No Place Like Home

By kinky_geek

1.8M 80.3K 16.3K

[Sudah terbit] [SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS] Pemenang Wattys Award 2016 kategori "CERITA SOSIAL" "I just wann... More

PROLOG
Masa Orientasi Hidup
Ekstrakurikuler
Adaptasi
Tugas
Pubertas
Sakit
Ekstra Part - Promnite
polling cover
FYI
Pre-Order NPLH
Make a Trailer!
update nama pemesan

Pelajaran

71.6K 7.8K 1.1K
By kinky_geek

Setelah insiden subuh tadi, Ganda mengira pagi ini suasana akan tegang. Jadi dia sedikit heran bercampur lega saat melihat papa dan mama tirinya masih berangkulan di meja makan. Tangan Jess memeluk lengan kiri Gio sementara lelaki itu sarapan.

"Kamu tuh udah tahu bakal nyesel sendiri tiap habis ngomong asal, coba kata 'bego' itu diganti sama 'ganteng' gitu. Jadi tiap mau marah ke aku, yang keluar jadinya enak."

"Orang emosi manalah bisa muji-muji kamu," omel Jess.

"Kan biar nggak nyesel. Daripada ngomong, 'bego banget sih kamu', kan enakan bilang, 'ganteng banget sih kamu', gitu..."

Jess tidak menanggapi, memilih membenamkan wajahnya di lengan Gio. "Maaf... aku yang bego."

"Tuh, kan, disebut lagi. Ya jadi mode automatic lama-lama," balas Gio. "Nggak akan aku nikahin kalau kamu bego. Nanti anak-anakku ketularan."

Jess mencubit pinggang Gio, membuat lelaki itu tertawa pelan.

"Sakha disusuin langsung aja. Itu kan udah aku cicip, kayaknya aman," Gio menyeringai, membuat Jess berdecak. "Nanti ASIP-nya aku bantuin perah juga biar banyak."

Ganda, yang sedang menyusup ke dapur untuk mengambil susu, otomatis batuk mendengar ucapan itu.

Kedua orangtua yang kadang tidak bertingkah sesuai umur itu pun segera memisahkan diri saat melihat Ganda. Jess menegakkan posisi duduknya dan melepaskan pelukan pada lengan Gio dengan wajah memerah.

"Kamu sih, ngomong suka asal," omel Jess.

"Sweetpea, kalau kamu lupa, kita ini jodoh," balas Gio, santai.

Jess mendelik, lalu berpaling pada Ganda. "Sarapan, A," ajaknya.

Ganda menurut, menarik kursi makan di depan Jess, lalu mulai sarapan tanpa suara. Gio mengajaknya mengobrol, tapi hanya ditanggapi seadanya.

Selesai sarapan, ayah-anak itu pamit. Ganda sempat melihat Gio mengecup dahi dan bibir Jess sekilas.

Gio berpaling pada Ganda yang sudah akan mengeluarkan sepedanya. "Papa antar. Sepeda kamu taruh bagasi. Nanti turunin."

Ganda menurut. Dia melipat sepedanya, lalu memasukkannya ke bagasi. Setelah itu, dia naik ke bangku penumpang di sebelah Gio.

"Nggak usah dimasukin ke hati," ucap Gio, saat mobilnya melaju perlahan meninggalkan rumah.

"Papa tahu, kan, itu aku yang nggak tutup rapat?"

Gio mengangguk.

"Aku mau bilang ke Mama Jess."

"Jangan sekarang," gumam Gio. "Mama kamu itu lagi pusing. Sakha diare, kayaknya Mama Jess salah makan atau apalah. Makanya dia marah banget simpanan ASIP-nya rusak. Sakha lagi nggak bisa disusuin langsung."

Ganda diam.

"Terus semalam Icha juga batuk. Makin stres dia."

Ganda makin bungkam.

