Prolog

45.4K 3.9K 182
                                    

"Kamu ada jadwal perform malam ini?"

Aku mendesah seraya mengapit ponselku dengan bahu. Kurogoh Panettone Zipped Continental Wallet-ku dari dalam tas demi mengeluarkan selembar uang untuk membayar kopi hangat dihadapanku. Uap - uap panas masih mengepul di atas gelas kertas putih. Setelah memasukkan uang tip ke dalam kotak di depan meja kasir, aku menyambar Mocha Latte-ku dan membawanya ke meja di tengah kedai kopi.

Ada beberapa alasan kenapa aku memilih posisi meja di tengah - tengah ruangan seperti ini. Alasan utamanya adalah karena aku suka menjadi pusat perhatian. Melihat bagaimana cara pria - pria di sini memandangku... Entahlah, ada sedikit rasa senang, bangga, sekaligus risih. Selain itu, pencahayaan di tengah ruangan kedai kopi ini lebih bagus dibandingkan dengan bagian sudut kedai yang sedikit remang - remang ketika malam hari seperti ini.

Walaupun kelihatan seperti gadis yang suka pergi ke klub malam, nyatanya aku paling benci tempat remang - remang dan gaduh semacam itu. Kalau saja Eggy bukan temanku semasa sekolah dasar, mungkin aku nggak akan berminat berkencan dengan seorang Disc Jockey.

Itu juga alasannya mengapa aku tak pernah suka menemani Eggy perform.

"Ya," jawab Eggy, "Mungkin sampai jam 1 atau jam 2 pagi."

Aku mendesah seraya mengangkat gelas kopiku sendiri. Ekor mataku menangkap sesosok pria dengan potongan rambut ikal terlepas dari ikatan kucir kuda rendahnya. Pria itu duduk menyamping memandang keluar kedai kopi. Menatap kosong lalu lalang manusia di trotoar seraya menyesap kopi di dalam cangkir keramik.

"Baby?" teguran Eggy membuatku kembali tersadar.

"Oh, okay," jawabku singkat. "Have a good performance, Gy. Talk to you later."

Kutaruh kembali ponselku ke atas meja. Pandanganku kembali terpaku pada satu- satunya sosok lelaki yang sama sekali tidak menyadari kehadiranku di kedai kopi ini. Tubuhnya diam kaku. Lengan kemejanya tergulung hingga ke atas siku. Kalau saja ia mau sedikit memutar kepalanya, mungkin pandangan kami akan bertemu. Dan aku tak akan sungkan berkenalan dengan lelaki manis seperti dia. Aku juga nggak akan keberatan kalau mungkin dia ingin meminta nomor teleponku.

Tentunya bolpoin dan tisu akan menjadi benda paling penting yang akan menjadi perantara terciptanya sebuah hubungan silaturahmi baru. Tapi apa gunanya kedua benda mati itu kalau nyali untuk mendekat saja tak punya?

Aku meraih tisu di dekat gelas kertas kopiku dengan tak sabaran seraya meremasnya. Semoga malam ini menjadi malam keberuntunganku. Tidak, malam ini harus jadi malam keberuntunganku.

Aku memejamkan mataku sesaat kemudian bangkit berdiri berusaha memijak tanah sekuat tenaga di atas kedua lututku yang terasa lemas bagai marshmallow. Omong - omong soal marshmallow, aku jadi ingat seharusnya aku mampir ke supermarket sekitar sini untuk membeli makanan kenyal kesukaan Jasmine--keponakanku yang baru berumur 5 tahun dan hobi merengek minta dibelikan makanan lemah gemulai itu.

Oke, kembali ke bahasan kita.

Percaya atau tidak, walaupun sering menjadi pusat perhatian kaum adam, ataupun seringkali  dikejar - kejar para lelaki, tapi sumpah demi satu buah sepatu cantik Manolo Blahnik, aku tidak pernah sekali pun  mengejar salah satu di antara kaum mereka.

Maaf saudara setanah air sekalian, tanpa bermaksud menyombongkan diri sama sekali. Aku, Kaia Prisha Nindita, selalu menjadi pihak yang dikejar.

Lalu entah minuman lucu apa yang kuminum hari ini hingga aku bisa nekat berdiri tepat di samping meja lelaki manis berambut ikal itu sambil meremas tisu serta pulpen di tanganku bak orang bodoh.

