raya Wasita baru saja bubar membuyarkan seluruh barisan. Murid-murid mulai memasuki kelas masing-masing dengan suara gerutuan dimana-mana. Cuaca panas hari ini ditambah upacara bendera adalah satu dominasi yang menjengkelkan.

Utara juga berjalan menuju kelasnya. Ketika masuk, ia sudah tidak lagi melihat sosok Reza di dalam. Mungkin pergi? Entahlah. Utara tidak peduli.

"Ray?" panggil Utara kepada Raya yang tengah berjalan ke arahnya.

Raya mendekati Utara dengan senyum kikuk. "Utara?" Panggilnya terlihat gelisah.

"Kamu kenapa Ray? Sakit?" Tangan Utara terulur ke dahi Raya. Ia tidak menemukan tanda panas di sana. Malahan sebaliknya, dahi Raya terasa dingin.

"Itu.. Em... Itu,"

Utara mengeryit. Ia menengadahkan tangannya sebagai tanda tanyanya. "Kenapa sih Ray?" tanya Utara lagi melihat sekeliling yang juga tengah melihat ke arah mereka.

"Kamu... Kamu... Juga harus mengikuti hukuman," kata Raya akhirnya. Ia memandang Utara dengan wajah merasa bersalah.

"Hukuman apa?" tanya Utara lagi mendesak. Menurutnya Raya sangat bertele-tele hingga membuatnya seperti diujung tanduk.

"Hukuman kekalahan lo sama Reza. Inget? Sebagai partner-nya dan sebagai bentuk penghianatan lo." seseorang menyahut. Gadis berkulit putih itu menyilangkan tangannya angkuh. Ia mendekati Utara dan Raya yang juga memandangnya.

"Cuma bilang gitu aja susah banget sih lo?" ujar gadis itu melirik Raya. "Dan lo? Lo kan anak baru. Nih gue Kasih tau. Pertandingan itu memiliki hukuman bagi pemain yang kalah. Hukumannya sih nggak ribet. Cuma pindah sekolah selama seminggu, dan menurut apa aja yang disuruh seluruh anak di sekolah. Karena kasusnya penghianatan kaya lo ini, maka lo harus menjalani hukuman lo di kandang sendiri. Nggak boleh ada dendam setelahnya."

Utara melirik Raya setelah mendengar ujaran gadis itu. "Maafin aku Ra. Aku nggak bisa bantu. Dulu aku yang buat peraturan itu," Raya menunduk merasa bersalah.

Utara memandang Raya lama. Kemudian ia tertawa keras sambil memegangi perutnya. Raya mengangkat wajahnya penuh tanya.

"Duh Ray. Aduh. Kamu lucu, sumpah. Mukanya nggak nahan," Utara kembali tertawa menghiraukan beberapa pasang mata yang melihatnya bingung.
"Santai aja kali Ray. Kayak mau di hukum pancung aja," kata Utara.

"Nggak papa emang?" tanya Raya.

"Udah ah. Santai aja. Nggak papa kok. Lagian aku emang ngaku salah dan kalah. Jadi biasa aja oke?" Utara tersenyum memandang Raya. "Udah udah. Ayo ke kelas," tambah Utara lagi.

Raya masih diam di tempat. "Tapi,.. " katanya kemudian.

"Tapi apa lagi sih?" kata Utara jengkel.

"Hukuman pertamanya sekarang. Dan biar kamu tau, kamu nggak bisa ikut pelajaran selama seminggu," Raya tersenyum hambar.

"Apa?!" suara Utara menggema di sepanjang koridor kelasnya.

__Dangerous of Utara__



Matahari begitu terik sejak pagi. Ini sudah jam istirahat pertama. Biasanya Utara tengah memakan bakso Bu Rasih dan meminum jus jeruk dengan es yang berlimpah. Namun, saat ini adalah hari istimewa. Dimana Utara tengah menjalankan upacara dadakan yang pagi tadi sempat ia hindari. Disinilah Utara dan Reza menjalani hukuman pertama mereka. Tidak sulit, hanya hormat kepada sang merah putih dari jam 8 pagi tadi sampai jam 8 malam nanti. Nah itu masalahnya. Dua belas jam bukanlah waktu yang sebentar untuk menekuk tangan tanpa ada penyangga, berdiri dengan kedua kaki tanpa sandaran, dan tanpa makan? Ini namanya percobaan pembunuhan bukan?

Utara terus saja menggerutu menumpahi matahari yang begitu bersemangat menyinari bumi. Keringat di dahi, pelipis, dan di balik bajunya terus mengalir bagai pori-porinya adalah mata air.

"Aku haus," Ucap Utara memelas untuk yang kesekian kalinya.

"Jika saja kemarin aku nggak ajak kamu, pasti beda ceritanya," sahut Reza tanpa menoleh.

"Hah? Jadi kamu nyalahin aku? Iya?"

"Emm," jawab Reza mengangguk.

"A.. Aku.. " kata Utara terbata. "Aku tau," tambahnya akhirnya mengaku salah.

Reza menoleh. Ia tersenyum geli.

"Tetap saja!" kata Utara mendongak lagi. "seharusnya aku tidak terlibat sama sekali," Utara terduduk jengkel.

"Hei, berdiri. Jam kita bisa ditambah jika kau terus melanggar."

"Memangnya iya?" Utara bertanya seolah tidak hari esok. Ia berdiri dengan terburu.

