Pandora's 7 Trials

By E0nine

103K 5.8K 930

<<Banyak typo terutama di chapter awal (1-5)>> Life is never flat... Sebuah premis yang memiliki... More

C-1 : The Pulse
C-2 : Ranker
C-3 : The Boss <P1>
C-4 : The Boss <P2>
C-5 : The Princess <P1>
Not a Chapter 1 : Biodata 1
C-6 : The Princess <P2>
C-7 : The Princess <P3>
C-8 : The Song <P1>
C-9 : The Song <P2>
C-10 : The Song <P3>
C-11 : The Song <P4>
C-12 : Bloody Rose Group
C-13 : The Banquet <P1>
C-14: The Banquet <P2>
Not A Chapter 2 : Raid Team Formation
C-15 : Big Raid <P1>
C-16 : Big Raid <P2>
C-17 : Battle of Monsters
Not A Chapter 3 : Vote Result
C-18 : Black Princess and the White Eagle
C-19 : The Prodigy and The Genius
C-20 : Waves and Chains
ANNOUNCEMENT (And Pandora's Fact)
C-22 : Betrayal and Giveaway
C-23 : Winner and Victor
C-24 : Friends and Comrades
C-25 : Payment and Interest
C-26 : Duellum
C-27 : Reunion
C-28 : Tournament
C-29 : Demon Continent
C-30 : Dunkelritter
C-31 : Rescue
C-32 : Truth
C-33 : Zurück (Back)
After Story 1 : Everything
After Story 2 : New Beginning
Announcement

C-21 : Fifth Member and Second Weapon

2K 141 19
By E0nine

*TANGG*

Untuk yang kesekian kalinya, serangan Nina berhasil dihalau oleh Saki dengan menggunakan kipasnya.

Nina langsung menghentak kakinya untuk menerjang satu kali lagi. Namun ia terpeleset setelahnya.

"Aduh!"

Saki melipat kembali kipasnya dan kembali menyematkannya di pinggangnya. Gadis itu mendekati Nina yang sudah terjatuh dan menyodorkan tangannya.

"Terima kasih." Nina menggerakkan tangannya untuk menarik tangan Saki.

Tapi, Nina kembali terjerembab karena Saki langsung menyelipkan tanagnnya dan menariknya dari genggaman Nina. Membuat gadis itu kehilangan pegangan.

"Aduh duh..." Nina merutuk. "Saki! Kau jahat!" Ucapnya dengan pipi digembungkan tanda kesal.

Neif yang sedang menonton mereka berdua tertawa. Ia tidak pernah berpikir kalau Saki juga bisa bercanda.

Kali ini, Saki memegang lengan Nina dan membantunya berdiri. Dari posisinya sekarang, Saki sudah bisa menyadari seberapa lelah Nina. Gadis itu sudah berkeringat sangat banyak. Sepertinya ia terjatuh karena terpeleset keringatnya sendiri.

"Terima kasih banyak, Saki..."

Saki hanya tersenyum singkat. Setelahnya, gadis itu membopong Nina ke kursi panjang di dekat situ.

"Kamu memang hebat, Saki... kamu berhasil menangkis 189 serangan Nina tanpa gagal!" Neif langsung menyoraki Saki begitu ia menghampiri mereka dan duduk di sebelah Saki.

"Tidak juga..." jawab Saki rendah hati.

"Kamu merendah... kecepatan Nina itu mungkin lebih cepat dariku..." ucap Neif. "Jadi, kalau Nina tidak bisa mengalahkanmu, maka aku juga tidak akan bisa."

"Kau juga merendah..." ucap Saki.

"Merendah?"

"Kecepatanmu dan kecepatan Nina itu sama saja. Perbedaannya hanya ada di prinsip akselerasinya saja." Jelas Saki.

"Memang perbedaan prinsip akselerasi yang dimaksud itu seperti apa?" Neif belum puas.

"Kecepatanmu memang berasal dari kecepatan gerak tubuhmu yang alami. Sedangkan aku menggunakan kemampuan yang mirip dengan teleportasi." Nina angkat suara.

"Maksudmu?"

"Syarat untukku bisa bergerak dengan kecepatan tinggi ke sebuah tempat adalah penandaku, bukan!?"

Neif mengangguk.

"Yang sebenarnya aku lakukan adalah, aku berpindah ke dimensi buatanku yang memiliki relativitas waktu yang jauh dibawah dimensi normal. Membuat satu jam di sana hanya serasa satu detik di sini. Gunanya aku menandai tempat tujuanku adalah, agar di saat aku bisa bergerak dengan relativitas jauh lebih rendah, aku langsung bisa kembali ke tempat yang sudah ditujukan."

Neif masih memasang wajah tidak mengerti akan apa yang sedang dikatakan oleh Nina.

"Misalkan..."

Nina melempar sebuah kunainya hingga menancap di sebuah tembok yang berlawanan sisi dengan tempat mereka sekarang berada.

"Jika aku berlari ke sana, maka aku akan membutuhkan waktu sekitar 4 detik untuk sampai. Tapi, aku tidak langsung berlari di dalam dimensi ini. Melainkan berpindah ke dimensiku sendiri, dan kembali ke dimensi ini tepat di tempat yang sudah kutandai."

Setelah Nina mengucapkannya, ia langsung melaksanakan aksinya. Dan benar saja... dalam sepersekian detik setelahnya, ia sudah berada di sudut lain ruangan tempat ia melemparkan kunainya tadi.

Neif mengangguk ngangguk mengerti. "Hebat sekali..." gumamnya.

Percakapan itu berakhir. Saki merasa kalau sudah tidak lagi ada hal yang bisa dilakukannya di tempat bobrok ini. Dan berhubung ini adalah hari libur sekolah, ia memutuskan untuk pergi ke kota untuk menjual beberapa ramuan.

"Tunggu, Saki... mau kemana?" Nina langsung menghadang gadis tinggi itu dari keluar ruangan.

"Ke kota. Aku ingin menjual beberapa ramuanku." Ucap Saki jujur.

"Sebelumnya, aku ingin tahu bagaimana pendapatmu mengenai pertarunganku tadi." ucap Nina. Wajahnya serius. Sepertinya gadis itu memang benar ingin menjadi kuat agar bisa memenangkan Duellum.

Saki melihat gadis yang ada di hadapannya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Gadis itu berukuran normal. Tidak terlihat seperti seorang gadis petarung. Mungkin hanya rambutnya yang merah saja yang membuat dirinya tidak terlihat normal.

"Gaya bertarungmu tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah, kau terlalu banyak menggunakan kemampuanmu. Aku yakin siapapun yang menjadi lawanmu akan bisa mengetahui bagaimana cara kemampuanmu bekerja dengan cepat."

Nina memalingkan wajah. Gadis itu mengakuinya.

"Untuk itu, sebaiknya kau melakukan sedikit inovasi dalam penyebaran tandamu. Misalkan seperti mengguanakan peledak, atau kau tempelkan ke temanmu, atau ke lawanmu, dan semacamnya."

Gadis rambut merah itu tersenyum. "Terima kasih, Saki... bukan hanya memberitahuku kelemahanku, tetapi kau juga memberitahuku bagaimana cara menanggulanginya."

Saki tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap Nina tajam, dan setelahnya melenggang pergi meninggalkan gadis itu.

"Tunggu, Saki... aku ingin ikut!"

Entah sejak kapan, Neif sudah berdiri di depan pintu ruangan menunggunya. Dan sejurus kemudian, gadis itu melingkarkan lengannya di lengan Saki. Membuat gadis itu mendecak kesal.

"Jangan bertingkah seolah olah aku adalah kakakmu atau semacamnya..." ucap Saki sambil melepaskan pelukan Neif dengan paksa.

"Tapi aku adalah temanmu! Yah... setidaknya aku ingin menjadi teman terbaikmu." Ucap gadis itu sambil menutupi wajahnya yang memerah.

Saki mendecak. Ia langsung pergi dengan langkah panjang meninggalkan gadis itu di belakang.

Nina dan Neif segera mengikuti langkah Saki yang berjalan cepat dengan tergopoh gopoh.

*****

Untuk yang kesekian kalinya di hari ini, Sak berhasil membuat Nina dan Neif melongo tidak percaya.

"Ne, Saki... apa kamu yakin ini adalah tempat yang kamu tuju?"

Saki tidak mengatakan apa apa. Gadis itu dengan sabar menatap ke arah pintu gedung besar nan mewah yang ada di hadapan mereka.

"Hei, Saki... aku bertanya padamu!"

