5. Lebih Dekat Denganmu

27.6K 3.5K 291
                                    

Aku menatap jalanan panjang tol Jakarta menuju Bandung. Jalanan panjang yang selalu kulalui hampir setiap minggu. Tak sabar aku menanti pembukaan galeri lukisan Rezka. Perjalanan yang kutempuh sejauh ini cukup lancar, beruntung Ervan--kakak sepupuku--berbaik hati memberikan tumpangan ke Bandung berhubung Ervan juga memiliki urusan di Kota Kembang itu. Mobil Ervan melaju kencang melebihi batas kecepatan maksimum.

Terik matahari tidak mengurangi ambisiku untuk bertemu Rezka, tidak sedikitpun. Bahkan, urusan laporan perjalanan dinasku kepada Yosi kutunda dahulu karena aku terlalu sibuk mempersiapkan diri sendiri untuk bertemu Rezka.

Dan reaksi Yosi?

Bosku itu bahkan tidak terlalu peduli dengan acara peluncuran produk baru kami dan dia, dengan santainya, memberikanku cuti hari ini. Kalau saja aku mau, Yosi bersedia memperpanjang cutiku untuk tiga hari kedepan sebagai hadiah keberhasilanku meyakinkan para jajaran direksi di cabang Singapura bahwa alasan keabsenan Yosi pada malam peluncuran produk baru kami memang diakibatkan adanya hal krusial di kantor pusat kami, bukan karena ia memiliki janji makan malam dengan istri mudanya dan diancam akan digugat cerai apabila mangkir untuk yang kali ketiga dari janjinya.

Konyol? Ah-ha, masih ada lagi.

Yosi juga menjanjikanku sebuah paket liburan eksklusif ke Paris untuk liburan tahun baru nanti sebagai hadiah tambahan.

"Eh! Ngelamunin apa sih? Kok gue ngomong lo kacangin?"

Aku terkejut dan cepat menoleh kepada  Ervan. Ia melirikku penasaran dengan wajah berkerut. Aku bahkan tak tahu sudah sejauh mana aku mengabaikan cerocosan Ervan mengenai konflik dalam hubungannya dengan tunangannya yang dipicu oleh sifat posesif Ervan.

"Sorry, gue masih agak jet lag, nih," kilahku sambil nyengir. Ervan melengos malas mendengar pembelaanku.

"Gaya lo pera! Cuma terbang ke Singapura aja pakai acara jet lag. Dan ini bukan perjalanan pertama elo, ya, Kaia! Adik gue yang dulu imut, sekarang amit-amit ini sudah pintar cari alasan rupanya... ckckck."

Aku tergelak mendengar cibiran Ervan dan baru sadar bahwa kami sudah sampai di kota destinasi kami, Bandung. Sepertinya aku melamun cukup lama dan mungkin Ervan sudah bercerita panjang lebar--yang separuh ceritanya kuabaikan akibat melamun--hingga mulut lelaki itu berbusa. Cerita mengenai hidupnya hampir tidak ada yang singkat. Bahkan masalah kecil pun bisa merembet panjang lebar apabila menyangkut dengan Ervan. Ervan memang tipe lelaki cerewet dan butuh perhatian penuh bila sedang ingin didengarkan.

Dasar, cowok melankolis.

"Van, Umur lo tuh sudah kepala tiga! Elo pacaran juga bukan cuma sekali-dua kali. Kalau perlu gue ingatkan, Kak Uthe itu pacar lo yang ke-15, sejak lo SMP. Masa setiap lo pacaran, konfliknya selalu sama? Nggak kreatif banget sih, lo. Selingkuh gitu, kek, atau ada orang ketiga. Biar greget dikit gue dengar ceritanya."

Lantas, Ervan menoyor kepalaku sementara tawaku kembali berderai melihat raut Ervan yang sepertinya tak tahan ingin menjambak-jambak rambutku.

"Untung elo adik sepupu gue, Kay. Kalau bukan, sudah gue buang di jalan tol tadi!" Ervan geleng-geleng kepala sambil memperhatikan kembali jalanan padat kota Bandung di hadapan kami. "Nggak ada faedahnya gue curhat sama lo."

Aku ikut mencibir mendengar gerutuan Ervan lalu mulai mencari-cari ponselku hanya untuk memastikan bahwa siapa tahu Rezka mengirimkan sesuatu ke ponselku. Tapi, setelah bolak balik memastikan, yang kudapati justru pesan dari Darian yang menanyakan perjalanan dinasku kemarin. Tidak perlu buang tenaga untuk membalas pesan lelaki itu, toh, dibalas atau tidak, Darian akan tetap bertanya lagi sekembalinya aku ke kantor.

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now