The Bridesmaids Tale #2: Port...

Por Kaleela

411K 42.7K 2.5K

Bagi seorang Kaia Prisha Nindita menjadi incaran para lelaki sudah menjadi bagian dari hidupnya. Setidaknya s... Más

Sinopsis
Prolog
1. Kamu Tahu Hubunganmu Harus Berakhir Ketika...
2. Agen Mata-Mata Penjaga Balita yang Cantik
3. Kebetulan yang Berkepanjangan
4. Telepon Aku
6. Percakapan tentang Aku, Kamu, dan Kita
7. Perdebatan
8. Kenangan
9. Give Love a Try
10. Semanis Latte Buatannya
Selingan: The Bridesmaids Tale #1 on Bookstore

5. Lebih Dekat Denganmu

27.6K 3.5K 291
Por Kaleela

Aku menatap jalanan panjang tol Jakarta menuju Bandung. Jalanan panjang yang selalu kulalui hampir setiap minggu. Tak sabar aku menanti pembukaan galeri lukisan Rezka. Perjalanan yang kutempuh sejauh ini cukup lancar, beruntung Ervan--kakak sepupuku--berbaik hati memberikan tumpangan ke Bandung berhubung Ervan juga memiliki urusan di Kota Kembang itu. Mobil Ervan melaju kencang melebihi batas kecepatan maksimum.

Terik matahari tidak mengurangi ambisiku untuk bertemu Rezka, tidak sedikitpun. Bahkan, urusan laporan perjalanan dinasku kepada Yosi kutunda dahulu karena aku terlalu sibuk mempersiapkan diri sendiri untuk bertemu Rezka.

Dan reaksi Yosi?

Bosku itu bahkan tidak terlalu peduli dengan acara peluncuran produk baru kami dan dia, dengan santainya, memberikanku cuti hari ini. Kalau saja aku mau, Yosi bersedia memperpanjang cutiku untuk tiga hari kedepan sebagai hadiah keberhasilanku meyakinkan para jajaran direksi di cabang Singapura bahwa alasan keabsenan Yosi pada malam peluncuran produk baru kami memang diakibatkan adanya hal krusial di kantor pusat kami, bukan karena ia memiliki janji makan malam dengan istri mudanya dan diancam akan digugat cerai apabila mangkir untuk yang kali ketiga dari janjinya.

Konyol? Ah-ha, masih ada lagi.

Yosi juga menjanjikanku sebuah paket liburan eksklusif ke Paris untuk liburan tahun baru nanti sebagai hadiah tambahan.

"Eh! Ngelamunin apa sih? Kok gue ngomong lo kacangin?"

Aku terkejut dan cepat menoleh kepada  Ervan. Ia melirikku penasaran dengan wajah berkerut. Aku bahkan tak tahu sudah sejauh mana aku mengabaikan cerocosan Ervan mengenai konflik dalam hubungannya dengan tunangannya yang dipicu oleh sifat posesif Ervan.

"Sorry, gue masih agak jet lag, nih," kilahku sambil nyengir. Ervan melengos malas mendengar pembelaanku.

"Gaya lo pera! Cuma terbang ke Singapura aja pakai acara jet lag. Dan ini bukan perjalanan pertama elo, ya, Kaia! Adik gue yang dulu imut, sekarang amit-amit ini sudah pintar cari alasan rupanya... ckckck."

Aku tergelak mendengar cibiran Ervan dan baru sadar bahwa kami sudah sampai di kota destinasi kami, Bandung. Sepertinya aku melamun cukup lama dan mungkin Ervan sudah bercerita panjang lebar--yang separuh ceritanya kuabaikan akibat melamun--hingga mulut lelaki itu berbusa. Cerita mengenai hidupnya hampir tidak ada yang singkat. Bahkan masalah kecil pun bisa merembet panjang lebar apabila menyangkut dengan Ervan. Ervan memang tipe lelaki cerewet dan butuh perhatian penuh bila sedang ingin didengarkan.