"Enggak deng,"

"Ih!" Utara memukul keras lengan Reza. Kemudian ia kembali menempelkan ujung jarinya di pelipis.

"Memangnya kenapa kau bisa terlibat?" tanya Reza lagi. Sepertinya hukuman kali ini menjadi sedikir ringan karena mereka habiskan untuk mengobrol.

Utara menoleh lagi. Bola matanya berlarian, mencoba mengingat kejadiannya. "Aku berteriak keras membuyarkan konsentrasi Gaza yang sedang bertanding dengan Aldo. Itu adalah pertandingan untuk menentukan siapa yang akan turun melawanmu. Tapi aku membuat Gaza melakukannya," jawab Utara jujur.

"Hanya karena itu dia melibatkanmu?" tanya Reza penuh tanya.

Utara mengangguk. "Memangnya kenapa?"

"Sepertinya Gaza menyukaimu," jawab Reza mencoba menebak.

"Kenapa bisa?" Utara mengeryit. "Memangnya kau tau apa?" tambahnya lagi.

"Aku tau banyak tentang Gaza. Dan kau mirip seseorang yang dulu dekat dengan Gaza," kata-kata Reza membuat Utara menurunkan tangannya.

"Maksudnya?" Utara tampak sangat penasaran.

"Eih.. Bohong! Kamu kan nggak akur sama Gaza. Sok tau kamu!" ucap Utara kembali mengangkat tangannya.

Hening

"Kami satu Ayah," kata Reza tiba-tiba. "Aku dan Gaza," tambahnya.

Utara sukses mengalihkan perhatiannya penuh pada Reza. Ia melotot penuh tanya, kaget setengah mati. "Bohong!?" ucap Utara menunjuk wajah Reza.

Reza terkekeh lagi. Ia menunjukan wajah yang seolah berpikir atas apa yang ia katakan. Utara mengguncang tubuh Reza kuat berusaha mendesak jawaban.

"Auww!!" Utara mencubit pinggangya keras. "Reza!" teriak Utara keras sebagai pelampiasan rasa kesalnya karena Reza tidak menjawab.

__Dangerous of Utara__

Hening menyelimuti mereka hingga beberapa jam setelahnya. Matahari mulai menyembunyikan dirinya. Warna jingga di atas sana cukup menghiasi sore itu. Namun dua orang yang masih berdiri di lapangan tampak tidak peduli lagi. Mereka bahkan sudah tidak kuat lagi mengangkat tangan untuk memberikan hormat kepada tiang bendera yang benderanya sudah turun beberapa jam lalu.

Kakinya kebas, perutnya lapar, dan angin sore hari meniupkan hawa tidak nyaman menghilangkan keringat panas yang sebelumnya mengalir. Utara memandang ke arah samping lapangan, dimana Jerry masih duduk disana menunggunya, tanpa sepatah katapun. Sungguh Ia ingin menangis saja meminta pada Jerry untuk membawanya pulang. Tapi apa? Bahkan Jerry tidak bisa berbuat apapun. Lagipula mereka sedang bertengkar bukan? Jadi, mungkin seharusnya Utara tak mengharapkan lebih.

Rasa kebas di kaki Utara semakin membuatnya resah. Bahkan rasanya telah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya hingga ia merasa tiupan angin di telinganya sangat mengganggu. Setelah itu rasa kebasnya mulai menjalar lagi ke daerah bibirnya. Pandangan Utara berkunang-kunang, ia merasa mau mati beberapa detik lagi. Bibirnya sempat tersungging, seharusnya ia dari tadi saja pingsan.

Brukk!

Utara menoleh. Reza ambruk tak sadarkan diri dengan hidungnya yang mengeluarkan cairan merah kental. Wajahnya begitu pucat pasi seperti mayat.

"Reza?!" seseorang menghampirinya. Seseorang lagi menghampiri Utara yang masih diam mematung memandang Reza.

"Utara?" Utara menoleh memandang seseorang yang memanggilnya. Namun Utara masih diam mematung. Satu guncangan di bahunya seolah dorongan yang teramat kuat hingga mampu melumpuhkan seluruh sendinya. Seluruh pandangannya menggelap ketika Jerry sadar dan menahannya meringkuk di lapangan yang mulai menghangat. Utara ikut tak sadarkan diri. Tubuhnya bagaikan kapas yang ditahan oleh Jerry dan beberapa temannya.

__Dangerous of Utara__

To be continued

____________________________

Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca "Dangerous of Utara".
Jangan lupa tinggalkan jejak anda pada gambar bintang di bawah ini 👇.
Saran anda merupakan hal yang paling saya tunggu.
Sampai bertemu lagi di part selanjutnya.
Follow: @Musmusculus3

Chucu:

Ya Allah, begitu sulitnya membuat reader menanggapi cerita Musmus. Ya Allah, ketika aku semakin lama update dikarenakan semakin malas. Tidak ada respon sih.. sabar sabar.. Ya Allah, semoga para readers peka. Aamiin.

#KodeKeras :D :D

Continue Reading

You'll Also Like

767K 68K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
254K 13.8K 73
"Jodoh santri ya santri lagi." Di dunia pesantren, adat perjodohan sudah menjadi hal biasa yang sering terjadi. Azka Azkiya merasakan hal itu di tahu...
572K 31.5K 74
The endβœ“ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] β€’β€’β€’ Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
4.8M 255K 57
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...