The Bridesmaids Tale #2: Port...

By Kaleela

411K 42.7K 2.5K

Bagi seorang Kaia Prisha Nindita menjadi incaran para lelaki sudah menjadi bagian dari hidupnya. Setidaknya s... More

Sinopsis
Prolog
1. Kamu Tahu Hubunganmu Harus Berakhir Ketika...
2. Agen Mata-Mata Penjaga Balita yang Cantik
3. Kebetulan yang Berkepanjangan
4. Telepon Aku
5. Lebih Dekat Denganmu
6. Percakapan tentang Aku, Kamu, dan Kita
7. Perdebatan
8. Kenangan
10. Semanis Latte Buatannya
Selingan: The Bridesmaids Tale #1 on Bookstore

9. Give Love a Try

27.3K 3.5K 291
By Kaleela

Aku memperhatikan Alana yang tengah memotong-motong kertas di tangannya.

"Ngapain sih, lo, Lan? Kayak anak TK, deh!" Aku merebut kertas di tangan Lana dan memperhatikan pola-pola yang dibentuknya. Wajahku mengernyit heran memandang pola abstrak di atas kertas. "Ini apa, sih?" tanyaku tak mengerti.

Alana cuma terkekeh dan merebut kembali kertas miliknya. "Nggak apa-apa. Cuma iseng."

Aku melirik Audi yang kini juga tengah balas melirikku. "Dasar Alana freak!" seru kami bersamaan.

"Berisik lo semua." Wajah Lana mencebik, namun ia kembali asyik dengan mainannya. "Ini tuh terapi penghilang stres, tahu!"

Aku dan Audi sama-sama melengos malas mendengar ungkapan Lana.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku dan baru sadar bahwa hari ini tanggal 28. Aku mencolek Audi yang tengah sibuk dengan ponselnya dan menunjukkan tanggalan di jamku kepadanya. Ia pun menatapku dengan mata melebar, seakan gadis itu telah melupakan sesuatu.

Mata kami sama-sama memicing. Lalu, kami pun mengangguk bersamaan dan mulai sibuk kembali dengan ponsel kami masing-masing.

Alana--setelah selesai berkutat dengan mainannya--menatap kami bingung campur bosan. "Elo berdua lagi berantem, ya?"

Aku tertawa dalam hati. Sepertinya, Lana pun tidak mengingat tanggal penting ini.

Aku dan Audi sama-sama memilih mengabaikan pertanyaan Alana.

"Kalian kenapa, sih? Berantem karena apa? Jangan kayak anak kecil, dong, diem-dieman gitu. Hey...."

"Pasti masalah Gema, ya? atau masalah Rezka? Atau karena gue? Bilang, dong...."

"Kita udah jarang banget ketemu, loh. Masa giliran ketemu malah berantem, sih?" omel Lana lagi dan lagi.

Aku dan Audi pun merasa semakin gerah dan tak tahan lagi untuk membongkar sandiwara kami. Pada akhirnya, kami pun menaruh ponsel kami ke dalam tas, lalu, berseru kencang tepat di hadapan Lana di tengah-tengah suasana sepi apartement Audi.

"SELAMAT HARI KACANG ALAAANAAA!!!"

Alana pun terdiam. Ia memutar bola matanya tampak mencoba untuk mengingat-ingat tanggalan hari ini. Setelah ia tersadar, ia pun kembali menatap kami.

"Damn. I Hate you both," ucapnya dengan nada datar. "Kapan sih kalian bosan mainin lawakan zaman kita SMA itu??!!"

Derai tawaku dan Audi pun memenuhi ruangan.

Setelah tawa kami mereda, si Alana itu, dengan niat balas dendamnya, bertanya dengan begitu bersemangat kepadaku.

"Jadi, Kay, kapan lo mau ngenalin Rezka ke kita-kita?"

Mulutku sudah hampir terbuka untuk menjawab, namun tertutup kembali ketika mengingat obrolan terakhir kami akhir pekan kemarin.

"Nanti, ya. Gue masih butuh waktu buat naklukin dia," kataku dengan sisa rasa percaya diri yang hampir pupus.

Dan kalau boleh jujur, mengingat obrolan kami terakhir kali, keinginanku untuk menarik keputusanku mengenal Rezka lebih jauh semakin hari semakin kuat, sebelum aku terjatuh dan Rezka mungkin tidak akan mengulurkan tangannya untuk menggapaiku.