"Pokoknya jangan disinggung dulu masalah subuh tadi itu. Nanti aja, tunggu situasinya enak. Udah kejadian juga, nggak bisa diapa-apain lagi." Gio mengacak rambut Ganda. "Inget aja buat lebih hati-hati."

Ganda mengangguk.

"Mama Jess emang gampang meledak kalau lagi marah. Tapi nggak lama kok marahnya. Besoknya juga udah normal." Gio menghentikan mobilnya di depan gerbang utama sekolah Ganda. "Itu enaknya. Langsung dikeluarin, selesai. Nggak dipendam dan berlarut. Nggak enaknya ya omongan yang keluar nggak disaring."

Ganda diam sejenak, melepas seatbelt-nya. "Papa sayang banget ya sama Mama Jess."

Gio hanya menjawab dengan senyum tipis.

"Kalau Mama yang ngomong bego ke Papa Dhimas, nggak akan langsung sayang-sayangan paginya."

Sebelum Gio menanggapi, Ganda sudah membuka pintu mobil dan melompat turun.

**

Jam istirahat, Ganda menolak ajakan Nadya ke kantin, memilih duduk di balkon kelas, menatap lapangan di bawahnya. Pikirannya makin penuh dan semerawut. Padahal usianya baru lima belas tahun. Seharusnya ini adalah masa di mana dia bisa menikmati hidup, kan?

Ganda mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasis chat. Dia mengirim satu chat singkat.

Me: Ma...

Balasannya muncul dalam beberapa detik.

Mama: kenapa, A?

Ganda diam sebentar, lalu mengetik lagi.

mau pul|

Dia menghela napas, memutuskan untuk mengirim isi chat yang berbeda dari niat semula.

Me: mau pulsa

Mama: ck. Kirain ada apa. Iya, nanti Mama isiin. Ini masih ada pasien.

Me: oke

Mama: sekolahnya yg bener ya. Awas kalau nilai semester kamu rendah. Mama masukin pesantren.

Me: 😝

Tara tidak membalas lagi. Ganda menyimpan kembali ponselnya ke saku, lalu menyandarkan punggungnya di pembatas balkon, ganti menghadap ke ruang kelas. Dia menunduk, menatap jemarinya yang bertaut.

"Kenapa sih jadi suka bahas itu sekarang? Nanti Ganda denger!"

"Dia bukan lagi anak-anak, Tara. Emang udah seharusnya tahu posisi dia."

"Dong... Dong... Dongo..."

Lamunan Ganda buyar oleh teguran itu. Dia mendongak, melihat Nadya duduk di sampingnya, menyodorkan bungkusan chips. Ganda menggeleng, kembali memutar tubuh menghadap lapangan.

"Mikirin apa sih? Gue, ya? Gue nggak ke mana-mana kok. Cuma ke kantin."

Ganda tidak menanggapi, memilih mengabaikan. Suasana hatinya sedang tidak terlalu bagus.

Nadya terus mengoceh tidak jelas, tentang apa yang dia makan di kantin, ada kejadian apa di sana, sama sekali tidak penting.

Ganda berdiri, berniat pergi dari sana. Nadya lebih dulu mencekal tangannya.

"Mau ke mana?"

"Toilet. Ikut?"

Menyadari suasana hati Ganda sedang tidak seperti biasa, Nadya langsung melepaskan cekalannya dan membiarkan Ganda menjauh. Cowok itu sering asal ceplos, tapi tidak pernah sekaku barusan. Nyaris dingin, malah. Biasanya Ganda cuek, tak acuh. Tapi tidak seperti sekarang.

Ganda baru muncul lagi saat bel masuk berbunyi. Dia langsung duduk, tanpa melirik Nadya sama sekali. Itu sedikit membuat Nadya cemas. Berpikir apa dia sudah berbuat salah pada Ganda?

"Gan..." tegur Nadya.

Ganda tidak menanggapi.

Nadya menjawil pipinya dari belakang, yang hanya ditepis oleh cowok itu.

