Mencintaimu Diam Diam [ON MY...

Von RinaKartomisastro

48.8K 1.4K 384

[SUDAH TERBIT!!!] ***NASKAH INI DITERBITKAN DENGAN JUDUL 'ON MY OWN' DAPATKAN DI TOKO BUKU GRAMEDIA TERDEKAT*... Mehr

Cuap Cuap Author
Bab 1 : Hujan Di Penghujung Tahun
Bab 4 : Bukan Pemeran Utama
KUIS BERHADIAH BUKU & PULSA!!!
Bab 8 : Trauma
Bab 10 : Di Muara Sesal
ATTENTION!!! MY NEW BOOK
Bab 11 : Lilin Harapan
Bab 12.2 : Menghadapi Masa Lalu
Bab 14 : Seseorang Yang Datang
Bab 15 : Masih Pantaskah Disebut Ayah?
Bab 16 : Binar Arletta
Bab 19 : Persimpangan Rasa
Like A Cinderella's Shoes
Bab 20 : Pilihan Embun
Bab 21.2 : Semesta (Tak) Mendukung
Bab 22.1 : Pengganti
Bab 23.1 : Kecelakaan
Bab 24 : Kesempatan
STORMITORY
Bab 25.1 : Over Dosis
Bab 25.2 : Over Dosis
Bab 26.1 : Hanya Satu Kata
Bab 26.2 : Hanya Satu Kata
Bab 27 : Permintaan Terakhir
Bab 28 : Mencintaimu Diam-Diam
(Bukan) EPILOG
Dua Cerita Baru
KEJUTAAANN!!!

Bab 2 : Filosofi Strawberry Cake

3.9K 108 22
Von RinaKartomisastro

"Perasaan yang menyiksa. Saat ingin sekali bertemu, tapi tak bisa. Lalu dada terasa sakit seperti teriris sembilu. Dan kau sadar, bahwa itu rindu."

***

Dengan lincah, gadis berhijab biru bunga-bunga itu, membawakan sepiring fettucini bolognese dan secangkir moccacino di atas nampan.

Ia lantas tersenyum sambil meletakkan di meja seorang pelanggan.

Bukannya kembali ke dapur, Hanin justru mengambil tempat duduk di hadapan pelanggan. Lalu, dengan akrabnya mereka mulai mengobrol apa saja.

Dari percakapan absurd sejenis mengapa celana dalam Superman harus dipakai di luar, hingga percakapan intelektual seperti penyebab inflasi yang semakin lama semakin tinggi.

Begitulah, Hanin tertawa mendengar argumen Neil. Lalu Neil membalas dengan lelucon lain sambil menikmati makan siangnya.

Suara lelaki muda berdarah Belanda-Turki-Jawa yang lumayan bising itu, mau tak mau membuat pengunjung lain mendengar.

Bagi pengunjung laki-laki, suara itu sangat mengganggu. Tentu mereka akan menoleh untuk memasang wajah yang seolah berkata hentikan-ceritamu-yang-konyol-itu-atau-kulempar-minuman-ke-wajahmu-yang-sok-tampan-itu-sekarang-juga.

Sebaliknya, pengunjung perempuan yang ada, malah ikut tertawa. Tawa yang diatur semanis mungkin sambil mencuri-curi pandang. Entah memang benar merasa lucu, atau sekadar mencari perhatian dari si pemilik mata almond.

Neil melempar senyum manisnya saat melihat Nora muncul dari balik dapur. Nora yang kikuk, hanya membalas dengan anggukan seadanya sebelum menuju sebuah meja.

Ia segera kembali masuk dapur, setelah meletakkan pesanan zuppa soup milik pelanggan. Bahkan tanpa menoleh ke arah Neil yang sudah bersiap tersenyum lagi. Membuat Neil menelan senyumnya, mentah-mentah.

"Kak Hanin, kakak itu kerja di sini juga?" tanyanya setelah Nora hilang dari pandangan.

