Little Mother

Por Tehseduh

382K 25.7K 2.1K

[ REPOST ] Menjadi seorang ibu merupakan impian setiap wanita. Tapi itu jika kehidupan wanita itu normal. Nam... Más

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
EKSTRAPART Zu and Priko
TIGABELAS

DUABELAS

19.3K 1.7K 111
Por Tehseduh


Masa penangguhan penahan Arjuna telah berakhir, walau kecewa tidak bisa bertemu denagn Alif dan Bunga, akhirnya Arjuna cuma bisa pasrah. Selama masa sidang Arjuna mendekam dalam penjara. Sebelum ditahan Arjuna memilih mengundurkan diri dari perusahaannya dan melepas seluruh saham miliknya, kini tempatnya diisi oleh kakaknya. Tindakan itu diambilnya sebelum isu-isu buruk menimpa perusahaan yang dibangun oleh ayahnya itu.

Persidangannya berjalan selama lima bulan lebih, lebih cepat dari prediksi kuasa hukum Bunga. Sesekali pria itu berharap Alif dan Bunga datang namun hal itu hanya tinggal harapan saja. Sampai akhirnya pengadilan memutuskan menjatuhkan hukuman 7 tahun kepadanya. Arjuna menerimanya, dia pantas mendapatkannya.

"Tujuh tahun itu tetap masih tak sebanding dengan penderitaan adikku." Zu terlihat sangat sinis.

Ruangan pengadilan itu mulai sepi, semua orang sudah mulai keluar hanya menyisakan beberapa orang saja.

Arjuna menampakkan wajah datarnya. "Aku tahu." hanya itu ucapan terakhir dari Arjuna sebelum digiring ke dalam jeruji besi.

*

Bunga sedang berlari mengejar Alif. Bunga terlihat gembira begitu pula dengan anak tak berdosa itu. Keduanya begitu bahagia. Zu tersenyum tipis, dia mulai mendekati mereka.

"Kakak, udah pulang?"

"Assalamualaikum ...,"

"Waalaikumsalam."

Alif yang melihat Zu terlihat sumringah, bocah itu berlari kearah Zu.Dengan sigap Zu langsung menangkap bocah gembulnya masuk kedalam dekapannya. "Kangen bibi?"

"Anen." jawabnya polos.

Zu yang gemas langsung menghadiahkan keponakannya itu dengan ciuman bertubi-tubi. Damai, mereka akhirnya bisa tertawa begitu bahagia seakan semua masa-masa sulit itu hanya mimpi.

Bunga menggendong Alif, anaknya itu tertidur setelah lelah bermain.

"Tujuh tahun."

Bunga menghentikan langkahnya.

"Perusahaanya?"

Bunga sangat takut jika perusahaan itu hancur hanya karena masalah ini. Arjuna yang harus menggung dosanya bukan para pekerjanya.

"Dia mengundurkan diri dan melepas semua sahamnya sebelum persidangan itu dimulai. Dia sudah melepas semuanya, dan kakak benci untuk mengakui kesungguhannya menebus semuanya."

Bunga terdiam lalu memejamkan matanya. Bunga mengehembuskan nafasnya yang sejenak ditahannya. Bibirnya tersenyum tipis.

"Ayo pulang, abah dan ummi pasti nunggu kita." ucapnya.

Zu pun tersenyum lalu menyusul langkah Bunga. Semuanya memang berat dan semuanya kini sudah berakhir.

***

Kini 5 tahun sudah berlalu sejak mereka kembali ke desa ini. Dan sampai sekarang banyak hal yang terjadi namun semua cobaan itu di lewatinya dengan senyuman. Yah... sudah lama tangis itu telah menghilang dari hidupnya.

