"Jun, lo—" Berliana meluruh di lantai. Ia menatap tajam pada sepupunya yang masih berdiam itu, sementara Arival sudah melenggang pergi.
Arjuna menghampiri Berliana lalu memegang bahunya, tapi ditepis oleh Berliana dengan langsung. "Dengerin, Li. Karena gue itu tau kalau dia bukan orang yang baik, dia brengsek. Dia pernah mainin dua hati cewek. Gue nggak mau sampe terjadi sama lo." ujar Arjuna.
"Lo salah! Lo nggak tau apa-apa tentang Rival, Jun. Stop ngurusin urusan gue." Berliana masih berderai air mata, ia tak mampu membendung cairan bening yang keluar dari matanya itu.
"Lo itu baru kenal sama dia, Li. Lo belum tau apa-apa dibandingkan gue. Lo tau kalo Di-" ucapan Arjuna terpotong begitu saja.
"Diem. Lo pergi, pergi!" usir Berliana.
"Li-"
"Pergi! Dari mulai sahabat gue, terus elo, nggak ada yang pernah ngertiin perasaan gue. Coba lo ada di posisi gue." Arjuna melenggang pergi setelah mengelus punggung Berliana. Sumpah, Arjuna tidak ingin Berliana sakit hati. Arjuna juga tahu bahwa Arival itu orangnya cuek dan dingin, tapi dengan kedekatan Berliana, laki-laki itu brubah drastis menjadi laki-laki yang baik. Aneh bukan?
Berliana tidak mengerti, alasan tidak masuk akal memang yang diucapkan oleh Arival. Tapi ini juga salahnya, dia menutupi dirinya pada Arival. Harusnya ia mengatakan yang sejujurnya pada Arival.
Gadis itu juga di ujung keresahan. Bila ia mengatakan pada Arival, mungkin laki-laki itu akan kecewa. Tapi jika laki-laki itu mengetahui Arjuna sebagai sepupunya, Arival akan makin kecewa dan sakit hati karena dibohongi oleh dirinya.
Alasan Arival marah pada Berliana karena Arjuna adalah musuhnya, Arjuna adalah laki-laki perebut Aurelle-nya.
"Arival.." lirihnya.
Terlambat, Arival telah kecewa padanya. Semuanya telah berakhir, semuanya telah berubah, dan jangan mengharapkan yang lebih itu.
Sementara itu, Arival menjambak rambutnya frustasi. Ternyata perempuan itu telah membohonginya, sudah ketiga kalinya ia mendapatkan sebuah pil yang ditelan secara pahit.
Arival melepaskan jam tangan couple secara paksa. Dilemparnya jam itu hingga kaca berebentuk bulat hingga pecah.
"Sialan!" Ia mengumpat, untung saja Maminya tidak ada di rumah.
Sekarang, besok dan seterusnya tidak ada yang memaksanya, tak ada yang mengikatnya, tak ada yang memperlakukannya seperti robot. Semuanya telah usai bersamaan dengan hatinya yang membeku kembali seperti sedia kala.
Dan kali ini Arival bertekad tak akan mampu jatuh cinta dan jatuh kembali pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya.
***
Keesokan harinya, Berliana sudah bersiap memakai seragam sekolahnya. Flora yang melihat mata anaknya sembab itu langsung mengeryit.
"Li, mata kamu kenapa?" Efek menangis semalaman hingga ketiduran. Inginnya sih Berliana mengatakan itu, tapi ia sudah berjanji untuk tidak mengatakannya pada siapapun, termasuk bundanya.
Berliana menggeleng, "Enggak, Bun. Ini cuma kurang tidur aja." jawabnya dengan lesu.
Flora ber-oh ria, "Li, ayo sarapan dulu." untung saja Ayahnya sedang pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan.
"Nanti aja di sekolah."
"Li, kamu mau pingsan kayak waktu itu lagi? Sedikit aja, Li." Berliana menggeleng.
"Nanti aja di kantin." jawabnya singkat, setelah itu Berliana pamit pada orang tuanya. Gadis itu langsung pergi dari rumahnya.
Berliana melihat Arival yang menaiki motornya itu, sesaat itu mereka berpandangan. Berliana yang menatap Arival sendu, sementara Arival yang menatapnya dingin. Laki-laki itu memutuskan kontak mata dengan Berliana.
Arival-nya kembali menjadi laki-laki dingin dan cuek. Arival berubah ke sifat awalnya.