"Ganda... ih kok gitu sih. Gue bikin salah ya?"

Ganda masih mengabaikannya.

"Gan..."

"Bisa diem nggak?" Ganda berbalik, melempar tatapan datarnya ke Nadya.

"Gue nanya kali. Nyebelin banget sih lo."

"Lo yang nyebelin," balas Ganda.

Nadya terperangah. Pertama, oleh nada membentak Ganda. Kedua, karena cowok itu menggunakan "lo", bukan "kamu".

Ketika Nadya diam, Ganda kembali menghadap ke depan. Selama sisa hari itu, mereka benar-benar tidak lagi saling sapa. Saat jam pulang, Nadya juga tidak repot menunggu Ganda, memilih jalan keluar kelas lebih dulu. Ganda sendiri tidak ambil pusing. Kepalanya sudah cukup penuh tanpa harus ditambah urusan dengan gadis itu.

"Eh, bocah!"

Kegiatan Ganda membuka gembok sepedanya terhenti, ganti menatap gerombolan kakak kelas yang kemarin menabraknya. Kali ini mereka sudah berada di tempat yang sama sebelum Ganda di sana.

"Sini lo!"

Ganda tahu seharusnya dia mengabaikan mereka dan pulang. Tapi, dia malah melangkah mendekat.

Salah seorang dari kakak kelas itu menyodorkan uang seratus ribuan padanya. "Beliin rokok di depan." Dia menyebutkan mereknya. "Dua bungkus. Kembaliannya buat lo kalau ada. Kalau kurang, ya lo tambahin. Cepet! Sepuluh menit nggak balik, gue preteli sepeda lo!"

Ganda menurut. Dia membelikan dua rokok untuk gerombolan itu, kembali kurang dari sepuluh menit, lalu pulang dengan sepedanya yang masih utuh, syukurlah.

Keadaan kacau di rumah menyambut Ganda saat dia melangkah masuk. Navisha sedang menangis di ruang tengah, sambil sesekali batuk, sementara Bi Sri, PRT di rumah, berusaha membujuknya minum obat. Saat melangkah lebih ke dalam, Ganda melihat Jess duduk di meja bar, menggendong Sakha yang juga terlihat rewel, sambil menelepon.

"Ya, izin apa gimana gitu, Gi... masa Rania atau Rian nggak bisa bantu? Icha nggak mau sama Bibi. Sakha langsung nangis tiap aku taruh di boks-nya. Aku nggak bisa sendirian pas dua-duanya lagi rewel gini..."

Ganda melihat mama tirinya itu mengusap pipi sambil terus berbicara. Dia beranjak menghampiri Navisha, meletakkan ranselnya di sofa.

"Icha... minum obat sama Aa mau?"

Navisha menggeleng. "Payit..."

"Nggak. Ini manis obatnya. Rasa permen." Ganda mengambil sirup obat batuk dari tangan Bi Sri. "Coba dikit?"

Navisha menggeleng lebih kuat dan kembali terbatuk, mulai menangis, memanggil mamanya. Ganda mengembalikan obat pada Bi Sri, lalu menggendong Navisha.

"Ya udah, nggak usah minum obat. Biar aja ya tenggorokannya sakit?"

"Ga mo atit..." isak Navisha.

"Ya, Icha nggak mau minum obat, berarti maunya sakit, nggak mau sembuh." Ganda mengusap pipi Navisha. "Sakit kan tenggorokannya?" Dia ganti mengusap leher anak itu.

Navisha mengangguk.

"Itu sakitnya bisa hilang kalau Icha minum obat. Kalau nggak, ya sakit terus. Mau nggak sakit terus?"

Gelengan lagi.

"Jadi, mau minum obat?"

"Bau...."

Ganda mendudukan Navisha di sofa. "Tutup hidungnya..." Dia meminta Bi Sri menuang sirup obat itu ke sendok takaran, lalu mengambilnya. Ganda bantu menutup hidung Navisha, sementara anak itu membuka mulut untuk menerima obatnya.