Kini dia tumbuh menjadi wanita yang semakin manis dan cantik. Wajahnya yang dibalut kerudung membuat semua mata selalu melihatnya kagum. Masa SMPnya dijalankan hanya 2 tahun karena kelas akselerasi, dan masa SMA dia jalankan normal selama 3 tahun. Sejak 3 bulan yang lalu kini gadis itu tengah menempuh jenjang yang lebih tingi yaitu S1 dia mengambil kebidanan. Sejak dirinya mengalami betapa sulitnya melahirkan dulu sejak itulah Bunga ingin menjadi seorang bidan yang bisa membantu wanita-wanita sepertinya. Biaya kuliah bukan lagi masalah, Bunga sendiri adalah mahasiswa yang mendapat beasiswa jadi masalah itu bukan hal yang berat baginya. Namun Bunga tak pernah berubah terlalu banyak. Dia lebih suka menunduk dari pada membalas tatapan orang-orang yang melihatnya. Dia masih sangat rendah diri.

Namun saat suara motor yang khas terdengar di telinganya. Wajahnya yang menunduk langsung mendongak dan senyum lebarnya menghiasi wajahnya.

"Lama yah dek? sory biasa vispi mogok lagi." gerutunya kesal.

Vispi adalah nama motor vespa biru milik Zu. Walau vespanya sering mogok tapi Zu sangat sayang dengan Si Vispi. Ditambah lagi vespa itu sering dipakai sebagai kendaraan satu-satunya untuk mengantar jemput Bunga. Bukan jarak yang bisa dibilang dekat, tempat kuliah Bunga cukup jauh butuh satu setengah jam dari tempat mereka tinggal.

"Nggak papa kak. Ayoh berangkat." ucap Bunga seraya terkekeh.

Lalu setelah menggunakan helm akhirnya Zu melajukan motornya. Zu sekarang lebih aktif mengajar di madrasah sebagai guru olahraga dan pencak silat. Dia dikenal sebagai guru yang galak. Namun dibalik itu dia sangat baik.

Madrasah Al Ilmu adalah tempat menuntut banyak ilmu agama secara informal. Di sekolah ini pelajaran umum tidak ada. Jadi di desa ini setiap anak yang masih SD akan bersekolah dua kali. Pagi sekolah formal dan siang hari akan sekolah informal di Al Ilmu. Zu dan Bunga sangat populer dikalangan santri, berbeda dengan Zu yang terkenal galak Bunga malah terkenal sangat ramah. Di sana Bunga menjadi guru yang fokus mengajar dalam pengenalan membaca Al-Qur'an kepada anak usia sekitar 4 sampai 10 tahun dan Alif sendiri adalah muridnya.

Abah sudah memegang tingkat yang lebih atas disemua pelajaran agama, mengingat beliau bertindak sebagai kepala sekolah dan pemilik madrasah. Dan ada beberapa guru pengajar lagi termasuk guru magang.

"Ibu!" suara yang tak asing bagi mereka berteriak memanggil Bunga dari depan pagar rumah.

Zu dan Bunga tersenyum melihatnya. Alif kini sudah berusia 7 tahun lebih. Dia tumbuh jadi anak yang sehat dan ceria. Dia juga sangat penurut.

Saat Bunga baru turun dari motor. Alif langsung berlari ke arahnya dengan semangat. Bunga langsung merengkuh anaknya itu dalam pelukannya. Bahkan dia belum sempat melepaskan helmnya.

"Assalamualaikum anak ibu yang tampan." ucap Bunga seraya mencubit hidung mancung Alif.

"Wa'alaikumsalam ibu." balasnya seraya tersenyum jenaka.

"Kamu semangat banget ada apa? hm?" Bunga tahu anaknya sedang mendapatkan sesuatu hingga dia bisa sesemangat itu.

"Om Pliko datang." ucapnya masih cadel.

Bunga tersenyum mengerti. Lalu tak lama terdengar Zu menggerutu. "Ngapain dia ke sini?! nggak tau apa aku lagi males ketemu dengannya." gumamnya kesal.

Bunga hanya terkekeh.

Priko memang sering mengunjungi mereka. Lebih tepatnya mengunjungi Zu. Sudah sejak kembalinya mereka ke desa, Priko seakan tak pernah absen mengunjungi mereka satu bulan empat kali. Alasan pertamanya kesini untuk mengantar atau menjemput Zu kepengadilan.