****

Aku suka berjalan-jalan sendiri. Menyusuri pertokoan di dalam mall, menghabiskan waktu berbelanja. Kalau Alana memilih memotong-motong pola berbentuk abstrak untuk melepaskan penat dan rasa stres, aku lebih memilih membeli satu-dua potong pakaian baru demi mengembalikan suasana baik hatiku. Akan lebih menyenangkan lagi apabila sedang ada acara cuci gudang ataupun Bazar.

Aku senang memiliki pakaian baru. Bukan karena sifat konsumtif yang berlebihan, tapi lebih karena ketika aku mengenakan pakaian baru, aku merasa menjadi sosok Kaia yang baru, sosok Kaia yang lebih baik. Ya, cuma sugesti, sih, tapi efektif membuatku merasa lebih baik.

Semua itu tak lepas dari masa laluku. Setiap kali aku mengingat peristiwa kelam itu, aku merasa masih ada jejak-jejak menjijikan tertinggal dalam kenanganku. Setiap kali teringat akan hal itu pula aku langsung pergi ke kamar mandi dan membasuh tubuhku. Setelah itu, aku akan pergi ke butik untuk membeli pakaian baru. Dan ketika aku memakai pakaian baru, aku bisa sedikit tersenyum lega.

Tidak akan ada yang lihat. Tidak akan ada yang tahu, begitu aku selalu mengingatkan diriku sendiri.

Ya, di balik hobi berbelanjaku, ada kisah unik dan sedih terselip di sana. Miris, ya?

Bahkan menurutku, tanpa harus ditambah dengan kisah pahitku setelah mengenal lelaki bernama Rezka yang berprofesi sebagai seorang pelukis, aku sudah cukup mengasihani diriku sendiri.

Karena itulah aku selalu berusaha melayani diriku sebaik mungkin. Memuaskannya, menyenangkannya, caranya dengan berbelanja dan membiarkan para lelaki menatapku dengan tatapan kagum dan memuja. Benar atau salah, aku nggak peduli. Asal aku senang, bahagia, dan tak merugikan orang lain.

Aku mematut diriku lagi dan lagi di depan cermin. Kacamata, aksesoris, beberapa potong gaun santai, hampir seluruh isi butik kucoba. Alhasil, aku keluar dengan tiga buah kantung belanjaan sekaligus.

Lumayan, ada tambahan bonus dari Yosi.

Tapi tentu saja, harimu tidak akan sesempurna itu. Ada saja perusak acara manja-manjaku ini. Mungkin sebaiknya aku mulai memikirkan tempat belanja dan hangout baru yang sekiranya tidak akan didatangi oleh orang-orang yang tak ingin kutemui di tempat seperti ini. Darian, misalnya.

Lelaki itu lebih dulu menangkapku dengan seruan panggilannya sebelum aku sempat berbelok ke toko roti di sampingku. Pura-pura tak mendengar pun tak bisa. Pandangan kami terlanjur saling bertemu. Harusnya tadi aku putar balik saja.

Ketika sosok Darian kini berdiri di hadapanku dengan wajah semringah, aku pun memaksakan ekspresi yang sama.

"Hai, Darian," sapaku membalas seruan panggilannya tadi.

"Sendirian, Kay?"

Aku mengangguk seraya tersenyum enggan. Tanganku menggenggam kantung belanjaanku erat seaka tindakanku itu bisa membuat sosok Darian hilang dari hadapanku seketika.

"Gue juga sendirian. Sudah makan siang belum? Makan siang sama gue, yuk!" ajaknya bersemangat. Namun, tanpa mau repot-repot menunggu jawabanku, Darian langsung megambil alih kantung-kantung belanjaanku dan menarikku masuk ke restoran jepang yang letaknya tak begitu jauh dari posisi kami.

"Dar, gue kan belum bilang iya," keluhku namun tetap meraih menu makanan di hadapanku.

Sudah terlanjur nyemplung ke dalam jebakan Darian, mau bagaimana lagi? Kebetulan, aku juga lapar.

"Pokoknya, lo yang bayar. Gue nggak mau tahu," ujarku ngambek setengah aji mumpung.

Senyum Darian kembali mengembang. "Beres," ungkapnya senang dan ikut meraih buku menu di hadapannya. "Gue udah capek nyoba peruntungan gue buat ngajak elo makan bareng. Kalau gue nggak maksa kayak tadi, pasti kali ini gue nggak akan beruntung juga. Iya, kan, Kay?"

Aku menatap Darian serba salah, namun akhirnya tersenyum masam dan mengangguk. "Betul sekali."

Dairan tertawa sambil menggeleng. "Sudah lama gue mikir, tapi gue belum nemu alasan kenapa elo selalu menghindari gue, Kay. I'm into you. Gue yakin elo tahu itu, tapi elo nggak pernah ngasih gue kesempatan sedikit pun."