"Mo susu..."

"Susunya nanti, air putih dulu." Ganda memegangi gelas air putih sementara Navisha meminumnya. Begitu selesai, Ganda mengacak rambut anak itu. "Pinter..." pujinya.

Navisha mengecap sisa rasa obat di mulutnya, mengernyit, lalu mengulurkan kedua tangannya pada Ganda, isyarat meminta digendong. Ganda kembali menggendongnya.

Tak lama, efek obat pun bekerja. Navisha terlihat mengantuk, lalu terlelap. Ganda beranjak ke kamar utama, menidurkan Navisha di tengah ranjangnya. Saat akan meninggalkan kamar, dia berpapasan dengan Jess. Penampilan mama tirinya itu terlihat berantakan. Wajah dan matanya memerah.

"Makasih banget..." ucap Jess. "Makasih..."

Ganda mengangguk. Dia hanya mempraktekan cara yang dulu sering dilakukan mamanya setiap kali dia sakit dan menolak minum obat. Ternyata cara itu bukan hanya ampuh untuknya.

Jess ikut keluar kamar, membiarkan Navisha tidur, masih sambil menggendong Sakha yang juga tertidur.

"Sakha masih diare?" tanya Ganda.

"Udah nggak. Cuma panasnya aja masih dikit. Udah ke dokter juga tadi, sekalian periksa Icha," ucap Jess. "Kamu udah makan?"

Ganda menggeleng.

"Ganti baju dulu, terus makan. Mama nggak sempet masak, jadi Bibi yang masak. Ada ayam goreng sama sup."

Ganda menurut. Dia menyambar ranselnya, sudah akan beranjak ke kamar, namun berhenti.

"Ma..."

Jess menoleh.

"Maaf... aku yang kasih Icha es krim semalam. Dia minta..."

Jess menghela napas. "Iya, Icha bilang dikasih es krim sama Aa. Nggak salah kamu. Ekspresinya Icha emang ngikutin papa kalian. Pinter manipulasi."

Di situasi normal, Ganda bisa tersenyum mendengar ucapan itu. Namun, pengakuannya belum selesai.

"Aku juga yang nggak tutup rapat pintu kulkas pas habis ngecek es krim buat Icha. Bukan Papa..."

Kali itu, Jess diam sedikit lebih lama. Kemudian, dia menatap Ganda. "Kalau emang papa kamu yang ngelakuin, Mama nggak perlu sampai nanya dua kali, dia pasti langsung ngaku." Jess mengusap pelan kepala Sakha di gendongannya. "Mama juga tahu itu. Mama pikir kamu nggak akan ngaku."

"Maaf..." ucap Ganda lagi.

"Ya udah, udah kejadian. Lain kali tolong lebih hati-hati. Mama hargai kamu mau ngaku," ucap Jess. "Itu juga bukti lain kalau kamu emang anak papa kamu. Bukan pengecut."

Ganda merasakan pipinya menghangat, lalu buru-buru berbalik untuk ke kamarnya. Dia sengaja berganti pakaian lebih lama, sebelum kembali turun untuk makan siang.

**

Nadya melirik cokelat yang disodorkan Ganda padanya, lalu beralih menatap si pemberi. "Apaan? Racun lagi?"

"Bukan. Cokelat," jawab Ganda. "Maaf kemarin bentak kamu."

Nadya mengambil cokelat itu, tapi masih dengan wajah cemberut. "Kenapa sih lo kemarin?"

"PMS."

Setelah menjawab itu, Ganda duduk di bangkunya, sementara Nadya mendengus.

"Gue baru tahu lo hermaprodit." Nadya mulai membuka bungkus cokelatnya.

"Cewek aja bisa PMS seumur hidup."

"Dih, sok pengalaman sama cewek."

Ganda tidak menanggapi, memilih mengeluarkan buku pelajaran pertama dari dalam tas dan mulai membuka-bukanya.