Dulunya semua menolak kedatangannya. Jelas itu karena dia sahabat Arjuna. Mereka masih belum bisa menerima lelaki itu. Namun berkat kegigihan Priko akhirnya dia mulai bisa diterima.

Saat masuk ke dalam rumah. Priko sedang asyik mengobrol bersama Abah. Pria berwajah bule itu memang sangat mudah akrab dengan seseorang kecuali Zu. Entah kenapa gadis itu sangat menjaga jarak dari Priko. Bahkan ini sudah berjalan cukup lama hubungan mereka masih nggak jelas. Namun orang bodoh pun tahu saat sorot mata keduanya saling pandang, jelas di sana ada cinta.

Abah dan Ummi juga mengenal baik Priko bahkan segala fakta dalam hidupnya. Termasuk persahabatannya dengan Arjuna dan juga fakta kalau dia duda beranak satu.

Bunga masuk ke dalam kamar dan mengganti seragamnya dengan baju biasa yang syar'i. Lalu kembali dan langsung duduk disamping Zu.

"Ngapain ke sini! lebih baik ke kota sana!" ucap Zu ketus sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Zu sekarang sudah duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Priko.

"Zu ...." Abah memperingati agar dia berlaku lebih sopan.

Priko tersenyum tipis. "Tidak apa-apa Bah, dia lebih manis kalau judes." goda Priko.

Kontan saja membuat semua yang berada ruang tamu menahan senyum. Sedangkan yang di puji pipinya malah memerah seperti biasa. Bunga yang baru keluar pun ikut tersenyum penuh arti.

"Ciye... bibi Zu malu." celetuk Alif membuat semuanya tertawa.

"Yasudah, abah tinggal dulu, ini sudah waktunya abah ngajar. Zu bicaralah lebih lembut." pamitnya yang tak lupa ditutup dengan peringatan terhadap anaknya.

"Abah jangan lupa obrolan kita tadi, aku harap Abah mau menerimanya." ucapnya sebelum Abah keluar.

Sejenak Abah mengulum senyum, melirik Zu lalu kembali menatap Priko. "Asal yang bersangkutan setuju. Abah pasti setuju." ucapnya penuh arti.

Zu memicingkan mata curiga. "Maksud ucapan kalian apa? setuju? menerima apa?" tanyanya beruntun.

Abah terkekeh.

"Aku memintamu ke Abah untuk kupinang." Jawabnya santai seakan itu hal biasa.

Zu melebarkan matanya. Dia terlihat sangat terkejut. Dan matanya langsung menatap Abahnya meminta penjelasan. Abah tersenyum lalu mengangguk membenarkan ucapan Priko.

"Yaudah Abah pamit dulu. Bunga jagain mereka jangan biarin berduan yah. Assalamualaikum." pamitnya lalu keluar rumah.

"Enggeh Bah. Wa'alaikumsalam." balas Bunga yang disusul balasan salam Zu dan Priko.

Namun Zu masih melotot ke arah Priko yang duduk dengan santai malah sibuk mendengar cerita Alif. Anak itu kadang mengangap Priko seperti ayahnya. Pada moment seperti inilah Bunga merasa bersalah telah menyembunyikan keberadaan ayahnya kepada anaknya.

"Om Pliko Kak Bala kok nggak ikut?" tanyanya polos.

Mereka memang sangat akrab. "Kak Bara hari ini ada rapat jadi dia nggak bisa ikut." jawab Priko lembut.

Alif mengangguk mengerti. Bara sekarang sudah mulai mengurusi perusahaan keluarganya sejak satu tahun yang lalu. Dia makin sibuk akhir-akhir ini.

Zu masih mendumel nggak jelas. Tangannya melipat terlihat sangat sebal. Bunga hanya duduk di samping Zu dengan senyum-senyum melihat mereka.

"Jadi gimana kak, tuh kak Priko udah ngajakin nikah. Terima nggak?" tanya Bunga mencairkan suasana canggunh diantara mereka. Satu lagi bukan hanya Zu yang dilarang memanggilnya om tapi juga Bunga.

Alif sendiri sedang sibuk bermain game barunya. Seperti biasa Priko selalu memanjakan anaknya.