Aku terdiam mendengar pengakuan Darian. "Do we need to talk about this?" tanyaku memastikan apakah topik ini yang akan benar-benar kami angkat pada acara makan siang kami kali ini, atau mungkin kencan by accident.

Darian menatapku serius dan mengangguk. "Sebelum gue mati penasaran, jawabannya, ya."

Aku menarik napas panjang dan kembali mengamati buku menu di tanganku. "Then, this will be a long talk conversation dan kita butuh ekstra camilan."

Darian kembali tertawa kemudian memanggil pramusaji. Aku memesan sushi, gyoza, dan juga salad serta segelas ocha hangat sementara lelaki itu memesan sushi, salad, beberapa camilan lainnya, serta segelas ocha dingin.

Begitu pramusaji mengangkat buku menu dari meja kami, Darian tampak siap memulai bahan diskusi makan siang kami.

"Jadi, Kaia," ujarnya lalu berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya, "Pertanyaan pertama, kenapa lo selalu nolak setiap tawaran pergi sama gue? Elo ada masalah pribadi atau bagaimana?"

"Enggak. Sama sekali nggak. Cuma, gue malas aja berurusan sama bos lo yang posesif setengah mati dan cemburuan itu."

"Bu Verina?" ulang Darian memastikan.

Aku mengangguk. "She's really into you dan gue nggak mau jadi korban dampratan mautnya. Bukannya takut, sih. Gue malas aja ada gosip yang nggak-nggak tentang gue sama Bu Verina. Apalagi kalau masalahnya cuma gara-gara lo," kataku sambil lalu.

Bukannya tersinggung, Darian justru tertawa. "Jadi selama ini gara-gara itu?"

Aku mengangguk sekali lagi.

"Kalau misalnya, gue bukan sekretarisnya Bu Verina, lo mau jalan sama gue?"

Satu alisku naik, bola mataku berputar menunjukkan ekspresi berpikir. "Iya... mungkin."

Darian menganggut-anggut senang. "Berita baiknya, Kaia," ujar Darian dengan tenang, "mulai bulan depan gue akan segera dipindahkan ke bagian Marketing untuk jadi sekretaris Direktur Marketing, Pak Widi."

Dan aku menangkap sinyal yang kurang baik di sini. Aku buru-buru meminum ocha-ku begiut minumanku datang.

"Memangnya Bu Verina mau ngelepasin elo?" tanyaku sedikit penasaran dan heran bagaimana hal langka semacam ini bisa terjadi.

"Bisa, dong." Darian menatapku misterius, namun ia segera mengalihkan pembicaraan. "Jadi, kapan kita bisa mulai kencan, Kay?" tanya Darian santai yang hampir membuatku mengeluarkan ocha di dalam mulutku.

"Kapan-kapan," kataku asal lalu memilih menikmati makananku ketika pesanan kami datang satu per satu.

Seusainya kami menikmati makanan kami, aku dan Darian tak berlama-lama berdiam di dalam restoran. Kami memutuskan untuk segera pulang karena cuaca mendung, langit gelap, dan suara gemuruh mengganggu percakapan kami. Membuatku cemas lebih tepatnya.

Aku menarik tas tanganku lebih rapat memandangi badai di luar gedung. Beberapa pengunjung datang basah kuyup sambil melipat payung mereka. Bahkan payung saja tidak cukup membuatmu aman dari terpaan hujan badai sore ini.

"Lo bawa mobil?" tanya Darian.

Aku menggeleng tidak mengalihkan pandangan lesuku dari pemandangan di luar gedung.

"Mau gue antar?" tawar Darian.

Tak ada pilihan lain, aku pun menerima tawaran Darian meskipun sebenarnya aku enggan menungjukan di mana tempat tinggalku kepada lelaki itu.

Suara derasnya hujan mengalahkan sayup lagu RnB dari tape mobil Darian. Aku bersedekap sambil berkali-kali mendesah lelah melihat lampu-lampu mobil menyala merah tanda berhenti. Hampir setiap dua menit sekali begitu.

Darian mengalihkan pandangannya dari jalanan ke arahku. Ia mengulurkan tangannya, meraih sebuah jaket dan memberikannya kepadaku.

"Pakai ini aja kalau kedinginan, Kay."

Aku berterima kasih kepada Darian dan menerima jaket pinjamannya. Sedetik, dua detik, aku tersenyum. "Untung gue ketemu lo, ya. Kalau nggak, gue nggak tahu gimana nasib gue nyari taksi di pinggir jalan. Lihat nggak tadi antrian taksinya sudah kayak antri subsidi beras?"