Guru pelajaran pertama, Sosiologi, melangkah masuk. Sama seperti yang dilakukan guru-guru di hari sebelumnya, Pak Kholid juga mengawali kelas dengan mengabsen.

"Bapak ingin kalian berpasang-pasangan, membentuk kelompok, yang nanti akan menjadi tugas di akhir semester."

"Gue sama lo!" ujar Nadya, cepat, yang ditanggapi Ganda dengan dehaman.

"Sekretaris Kelas, tolong ditulis nama-nama anggota kelompoknya. Ini ada satu kelompok yang bertiga, ya. Tidak apa-apa." Pak Kholid berdiri, mulai menulis di whiteboard. "Sosiologi itu singkatnya adalah ilmu yang mempelajari tentang prilaku masyarakat. Tugas kalian, meneliti suatu kelompok masyarakat dan menuliskan setiap hal yang berkaitan dengan masyarakat itu sesuai dengan tema yang dibahas tiap minggu."

Beliau menatap penjuru kelas. "Siapa yang tahu pengertian dari masyarakat?"

Beberapa siswa mengangkat tangannya, termasuk Nadya dan Ganda. Pak Kholid menunjuk salah satu siswa, yang memberikan jawaban sesuai dengan yang ada di buku cetak, membuat guru paruh baya itu cukup senang. Pertemuan itu ditutup dengan tugas pertama untuk kelompok, menentukan masyarakat yang akan menjadi objek tugas mereka dan melihat apakah sudah sesuai dengan syarat terbentuknya masyarakat seperti yang baru saja mereka bahas.

Begitu Pak Kholid meninggalkan kelas, Nadya menepuk bahu Ganda.

"Kita mau ke masyarakat mana?"

"Enaknya ke mana?"

"Menurut gue mending kelompok kecil. Jangan langsung ambil sampel luas, kayak orang-orang yang tinggal satu komplek gitu."

"Komplek rumahmu?"

Nadya menggeleng. "Susah. Orang-orangnya jarang kelihatan."

"Komplek rumahku, tapi aku belum terlalu kenal," gumam Ganda.

"Ya kali mau ke Bandung biar lo kenal," balas Nadya. "Nggak apa-apa ke rumah lo. Nanti bisa kenalan."

"Oke," ujar Ganda. "Sabtu atau Minggu?"

"Sabtu aja, habis ekskul."

Ganda mengangguk sepakat.

"Terus malam mingguan deh," lanjut Nadya, tertawa puas.

Ganda tidak menanggapi, memilih kembali memutar tubuhnya menghadap ke depan.

**

masih berlanjut...

Happy weekend!

Ini buat jaga-jaga kalau Senin besok ga bisa/telat update. wkwk

Kejauhan banget ya Senin & Kamis. Enaknya hari apa? Jumat & Minggu? Tapi dari hari Minggu mau ke Jumat malah lebih lama. Wkwkwkwk

Kalau bisa 3x seminggu diusahain 3x seminggu. Tapi buat sekarang ga mau memberi harapan. Jadi tetep 2x seminggu dulu yg (insyaallah) pastinya yaaawww~

Makasih banyak buat yang masih ngikutin 😙😙😙

xoxo

Kg_

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 477 39
Teman-teman sekelasnya mengharapkan senior year SMA mereka begitu meriah, penuh kejutan, kesenangan, dan tentu saja romansa. Lain halnya dengan Xaqi...
1.9M 94.2K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Kita emang nggak pernah kenal, tapi kehidupan yang Lo kasih ke gue sangat berarti neyra Gea denandra ' ~zea~ _____________...
5K 704 40
⭐ Follow sebelum membaca ⭐ Setelah terlibat kasus besar yang menghancurkan kariernya sebagai aktor dan penyanyi, Ihatra Kama melarikan diri ke sebuah...
22K 1.3K 37
vote ★ JenLim story ♪♪♪