"Tentu saja, bodoh... aku bukanlah orang yang akan tersasar begitu saja!" Ucap Saki tegas.

"Tapi..." Nina tidak ingin melanjutkan ucapannya.

Tepat setelahnya, pintu besar yang gagangnya terbuat dari emas itu terbuka. Menampakkan pasangan elf yang tinggi badannya tidak bisa dikira kira.

"Masaki! Sudah sangat lama kami menunggumu!" Ucap salah seorang diantara mereka.

Wanita itu berjalan ke arah Saki dan membantu gadis itu mengangkat koper super besarnya. Neif tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana bisa keduanya mengangkat koper raksasa berisikan peralatan meramu lengkap itu tanpa kesulitan sama sekali.

"Ayo masuk! Semuanya sudah menunggumu." Ucap sang lelaki elf yang tadinya muncul bersama dengan wanita elf tadi.

Saki tersenyum singkat sebelum ia masuk ke dalam tempat itu. Sedangkan Nina dan Neif hanya bisa melongo melihat Saki yang terlihat akrab dengan dua orang elf dengan pakaian royal tadi.

Seperti yang diduga oleh Neif dan Nina, isi dari gedung mewah tersebut sangatlah bagus.

Luasnya kira kira lima kali lipat dari kamar mereka jika digabungkan. Beragam etalase yang berisikan senjata senjata bertebaran. Dan senjata yang dipajang juga bukan senjata main main. Beberapa bilahnya terbuat dari berlian.

Rombongan Saki berhenti di meja konter. Begitu mereka datang, wajah beberapa orang yang ada di sekeliling tempat itu langsung berubah cerah.

"Itu Masaki-sama!" Ucap seseorang.

"Dia cantik! Lebih dari yang digambar!"

"Dan keren!"

"Lebih lagi, dia pintar!! Jenius!"

"Aku ingin menjadi pasangan hidupnya~"

Ucapan ucapan sejenis itu terdengar dari kumpulan orang di sekitar mereka. Nina dan Neif mendekat ke arah Saki dan menjadikannya penghalang. Mereka minder di dalam kerumunan orang ini.

"Sudahlah... Masaki jadi kesulitan." Lelaki Elf tadi mengambil alih dan menggunakan ukuran badannya untuk menyibak kerumunan dan membuka jalan bagi Saki ke balik konter.

Sepertinya lelaki itu adalah seseorang yang cukup berpengaruh di tempat tersebut. Karena begitu ia datang, semuanya langsung membuka jalan sehingga Saki dan kawan kawannya bisa berjalan ke balik konter.

Saki segera menurunkan semua perlengkapannya dan menyetingnya di atas meja konter. Semua orang yang tadinya mengerumininya melihat dengan saksama. Begitu Saki selesai menyeting meja itu, ia menggulung sebagian lengan kimononya. Membuat lengan bawah putih mulus terlihat.

Semuanya sudah siap. Dan Saki menatap kerumunan itu. "Silakan mengantri."

Dengan segera, semuanya langsung mengantri dan membentuk barisan yang panjang.

Melihatnya, Neif tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia langsung mendekati lelaki elf tinggi itu dan menanyainya, "Apa yang dilakukan oleh Saki di sini? Sepertinya ia sangat ditunggu..."

Lelaki elf itu menatap ke arah Neif lamat lamat. "Kau adalah temannya?" Tanya lelaki itu.

Neif mengangguk.

"Mungkin kalian mengenalnya sebagai seseorang yang ahli di dalam ramuan. Tetapi tidak hanya itu. Dia juga adalah orang yang mendesain sebagian besar perlengkapan perang dan senjata senjata yang berbahan selain besi dan baja di sini."

"Dia juga seorang pandai besi?" Nina bertanya.

Lelaki itu menggeleng. "Sekilas, ia memang terdengar seperti seorang pandai besi. Tapi, begitu melihat caranya membuat perlengkapan tersebut, tidak akan ada orang yang menganggapnya seorang pandai besi."

"Maksud Anda?" tanya Neif.

Sebagai jawaban, lelaki itu menunjuk Saki sekarang. Gadis itu tengah memperhatikan sebuah pedang yang terbuat dari besi. Entah apa yang dipikirkannya tetapi gadis itu memperhatikannya dengan sangat cermat.

"Jadi, apa yang ingin Anda tambahkan ke pedang Anda? Karena sepertinya pedang Anda tidak mengalami kerusakan sama sekali." Ucap Saki.

Lelaki di hadapan Saki itu mendekatkan tubuhnya ke meja konter. "Aku ingin menambahkan atribut api di pedangku itu." Ucapnya.

Sekali lagi, Saki melihat pedang yang sekarang ada di genggamanya. Panjangnya normal. Dan tidak terlihat ada sesuatupun yang spesial dari pedang tersebut. Hanya saja gagangnya emas yang indah membuat Saki berpikiran kalau pedang tersebut pastinya sangat mahal.

"Apa Anda memiliki uangnya?" Tanya Saki seketika kemudian.

Dengan gaya ala seorang bangsawan, ia mengeluarkan sebuah kantung besar yang berisikan banyak sekali kain emas.

"Sebutkan harganya." Ucapnya.

Saki menghela nafasnya. Dasar bangsawan...

Alih alih langsung menyebutkan harga, Saki mengalihkan tatapannya ke arah lelaki Elf yang sedari tadi berada di sebelah Neif.

Sepertinya lelaki itu mengerti apa yang ditanyakan Saki lewat tatapan tajamnya. Lelaki itu mendekati Saki dan berhenti di depan meja konter.

"Tiga puluh lima kain emas." ucap lelaki itu.

Tanpa banyak protes lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang yang sepertinya lebih banyak dari yang diminta.

"Silakan ambil kembaliannya." Ucap lelaki itu.

Saki langsung menatap orang itu dengan tajam.

"Hey, pak tua... Kamu sudah memiliki sangat banyak uang sampai sampai kami lupa berapa jumlahnya. Jangan menghina kami dengan mengatakan hal seperti itu."

Sakit mengucapkannya dengan nada dingin yang tidak terlihat dibuat buat. Karenanya, lelaki berpakaian mewah di hadapannya menjadi terlihat kalap.

"Aku hanya ingin mengapresiasi." ucap lelaki tersebut.

"Saya sangat berterimakasih karena Anda sudah mencoba untuk mengapresiasi kerja kami. Tetapi kami akan lebih merasa dihormati apabila kami diberikan harga sesuai dengan kerja kami." Ucap Saki.

Lelaki di hadapannya tersenyum. Begitu juga dengan Neif yang memperhatikannya dari jauh di belakang.

Setelahnya, Saki mengambil sebuah gelas erlenmeyer dari kotak tasnya. Ke dalam labu erlenmeyer tersebut, ia memasukkan beberapa daun berwarna ungu yang juga diambilnya dari tempat yang sama. Setelah ia menumpuk hancur semua isi erlenmeyer, Saki terlihat belum puas.

Saki menolehkan pandangannya ke arah lelaki Elf temannya.

"Sol... Tolong ambilkan daun fria." Ucap Saki pada lelaki yang ternyata bernama Sol itu.

Dengan segera, lelaki itu melakukannya. Daun fria adalah sebuah daun berulang menjadi berwarna merah yang memancarkan aura kuning dan berharap panas.

Setelah memegangnya, Saki segera mencelupkannya ke dalam ramuannya. Ramuan itu segera menghargai dan beruap.

"Ne, Saki... Apa yang sedang kamu buat itu?" Tanya Neif dari belakangnya.

"Ramuan Fria. Yang ditambah dengan beberapa daun mandrake di dalamnya."

"Dan boleh aku tahu apa guna dari ramuan tersebut?" Tanyanya lagi.

"Lelaki itu memintaku untuk menambahkan atribut api ke dalam pedangnya. Dan dengan ini, aku bisa menambahkan atribut api tanpa harus menempanya. Lihat dan perhatikan..."

Setelah ia merasa cukup, Saki mengambil sebuah tabung reaksi kecil dan mengambil beberapa bagian kecil dari ramuan tersebut. Ramuan yang menyala nyala itu membuat tabung reaksi itu terlihat seperti sebuah lampu neon yang lucu.

Saki menuangkan isi cairan tersebut ke atas bilah pedang milik lelaki tersebut. Seketika kemudian, ramuan itu langsung menyebar ke seluruh penjuru bilah dan membuat semuanya menjadi terasa panas.

"Sol... giliranmu." Ucap Saki.

Sol mendekati Saki dan mengambil pedang itu. Lelaki itu tidak terlihat kepanasan dari memegang pedang tersebut.