Darian tertawa mendengar leluconku. "Jahat lo, Kay."

"Kok jahat?" tanyaku bingung.

"Iya jahat. Lo selalu nolak setiap kali gue ajak kencan, tapi di saat yang bersamaan juga lo bikin gue ngerasa makin yakin untuk terus ngejar lo sampai lo mau gue ajak kencan."

Aku melirik Darian malas mendengar gombalan murahannya. "Ye...,: ujarku sambil melengos. "Lo tahu nggak kenapa gue selalu nolak tawaran kencan lo?"

"Karena Bu Verina?"

"Ada lagi," ujarku yang disambut tatapan penasaran Darian. "Karena... gue bisa bedain mana cowok yang cuma mau ngajak gue kencan dan mana cowok yang beneran mau ngajak gue ke pelaminan."

Setelah itu, aku tertawa miris dan melemparkan kembali pandanganku keluar. Darian pun bungkam mulut pada akhirnya sampai mobilnya berhenti di depan gerbang rumahku satu jam kemudian. Beruntungnya hujan sudah mereda, jadi aku tak perlu merepotkan Darian memayungiku sampai masuk ke dalam rumah.

Begitu aku menutup pintu rumahku, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku.

Kaia, bisa kita bertemu?

begitu bunyinya dan kuabaikan.

****

Hujan turun hampir setiap hari sepanjang minggu dengan intensitas tinggi. Membuatku sering kali terjebak di kantor dan membiarkan Darian mencoba kembali peruntungannya lagi dan lagi. Tak jarang pula lelaki itu menghiburku dengan setiap usahanya. Mulai dari membawakan setangkai mawar, sebukat bunga matahari, bahkan sampai pot-pot tanaman cantik untuk menghias meja kerjaku. Darian juga sempat menawarkanku membuat rangkaian pohon dari cat kuku begitu mengetahui kecintaanku terhadap merias kuku.

Darian sayang, Darian malang. Atau mungkin, seharusnya aku memberikan kesempatan untuk Darian?

Aku menggeleng dan tersenyum geli memikirkan ide tersebut. Enggak, Kay. Daftar nama lelaki korban salah pengertian sikap lo sudah terlalu banyak. Begitu aku mengingatkan diriku sendiri.

Bahkan, setelah malam ini, setelah dengan baik hati dan tulusnya Darian mengantarku ke apartemen Audi aku masih belum benar-benar memberinya kesempatan untuk mengajakku kencan.

"Maaf, ya, Dar. Mungkin lain kali." adalah kalimat andalanku untuk menolak tawaran Darian yang dibalas senyum masam Darian.

"Gue akan coba lagi nanti, Kay."

Setelah berpamitan, aku masuk ke dalam gedung apartemen Audi dan mobil Darian pun melaju kembali.

Tanganku baru saja menekan rangkaian angka 10 sebelum masuk ke dalam lift ketika seseorang meminta tolong untuk menekan rangkaian angka 12 kepadaku.

"Tolong lantai dua belas."

Tapi ada yang salah dari suara orang itu. Kalau pun ada suara yang kukenal di sini, seharusnya suara itu menjadi milik Audi. Namun, suara Audi tak mungkin seberat ini, seserak ini, seseksi ini, walaupun dengan nada dingin bercampur sendu.

Suara Audi tak mungkin berubah jadi maskulin dalam waktu semalam--kami sempat mengobrol panjang di telepon tadi malam.

Aku berdiri mematung di tempatku. Merapatkan tasku ke bahu tanpa berniat menoleh. Aku memperhatikan ujung ankle strap merah marun-ku berlama-lama. Sebagian diriku ingin memutar tubuh dan memeluk lelaki itu, sebagian diriku yang lain menghinaku sebagai perempuan lemah jika aku melakukan hal itu untuk lelaki yang sama sekali tak bisa menghargai pekerjaanku seakan aku ini bekerja dengan menjual diri.

Aku menarik napas lemah. Sedih. Pada akhirnya, aku menyerah dan membiarkan lelaki di belakangku memutar tubuhku dengna satu tangannya.

"Kaia...."

Yang kudapati Rezka berdiri dengan kemeja merah marun berlapis sweater hitam. Lelaki itu membawa sebungkus besar benda yang kutebak adalah lukisan berlapis bungkus kertas coklat dalam dekapan tangannya.

Aku menarik napas sebelum memaksakan seulas senyum di wajah dan balas menyapanya. "Hai, Rez," kataku seraya melambaikan tanganku kepadanya seperti orang bodoh.