Berliana menghela napas ketika motor Arival sudah melesat pergi. Ia ingin menjelaskan, tapi percuma. Boro-boro menjelaskan, saling menatap saja seperti dua orang yang tak saling kenal.
***
Disimpannya ransel berwarna biru itu di bangkunya. Berliana langsung duduk di bangkunya itu.
"Lo kenapa, Li?" pPrempuan itu hanya diam ketika Rara menanyakannya.
Semuanya tidak ada yang peduli dengan perasaannya. Dari mulai Rara, Angkasa, Arjuna dan—Arival.
Ia menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangannya itu, menunduk. Hari ini seperti ujian baginya, tak ada lagi semangat seorang Berliana yang selalu jahil pada siapa saja.
Hanya ada Berliana yang tidak bersemangat dengan hidupnya, hanya ada Berliana yang meratapi hatinya.
Dua insan itu, Arival dan Berliana. Dua orang yang mempunyai masalah hati dalam masa lalunya. Mungkin sifat mereka bertolak belakang, seperti langit dan bumi. Tapi kisah masa lalu mereka mungkin tak bisa di lepaskan dengan waktu begitu saja.
Berliana dengan cinta masa lalunya yang tidak berujung lama bersama Elang. Sedangkan, Arival dengan dua wanita yang sempat menempati hatinya. Diandra dan Aurelle. Walaupun Aurelle tak pernah menaruh hati padanya. Tapi Arival tak pernah menyesal telah mencintai Aurelle.
Semuanya seolah dibataskan oleh takdir pribadi mereka. Atau inikah ujian untuk mereka berdua? Tidak ada yang tahu dengan kebenarannya.
Bahu gadis itu bergetar, menandakan ia menahan tangis setelah semalaman menangis, "Nggak pernah ada yang ngerti sama gue... Hiks," tangis Berliana pecah membuat Rara mengernyit. Pasti Arival, batinnya.
"Li--"
"Biarin gue sendiri, Ra." Rara hanya mengangguk lalu keluar dari kelasnya. Ketika Angkasa yang melewati kelas mereka.
"Sa, Lian nangis." ujar Rara pada pacarnya.
"Kenapa?" Angkasa heran.
"Kayaknya, si Arival-"
"Brengsek, emang!" tangan Angkasa mengepal.
"Terus sekarang gimana? Tadi gue tanya sama Lian, tapi dia minta gue buat pergi. Dia bilang, dia butuh waktu, Sa." ucap Rara pada Angkasa.
"Sementara kita biarin Lian tenang dulu, kasih waktu dia untuk berpikir lagi kalau si Arival itu brengsek." Rara hanya mengangguk.
Sementar itu di SMA Cendrawasih, Arival tak bisa berkonsentrasi dengan latihan bersama tim-nya itu.
"Val, lo kenapa sih? Nggak biasanya lo kayak gini." Komentar Rey barusan membuat Arival menghela napas lalu menghembuskan napasnya kasar.
Arival menggeleng, tapi Rey tahu bahwa laki-laki yang jago basket itu mempunyai masalah.
"Kalau lo punya masalah jangan di sangkut pautin sama latihan ini dong, Val." ujar Rey.
Arival men-dribble bola basket itu, tapi entah bagaimana pikirannya buyar kemana-mana. Ia melempar bola itu dengan kesal, meluapkan emosinya secara terang-terangan. Emosi yang sempat ia pendam.
Ia terduduk di lapangan basket, latihan kali ini sungguh membuat kecewa, Arival tidak berkonsentrasi.
"Lo mau kalah waktu kita tanding?" Rey menghampiri Arival. Pikirannya pasti tertujubpada Berliana. Bila tim-nya kalah, itu artinya Berliana harus jatuh ke dalam rencana Elang, lawan tim basketnya itu.
Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar, Rey mengambil botol dingin berisi air putih di pinggir lapangan, lalu menyerahkannya pada Arival.
"Thanks," ujar Arival mengambil botol dingin itu, lalu membuka tutupnya dan meneguk airnya.
Arival memejamkan matanya sejenak, "Lo kenapa, Val? Ada masalah?" Arival diam tak menjawab. "Oke, gue ngerti kok. Nggak papa kalo lo belum mau cerita." Rey menepuk bahu Arival.
Ia gelisah, ingin berbuat sesuatu tapi tidak bisa. Jadi... Ia harus bagaimana?
Tbc