Neif mendengar lelaki itu menggumamkan beberapa kata dalam bahasa yang tidak dikenalnya. Setelahnya, pedang itu terbakar. Sol membiarkan pedang itu terbakar selama beberapa lama sebelum ia mengembalikan pedang itu pada Saki dalam keadaan masih terbakar.

Dengan kecepatan yang tidak bisa dianggap enteng, Saki langsung mengambil banyak sekali bahan dari dalam kopernya dan menuangkannya ke dalam sebuah labu erlenmeyer kedua. Terbentuk sebuah cairan berwarna biru muda di sana.

Saki mencelupkan tangannya ke dalam cairan tersebut. Sepertinya ramuan itu sangat panas karena Saki langsung menarik kembali tangannya.

"Apa itu panas?" tanya Neif.

"Bukan panas. Dingin." Ucap Saki mengkoreksi. "Dan ini sudah cukup." Lanjutnya.

Dengan menggunakan metode yang sama dengan caranya menyebarkan ramuan sebelumnya, Saki menuangkan ramuan biru itu ke atas bilah pedang. Suara sssshhhhh terdengar nyaring tanda bilah panas itu didinginkan secara paksa.

Neif takjub dengan apa yang dilihatnya. Pedang yang ada di tangan Saki sekarang perlahan lahan terlihat kembali dibalik kepulan asap putih. Dan begitu pedang itu sudah tidak lagi diselimuti oleh asap, Neif bisa melihat kalau bilah pedang itu sudah berubah warnanya.

Dibawanya pedang itu oleh Saki dan gadis itu mengayunkannya selama beberapa saat. Setelahnya, ia tersenyum.

"Silakan... terima kasih sudah berbisnis dengan kami." Ucap Saki sembari mengembalikan pedang tersebut.

Lelaki bangsawan yang ada di hadapan Saki menerimanya lagi dengan sangat senang. Lelaki itu segera mencobanya dengan mengayunkan beberapa ayunan. Setelahnya, ia kembali menyarungkan pedang tersebut.

"Ini sempurna. Apa kau yakin kalau kau tidak ingin bekerja di tempatku? Aku akan menggajimu." Ucap lelaki itu.

"Tidak perlu... aku masih harus belajar. Karenanya, aku ingin bekerja di tempat seperti ini saja. Dimana aku bisa bekerja paruh waktu hanya di akhir pekan." Ucap Saki. Ia menggunakan nada ringan dan dengan senyum tipis dilampirkan.

Lelaki di hadapannya itu mengambil pedangnya dan membungkuk hormat sebelum ia pergi meninggalkan tempat itu.

"Ah... Jadi ini pekerjaanmu. Wajar saja kau menjadi kaya. Aku tidak ingin mengetahui berapa penghasilanmu dari sini." Nina tiba tiba berucap.

"Penghasilanku dari tempat ini tidak sebanyak itu." Klarifikasi Saki.

"Aku tidak percaya. Daru satu orang saja kamu sudah mendapat uang sebanyak itu. Bagaimana dengan semua antrian ini...?" Neif ikut ke dalam percakapan.

"Masaki hanya menerima sepuluh order dalam satu kali kerjanya." Ucap Sol menguatkan ketentuan Saki.

"Sepuluh? Berarti uang yang akan kau dapatkan sekitar tiga ratus koin emas, bukan?! Itu sangatlah banyak..." Nina kembali bergumam.

"Yang tadi itu harga yang cukup mahal. Yang lainnya tidak semahal itu." Jawab Saki lagi.

"Tapi tetap saja..."

"Kalian ini ikut ke sini untuk menggangguku atau melihatku?" Saki mulai mengeluarkn kekesalannya.

Neif dan Nina langsung diam menunduk.

Saki yang melihat kedua temannya itu menghela nafasnya. Ia sudah cukup lama bekerja di sini. Dan dibandingkan dengan pekerja lain, jelas jelas ia adalah orang gang paling banyak memberikan keuntungan bagi tempat ini. Jadi, ia berpikiran kalau sepertinya ia bisa meminta macam macam hanya untuk hari ini.

"Sol... Aku hanya akan melayani dua orang lagi. Silakan kau pilih siapa." Ucap Saki.

Terlihat jelas kalau ucapan iu membuat Sol kaget. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Saki menggeleng. "Tidak... Hanya saja, aku ikut dalam Duellum. Jadi, aku harus mempersiapkan banyak hal." Ucap Saki.

"Kau?! Ikut Duellum?!"

"Tidak percaya?"

Sol menggeleng.

"Kalau begitu, datang saja. Aku adalah anggota kelas E. Jangan tanya mengapa."

Tanpa menunggu respons dari Sol, Saki langsung memilih dua orang dari antrian panjang itu. Seorang lelaki pendek kekar dan seorang wanita petarung yang terlihat keren di mata Neif. Saki menyelesaikan pesanan keduanya dan mendapat uang total lima puluh tiga koin emas.

*****

"Jadi, apa kalian memiliki ide untuk siapa yang akan menjadi anggota kelima dari tim kita?"

Topik itu adalah topik pertama yang diangkat oleh Nina begitu mereka duduk makan siang di restoranyang sama dengan restoran yang mereka tempati kemarin.

"Benar juga... Kita belum memikirkannya." Ucap Neif.

Ketiga orang tersebut tidak mengajak Drei bersama mereka. Karena disamping Drei sudah memiliki urusan sendiri sehingga ia tidak bisa ikut hair ini, mereka benar benar ingin berbicara beberapa hal mengenai Drei.

"Bagaimna menurutmu, Saki?" Apa kau memiliki seseorang yang bisa dijadikan teman?" Tanya Nina.

"Memangnya kita masih memerlukan orang ke lima?" Tanyanya dengan mada dingin.

"Maksudmu?"

Saki menaruh garpu yang tadinya ia gunakan untuk memakan buah mirip semangka di hadapannya. Setelahnya, ia menatap Nina dengan tatapan tajam.

"Dalam pikiranku, kalian tidak lagi memerlukan orang kelima. Memangnya ada masalah dengan maju berempat? Atau kalian keberatan?"

"Tapi, kita akan menjadi kekurangan orang dan kesulitan untuk melawan orang orang dari kelas lain."Neif protes.

"Apakah ada peraturan yang mengharuskan kalau sebuah tim harus benar benar terdiri dari lima orang? Apakah kita tidak bisa menjadi tim pertama yang hanya terdiri dari empat orang?" Tanya Saki. Nadanya jelas jelas mengintimidasi.

"Tapi..." Nina tidak bisa menemukan alasan lain untuk membuat Saki tidak memutuskan segalanya sendiri.

Saki tersenyum melihatnya. "Aku hanya bercanda. Tentu saja kita perlu orang kelima." Ucapnya.

Dua gadis yang duduk di hadapannya itu menatap Saki dengan tatapan kesal. Mereka berdua tidak percaya kalau mereka baru saja ditipu oleh orang yang entah memiliki selera humor atau tidak di hadapan mereka ini.

"Tapi, siapa?"

Ini dia pertanyaannya. Keempat anggota yang ikut semuanya adalah sedikit dari anggota kelas E yang bisa menggunakan sihir atau kemampuan semacam itu. Dan mereka tidak kepikiran siapa lagi yang bisa mereka ajak.

"Bagaimana dengan Len?" Usul Nina.

Saki terlihat berpikir. Gadis itu menerawang ke luar jendela.

"Aku tidak berpikir kalau dia akan ingin ikut menjadi tim ini." Ucap Saki. "Lagipula, kau ingin orang seperti itu menjadi bagian dari tim kita?" Tanya Saki ragu.

Nina mengangguk ngangguk. "Benar juga..."

"Kalau begitu siapa? Kita sudah tidak lagi memiliki orang yang bisa menggunakan sihir di kelas E." Neif angkat suara.

"Ambil saja seseorang. Aku tidak peduli apakah dia bisa menggunakan sihir atau tidak. Yang penting, dia ada dan menjadi orang yang kelima." Ucap Saki dengan nada dingin dan tidak peduli.

Neif dan Nina langsung menatap Saki dengan tatapan tajam.

"Bercanda..." Saki terkikik kecil. Sungguh candaan yang tidak lucu. "Setidaknya pasti ada satu yang memiliki kemampuan meski itu hanya kemampuan fisik." Ucap Saki.

"Aku sudah mencarinya. Yang paling mencukupi hanyalah Len." Ucap Nina. Wajar saja... dia adalah perwakilan kelas E yang paling mengenal seluk beluk kelas E dibandingkan dengan semua orang yang ada di sekolah.

"Kalau begitu, silakan ajak dia untuk bergabung."