Dasar, cowok melankolis.

"Van, Umur lo tuh sudah kepala tiga! Elo pacaran juga bukan cuma sekali-dua kali. Kalau perlu gue ingatkan, Kak Uthe itu pacar lo yang ke-15, sejak lo SMP. Masa setiap lo pacaran, konfliknya selalu sama? Nggak kreatif banget sih, lo. Selingkuh gitu, kek, atau ada orang ketiga. Biar greget dikit gue dengar ceritanya."

Lantas, Ervan menoyor kepalaku sementara tawaku kembali berderai melihat raut Ervan yang sepertinya tak tahan ingin menjambak-jambak rambutku.

"Untung elo adik sepupu gue, Kay. Kalau bukan, sudah gue buang di jalan tol tadi!" Ervan geleng-geleng kepala sambil memperhatikan kembali jalanan padat kota Bandung di hadapan kami. "Nggak ada faedahnya gue curhat sama lo."

Aku ikut mencibir mendengar gerutuan Ervan lalu mulai mencari-cari ponselku hanya untuk memastikan bahwa siapa tahu Rezka mengirimkan sesuatu ke ponselku. Tapi, setelah bolak balik memastikan, yang kudapati justru pesan dari Darian yang menanyakan perjalanan dinasku kemarin. Tidak perlu buang tenaga untuk membalas pesan lelaki itu, toh, dibalas atau tidak, Darian akan tetap bertanya lagi sekembalinya aku ke kantor.

"Elo ada keperluan apa sih, Kay?" tanya Ervan di tengah-tengah perjalanan kami melalui jalanan naik-turun menuju Dago Pakar.

"Ada urusan."

Ervan mendengus keras. "Itu sih abang juga tahu, cantik," sindirnya halus seraya tersenyum menyebalkan.

Aku tersenyum malu-malu memandang Ervan. "Gue diundang acara pembukaan galeri lukisan gebetan gue," aku menjawab dengan entengnya.

"Hah? sejak kapan lo demen sama seniman gitu? Sakit lo, ya?"

"Loh, memang kenapa?" protesku.

Ervan hanya geleng-geleng kepala. "Perasaan kita baru enam bulan nggak ketemu, gue yang kudet atau memang lo yang dapat hidayah sampai selera  lo melenceng jauh begitu?"

"Melenceng jauh gimana?"

"Come on, Kay. Mantan lo itu pilot, pembalap, model, pengacara. Nggak ada sejarahnya lo tertarik sama seniman-seniman brekele gitu. Kesambet apaan, lo?" tuduh Ervan tak tanggung-tanggung.

Aku hanya menarik napas panjang dan balas menggeleng. "Kaia yang dulu, bukan Kaia yang sekarang, Van. Nanti pasti ada saatnya lo tahu, tapi sekarang... elo boleh berhenti di depan kedai kopi yang ramai itu," ujarku sedramatis mungkin seraya menunjuk kedai kopi milik Rezka.

"Dan fyi, gebetan gue itu nggak termasuk dalam katagori 'brekele' yang lo maksud," tambahku sambil lalu.

Ervan mematuhi arahanku, namun tampak belum puas dengan perkataanku barusan. Walaupun demikian, ia tidak berusaha mengorek lebih dalam mengenai perubahan selera teman kencanku yang dirasanya berubah drastis.

Ketika aku turun dari mobilnya, ia hanya berpesan singkat padaku,

"Bae-bae lo! Awas terjerumus aliran sesat!"

Dan aku hanya tertawa sesaat mendengar wejangan lelaki itu lalu beranjak masuk ke dalam kedai kopi.

Seorang barista menyapaku hangat. Barista yang paling sering kujumpai.