Hanin menoleh ke arah dapur, memastikan situasi, sebelum berbisik...

"Ssttt... Dia bosku, yang punya kedai ini. Meski penampilan agak nggak meyakinkan, dia orang yang jago masak seperti yang kubilang tadi."

Neil mengerutkan kening, "Kok di sini aneh? Bosnya yang kerja, anak buah malah duduk-duduk..."

"Aku nggak duduk aja ah! Aku lagi nemenin ngobrol pelanggan setia kedai," belanya asal. "Lagipula kita bicara tentang bisnis. Eh, obrolan kita tadi, jadi kan?"

Neil mengangkat alisnya kocak, lalu mengangguk.

"Ngomong-ngomong, aku akan buktikan kalau aku nggak suka makan gaji buta." Hanin bangkit berdiri. "Nanti akan kuberi tahu kabar selanjutnya," tambahnya sebelum benar-benar menjauh.

Neil mengikuti gerak langkah Hanin, penasaran tentang pembuktian anti gaji buta.

Lantas ia tersenyum geli melihat gadis itu kini sudah sibuk melayani pengunjung kedai yang baru datang.

***

"Ngajarin bikin cake ?" Nora mengulang perkataan Hanin.

Malam itu, kedai sudah mau tutup. Nora sibuk membersihkan permukaan kompor dari sisa masakan hari ini, sementara Hanin menyapu lantai.

"Iya, ngajarin Neil, yang punya distro depan..." jawabnya. "Itu dibayar loh, Ra! Lumayan buat nambahin pemasukan kedai, kan?!"

Nora beralih mengelap meja dapur yang terbuat dari porselen putih.
"Kamu tahu sendiri aku sulit berinteraksi sama lawan jenis."

"Yaelah, Neil itu nggak termasuk lawan jenis kali, Ra!"

"Hah? Dia homo?" Nora sampai menghentikan aktifitasnya sebentar.

"Buuukaaannn!" Hanin ngeri sekaligus geli dengan pemikiran Nora. "Maksud aku, dia masih mahasiswa semester tiga. Usianya jauh di bawah kita. Dia itu lebih cocok jadi adik kita, bukan 'cowok', Ra..."

Nora mengangguk-angguk mengerti, meski tak yakin bisa melihat Neil bukan sebagai cowok.

Tak heran memang, di usianya yang sudah menginjak 23 tahun, teman lawan jenisnya dapat dihitung jari. Itupun, bisa dikatakan, lawan jenis yang diatas normal.

Ada Gary, si kutu buku teman sekelas saat SD. Pito, si anak pindahan yang tampilannya serampangan kayak preman pasar, teman SMP. Sekalinya berteman dengan cowok 'normal' seperti Dian waktu SMA, ia malah di-bully teman cewek satu sekolahan.

Dian nggak pantes temenan sama cewek aneh macam kamu! katanya.

Maka menginjak bangku kuliah di diploma jurusan tata boga, Nora memilih benar-benar membatasi pergaulan. Hanya ada satu dua orang teman dekatnya. Kesemuanya perempuan.

"Dan lagi, Neil itu asik banget, Ra! Kamu pasti akan cepet akrab sama dia. Lucu, ngegemesin, cakep... Duh, kalau dia lebih tua dari aku, udah kusosor kali!"

Nora melirik kesal, "Bukannya kamu mutusin pacar kamu kemarin karena komitmen nggak mau pacaran lagi, karena mau ta'arufan aja..."

Hanin belingsatan seperti baru tersadar akan hijab yang menempel sekitar satu bulanan itu.

"Astaghfirullah! Kelupaan aku, Ra. Duh!" katanya seraya mengelus dada.

Lantas Nora hanya menggeleng-geleng melihat sikap Hanin, si manusia petasan.

Iya, dia seperti petasan. Sekilas terlihat tenang, tapi bila ada yang memantikkan api sedikit saja, dengan mudahnya meledak. Ledakannya tidak bisa diduga, kadang menyebalkan, kadang menyenangkan. Pun demikian, ia tetap diburu banyak orang.

Dialah Hanindia.

***

Gadis petasan sudah pulang. Semua sudah ditutup, selain pintu kedai yang masih dibiarkan terbuka sedikit.

Dari balik jendela yang mengembun, Nora melihat seberang jalan. Philosophy sudah gelap sama sekali. Bahkan tetesan hujan tak terlihat jelas selain suaranya yang terserak.

Neil juga tak terlihat. Pun lelaki misterius itu. Sudah dua hari ini Nora tak melihatnya.

Perasaan yang menyiksa. Saat ingin sekali bertemu, tapi tak bisa. Lalu dada terasa sakit seperti teriris sembilu. Dan kau sadar, bahwa itu rindu.

"Nora Aryani Effendi!"

Sebuah suara teriakan di tengah lamunan, mau tak mau membuat Nora tersentak.

Ia mengenal suara itu. Dan lagi, hanya orang itu yang gemar menyebut nama lengkapnya, semacam rasa bangga karena bisa menghapal. Tapi Nora senang sekali mendengarnya.

"Mas Farzan!" Senyumnya segera mengembang saat tebakannya benar.

Lelaki bertubuh atletis dengan rambutnya yang cepak itu, turun dari Kawasaki Ninja 250R, untuk berhambur memeluk Nora.

Tanpa memedulikan air yang mulai membasahi tubuh, mereka saling berpelukan. Erat. Layaknya sepasang kekasih yang sudah lama tak bersua.

"Mas Farzan udah balik nggak ngabarin aku!" kata Nora setelah melepas pelukannya.

"Kejutan!" serunya.

Dengan manja, Nora menggelayuti lengan Farzan untuk ditariknya ke dalam.

Mereka lantas duduk di salah satu meja kedai.

"Mau minum apa?" tawar Nora.

"Aku kesini nggak butuh minuman. Aku butuh kamu."

Nora melirik genit mendengarnya. Ia lantas mengurungkan niat untuk ke dapur dan kembali duduk.

"Mas Farzan baru datang?"

"Sekitar tiga hari yang lalu?" jawabnya tak yakin, sambil berusaha mengingat-ingat.

"Malam tahun baru udah ada di sini, dong?! Iiih... Kok nggak langsung kemari?!"

"Kenapa? Kangen banget sama aku ya?"

"Jelas lah, udah berapa lama kita nggak ketemu? Mas Farzan juga jarang pulang..."

Farzan menatap gemas sambil mengacak-acak rambut Nora.

"Aku juga kangen banget," katanya kemudian.

Untuk berapa lama, mereka saling pandang. Meski berbeda rasa, Nora juga merasakan rindu pada lelaki yang kini duduk di depannya itu.

Lelaki itu, sudah banyak berubah. Tubuhnya semakin atletis saja. Kulitnya yang dulu sempat menghitam saat mengikuti pendidikan Akpol, kini berangsur kembali cerah. Yang terpenting, ia terlihat keren dengan seragamnya.

"Bapak Ibu sehat, Mas?" Nora memecah kesunyian.

"Nanyain aja, tapi nggak pernah dateng. Kapan terakhir pulang ke rumah? Bapak Ibu kangen katanya."

Nora mengerucutkan bibir, "Aku juga kangen mereka, minggu ini akan kupastikan datang! Kalau Mbak Maura gimana kabarnya?"

"Baik. Dia sehat-sehat aja. Dokter harus sehat untuk bisa mengobati pasiennya, kan?" ucapnya asal.

Nora menggeleng, "Mas tahu pertanyaanku bukan tentang itu. Maksudku, hubungan Mas Farzan sama Mbak Maura. Kalian masih akur-akur aja, kan?"

Farzan tersenyum dengan bibir tipisnya, ia lantas menjawab pertanyaan Nora sambil mengangguk.

Kali ini ia sedikit usil memainkan poni Nora. Namun gadis itu membiarkannya.

***

"Hai Neil, aku Nora."

"Norak?"

"Nora nggak pakai 'k'."

"Tapi menurutku nama itu lebih cocok buatmu, Kak Norak..."

Neil lantas terbahak melihat wajah Nora memerah seperti kepiting rebus.

"Dasar kuda Neil!!!" balasnya.

Gadis itu kesal, tapi ekspresinya terlihat lucu. Neil pernah menemui jenis orang seperti Nora.

Ada jenis orang yang sebisa mungkin jangan dibuat marah, bila tidak ingin hidupmu berakhir saat itu juga. Sebaliknya, ada jenis orang yang justru menyenangkan saat terlihat marah.

Tentu saja, Nora termasuk yang kedua. Buktinya, meski kesal dengan sikap usil Neil, gadis itu tetap mau mengajarinya membuat kue ulang tahun.

"Oke, kuda Neil, kamu mau aku ajarin bikin kue apa?" Sepertinya, Nora mulai terbiasa dengan panggilan baru Neil. Ia tidak rela namanya diubah, sementara yang mengubahnya baik-baik saja. Semacam itulah.

"Bukannya aku udah bilang, aku mau bikin kue ulang tahun untuk abangku."

"Abangmu suka kue jenis apa?"

Mata Neil melirik langit-langit, seperti mencari jawaban di sana. "Suka yang rasa cokelat... Keju juga suka... Kismis juga... Ehmm... Rasa apa aja dia suka, deh kayaknya!"

"Orangnya seperti apa?"

"Cakep lah! Nggak jauh beda sama adiknya ini..."

Nora merapatkan bibir.

Sulit dipercaya, Neil bisa membuatnya kesal berkali-kali di hari pertama perkenalan mereka.

Padahal sebelum ini, mereka hanya saling menyapa seadanya. Saat itu, di mata Nora, ditambah testimoni dari Hanin, Neil terlihat sangat menyenangkan.

Ternyata pepatah itu benar. Kadang yang terlihat di luar tak selalu sama dengan dalamnya. Dan kau baru menyadari setelah membuka dan melihatnya sendiri.

"Maksudku... sifatnya gimana? Karakternya seperti apa?" jelas Nora sambil menahan sabar setengah mati.

"Hmm... Nggak jauh beda lah sama aku. Menurutmu, karakterku gimana, Kak?"

"Sama kayak kamu? Kasihan banget orang tua kalian. Pasti repot ngurusin dua anak seperti kamu!" balas Nora, kali ini ia menjulurkan lidahnya. Puas.

Neil menggigit bibir bawahnya. Jarinya lantas mencolek sekotak butter, lalu ditempelkan di hidung kecil Nora.

Nora yang tak bisa menghindar, memutuskan untuk membalas. Ia mengambil sejumput terigu untuk dilemparkan ke wajah Neil.

Dalam sekejap, dapur kecil Nora berubah seperti kapal pecah. Namun gelak tawa mengisi diantaranya.

Begitulah, bila bertemu dengan seseorang yang membuat nyaman, meski baru berkenalan berapa puluh menit, rasanya seperti sudah saling mengenal berpuluh tahun.

Sayangnya permainan mereka harus berakhir dengan teriakan Hanin.

"Astagaa!!! Astaghfirullah... Kalian ini lagi bikin kue atau latihan perang, sih?!"

Lantas, secara bersamaan, mereka memamerkan barisan gigi dengan sedikit rasa bersalah.

Hanin merasa seperti ibu yang tengah memergoki kedua anaknya berkelahi.

***

"Kalau gitu kita buat strawberry cake aja, gimana?" ujar Nora pada Neil, setelah mereka berhasil berdamai dengan bantuan Hanin. Tentu saja dengan wajah yang masih kotor karena tepung dan kawan-kawannya.

"Sepertinya enak. Memangnya kenapa strawberry?"

"Tadi kamu bilang abangmu mirip kamu. Kupikir strawberry cake- lah yang paling mewakili orang sepertimu. Strawberry itu lambang dari buah yang menceriakan. Coba aja kamu liat pertama kali, bentuk dan warnanya begitu menggoda, kan? Dan ketika kamu menikmati strawberry cake, kamu juga akan merasakan sensasi yang tak terduga di setiap kunyahan. Ada kelembutan yang berpadu dengan rasa manis, sedikit asam, namun tetap menyegarkan. Maka dalam setiap potongan kuenya, kamu dapat menemukan dirimu sendiri..."

Mata Neil berbinar seketika. Ekspresinya menatap takjub, bahagia, tersanjung dan sebagainya. Sayangnya, di mata Nora, tatapan itu terlihat seperti ketidaksukaan.

"Duh, aku salah bicara ya? Aku membuatmu tersinggung? Beneran... aku nggak bermaksud..."

"Kamu beneran ngeliat aku seperti itu, Kak? Maksudku, seperti filosofi strawberry cake?" Neil terlihat tak sabaran.

Nora mengedipkan matanya berkali-kali. Antara bingung dan salah tingkah. Bingung karena tidak mengerti arah pikiran Neil. Salah tingkah karena mendapat tatapan lekat seperti itu.

Ia lantas memainkan poninya sambil mengangguk kecil.

"Apa ganti yang lain aja? Kamu mau bikin yang..."

"GAK USAH!!! Aku mau yang itu! Kita bikin itu aja!" potong Neil dengan semangat.

"Yakin?" tanya Nora, ragu.

"Seribu persen! Aku ehmm.. Abangku pasti suka!"

"Yaudah, kita mulai. Jangan ngeliatin aku terus."

"Aku takjub sih, sama Kak Norak..."

Nora keburu tersenyum karena tersanjung. Tak heran, Neil adalah orang pertama yang memujinya setelah sekian lama. Duh, sepertinya Nora memang menyedihkan.

"Aku pikir nama sama penampilan yang agak norak, berbanding lurus dengan otak. Tapi ternyata idenya lumayan!"

Lalu spatula mendarat bebas di kepala Neil. Hingga memunculkan teriakan, "Aduh!"

***

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, ketika hujan mulai turun perlahan.

Akhir-akhir ini, hujan memang datang di waktu yang sama setiap harinya, ba'da Magrib.

Nora sudah bersiap mengintip dari balik jendela. Neil bilang kakaknya akan datang jam segitu. Ia jadi penasaran bagaimana reaksi sang kakak yang mendapat kejutan.

Yah, meski hasil kuenya tidak maksimal. Bentuknya belum rapi, dengan buttercream yang mencolot kemana-mana, karena Neil yang serampangan, tidak telaten. Itu saja sudah berusaha diperbaiki Nora.

Tapi bukankah makna dalam hadiah jauh lebih berharga ketimbang hadiahnya sendiri?

Ditemani rintik hujan, mata Nora tak terlepas dari distro yang bernuansa hitam putih itu. Sembari berharap dalam hati, lelaki itu muncul.

Meski mengenal Neil tak seindah yang dibayangkan, tetap saja Nora berharap. Ia bisa mendengar sedikit saja cerita tentang teman dekat yang sering bertandang ke sana itu.

Tetapi setiap Nora berusaha mengobrol tentang sahabat, Neil bilang tak punya.

"Orang kayak aku ini, mungkin punya banyak teman. Tapi untuk teman dekat, nyaris nggak ada," jawab Neil waktu itu. "Kalau Kak Norak yang jadi teman dekatku aja, gimana?" Ia malah menjawab asal yang kemudian membuat Nora menjitak kepalanya.

Padahal, pikir Nora, bagaimana bisa bukan teman dekat bila lelaki itu sering berkunjung?

Dalam pengamatannya diam-diam, Nora juga sering melihat mereka berbagi tawa.

Sayangnya gadis itu tak bisa bertanya gamblang. Ia terlalu malu melakukannya.

Tapi tetap saja, dalam hati, Nora berharap lelaki itu turut merayakan ulang tahun kakak temannya -entah teman dekat atau hanya sekadar teman, sebutannya.

Siapa tahu, diam-diam, lelaki itu juga merindukan Nora. Siapa tahu, selama ini ia diam-diam melirik ke arah kedai untuk melihat Nora, seperti yang biasa Nora lakukan dari sini...

Nora lantas tersenyum sendiri membayangkan khayalannya. Pipinya sampai bersemu merah. Untung saja, Hanin berada di dapur. Sedang kedai tidak ada pengunjung.

Bisa-bisa, orang menganggapnya seperti orang gila.

Nora masih berusaha mengontrol perasaan, ketika matanya menangkap lelaki itu.

Seperti biasa, seperti sebelum-sebelumnya, jantung Nora berdegup kencang.

Lelaki yang hari itu terlihat keren dengan kemeja flanel yang dikancing penuh sampai pergelangan leher dan jeans berwarna pudar, menerobos hujan dengan gagah. Sepertinya 'memakai payung' tidak ada dalam kamus hidupnya. Namun itulah yang membuat lelaki itu semakin menarik di mata Nora.

Tanpa diduga, lelaki itu menoleh ke arah kedai, sebelum berpaling.

Sepersekian detik, tatapan mereka beradu. Sepersekian detik itu pula, jantung Nora serasa berhenti berdetak.

Lelaki itu berjalan dengan elegan memasuki Philosophy.

Ekor mata Nora masih saja membuntuti meski jantungnya belum normal.

Namun dengan cepat, jantungnya kembali berdegup kencang. Kali ini bukan karena bertatapan, terpesona atau sejenisnya.

Ada hal yang lebih mencengangkan. Nora tak pernah berpikir begini sebelum ia melihat sendiri. Begitupun, rasanya masih sulit dipercaya.

Neil, si cowok usil itu, yang memanggilnya norak, yang hari ini bermain perang-perangan, yang beberapa kali dijitak kepalanya itu, kini menyambut si lelaki kesayangan, dengan strawberry cake yang mereka buat tadi.

Iya, tidak salah! Dengan strawberry cake yang sama. Dengan lilin yang menyala, sebelum lelaki itu meniupnya dengan ekspresi bahagia. Lalu mereka saling berpelukan.

Nora menelan ludah berkali-kali. Memang sih, mereka tidak mirip-mirip amat. Tetapi kalau diingat-ingat, ada beberapa bagian wajahnya yang serupa. Bola mata mereka berwarna sama!

Dan oh... sekarang Nora menyesal setengah mati.

Kenapa aku memperlakukan calon adik ipar dengan buruk?! Gimana kelanjutan hubungan kami setelah ini?! Sial kuadrat.

***

Fiuh selese jugak! Kriting nih tangan. Ternyata bab ini lebih panjang dari yang sebelumnya! Hihi.
Saya harap kalian suka yaa... Makasih udah mampir, kalo ada typo tolong koreksinya. Kiss :*

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

92.4K 5.9K 5
- Disaat lonceng berdentang dan azan berkumandang. Disitulah kisah kita dimulai - Namanya Aisyah Zulaikha Putri. Dia cantik, pintar membaca Al-Qur'an...
7.6K 245 19
Dibalik kebencian pasti ada rasa Cinta. Dibalik keburukan pasti Ada kebaikan. Aku harus memilih diantara 2 orang yang sangat aku cintai.
487K 19.9K 35
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.8K 95 27
entah kenapa film dua garis biru yang ditayangkan di platform (nggak usah di sebut lahya) menurut gua ya sebagai penonton sih endingnya sad banget ta...