"Tidak semudah itu..." tadinya Nina yang memaksa mereka untuk mengajak Len, dan dia adalah orang yang mengatakan ini.

Saki memutar bola matanya. "Maksudmu?"

"Yah... kamu tahu sendiri bagaimana sikapnya, bukan!? Mungkin dia tidak akan pernah ingin bergabung dengan kita kecuali kita memberikan tubuh kita." Ucapnya.

Neif langsung memeluk tubuhnya sendiri. "Aku tidak mau!"

"Memang ada yang mau?" Nina semakin kesal.

Keheingan menyergap. Ketiganya tidak ada yang mengangkat suara. Dan Saki tidak menyukai suasana ini. Gadis itu berdiri dan mengeluarkan delapan puluh koin emas dari kantung yang entah terdapat di mana.

"Itu adalah urusan kalian. Secara pribadi, aku tidak keberatan untuk maju dengan empat orang. Jika kalian memang ingin berlima, maka aku akan menyerahkan segala urusan orang kelima ini di tangan kalian." Ucapnya.

"Tunggu, Saki... kamu juga harus membantu!" Neif bersikeras.

"Bagaimana kalau aku bilang tidak mau?" Tanya Saki.

Neif langsung menggam tangan gadis itu erat. "Aku memaksa." Ucapnya dengan tatapan tajam.

Untuk yang kesekian kalinya di hari ini, Saki menghela nafasnya sembari memutar bola matanya. Sekejab kemudian, Neif kaget kalau orang yang ia genggam adalah Nina. Ia memutar kepalanya untuk mencari keberadaan Saki... namun ia tidak berhasil.

"Saki!?" Carinya.

"Itu adalah urusanmu." Sayup sayup Neif mendengar suara seperti itu.

Neif dan Nina hanya menatap satu sama dalam diam. Mereka sudah mengenal Saki yang merupakan orang yang tidak suka diganggu. Dan mereka sudah mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi Saki yang seperti itu. Namun, lain lagi halnya kalau mereka harus mengambil satu lagi orang seperti Saki.

"Jadi? Bagaimana?" Tanya Neif.

"Kita coba dulu." Jawab Nina.

*****

"Apa kau yakin?"

"Lalu? Apa aku memiliki kemungkinan keputusan yang lebih baik dari ini?" Tanya Saki tanpa menoleh. Ia tetap berjalan cepat ke arah asramanya.

"Tapi mereka mungkin tidak akan pernah mendapatkan simpati dari orang itu." Lumia kembali protes.

"Itu adalah urusan mereka. Aku tidak ingin tersulitkan karenanya." Jawab Saki dingin.

"Tapi apa kau yakin kalau kau bisa memenangkan pertarungan itu sendirian?" tanya Lumia lagi.

Saki menghentikan langkahnya. Ia menatap Lumia yang ada di sebelahnya selama beberapa lama.

Gadis itu sekarang mengenakan pakaian persis Country Girl edisi pertama. Hanya saja riasan wajahnya tidak diubah. Membuat gadis itu masih bisa dikenali sebagai seorang Lumia dengan alis mata tajam mempesona.

"Aku masih menyimpan sebagian kecil kemampuanku, Lumia... dan aku pikir itu sudah cukup untuk bisa mengalahkan Valeria dan kawan kawannya." Ucap Saki.

"Bahkan jika Tetsuya dan Yuki ikut serta?"

Saki terdiam. Pupil matanya sedikit melebar. Menandakan kalau ia tidak mengetahui info tersebut.

"Tetsuya dan Yuki? Darimana kau tahu?" Tanya Saki. Nadanya sudah kembali ke nada dinginnya seperti semula.

Lumia mengangguk tegas. "Aku menyelidiki mereka diam diam dalam beberapa hari terakhir. dan kebetulan saja, aku mendengar saat mereka ditunjuk oleh Valeria untuk menjadi bagian dari tim Duellum dari Nesoindia." Ucapnya.

Saki memegang kepalanya dan menggaruknya padahal tidak gatal. "Cih... kenapa segalanya menjadi sulit."

Lumia memegang tangan Saki. "Kalau begitu, kau harus mengambil orang itu sebagai anggotamu." Ucapnya.

"Tidak..." Saki melepaskan genggaman Lumia. "Aku akan menggunakan Phase 2 ku di saat waktunya tiba."

Lumia kesal. Kesal yang tidak bisa dianggap kesal biasa. Ia sudah kenal Saka yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan penuh perhitungan dalam setiap keputusan dan pergerakannya. Tapi, begitu ia berubah menjadi Saki, otak yang menjadi dasar perhitungan laki laki pun berubah menjadi hati. Dan Saki sudah mulai menampakkan kalau hatinyalah yang mendominasi perhitungannya.

*PLAKK*

"Apa yang kau lakukan!??! Itu sakit!" Saki memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh gadis di hadapannya itu.

Lumia tidak langsung menjawab. Gadis itu mengubah ekspresinya menjadi dingin. Meniru Saka (bukan Saki).

"Bertarunglah denganku." Ucapnya.

Pandangan Saki berubah tajam. Gadis itu merasa seperi dihina. "Apa kau gila?"

"Aku masih waras."

"Kalau begitu kau pasti tahu kalau kau tidak bisa memenangkan pertarungan denganku. Apalagi dalam bentuk seperti itu." Ucap Saki.

"Aku tidak bisa memenangkan pertarungan melawan SAKA. Tidak ada yang pernah mengatakan dan tidak pernah terlintah sedikitpun di dalam otakku kalau aku tidak bisa menang melawan SAKI."

Sekarang, hawa membunuh sudah mulai keluar dari tubuh Saki. Jujur saja Lumia sedikit ketakutan karenanya. Meski sudah berubah gender, Saki tetaplah Saka.

"Baiklah..." ucap Saki pada akhirnya.

Kedua gadis itu melanjutkan perjalanan mereka dalam diam. Tidak ada satupun yang berbicara. Dalam kepala mereka, tidak ada asetilkolin yang bergerak melainkan mengalirkan rangsang ke otak mereka dan membayangkan seperti apa pertarungan yang akan mereka jalani.

Jika dilihat dari sisi kemampuan, jelas jelas Lumia memiliki keuntungan yang sangat besar. Saka tahu kalau Lumia memiliki kemampuan yang sangat sangat kuat. Ia sudah mengerti akan hal itu. Pertarungannya dengan Naru beberapa minggu yang lalu terpaksa dipindah ke dalam dimensi lain. Kalau tidak, bekas pertarungan mereka bisa menyamai bekas pertarungan Saka dan Rain. Terlebih lagi kemampuan dirinya yang berkurang karena berubahnya dia menjadi seorang perempuan.

Kemampuan Saka yang masih dimiliki Saki hanya mungkin setengahnya. Saki tidak bisa mendeteksi barang barang yang jauh, tidak bisa menggunakan Black Artsnya sebebas dulu, dan juga tidak bisa mengambil keputusan secepat ia dulu.

Tetapi, sebagai gantinya, ia mendapatkan sebuah kemampuan baru. Beberapa hari yang lalu ia mengatakan pada Lumia kalau ia memiliki kemampuan ilusi. Dan ia mencitrakannya bagaikan ia bisa menipu indera penglihatan dengan sangat baik.

Namun, bukan itu yang sebenarnya menjadi 'kemampuan' Saki...

*****

"Kumohon..."

Neif dan Nina dengan susah payah mendekati Len yang sebenarnya jarang berada di Sekolah. Mungkin karena mereka cukup beruntung, mereka bisa melihat batang hidung orang itu di sekolah sekarang.

"Tidak... aku tidak mau ikut ikutan dalam kompetisi itu..."

"Ayolah... Kami sudha tidak lagi puynya cadangan lain selain kamu." ucap Neif.

Mendengar Neif berucap seperti itu, Len menunjukkan raut wajah licik.

"Kalau kau memohon sambil menyerahkan upeti, mungkin aku akan memikirkannya." Ucap lelaki itu.

Nina langsung menampar lelaki itu.

"Mesum!"

Len malah tertawa. "Kalian sudah mengenalku. Jangan kira kalian bisa mendapatkan jasaku tanpa imbalan yang cocok." Ucap lelaki itu sebelum melenggang keluar kelas.

Nina dan Neif hanya bisa terdiam melihatnya. Merasa tidak lagi ada yang bisa mereka lakukan, keduanya memutuskan untuk kembali ke asrama mereka.

"Maaf, Neif... Aku jadi ikut menarikmu ke dalam negosiasi tadi." Ucap Nina meminta maaf.