"Pasti masih marah soal masalah kemarin kan?" tebak Priko.

"Udah tahu ngapain masih berani ke sini!" Zu terlihat semakin jutek.

Bunga merasa keberadaannya akan sangat mengganggu jadi dia sengaja mengajak Alif ke luar. "Lebih baik kalian nyelesain masalah kalian dulu deh. Kak Priko kasih kabar baik loh." ucap Bunga seraya terkekeh. "Oh yah tetep duduk berhadapan jangan sampai deketan loh, masih bukan mahrom." Bunga memperingati.

Zu hanya menghadiahkan pelototan ke arahnya. Bunga kembali terkekeh dan memilih ngacir dari tempat itu. Namun sebenarnya Bunga hanya berada di teras dengan jendela yang masih terbuka hingga memperlihatkan dua sosok yang sedang dialanda asmara.

"Ibu kenapa kita kelual?" tanya Alif terlihat kecewa dipisahkan dari Priko.

Bunga tersenyum. "Bibi sama Om masih harus ngomongin sesuatu, Alif main sama Ibu dulu yah?" ucapnya lembut.

Dengan bibir masih mengerucut, Alif terlihat lucu. "Ibu Kapan Alif bisa ketemu Ayah?" Bunga terdiam mendengar pertanyaan anaknya.

Alif yang sekarang duduk di kelas 3 SD itu memang sejak menginjak usia 5 tahun dia mulai menanyakan keberadaan ayahnya. Bunga memang masih menyimpan rapat identitas ayahnya, wanita itu sering mengalihkan pembicaraan mereka saat Alif bertanya tentang ayahnya. Namun sejak dua tahun terakhir hal itu terasa sulit. Alif kadang sangat menuntut Bunga berkata jujur,namun Bunga selalu berusaha menghindar.

"Ibu, apa ayah Alif udah nggak ada?"

Seperti sekarang.

"Ayah kamu masih ada nak, sudah berapa kali ibu bilang jangan bilang seperti itu."

"Telus sekalang ayah dimana bu? Alif mau tahu."

Bunga memijit pelipisnya, lalu duduk disamping ananknya yang hanya memainkan gamenya tanpa menyalaannya dengan wajah sedih.

"Ayah sedang ada disuatu tempat, tunggu dua tahun lagi InsyaAllah ayah pasti nemuin Alif."

Cuma ini yang bisa Bunga katakan kepada anaknya. ia masih belum sanggup mengatakan semuanya. Anaknya masih kecil untuk mengerti semuanya.

"Dua tahun masih lama bu..., Alif pengen kayak temen-temen Alif bisa mancing baleng sama ayah mereka bu. Alif mau naik motol baleng ayah, Alif-"

Bunga langsung memeluk anaknya. Bunga menangis, dia nggak sanggup melihat anaknya begitu menginginkan hal-hal sederhana itu. "Maaf ibu belum bisa membawanya."

Alif melepas pelukan Bunga, anak itu menatap ibunya khawatir. "Jangan nangis, maaf Alif nggak minta ketemu ayah lagi tapi ibu jangan nangis." ucapnya seraya menghapus air mata ibunya.

Kali ini Bunga memang tak sanggup menahan air matanya. Dia sangat tahu betul kesabaran anaknya untuk tidak merengek bertemu ayahnya. Anak itu cuma sesekali saja bertanya dan selalu Bunga mengalihkan pembicaraan mereka. Anak itu pun tak pernah marah walau sejak 2 tahun ini anak itu mengerti kalau ibunya tak mau menjawab soal keberadaan ayahnya.

Bukannya tangis itu mereda bunga makin menangis kencang. Biarlah orang bilang dirinya cengeng dan lemah. Tapi kenyataannya hati seorang ibu pastilah lemah jika melihat anaknya yang bersedih. Bunga akan melepas semua egonya asal anaknya bahagia.

"Ibu janji dua tahun lagi Alif pasti ketemu ayah." Ucapnya seraya kembali memeluk anaknya.

Alif memabalas pelukan ibunya. "Alif sayang ibu. Maaf, Alif nggak akan nanya-nanya lagi, tapi ibu nggak boleh nangis." katanya tulus.