"Eh, temannya Pak Bos Rezka, ya?" sapa barista gempal dengan perawakan seperti Yosi yang hingga saat ini masih belum kuketahui namanya. "Langsung naik ke atas aja, Teh. Acaranya baru aja mulai. Tadi Kang Rezka teh sempat bolak-balik ke luar kedai, kayak lagi nungguin orang. Mungkin si Akang lagi nungguin Teteh."

Aku tersenyum malu-malu mendengar sapaan hangat sang barista. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada anak buah Rezka tersebut kemudian perlahan kunaiki satu per satu anak tangga berlapis kayu menuju galeri lukisan Rezka.

Saat di luar tadi, aku sempat melihat sebuah spanduk bertuliskan acara pembukaan galeri lukisan Rezka, lalu sekarang, kudengar suara tawa, obrolan, alunan musik smooth jazz, serta dentingan gelas beradu dari lantai atas. Sesampainya aku di sana, yang kulakukan hanya mengerjap beberapa kali.

Selama hampir sepuluh menit aku berdiri mematung di anak tangga teratas sebelum melangkah masuk ke dalam acara pembukaan galeri lukisan Rezka. Seingatku, terkahir kali aku datang ke tempat ini, ruangan di lantai ini tidak seluas sekarang. Begitu pula dengan interiornya yang disulap sedemikian rupa dengan tema kontemporer hitam dan putih. Tidak ada lagi lukisan setengah jadi ataupun sketsa yang bertebaran di lantai. Semuanya sudah diubah menjadi lukisan utuh yang luar biasa indahnya.

Aku menggenggam erat buket bunga mawar biru di tanganku dan kembali melangkah. Tidak ada lagi peringatan untuk melepas alas kaki. Semua yang datang tampak rapi dan berdandan sedikit nyentrik. Sepertinya mayoritas tamu yang datang merupakan kalangan seniman seperti Rezka, dilihat dari penampilan dan cara mereka membahas karya seni lelaki itu. Sementara aku hanya bisa menganggut-anggut dari satu lukisan ke lukisan lainnya.

Pada satu lukisan mataku tertuju. Lukisan yang tak kumengerti bentuknya, namun sedikit mirip siluet perempuan. Di bagian judulnya tertulis "Portrait of a Lady". Tapi, lukisan itu sama sekali tak menggambarkan judul tersebut bagiku. Ketimbang potret seorang perempuan, lukisan itu lebih terlihat seperti gulungan ombak di mataku.

Yah, bukan rahasia lagi kalau aku sangat payah dalam menilai suatu karya seni. Secara garis besar, aku hanya menganggumi bagaimana sang pencipta karya seni bisa mendapatkan ide untuk menggambar lukisan "aneh-aneh" seperti ini. Dan utamanya, di samping lukisan-lukisan yang dipajang di sini, aku memang menyukai--secara harfiah sang pelukis, Rezka Adinugraha.

Omong-omong, kemana lelaki itu? Kenapa ia belum muncul?

Kepalaku pun mulai berputar memperhatikan keadaan sekelilingku demi mencari sosok Rezka. Berjalan diiringi "tatapan penasaran" beberapa tamu, hingga akhirnya sampai di sudut pameran, kudapati sosok Rezka tengah berbicara dengan sekumpulan manusia dengan gerakan tubuh santai. Aku menghentikan langkahku tak jauh dari tempat lelaki itu berdiri, berharap ia akan menyadari kehadiranku dan menghampiriku. Beruntungnya, dewi fortuna memang berada di pihakku.

Tak butuh waktu lama bagi Rezka untuk menyadari kedatanganku ke acara pameran lukisannya. Seperti yang kuharapkan pula, lelaki itu langsung meminta izin meninggalkan para tamunya demi menghampiriku. Rezka tersenyum simpul ke arahku sementara aku berdiri gugup lalu menyerahkan buket mawar biru di tanganku.