"Tidak, tidak... Aku sendiri yang ingin membantumu. Lagipula, ini semua demi kemenangan kita nantinya."

Nina tersenyum seiring menatap rembulan yang mulai muncul di atas kepala mereka.

Ini adalah hari selasa. Dan khusus di hari selasa, mereka akan pulang larut karena ada program intensif pelatihan yang wajib diikuti oleh semua murid di sekolah ini. Tidak peduli ia adalah penyihir, petarung, atau bukan keduanya.

"Kau memang orang yang baik, Neif..." Nina membuka obrolan sebagai bumbu perjalanan.

"Aku?"

Nina mengangguk mengiyakan.

Tapi Neif menggeleng gelengkan kepalanya.

"Tidak... Aku masih belum cukup baik."

"Maksudmu?"

"Yah...kau tahu... Untuk berbuat baik, kita memerlukan banyak tenaga dan materi. Boleh jadi aku memiliki tenaga. Tetapi tidak dengan yang satunya."

"Setidaknya di mataku kau adalah orang yang baik."

"Terima kasih banyak~" Akhirnya Neif menerima.

Keheningan kembali merebak. Keduanya memiliki pemikiran yang berbeda. Setidaknya dalam menanggapi seseorang seperti Len.

"Jadi... Bagaimana?" Tanya Nina lebih kepada dirinya sendiri.

"Sepertinya apa yang dikatakan oleh Saki memang benar. Kita harus menjadi orang pertama yang maju dengan empat orang."

Nina menghela nafasnya.

"Jujur saja aku sedikit tidak mengerti kenapa kalian berdua begitu merekomendasi orang seperti Saki. Orang sepertinya biasanya tidak akan melakukan sesuatu tanpa imbalan."

"Kalau menurutku, itu tudak benar. Ia tidak akan mengambil apa apa dari kita begitu kita telah selesai nanti."

"Aku tidak yakin. Dia sudah membayarkan kita makan di tempat yang mewah, membelikan Hation untuk Drei, dan melatihku."

Neif tertawa.

"Apa ada yang lucu?"

"Tidak, tidak... Hanya saja... Seperti itulah Saki."

Nina menatap Neif dengan tatapan tidak mengerti.

"Entah kenapa, dari sedikit waktu yang sudah kuhabiskan dengannya, banyak sifatnya yang kumengerti. Mungkin dia adalah orang yang dingin dan tidak berperikemanusiaan... tetapi menurutku, itu hanyalah sebuah casing yang menutupi dirinya yang sebenarnya."

"Jujur saja, itu tidak menjelaskan apapun." Ucap Nina.

"Ia adalah orang yang baik. Boleh jadi dia adalah orang yang menyampaikan segalanya dengan cara yang kurang sesuai dengan kata 'baik' dalam kamus yang kita tahu dan percaya. Tapi dia tetap saja merupakan orang baik."

Nina menatap gadis di sebelahnya itu dengan tatapan bertanya. Ia tidak begitu mempercayai apa yang dikatakan oleh Neif. Tetapi, ia juga penasaran kenapa gadis seperti Neif begitu terpaku dengan Saki.

"Aku ingin tahu alasan yang mendasari ucapanmu tersebut." 

Neif tersenyum. "Kau ingat saat pertempuan kita beberapa hari yang lalu?"

Pertanyaan itu disambut oleh anggukan afitmatif dari Nina.

"Terima kasih kepada Saki, aku tahu apa perbedaan dari kecepatanku dan kecepatanmu. Dan juga alasan kenapa kecepatanku tidak bisa menang melawan Saki sedangkan kecepatanmu masih memiliki peluang untuk bisa menang dari Saki. Tapi lebih daripada itu, aku mendapatkan beberapa hal karenanya."

"Beberapa hal?"

"Ingat kemampuan Saki yang bisa bertukar tempat?"

Nina mengangguk. 

"Aku tidak tahu bagaimana gadis itu melakukannya, tetapi yang aku tahu, prinsip dari perpindahan itu adalah, mengubah koordinat titik ruang (space) di sekitar Saki, dengan koordinat titik ruang (space) yang ada di titik target."

"Hah? Aku tidak mengerti."

"Kemampuanmu bisa memindahkamu dan orang orang yang kau pegang ke dimensi lain dengan cepat. Kalau Saki, ia bisa berpindah dengan cara yang serupa. Hanya saja, ia membawa ruang di sekitarnya bersamanya."

"Maksudmu?"

Nina semakin bingung. Di kelas, Neif bukanlah orang yang terkenal pintar. Bahkan Nina begitu yakin kalau ia jauh lebih pintar daripada Neif. Tapi, entah kenapa ia tidak mengerti apa yang sedang diucapkan oleh temannya itu.

"Misalkan ada beberapa barang dan orang yang ada di ruang lingkup perpindahannya, mereka akan ikut terbawa bertukar."

Sekarang Nina mulai mengerti apa yang diucapkan oleh Neif.

"Singkatnya, sebenarnya dia bisa mengalahkan kita dengan sangat mudah sejak awal. Kalau ia ingin, dia bisa saja berteleportasi dengan membawa satu buah tanganmu dengannya. Dengan begitu, kamu akan kehilangan satu tangan dan tidak bisa melanjutkan pertarungan." Ucap Neif berspekulasi.

Nina menerawang. Ia tidak menyangka kalau sebenarnya Saki jauh lebih kuat dari dugaannya.

"Darimana kau tahu semua itu? Kau tidak memiliki kemampuan khusus yang tidak aku ketahui, kan?!" Sekarang Nina bertanya soal hal lain. Yang sebenarnya tidak begitu penting sekarang.

"Yah... untuk bisa mendapatkan kecepatanku yang seperti ini, aku membutuhkan banyak latihan. Tidak hanya latihan kecepatan kakiku saja... tetapi juga kecepatan lain seperti kecepatan melihat benda bergerak. Sebut saja kalau aku bisa melihat pergerakan benda yang bergerak dengan kecepatan yang setidaknya sama dengan kecepatanku bergerak." Jelas Neif.

Setelah Neif selesai mengatakan hal tersebut, keduanya sudah sampai di depan asrama mereka. Sejenak, keduanya berpisah dan bergerak ke arah kamar masing masing untuk mengganti pakaian mereka dan menaruh barang barang mereka. Setelahnya, keduanya kembali berkumpul di ruangan tengah asrama tersebut.

"Mendengar penjelasanmu, aku jadi makin bersyukur kalau kau adalah anggota timku. Aku tidak tahu bagaimana caraku untuk mengalahkanmu jika kita adalah musuh."

"Tidak, tidak... kamu akan menang kalau kita berdua berhadapan. Aku tidak memiliki pengalaman bertarung nyata sama sekali."

"Kau pikir aku punya?"

"Kau juga tidak?"

Setelahnya, keduanya tertawa. Entah kenapa suasana keduanya sudah berubah dari suasana tegang seperti sebelumnya menjadi begitu ringan. Dan keduanya sangat menikmati saat saat seperti itu.

Kepalang tanggung, keduanya langsung membicarakan banyak hal. Dimulai dari perkenalan kembali akan diri mereka masing masing, hanya saja mereka menyertakan beberapa hal yang bersifat pribadi. Dilanjutkan dengan penjelasan akan kemampuan mereka masing masing. Saat saat itu mereka habiskan untuk meruntuhkan tembok 'orang asing' yang membatasi pergaulan keduanya sebelumnya. Dan dengan ditemani rintik hujan yang terdengar menenangkan, keduanya bercengkrama bagaikan dua orang sahabat yang baru bertemu setelah sekian lama tidak bertemu.

Keduanya menolehkan kepala mereka ke arah pintu depan begitu mereka mendengar pintu tersebut terbuka. Keduanya segera membagi tugas. Nina mengambil handuk kecil dari kamarnya, sedangkan Neif langsung menyerbu ke pintu depan untuk menyambut siapapun yang datang. Dengan cuaca yang seperti ini, sudah pasti siapapun yang datang tidak akan datang tanpa setetes air hujanpun yang mengenainya.

"Saki! Dari mana saja kamu?"

Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Neif begitu ia menyadari siapa orang yang datang.

"Aku pergi untuk bertemu dengan seseorang."

"Seseorang? Siapa?"

"Bukan urusanmu."

Saki tidak menunggu handuk yang akan diantarkan oleh Nina beberapa detik kemudian. Gadis itu langsung melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya tanpa bersuara lebih lagi. Raut wajahnya seakan memperlihatkan kalau gadis itu sedang ada pikiran yang kurang menyenangkan.