Bunga cuma sanggup mengangguk sekarang.

***

"Om, Eh! maksudku kak Priko kok bisa ngajakin kak Zu nikah?" Bunga berbisik penasaran.

Setelah perbincangan empat mata tadi secara mengejutkan Priko dan Zu mengumumkan berita bahagia mereka. Priko tersenyum penuh keberhasilan "Rahasia." ucap Priko usil.

Bunga mencebik tak suka dengan jawaban Priko. "Ih! main rahasia-rahasian nih!" Protes.

Priko terkekeh.

"Hm... kak, Bunga boleh tanya sesuatu?" tanya Bunga.

"Tanyain aja, pakek izin segala." kata pria itu santai.

"Gimana keadaannya disana? apa dia baik-baik saja?"

Priko memicingkan matanya.

Bunga mnyadari tatapan curiga Priko. Dia jelas langsung salah tingkah. "A-aku cuma tanya buat memastikan saja, ayah anakku baik-baik saja. Udah deh jangan liat Bunga kayak gitu." Bunga membuang muka, entah kenapa.

Priko lalu ber-oh ria. "Dia baik-baik saja, kalau kamu penasaran kakak bisa mengantarkanmu menemuinya." jawabnya singkat.

"Hah? nggak perlu Bunga masih sibuk ngurusi kuliah Bunga." ucapnya.

Priko terkekeh melihat sikap Bunga yang terlihat salah tingkah. "Atau kakak bawa Alif nemuin dia."

"Hah?! jangan, belum saatnya kak."

"Dua tahun lagi?"

Bunga menganguk, "Bunga udah janji, pada Alif dua tahun lagi dia boleh ketemu ayahnya."

"Syukurlah, kalau kamu udah ngijinin dia ketemu ayahnya. Terima kasih."

"Apaan sih kak, ini udah hak Alif bertemu dengan ayah kandungnya. Sebenci-bencinya Bunga, Bunga lebih senang ngeliat Alif bahagia kak." ucap Bunga.

Priko tersenyum. "Alif beruntung memiliki kamu Nga."

"Bunga yang beruntung punya Alif disamping Bunga."

Keduanya tertawa.

"Yaudah Bunga mau ngajar dulu, Assalamualaikum." pamitnya

"Waalaikumsalam." balas Priko.

Seorang ibu pasti akan memberikan apapun untuk kebahagian anaknya. Walau hal itu menyaiti hatinya.

***

Semuanya terlihat sibuk di sana. Bunga pun juga ikut sibuk membantu segala perlengkapan acara besar untuk kakak tercintanya. Ummi sibuk melayani setiap tamu yang terus berdatangan. Kerabat Ummi dan Abah memang sangat banyak. Zu sedang sibuk menerima telepon dari seseorang.

"Ya Allah! Priko, kakakku itu wajahnya tirus, matanya teduh, terus dia pasti pakai baju koko. Pokonya sekali liat, kamu bakal mikir dia itu kayak ustmud!" teriaknya kesal.

"Ustmud? itu apanya bi mumud? Saudaranya?" tanyanya jail.

Zu memutar bola matanya. "Usmud! Ustadz Muda! Argh! Untung kamu nggak disini! kalau disini udah aku gigit kamu Prik!" katanya jengkel.

Terdengar suara kekehan dari seberang. "Oo ... tapi mau dong digigit ...." ujarnya genit.

"Priko!! Argh!" teriaknya kesal lalu langsung menutup sambungan telepon sepihak.

Bunga terkekeh melihat Zu yang selalu kayak orang kebakaran jenggot. Priko seneng banget mengusili Zu.

"Onok opo maneh toh, kak?(ada apa lagi kak?)" tanya Bunga seraya duduk di samping Zu.

Zu mendengus. "Seperti biasa."

Bunga kembali terkekeh. "Wong, mau nikah kok ribut mulu sih, kak. Yoh, seng sabar toh." celetuk Bunga.

Zu memutar bola matanya dan menatap ke langit kamarnya. "Udah sabar banget kali, Nga."