Lelaki itu menoleh dengan ekspresi datarnya seakan aku adalah salah satu pelayan kedai yang hendak menawarkan makanan sampingan spesial malam ini.

"Maaf, Mbak. Saya sudah punya asuransi," tuturnya datar kemudian kembali menatap keluar jendela.

Tubuhku kaku seketika. Mulutku setengah terbuka merespon penolakan secepat kilat lelaki itu tanpa sempat aku mengeluarkan sepatah kata pun. Lututku terasa semakin lemas dan lentur hingga rasanya aku ingin merosot ke lantai.

Percobaan pertama dan aku gagal. Seorang Kaia--yang selalu dijuluki "Magnet Lelaki" oleh sahabat - sahabatku gagal menarik perhatian lelaki manis berambut ikal yang sayangnya terlalu jual mahal ini.

Aku memaksakan senyum kaku di wajahku.

Oke, kita harus lakukan tes terlebih dahulu apakah dia memang tidak tertarik padaku atau hanya pura - pura tidak tertarik. Aku dengar beberapa kaum adam suka bertingkah seperti itu agar terlihat lebih "cool". Ewh...

Kutaruh tisuku di atas meja dan kutulis besar - besar nomor teleponku di sana. Lelaki itu lekas menoleh dan mengangkat kedua alisnya melihat gayaku menulis di atas meja. Jangan tanyakan bagaimana aku belajar teknik pose menulis seperti ini. Ini bakat alamiah yang kumiliki selama lebih dari 3 tahun berprofesi sebagai sekretaris.

Untuk beberapa detik yang menyenangkan, aku tahu dia memandangku tanpa berkedip. Gotcha!

Kusodorkan tisu itu ke tengah - tengah meja seraya mengedipkan sebelah mataku padanya. Lelaki itu berjengit mundur. Menggemaskan sekali.

"Saya nggak nawarin asuransi, mas... saya mau nawarin nomor telepon. Kalau minat, langsung dihibungin aja," ujarku seraya mengedip ke arahnya.

Lelaki itu tampak berusaha menutupi keterkejutannya. Tubuhnya kaku tak bergerak seperti patung. Dalam hati aku tertawa kecil. Sengatan lebah madu Kaia memang mujarab.

Kutinggalkan lelaki itu di kursinya seraya melenggang ke arah mejaku kemudian kuraih tas serta gelas kopiku. Kusempatkan melirik lelaki manis berambut ikal itu kembali, tapi sayangnya yang kudapati justru pemandangan tak menyenangkan.

Lelaki itu telah kembali memutar tubuhnya menghadap keluar kedai kopi. Kulihat tak ada lagi tisu pemberianku di atas meja.  Cangkir kopi di atas mejanya pun ikut menghilang. Mataku menyipit mulai mencari hingga tak berapa lama seorang barista dengan nampan beberisi beberapa cangkir keramik kosong berjalan tepat di sampingku.

Dan di sana lah aku melihat tisu pemberianku. Teronggok lesu terendam cairan kopi hitam pekat di dalam cangkir keramik yang sangat aku yakini beberapa menit lalu masih tergeletak cantik di atas meja milik lelaki manis berambut ikal yang sayangnya terlalu jual mahal itu.

Nafasku memburu kesal. Sang barista bahkan menatapku bingung ketika mataku tak berhenti mengekori gelas - gelas keramik di atas nampannya. Aku meremas tali tasku seraya mendongak mencari sosok lelaki itu kembali.

Lelaki itu telah berpindah tempat dan kini berdiri dengan satu tangan menahan pintu kayu menuju bagian dapur kedai kopi. Sedikit terkejut mendapatinya tengah menatapku. Sesaat jantungku berdebar lebih kencang. Namun sayangnya, perasaan kesal kembali menyusul ketika senyuman mengejek terkembang mengiringi tatapan mata setajam elang. Hanya beberapa detik sampai akhirnya lelaki itu memutuskan untuk masuk ke dapur.

Oke, lupakan soal malam keberuntungan. Seumur hidup, aku belum pernah merasa dipermalukan seperti ini.

Poor you, Kay...

===========================

Maaf kelamaan cutinya hehehe.....

Part Prolog ini aku dedikasikan untuk sang tokoh utama, Kaia aka derira95 yang baru berulang tahun...

Semoga suka hadiahnya, ya, Kay ({})

PS: Jangan lupa vote dan comment ;)














The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now