"Kamu kelihatan capek," ujarnya seraya menilai penampilanku.

Aku mengangguk. "Seperti kelihatannya. Kamu tinggal di sini?"

"Enggak. Cuma mau antar lukisan buat teman."

Aku pun menganggut-anggut lalu hening. Beberapa orang berbisik sinis ke arah kami karena menghalangi mereka meneka tombol lift. Aku pun menyingkir dan mennda niatku untuk menginap di apartemen Audi.

"Ya sudah... kamu naik aja, Rez. Aku mau nunggu temanku di sini."

Bersikap layaknya kami tidak pernah berbicara tentang perasaan kami rasanya seperti berpura-pura menahan sakit setelah terjepit daun pintu. Sakitnya minta ampun.

Kemudian aku mengangguk, memberikan sinyal bahwa aku membebaskan lelaki itu dari kejaranku, dan memilih duduk di lobi apartemen.

Rezka mengikutiku. Ia menaruh lukisan yang di bawanya di samping kursinya, lalu, menatapku saksama dan menautkan kedua tangannya.

"Kamu...," katanya sedikit ragu, "datang dengan siapa?"

"Di antar teman kantorku."

Rezka kembali menganggut-anggut. "Lain kali, kalau butuh tumpangan, kamu hubungin saya aja."

Aku tertawa masam mendengar perkataan Rezka. Merasa sedikit gerah di tengah suasana hujan deras di luar. Aku pun menyudahi acaraku menatap ojek payung yang lalu lalang di trotoar depan lalu menatap Rezka lekat.

"Terima kasih, Rez, tapi kamu nggak perlu repot-repot."

Rezka pun terdiam. Ia menunduk, memperhatikan rokku yang sedikit tertarik. Lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celananya, dan menutup bagian atas kakiku yang sedikit terbuka.

"Udaranya dingin. Kamu mau pinjam sweater saya?"

Sebenarnya, dalam hati aku ingin tertawa. Namun demi menjaga gengsi, aku pun menolak tawaran sweater Rezka dan membiarkan sapu tangannya menutupi sedikit pahaku.

"Kaia," panggilnya lagi.

"Iya?"

"Bukan saya yang ingin menilai dan menyamakan kamu seperti Calista, tapi masa lalu saya, rasa trauma saya dan saya minta maaf kalau mungkin presepsi saya itu melukai kamu."

Aku menarik napas, menatap Rezka dengan sorot rindu yang berusaha kututupi. "Kita beneran mau bahas ini di sini?"

"Saya nggak yakin kamu mau menemui saya kalau bukan karena kebetulan seperti ini. Kamu tidak pernah membalas pesan saya dan selalu menolak panggilan saya."

"Bukannya kamu sendiri yang ngelarang saya untuk dekat sama kamu?"

Rezka kembali terdiam. Ia menarik dirinya mundur dan menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Saya cuma nggak ingin nyakitin kamu, Kaia, tapi mungkin cara saya meminta kamu untuk tidak tertarik dengan saya salah karena justru hal itu membuat saya menyakiti diri saya sendiri."

"Saya nggak ngerti maksud kamu," sergahku cepat tak ingin berbasa-basi. "Kalau kamu memang nggak mau saya masuk ke dalam hidup kamu, ya jangan temui saya lagi, Rez. Sesimpel itu."

"Bagaimana kalau saya ingin sebaliknya?" tantang Rezka berani. Ia pun beringsut maju kembali.

"Then, do it like a gentleman, Rez. Jangan kayak anak kecil main lempar petasan sembunyi tangan. Kamu dan saya sama-sama punya masa lalu. Kita nggak mungkin terjebak di sana selamanya."

Rezka tersenyum. Ia mengerjap, membuatku berpikir kembali hal apa saja yang telah kukatakan.

Tangannya meraih tanganku, matanya menangkap pandanganku, dan hatinya melunturkan ego yang sejak tadi berusaha kutahan.

"Jangan pergi dengan lelaki sembarangan, ya. Saya nggak tenang," ujarnya sambil menepuk-nepuk punggung tanganku. "Saya nggak mau terjebak dalam masa lalu, tapi tolong ajari saya bagimana caranya."

"Ajarkan saya bagaimana caranya... terjebak bersama kamu."

****

Khiw khiw khiw.... ini lagi drama banget hahaha...

Jangan lupa vote dan comment.

PS: Belum sempat cek typo :p

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 253K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
2.4M 107K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
530K 41.8K 18
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
415K 45.9K 27
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...