Dia kelihatan lelah.

"Lah, coba fikir, aku udah ngasih foto Kak Zaki yang empat tahun lalu. Eh, dia malah bilang takut nggak miriplah, salah orang-lah, terus buat apa dia nulis nama lengkap Kak Zaki di papan segede kardus mie?!" Cerocosnya kesal.

"Paling dia kangen Kak Zu, udah seminggu toh, kalian nggak ketemu." simpulnya.

"Aku juga kangen, tapi nggak gitu juga kali, lagian dipingit itu bagian dari tradisi. Yah, harusnya dia bisa bersabarlah." kata Zu masih merengut kesal.

Bunga cekikikan mendengar ucapan Zu. "Mana bisa sabar dia kak, sehari nggak ngusilin kak Zu, dia pasti kayak cacing kepanasan." cibir Bunga.

Zu akhirnya ikut terkekeh geli. "Cacing kepanasan masih lebih baik, dia dua ribu kali lebih parah." katanya seraya tertawa.

Bunga pun ikut tergelak.

Brak!

Tiba-tiba pintu kamar Zu terbuka. Seorang gadis kecil dengan seragam SMA yang berantakan, terlihat ngos-ngosan.

Zu dan Bunga menatap gadis itu keheranan.

"Bu Zu, hah ... hah ..., Kak Zaki ... udah balik?" tanyanya masih sambil mengatur nafas.

Belum juga Zu mempersilahkannya masuk, gadis remaja itu langsung masuk dan tanpa izin langsung meminum sisa teh milik Zu.

Zu hanya berdecak kesal. Sedangkan Bunga tertawa melihat kelakuan salah satu muridnya itu.

"Zainab, Ibu selalu ngajarin kamu sopan santun dan sekarang kamu melupakan semuanya, cuma gara-gara Kak Zaki?" cerocos Zu ketus namun tetap menahan amarah.

Zainab hanya memarkan senyum kudanya tak sampai 3 detik, lalu dia kembali bersikap datar.

"Maaf. Terus jam berapa Kak Zaki nyampek?" tanyanya.

Zu memang harus punya kesabaran ekstra menghadapi muridnya yang satu ini.

"Belum tahu. Om Priko masih di bandara nunggu dia." kata Zu mencoba terus sabar.

"Kok, Om Priko kagak ngajak Zainab sih!" teriaknya tiba-tiba.

Zu dan Bunga terperanjat.

Plakk!

Jitakan tepat di kepalanya mampu membuat Zainab mangadu kesakitan.

"Kalau bukan karena amanah Kak Zaki, aku yakin sekarang kau tak akan pernah berharap bertemu denganku!" omelnya ketus.

Zainab mencebik. "Maaf. Tapi Zainab udah lama pengen ketemu Kak Zaki ...." Ucapnya dengan nada sedih namun wajah datar.

"Sudahlah Kak, lagian dia masih remaja." kata Bunga lembut.

Zu menatap Zainab sinis. "Tuh anak udah SMA kelas 1 Nga, tapi tengilnya kayak bocah! udah sana, entar kalau datang biar Bunga yang ngasih tahu. Sekarang pergi sana, aku udah pusing sama Priko jadi jangan nambah kamu yang bikin aku puyeng." Zu mengibaskan tangannya tanda mengusir.

Zainab melangkah seraya menghentak-hentakkan kakinya. "Bu Zu," Panggil Zainab sebelum pergi.

"Apa lagi?!" sahut Zu ketus.

"Bu Zu emang mirip ... macan betina tua." ejeknya santai seraya memeletkan lidahnya.

Sontak Zu kembali murka, namun Zainab langsung berlari dengan kecepatan penuh. Sedangkan Bunga langsung tergelak mendengar ejekan Zainab seraya memegang perutnya.

"Ini pasti ajaran Bara. Awas saja kalau ketemu, kujitak dia." gumamnya kesal.

*

"Adikku nggak menyulitkan Kakak 'kan?" Tanyanya sopan.