Neif segera menyusul gadis itu ke kamarnya. Kekhawatiran yang berlebihan menjadi dasar keinginannya untuk melakukan hal tersebut. Sebagai seseorang yang ingin menjadi teman (sahabat) dari Saki, Neif berpikir kalau ia bisa menjadi sedikit lebih dekat dengan Saki kalau ia menghiburnya di saat Saki memiliki kesulitan.

"Ada apa, Saki?" Ucap Neif begitu ia sampai di depan kamar Saki. Saki bahkan tidak menutup pintu kamarnya dengan rapat. 

Tanpa meminta izin dari sang pemilik kamar, Neif masuk ke dalam kamar Saki. Dilihatnya temannya itu sedang tiduran di atas kasurnya dengan sebelah lengannya menutupi wajahnya. Ia belum mengganti kimononya yang basah kuyup oleh air hujan.

Perlahan lahan, Neif mendekati gadis itu. Ia duduk di pinggiran kasur Saki yang seadanya.

"Kamu bisa bercerita kepadaku, Saki..." ucap Neif.

"Sudah kubilang kalau ini bukanlah urusanmu." Ucap Saki. Ia berganti posisi ke posisi duduk di atas kasurnya. 

Di posisi ini, Neif bisa melihat wajah temannya itu dengan jelas. Sejak pertama kali Neif bertemu dengan Saki, Neif selalu menganggap kalau Saki adalah gadis tercantik yang pernah dilihatnya. Karena temannya itu selalu bisa membuat para pelihatnya terpukau tanpa adanya make up atau sesuatu yang sejenis. 

Alis mata panjang nan lentik, bentuk mata tajam yang tidak begitu sipit, pupil merah darah yang mengintimidasi, lekuk pipi tirus yang indah, dan kulit putih hampir pucat yang terlihat sangat cocok bila dipadukan dengan rambut hitamnya yang sekelam malam. Semuanya sempurna di tempatnya. Kecuali....

"Pipimu! Kamu berdarah! Astaga..."

Neif segera mendekati Saki dan memaksakan kedua tangannya untuk memeriksa wajah Saki. Di sana, Neif melihat adanya dua buah luka goresan dan sebuah luka lebam di bagian alis mata kiri. Meski kedua luka tersebut bukanlah luka yang begitu parah dan tidak akan ada orang yang menyadarinya kecuali memperhatikan, tapi mengingat fakta kalau yang terluka adalah Saki sudah cukup mengangetkan bagi Neif.

"Hentikan... kau menggangguku." Ucap Saki sambil menepiskan tangan Neif yang mulai mengusap luka luka dan lebam di wajahnya.

"Diam. Aku akan merawatmu..." ucap Neif sambil memaksakan dirinya.

"Sudah kubilang aku tidak membutuhkan bantuanmu!"

"Ini bukan bantuan!"

"..."

"Aku melakukan ini hanya untuk memenuhi hasrat keinginanku untuk menjadi temanmu. Jika kamu tidak ingin dibantu, maka aku tidak akan membantumu." 

Persis setelah ia mengatakan hal tersebut, Neif langsung menekan lebam di wajah Saki. Membuat gadis itu meringis sedikit.

"Dengar, Saki... aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu, maupun bagaimana masa lalumu sehingga kamu tumbuh menjadi orang yang seperti ini... tapi aku sudah bertekad untuk menjadi sahabatmu. Dan aku tidak akan berhenti sampai kamu menganggapku sama dengan bagaimana aku menganggapmu." Ucap Neif penuh tekad. 

Saki sampai terdiam karena tatapan mata Neif yang begitu tajam dan serius. 

Perlahan lahan, Neif mengambil perban tempel dari soper besar Saki dan menempelkannya pada luka luka yang ada di wajah Saki. Gadis itu juga mengambil air dingin dan mengkompres bagian wajah Saki yang lebam.

"Siapa yang membuatmu seperti ini?"

Saki tidak menjawab pertanyaan itu.

"Aku bertanya, Saki..."

Saki tetap tidak menjawabnya. Tatapan kosong dari matanya mengisyaratkan kalau gadis itu benar benar tidak ingin menjawabnya.

Dalam hati, Neif meringis melihat Saki terluka seperti itu. Di satu sisi, ia melihatnya dari sudut pandang seorang sahabat, ia hanya bisa menatap dalam simpati. Tapi, dari sudut pandang seorang petarung, ia merasa ngeri.

Secara pribadi, Saki sudah lebih kuat darinya. Jika memang ada orang yang lebih kuat dari Saki, maka Neif tidak akan bisa bertahan lebih dari sepuluh detik.

"Apa kamu masih tidak ingin menjawab pertanyaanku?" Tanya Neif.

Saki diam.

"Baiklah kalau begitu... aku tidak akan memaksa." Ucap Neif. Ia sadar kalau seseorang dengan kemampuan tinggi seperti Saki akan hancur hatinya begitu menemukan seorang lawan yang lebih kuat darinya. 

"Kalau begitu, apa kau memenangkan pertarunganmu?" 

Entah sejak kapan, Nina sudah berdiri di depan pintu dan menanyakan pertanyaan itu dengan nada yang serius.

"Tentu saja aku memenanginya." Ucap Saki cepat.

"Lalu? Bagaimana kau menjelaskan luka lukamu?"

"Mengalahkannya cukup sulit dan membutuhkan banyak tenaga tambahan." Ucap Saki.

Sepertinya itu sudah menjelaskan semuanya. Neif dan Nina tidak lagi menatapnya dengan tatapan interogatif. 

"Terakhir... apa dia adalah anggota dari sekolah ini?" Tanya Nina lagi.

"Tenang saja... justru dia adalah orang yang akan menjadi orang kelima kita."

Kalimat itu adalah kalimat yang langsung naik ke peringkat pertama kalimat paling mengejutkan hari ini.

*****

"Perkenalkan... namaku Lucia Kagimuro. Mohon bantuannya..." 

Neif, Nina, dan Drei tidak pernah sedetikpun mengalihkan pandangan mereka dari gadis itu sejak pertama kali ia memasuki ruangan kelas. 

"Apa kau adalah saudari dari Kamasaki?" 

Seorang anak perempuan yang duduk di paling depan langsung bertanya hal yang sudah jelas. Dan tentu saja jawaban afirmatif yang diterimanya.

"Yup. Kakakku yang tersayang sudah memasuki kelas ini lebih dulu dariku." Ucapnya sambil memberikan eye smile yang akan membuat para lelaki menggelepar tidak berdaya.

Setelahnya, gadis bernama Lucia itu ditanya banyak hal oleh murid murid yang ada di kelas tersebut. Dari tinggi badannya, tempat tinggalnya, sampai kemampuannya pun ditanyakan. Semuanya dijawab kecuali kemampuannya.

Usai menjawab segala pertanyaan, Lucia berjalan ke arah kursi yang paling pojok di belakang. Di kursi itu, dua orang telah duduk bersandingan. Salah seorangnya adalah seorang gadis tinggi berambut panjang berkimono yang berbagi nama belakang yang sama dengan Lucia, dan satunya lagi adalah seorang lelaki dengan tampang sengak berambut putih yang tidak bisa berhenti menatap Lucia sejak tadi.

"Aku minta maaf... tetapi aku ingin duduk di sebelah kakakku... apa aku boleh aku duduk di sini?"

Lucia mengucapkannya dengan ringan dan halus. Tetapi tatapan uniknya membuat kalimat tersebut seakan merupakan perintah yang tidak bisa dibantah. Lelaki yang menjadi sasaran ucapan tersebut juga seakan terpana sebentar sebelum ia kembali bisa mendapatkan kesadarannya.

"Kalau kau akan memberiku sesuatu, mungkin saja aku akan menurutimu..."

Lucia tersenyum mengerikan. Dan sepersekian detik kemudian, keduanya sudah bertukar tempat. Tidak hanya bertukar tempat, keduanya sudah bertukar posisi sehingga posisi Lucia sekarang sedang duduk di sebelah Saki sedangkan lelaki itu sedang berdiri menatap kedua gadis itu dalam diam.

Seakan tidak percaya, Len mendekati gadis itu dan menatapnya dari jarak yang sangat dekat.

"Apa yang barusan kau lakukan?" Tanyanya pada Lucia.

"Hah? Aku lakukan? Aku tidak melakukan apa apa..." ucap gadis itu tidak berdosa.

Len mengedarkan pandangannya. Di sekelilingnya, semua teman sekelasnya menatapnya seakan menatap seekor sapi yang terlepas dari kerumunannya. Seolah olah tidak terjadi apa apa dan Len berdiri seperti orang bodoh tanpa alasan.

"Kau pasti melakukan sesuatu!!!" ucapnya pada Lucia. Kali ini lebih tegas.

"Len... hentikan itu." 

Ucapan dari Saki menghentikan upaca Len untuk menciduk informasi dari Lucia. Lelaki itu dengan pasrah dan wajah terpaksa bergerak ke arah sebuah kursi kosong yang terletak tidak jauh di belakang kursi milik Neif.

Bagi semua anggota kelas, tidak ada yang aneh dari kejadian berusan. Lucia sedang duduk di kursi sebelah Saki dan tiba tiba saja Len berdiri tanpa alasan. Itulah yang mereka lihat dengan mata kepala mereka. 

Namun, empat orang lebih tahu dari sisanya.

*****

"Aku punya banyak sekali pertanyaan kepadamu."

Tepat setelah memasuki raungan tempat mereka akan berlatih, Lucia langsung dihadapi oleh tatapan tiga orang perempuan yang menatapnya dengan tatapan tajam.

Lucia bergerak dan menggunakan Saki sebagai pelindungnya. Tubuhnya yang tidak sebesar Saki membuat Saki menjadi tameng yang sempurna.

"Siapa kau sebenarnya?"

Nina langsung bertanya tanpa banyak basa basi lagi.

"Aku adalah adik dari Kamasaki Kagimuro... kalian sudah tahu namaku, bukan?!" Ucap Lucia masih dengan nada ragu.

"Tidak, tidak... itu tidak menjelaskan apa apa." Kali ini Neif ikut angkat suara.

"Kami tidak akan menerimamu kecuali kau memberitahukan siapa kau sebenarnya." Ucap Drei.

Lucia sepertinya makin terintimidasi sampai sampai dia makin bersembunyi di belakang Saki.

Saki menghela nafasnya. Ia tidak mengira kalau teman temannya akan bertingkah kekanak kanakan seperti ini.

"Hentikan itu, kalian... aku tidak ingin ada pertumpahan darah di awal ini."

Dengan tangannya yang panjang, Saki menarik Lucia dari belakangnya dan menempatkannya di sebelahnya. Diperhatikannya penampilan Lucia yang sama sekali tidak mirip dengan Lumia maupun Country Girl.

Tinggi badannya sekitar 170 cm. Membuatnya menjadi perempuan tertinggi ketiga di tempat tersebut setelah Saki dan Drei. Rambutnya berwarna hitam legam seperti Saki. Hanya saja, gaya rambutnya dikepang dua di belakang alih alih digerai seperti Saki. Iris matanya berwarna Kuning. Berbeda dengan Saki yang berwarna merah. Wajahnya entah kenapa sangat mirip dengan Saki. Hanya saja, beberapa fitur wajah berbeda.

"Kami ingin tahu siapa sebenarnya wanita ini."

Nina mengangguk tegas menyetujui perkataan Drei. "Siapa tahu dia adalah mata mata dari pihak kelas lain." Ucapnya.

Saki kembali menghela nafasnya. Setelahnya, ia mengambalikan tatapan dingin nan kejamnya.

"Aku yang akan menjamin orang ini. Jadi, kalian tidak perlu khawatir dengan apa yang akan terjadi padanya. Dia akan seratus persen patuh kepadaku. Mengerti?"

Saki mengucapkannya dengan nada yang begitu intimidatif dan dingin. Membuat ketiga gadis lainnya hanya bisa mengangguk bagaikan burung beo yang hanya bisa mengikuti jenis suara yang baru saja didengarnya.

"Untuk sekarang, aku mengumpulkan kalian karena aku ingin mengadakan sedikit tanya jawab." 

Ini adalah hal yang tidak biasa bagi Saki. Tidak biasanya gadis itu melakukan hal seperti bersiap siap. 

"Untuk apa?" Pertanyaan retoris yang diajukan oleh Neif.

"Untuk memastikan kalau kita memiliki kemungkinan menang 99% sebelum melawan perwakilan kelas A." Ucap Saki yang disambut dengan senyum hangat Lucia.

Ketiga gadis kelas E tersenyum. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat Saki begitu serius dalam menanggapi sesuatu.

"Pertama tama, aku ingin membagi tugas."

Sekarang, kelima gadis itu berkumpul dalam lingkaran bagaikan orang yang ingin merundingkan sebuah operasi.

"Aku ingin Neif menjadi Vanguard seorang diri. Bisa?"

Neif menganga. Mungkin dia adalah orang yang memiliki kecepatan murni tertinggi diantara semuanya, dan itu membuatnya menjadi orang yang akan paling bisa bertahan dari serangan bertubi tubi. Dan ia juga sudah biasa menjadi seorang Vanguard... hanya saja...

"Sendirian? Serius? Bagaimana dengan yang lainnya?"

Saki tersenyum dingin. "Aku ingin membuat sebuah formasi baru."

"Formasi baru?"

Saki mengangguk. "Nina akan menjadi Niryokuro di belakangmu, dan Drei akan menjaga parameter."

"Kamu akan menjadi Warden. Bagaimana dengan curut ini?"

Lucia langsung merenggut mendengar panggilan yang ditujukan oleh Neif padanya. "Aku bukan curut!" Tegasnya.

"Terserahlah..."

"Lucia akan menjadi seorang Post-Handler."

Ketiga gadis kelas E langsung menunjukkan wajah bodoh mereka. Mereka tidak tahu kalau ada posisi yang dinamakan Post-Handler.

"Sedangkan aku sendiri akan lebih bertindak sebagai seorang Buffer dibandingkan Warden. Aku akan memberikan strategi sebelum bertanding, dan akan bertindak sebagai seorang Buffer saja di tengah pertandingan."

Sekarang ketiganya menganga. Mereka mendapat satu lagi istilah yang tidak mereka mengerti dari Saki.

"Tunggu, Saki... kau belum menjelaskan apa itu Post-Handler dan Buffer."

"Kalian tidak perlu tahu sekarang. Kalau bisa, aku tidak ingin menggunakan kemampuanku di pertarungan nanti. begitu juga dengan Lucia."

"Yang benar saja!?!?? Bagaimana kita bisa menang hanya dengan tiga orang yang menggunakan jurus?"

"Kau meragukanku?"

Satu pertanyaan dari Saki tersebut sukses membuat semua yang lain terdiam. Lucia yang sedari tadi diam mulai menampakkan senyum sinisnya.

"Tenang saja... dengan peran kami berdua, kalian tidak akan kalah." 

Itu adalah kalimat pertama yang dikeluarkan Lucia dari mulutnya. Dan kalimat itu sukses membuat semua mulut kecuali sang pemilik suara dan Saki terkeunci rapat.

"Bukannya tidak akan kalah... tetapi kemungkinan menang kalian diatas 90%" ralat Saki.

"Bagaimana kami bisa yakin kalau kalian hanya memberikan sebuah ucapan tanpa bukti?" Nina angkat suara. "Atau setidaknya jaminan!" 

Lucia mendekati gadis itu. Setelah mereka berdua berjearak kurang dari satu meter, Lucia memberikan sebuah senyum lebar yang sinis.

"Apa kau ingin tahu kemampuanku?" Tanyanya penuh intimidasi.

Sejenak, degup jantung Nina berhenti. Nafasnya tersesak. Ia sudah pernah bertemu dengan banyak lawan yang sangat kuat baginya dan mentalnya cukup kuat untuk bisa bertahan. Tetapi, di hadapan gadis ini, segalanya berbeda...

Tapi aura itu tidak bertahan lama. Saki langsung bertindak. Gadis itu mendekati Nina dan menepuk pundaknya. Mengembalikan gadis itu ke alam sadar.

"Hentikan itu, Lucia... kau akan memperburuk suasana."

"Aku hanya ingin membuktikan diri, neesama... mereka tidak percaya padaku."

"Tapi mereka percaya padaku... dan aku mengatakan kalau mereka bisa mempercayakan dirimu padaku." 

Semuanya terdiam. Termasuk Lucia yang sekarang hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya pasrah. Ia mungkin bisa memenangkan adu mental dengan Nina. Tetapi tidak dengan Saki.

"Okay... dengan begitu semuanya sudah diputuskan. Aku dan Lucia akan melakukan dua dari empat tugas Warden. Sedangkan sisanya akan kulakukan juga. Nina akan menjadi Niryokuro, Drei akan menjadi Parameter, dan Neif yang akan menjadi Vanguard. Ada keluhan?"

"Tidak..." jawaban cepat dari Drei.

"Aku juga tidak." Disusul Neif.

Butuh beberapa detik bagi Nina untuk bisa memahami situasi yang menunggu keputusannya. Meski pada akhirnya ia mengangguk dan menyetujui hal tersebut.

"Bagus... Drei dan Nina... selama beberapa hari sebelum Duellum, kalian akan kulatih. Drei dan Nina akan dilatih oleh Lucia. Sedangkan aku akan melatih Neif secara pribadi."

"""HHHAAAHH???"""

Ketiga gadis itu tidak bisa mempercayai apa yang barusan mereka dengar.

"Tunggu, Saki... aku bisa memahami kenapa kamu ingin melatih kami... tetapi aku tidak bisa mengerti kenapa kamu juga menunjuk Nina dan Drei untuk dilatih oleh adikmu..."

Tanggapan Neif tersebut disambut dengan anggukan dari dua orang yang dia sebutkan dalam dua kalimat itu.

Saki menghela nafasnya. "Aku lebih mengerti kemampuan Lucia dibandingkan dengan kalian. Dan kalau kalian penasaran, kalian bisa bertanya langsung kepada Lucia di sesi latihan nanti."

Pembicaraan tersebut dipotong dengan munculnya sosok gadis berkulit kecoklatan yang muncul dari pintu ruangan tersebut. Gadis itu sudah begitu familiar di wajah mereka. 

"Saki... ada yang memanggilmu." Ucap gadis itu.

"Siapa?"

"Juno."

"Tidak, terima kasih..."

"Ini bukan masalah... ia hanya ingin meminta sesuatu kepadamu." Ucap Rina lagi.

Saki terlihat memikirkan jawabannya.

"Aku tidak ingi ndia membuang waktuku yang berharga." Ucap Saki sebelum ia berjalan keluar dari ruangan tersebut.

*****

Hari itu sudah malam. Jarang ada anggota kelas yang keluar dari kamarnya selarut ini. Kecuali mereka terpaksa, mereka tidak akan keluar dari ruangan masing masing.

Seperti yang sudah dikatakan... hari ini adalah pengecualian bagi Juno. Gadis itu keluar dari ruangannya dan menunggu di taman bagian belakang asrama kelas A yang mewah. Ia sudah meminta temannya Rune untuk memanggilkan seseorang untuknya. Dan ia sedang menunggu orang tersebut.

Dengan sabar ditunggunya sampai bulan kembali ditutupi oleh awan yang begitu kelam. Membuat suasana menjadi gelap dan terkesan seram.

Juno menggigil karena dinginnya malam. Ia bukanlah orang yang memiliki pertahanan terhadap hawa dingin yang tinggi. Dan sialnya, ia hanya keluar dengan menggunakan gaun tidurnya yang tipis. Gadis itu menggesek gesekkan kedua telapak tangannya untuk bisa membuat hawa hangat di bagian tangannya.

Tapi hawa dingin itu tidak berlangsung lama. Sehelai kain tebal berwarna putih tiba tiba saja tersampirkan di bahu Juno dan melindunginya dari hawa dingin.

Ini... kimono? 

"Kalau kau tidak tahan dingin, setidaknya kenakanlah pakaian yang tebal."

Perlahan lahan, Juno bisa melihat sosok Saki yang tinggi dan hanya mengenakan sebuah gaun one piece sepanjang paha berjalan ke arah depannya. Sepertinya gadis itu yang menyampirkan kimono tersebut.

Juno menunjukkan wajah tidak senang, lalu ia melepas kimono itu dan menyodorkannya kembali kepada Saki. Saki hanya menatapnya dengan tatapan datar.

"Aku tidak membutuhkan..... brr.... dingin...."

Dengan wajah yang sangat malu, Juno tetap bersikeras untuk memberikan kimono itu kembali kepada sang pemiliknya. Setelahnya, barulah sang pemilik kimono tersebut duduk di kursi panjang sebelah Juno. 

Tapi Saki segera menyampirkannya lagi. 

"Jangan keras kepala..." ucapnya.

Juno kaget. Di satu sisi, ia kesal karena gadis tinggi di sebelahnya itu tidak mendengarkannya. Tapi di sisi lain, ia tertegun karena Saki peduli padanya padahal mereka berdua adalah musuh yang akan berhadapan di Duellum nanti.

Pada akhirnya Juno membiarkan Kimono berbahan tebal tersebut membungkus tubuhnya. Wajahnya kembali cerah karena kehangatan sudah kembali kepada dirinya.

"Terima kasih..." ucap gadis itu malu malu.

Saki tidak menjawabnya. Sebagai ganti jawaban, gadis itu menarap Juno dengan tatapan tajam.

"Jadi... apa yang kau inginkan dariku?" 

Juno yang sudah menyadari kalau Saki sudah memasuki mode serius dan berniat untuk membicarakan alasan dipanggilnya dia ke sini langsung memperbaiki posisi Kimono kebesaran itu di tubuhnya sebelum membalas tatapan lawab bicaranya itu dengan tatapan berintensitas sama.

"Hanya satu hal."

Saki menajamkan penglihatannya.

"Aku ingin kau menjadi bagian dari kelas A."

Saki menghela nafasnya. Ia tidak menyangka kalau hal ini kembali didengarnya.

"Aku tidak mau. Aku sudah menolak banyak permintaan sejenis." Ucap Saki.

"Kami akan memberikanmu apapun yang kau inginkan!" Ucap gadis itu. Sepertinya dia benar benar menginginkan keberadaan Saki di timnya.

"Meski keinginanku adalah kitab Alchademica?"

Saki menganggap kalau kitab tersebut adalah kitab yang begitu langka. Saking langkanya, ia hanya tahu satu buah kitab tersebut. Dan kitab tersebut berada di perpustakaan Rusakala Magic academy. Ia berpikiran kalau gadis itu akan menyerah kalau dia mengatakan bahwa keinginannya adalah kitab tersebut.

"Tidak masalah..."

Sekarang wajah Saki berubah seratus delapan puluh derajat. Gadis itu kaget dengan jawaban yang didapatkannya.

"Kau... tahu seberapa berharganya kitab tersebut, bukan!?" Klasifikasi Saki.

"Tentu saja... dan kami memilikinya. Aku tidak keberatan memberikannya kepadamu. Dengan kompensasi loyalitasmu, tentu saja..."

*****

What's up, guys and girls... finally... i'm back!!! Eonine's here...

Well... i'm so sorry for the long update. There's the (another) reason. I just came back from a very far away place... where's that? I'll leave it to you guys and girls' imagination. The point is, i can't continue my work(s) until  just now... and... today is Eid Mubarak, right!? Happy Eid Mubarak, minna-san~

Anyway... sepertinya cap dua minggu adalah kemampuan maksimal saya. Jadi... mohon maaf jika karya 10k words per chapter ini sering terlambat update...

By the way... i still remember the time when i only got another 10 read each week... but now, i think i can get 1k read each week... lol... thanks to you all... my followers is starting to piling up, too. 

Saya tidak memaksakan para pembaca sekalian untuk menjadi followers saya. Saya tidak akan membuat karya private segalanya akan public sehingga siapapun bisa membaca. Saya menulis bukan untuk vote ataupun popularitas. Saya menulis untuk menghibur para pembaca dan menyalurkan isi otak yang bisa membuat saya gila kalau tidak dikeluarkan.

Last but not least... thanks for my readers~ i love(?) you... ((not THAT kind of love, okay?!?!?))

Silakan tanya kalau ada pertanyaan. Berhubung pembaca saya masih dalam tahap yang bisa di toleransi, saya akan menjawabnya. Silakan ditinggalkan di comment... 

Thanks, guys and girls~ Eonine'll be back next week (maybe next two weeks?)... lol.

PS : Bagi kalian yang cukup berbaik hati, bolehkah saya tahu sejauh ini, chapter mana yang paling bagus? Saya hanya ingin membandingkan... bukan bermaksud meminta comment atau semacamnya...

Continue Reading

You'll Also Like

1.2K 251 29
Cerita ini hanya fiksi belaka, bila ada kesamaan tokoh atau tempat itu hanya sebuah kebetulan *** Tentang sebuah hubungan antara kedua insan yang mem...
978K 82.9K 40
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
709 66 20
Nadin Zhieyra, selalu merasa gagal dalam mancapai sesuatu. Tak ada satu pun yang bisa menarik Nadin untuk melakukannya dengan serius. Mencari di mana...
Kamuflase By DINANTI

Teen Fiction

3.4M 431K 50
[Cerita ini akan tersedia gratis pada 15 April 2022] Sari, seorang siswi di sekolah khusus agen intelijen mengemban misi mengungkap dalang narkotika...