"Selamat atas pembukaan galeri lukisan kamu," ujarku salah tingkah seraya menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

Rezka meraih buket bunga di tanganku. "Terima kasih," jawabnya singkat. "Kamu baru sampai? sudah berkeliling lihat-lihat?"

Aku mengangguk, lalu menggeleng. Rezka menatapku sedikit bingung kemudian tertawa. Aku mengulurkan tanganku hendak menjelaskan maksud gerakan kepalaku barusan.

"Ya, gue baru datang. Maaf agak telat. Perjalanan dari bandara ke rumah sempat macet tadi."

Rezka menganggut-anggut mendengar jawabanku. "Mau saya antar berkeliling pameran?" tawarnya membuatku terperangah sesaat. Tak menyangka lelaki itu bisa menunjukkan sikap manisnya di depanku.

Tak membuang waktu, aku pun mengangguk bersemangat.

Rezka membawaku mengelilingi pamerannya. Sesekali lelaki itu menjeaskan arti lukisan yang dibuatnya juga inspirasinya ketika melukis lukisan tersebut. Ia juga menjawab berbagai pertanyaanku seputar lukisan dan pameran galeri lukisannya dengan sabar. Berkali-kali aku dibuat takjub oleh sikap manisnya, sangat di luar dugaanku.

Sempat tadi aku termangu menatap lelaki itu ketika ia tengah menjelaskan salah satu lukisannya dengan gambar gedung-gedung pencakar langit yang dibuat dengan bentuk aneh, melingkar membentuk poros. Ketika aku bertanya mengenai judul lukisan tersebut, "Termakan Waktu", Rezka cuma tersenyum dan berkata kalau lukisan tersebut terinspirasi dari kehidupan manusia-manusia di kota masa kini yang selalu terlalu sibuk dengan kehidupan dunia maya sehingga mengabaikan dunia nyata di sekitar mereka.

Aku terkagum dengan caranya menyampaikan gagasan dalam lukisan tersebut. Jangankan terpikir untuk menggambar gedung dengan bentuk seperti itu, bisa menggambar lingkaran tanpa jangkar dan busur saja sudah termasuk prestasi bagiku.

Rezka memberikanku segelas minuman bersoda ketika kami telah selesai berkeliling pameran galeri lukisannya. Tentu saja aku menolak minuman pemberiannya itu.

"Saya mau nagih utang," todongku begitu saja. Rezka tampak sedikit bingung.

"Utang apa?"

"Kamu kan janji akan racikan espresso kalau gue datang ke sini."

Barulah setelah itu Rezka tersenyum dan mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita turun ke bawah."

Kuikuti langkah Rezka kembali ke bagian kedai kopi hingga masuk ke dapur. Beberapa anak buahnya langsung menyapaku hangat, termasuk sang Barista berperawakan seperti Yosi yang belakangan kuketahui bernama Emon. Nama aslinya Ramon, tapi Rezka menyarankanku untuk memanggilnya Emon seperti yang lain.

"Elo penggemar Doraemon, ya?" celetukku jayus kepada Emon yang dijawab dengan kekehan lelaki itu.

"Ah, Teteh bisa aja," balasnya malu-malu.

Sesudahnya, perhatianku kembali kepada Rezka yang kini tengah memilih biji kopi untuk digiling.

"Yang ini namanya kopi Toraja. Kandungan asamnya rendah dan nggak terlalu pahit. Kopi ini termasuk kopi arabika, rasanya cenderung sedikit gurih."

Sesekali aku mengangguk, lalu bertanya, kemudian Rezka menjawab dengan sabar. Mataku tak lepas dari setiap gerakan tubuh Rezka yang begitu piawai dalam meracik kopi. Bahkan tak cuma aku saja yang menontonnya meracik segelas kopi, beberapa anak buahnya tampak sama kagumnya denganku seakan mereka tak pernah melihat bosnya melakukan pekerjaan sehari-hari mereka.

Ketika kopi siap diseduh, Rezka mengajakku masuk ke ruangan kantornya.

"Bagaimana rasanya?" tanyanya seraya menahan tawa melihat raut mengkerut wajahku ketika mulai mencicipi kopi buatannya.

"Enak, gurih seperti yang kamu bilang. Walaupun nggak terlalu pahit, gue tetap akan milih latte ketimbang kopi hitam," jawabku yang membuat tawa kecil lolos dari bibir Rezka.

"Kamu cuma belum terbiasa. Kalau kamu terbiasa, bisa sampai ketagihan," ujarnya seraya kembali memperhatikan wajahku. Lelaki itu beranjak maju dan meraih selembar tisu dari atas meja tamu kaku mengulurkan tangannya mengelap sisa kopi di sudut bibirku.

Jarak kami begitu dekat, terlalu dekat hingga aku bahkan bisa melihat bulu-bulu halus di wajah Rezka. Aku menunduk malu begitu Rezka kembali ke tempat duduknya. Berusaha menenangkan debar jantungku dan sorak sorai hatiku mendapati momen tak terduga barusan.

"Kamu naik apa ke Bandung?" tanya Rezka tak menyadari perubahan sikap gugupku.

Aku sendiri tak percaya bahwa aku masih memiliki rasa gugup setelah bertahun-tahun pengalamanku berhubungan dengan berbagai macam lelaki.

"Diantar kakak sepupu. Kebetulan dia juga ada urusan di Bandung."

"Ooh... kamu punya keluarga di sini?" Aku mengangguk menjawab pertayaan Rezka.

"Setelah ini mau ke mana?"

"Kayaknya mau langsung balik ke Jakarta. Besok gue mesti ngantor."

Rezka kembali menganggut-anggut. "Buru-buru? Kebetulan, saya juga mau ke Jakarta malam ini, setelah penutupan pameran lukisan. Kamu mau pulang sama saya?"

Tak perlu waktu lama bagiku untuk menjawab pertanyaan Rezka. Tak mungkin pula aku menolak tawaran emas lelaki itu.

"Boleh," jawabku seraya tersenyum senang.

****

Sedikit-banyak aku dan Rezka mulai saling bercerita mengenai diri kami masing-masing di tengah perjalanan pulang menuju Jakarta. Berharap jalanan cukup padat malam ini agar aku bisa bersama dengan Rezka lebih lama, sayangnya doaku belum dikabulkan. Jalan tol tampak lengang, namun demikian, mobil Rezka melaju dalam batas kecepatan normal.

Dari ceritanya, aku tahu bahwa lelaki itu masih tinggal bersama keluarganya di Bandung. Ia mulai merintis kedai kopinya sejak ia masih kuliah di salah satu universitas di kota kembang, Bandung bersama dua orang teman kuliahnya yang kini sudah merantau ke Jakarta dan Surabaya.

Awal Rezka belajar meracik secagkir kopi ketika lelaki itu berusia 12 tahun, bersama kakeknya, ia berlibur ke beberapa daerah di Indonesia demi mencari biji kopi terbaik. Kakeknya memang pecinta kopi sejati.

Dari mulai proses penanaman, panen, penyortiran, penyangraian, pengemasan, hingga penyajian, semua dipelajarinya bersama kakeknya. Aceh hingga Papua, setiap kali liburan sekolah, Rezka selalu menghabiskan waktu bersama kakeknya mencari biji-biji kopi terbaik nusantara. Hal itu lah yang membuat lelaki itu sangat mencintai kopi dan berangan-angan ingin memiliki kedai kopi sendiri.

"Kalau kamu sendiri, sejak kapan suka minum kopi?"

Aku memutar bola mataku, tampak berpikir. "Enggak ingat. Kayaknya sejak gue tahu kalau di dekat kampus ada Starbucks dan tempatnya sangat nyaman untuk dipakai nongkrong berjam-jam sambil ngobrol sama teman-teman atau sambil ngerjain tugas."