Priko tersenyum. "Ah, tidak ... malah aku yang suka merepotkannya." ucapnya seraya terkekeh. "Lagian jangan panggil aku kakak. Entar aku yang jadi adik iparmu. Yah ... walau umurku lebih tua tapi panggil saja Priko, itu lebih enak didengar." Jelasnya.

Pria alim yang tak lain Kakak Zu-Zaki. Dia tersenyum ramah menanggapi ucapan Priko. Banyak hal yang mereka perbincangkan. Seperti biasa Priko sangat mudah akrab dengan siapapun bahkan orang yang baru dikenalnya.

Sepanjang perjalanan pulang keduanya bercengkrama dengan sangat akrab. Yah, walaupun Zaki lebih banyak menanggapi daripada bertanya. Berbanding terbalik dengan Priko yang sangat supel dan lebih banyak bertanya.

"Aku heran, kenapa kalian sangat berbeda. Bukan hanya jenis kelamin, pastinya. Kau tahu, kau lebih kalem daripada Zu." ucapnya seraya mengingat wajah gadisnya.

Zaki tergelak. "Entahlah, tapi Zu memang sedikit tomboy dan memang terkesan heboh." jelasnya.

"Sedikit?!" Priko memutar bola matanya. "Kalau Bara denger, ketomboy'an Zu dianggap sedikit. Dia pasti orang pertama yang protes." katanya seraya tertawa.

Zaki terkekeh. "Berarti dia belum kenal Zainab. Dia sepuluh kali lebih tengil dari Zu." sahutnya.

Priko mengerutkan kening. "Zainab? muridnya Zu yang super tengil itu?"

Zaki mengangguk.

"Wah, kalau dia jangan dibicarakan lagi. Aku rasa dia turunan Zu tapi dia berada dalam level tertinggi kalau masalah tengil." ucapnya.

"Kau kenal dia?"

"Yups, dia rekan terbaikku dalam mengusili Zu." katanya bangga.

Zaki tergelak. "Aku bisa ngebayangin betapa kesalnya Zu menghadapinya."

"Dia sangat kesal." Priko tertawa membayangkan segala keusilannya bersama Zainab saat membuat Zu merah padam karena kesal.

***

"Alhamdulillah..." pria itu tersenyum sangat sumringah.

"Kamu bahagia sekali hari ini."

"yah sangat." jawabnya membenarkan.

Seorang laki-laki berjenggot dengan peci putih datang membawa peralatan bersih-bersih. Kegiatan rutin mereka di dalam tahanan.

"Alhamdulillah, saudara kita ini dapat izin keluar lapas selama lima jam besok buat hadir diacara nikahan saudaranya. Dan ini kesempatannya menemui anaknya, bukan begitu Jun." kata pri berjenggot itu seraya membagikan perakatan bersih-bersih mereka.

Pria yang dipanggil Jun itu tersenyum seraya mengangguk, semua temannya menyahuti dengan mengucapkan kalimat hamdalah secara besamaan. Bukan rahasia lagi betapa rindunya pria itu untuk bertemu dengan anaknya, dan sekali lagi menguapkan kata maaf kepada ibu yang membesarkan anaknya. Ini semua berkat keponakan dan sahabatnya yang mau mengajukan surat izin dan menjadikan diri mereka sebagai jaminan.

Pria itu tersenyum seraya merogoh kantongnya dan melihat foto yang diberikan sahabatnya dua tahun yang lalu. Foto anaknya yangberpakaian baju sekolah SD untuk pertama kalinya.

"Alif sangat mirip denganmu Jun."

"Yah dia anakku." ucapanya bangga.

***

Assalamualaikum ^^

Terima kasih atas kesabarannya, maaf banget baru bisa update, maklum waktunya ini saya selip-selipin hehe

Makasih buat yang udah komen maaf belum bisa bales satu-satu. Tapi selalu aku tunggu koreksi, serta kritikannya ^^

sekali lagi makasih!!

Bantai!!! hehe

Seguir leyendo

También te gustarán

My sekretaris (21+) Por L

Ficción General

319K 3.2K 22
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
5.8M 281K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
718K 4.6K 15
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
578K 101K 53
Uang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjua...