4. Telepon Aku

26.5K 3.2K 123
                                    

Aku belum pernah sebahagia ini pergi ke Bandara hanya demi perjalanan dinas singkat untuk mewakili Yosi dalam peresmian produk layanan baru perusahaan kami di cabang Singapura. Aku hanya ditugaskan selama dua hari satu malam. Yah, berkeliling orchard road pasti cukup menghilangkan penatku beberapa minggu belakangan. Aku butuh sedikit refreshing untuk meremajakan kulitku. Menurut artikel yang kubaca, stress dapat memicu berbagai penyakit kulit dan aku tak mau hal itu terjadi pada kulitku yang sudah mati-matian kurawat.

Ha-ha. Itu cuma alasan. Alasan pelampiasanku terhadap perasaan yang mengganjal sejak kepulanganku dari Bandung. Entah kenapa, aku merasa sedikit murung. Urusan lelaki tidak pernah kuambil pusing sebelumnya, tapi kali ini aku tak bisa berhenti memikirkan Rezka. Lelaki itu benar-benar menancap dalam pikranku seperti jamur.

Aku memperhatikan boarding pass-ku lalu menatap kembali para pengunjung di sekitarku. Ada yang tengah mendengarkan musik, membaca buku, mengobrol dengan teman seperjalanannya, atau bahkan tertidur pulas.

Hampa. Sepi. Aku rindu para sahabatku, namun sayangnya aku tak punya cukup nyali untuk menghubungi mereka. Payah, pikiran yang bodoh. Aku tahu mereka akan menerimaku apa adanya. Aku tahu mereka akan marah padaku kalau aku memiliki pemikiran seperti ini, persis seperti apa yang akan aku lakukan kalau salah satu di antara mereka juga memiliki pemikiran yang sama denganku saat ini.

I've been hiding for unreasonable reason. Aku sembunyi dan terlalu sibuk menuruti egoku untuk mengejar Rezka. Sibuk melakukan hal-hal bodoh dan mengorbankan hubunganku dengan para sahabatku.

Jadi, kuraih ponselku di dalam tas dan kuhubungi salah satu sahabatku hanya untuk sekadar melepas rindu.

"Halo, Di?" sapaku.

"Kaia! Elo kemana aja sih?" omelnya tepat di telingaku.

Aku terkekeh. "Gue kelamaan liburan di Bandung kayaknya."

"Alah. Sombong banget lo, ya. Kita-kita tuh pada nyariin elo tahu nggak sih?"

"Iya gue tahu kok. Sorry, ya, gue belum bisa ikut kumpul. Hari ini gue dinas ke Singapura. Nggak lama, sih. Besok malam juga udah balik lagi ke Jakarta."

"Hm... emang dasar sekretaris kesayangan rangkap ganda calon bini ketiga. Dapat tugas apalagi sekarang?"

"Sialan! Amit-amit!" aku tertawa mendengar ledekkan Audi. "Biasa, launching produk baru. Lagi di mana lo?"

"Di kantor lah. Kerjaan gue juga lagi numpuk sih belakangan ini. Ya sudah, kalau sudah balik ke Jakarta kabarin. Gue nggak mau tahu. Kita mesti kumpul. Banyak yang perlu diomongin."

"Ada kabar apa?" tanyaku penasaran. "Nggak tahu. Gue ngerasa si Lana agak aneh belakangan ini."

"Loh, bukannya dari dulu emang suka ngambek begitu?" tanyaku yang disambut tawa Audi. "Nggak. Kali ini kayaknya serius deh. Gue rasa dia ada masalah besar," ujar Audi cemas.

"Oke, nanti pasti langsung gue kabarin kalau sudah di Jakarta. See ya, Di."

Selesai percakapanku dengan Audi, kuturunkan ponselku dari telinga dan sementara kutaruh dalam genggamanku. Aku menatap bosan pemandangan di sekelilingku yang tak banyak berubah sejak satu jam yang lalu. Jadwal penerbanganku sudah ditunda selama satu jam dan aku hanya bisa duduk pasrah di dalam sini. Terjebak dengan perasaan yang tak kumengerti kenapa tiba-tiba saja timbul hanya karena seorang lelaki bernama Rezka.

Aku menarik nafas panjang dan meregangkan tubuhku. Sebuah panggilan kembali masuk ke dalam ponselku, namun kali ini nomor tak dikenal. Mataku menyipit. Hal seperti ini seringkali terjadi dan begitu menjengkelkan saat aku tahu bahwa sang penelepon adalah salah seorang penggemarku yang usil.

The Bridesmaids Tale #2: Portrait of a LadyWhere stories live. Discover now