Rezka tersenyum geli mendengar jawabanku. "I Know. Bisa dibilang, waktu itu gue cuma ikut-ikutan teman-teman gue nongkrong di sana biar nggak dikata cupu. Biar kelihatan gaul. Biasa laah, namanya juga abg labil."

"Kalau sekarang?"

"Sekarang, karena terbiasa minum kopi sejak dulu, jadi hampir setiap hari minum kopi. Aneh aja rasanya kalau gue nggak minum kopi."

Rezka hanya menganggut-anggut mendengar jawabanku. Sesekali ia melirikku sambil tersenyum.

"Kamu lucu juga, ya," katanya. Alisku bertaut mendengar ucapan Rezka.

"Lucu kenapa?"

"Saya kira kamu itu tipe wanita metropolitan yang jaim, ternyata setelah ngobrol lumayan banyak, kamu polos juga, ya. Maksud saya, kamu tipe yang terus terang mengenai hal-hal yang biasanya orang lain akan tutupi. Termasuk menjadi seorang korban gaya hidup masa kini."

Aku tertawa mendengar jawaban Rezka. "Kan sudah gue bilang. Kamu belum pernah dengar pepatah 'don't judge a book by its cover', ya? Nggak semua yang tampak di luar itu sama dengan apa yang ada di dalamnya."

Rezka mengangguk membenarkan. "Setuju. Untuk itu... saya ingin minta maaf mengenai perlakuan kasar dan tidak sopan saya kepada kamu tempo hari. Saya minta maaf kalau saya mungkin menyakiti hati kamu," ujarnya tulus seraya menoleh ke arahku.

Aku terdiam selama hampir satu menit di tempatku. Sibuk mengamati postur tubuh Rezka dari balik kemudinya dan mencermati kata-katanya. Kata-kata sederhana yang terdengar manis di telinga ketika lelaki ini yang mengucapkannya.

Aku tersenyum dan melemparkan pandanganku ke luar jendela. "Permintaan maaf di terima, dengan satu syarat."

"Apa?"

"Saya minta potongan diskon lima puluh persen untuk sepuluh kali kunjungan saya ke kedai kopi kamu," candaku yang dibalas senyuman Rezka.

"Kalau yang ini, saya nggak mungkin salah, hampir semua perempuan cinta mati dengan diskon, ya?"

Aku mengangguk membenarkan. "Kalau masalah diskon, siapa yang nggak suka?"

"Baik, kalau begitu, bukan cuma diskon. Kalau kamu mau, saya akan kasih kamu kopi gratis setiap kali kamu datang ke kedai kopi saya, dengan satu syarat juga."

"Jadi, ada syarat dalam syarat?" tanyaku seraya geleng-geleng kepala. "Apa syaratnya?"

"Ajarkan saya mengenal diri kamu bukan dari luarnya saja."

Keningku berkerut bingung. "Maksud kamu?"

Rezka menoleh lagi kepadaku, sambil tersenyum manis, lelaki itu berkata dengan lembut. "Saya ingin mengenal kamu lebih jauh."

****

Cie cie cie... udah lumutan baru balik lagi.

Jangan lupa vote dan comment ya, guys.

Kabar gembira untuk kalian para penggemar TBT series, seri pertama The Beridesmaids Tale (Alana dan Samudra) sudah tersedia di toko buku online dan offline! (Informasi lebih lengkap, kunjingi lapak The Bridesmaids Tale)

Seguir leyendo

También te gustarán

2.5M 31.3K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
588K 4.7K 24
GUYSSS VOTE DONGG 😭😭😭 cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...
3.5M 253K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
439K 10.5K 61
bagaimana kalau hidup kamu yang awal nya bahagia dengan pekerjaan itu, malahan menjadi petaka untuk kamu sendiri. Pernikahan paksa akibat sebuah jeba...