Mata Angin (UTARA)

By MusMusculus3

12.4K 1.7K 157

____ (CERITA DALAM PROSES REVISI) - Silahkan simpan dahulu ke DAFTAR PUSTAKA atau PERPUSTAKAAN anda. Utara ti... More

part 1
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
Apel
part 7
part 8
part 9
part 11
part 12
part 13
part 14
part 15
part 16
lanjut?
part 17
part 18 hukuman hari pertama
part 19
part 20
part 21
part 22 hukuman hari kedua
part 23
part 24 hukuman hari ketiga
part 25
Comeback

part 10

359 30 3
By MusMusculus3

_____Dangerous Of Utara_____

_____@MusMusculus3______

Sore itu mentari terlihat semakin meredup, bersembunyi dibalik waktu yang terlalu enggan untuk berdetik sedikit lebih lamban. Gedung di ujung koridor itu bahkan tak lagi terkena sinar hingga terlihat meremang, apalagi ditambah suasana dalam ruangannya yang semakin tidak mengenakkan, jantung gadis itu berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Utara POV

"Darah-" Bibirku berucap lirih diiringi
senyumku yang lenyap ketika mataku benar-benar menangkap cairan kental itu menghiasi dinding dan beberapa buku. Tidak banyak, hanya bekas tepakkan seseorang yang baru saja duduk di sana. Aku yakin 100% dia adalah Gazafa Adiyatama, lelaki itu bahkan baru saja bangkit dari duduknya. Punggungnya masih terlihat dari rak buku tempat persembunyianku.

"Za?" Panggilku pada Gaza ketika aku memalingkan wajahku pada lelaki itu, menatapnya kemudian menyadari jawaban yang sesaat melayang-layang dalam fikiran. Sementara Gaza secepat kilat menoleh mendapatiku yang sudah tepat di belakangnya. Sekilas aku berfikir, apa dia benar-benar Gaza? Atau, hantu? Karena penampilannya terlihat tidak baik-baik saja. Gaza terlihat menyeramkan.

"Za, itu-" telunjukku terarah pada Gaza. bukan! Lebih tepatnya pada tengkuknya yang tidak terlalu jelas terlihat jika memandang tegak lurus di depannya. Sepertinya ia menangkap ceceran darah di dinding lewat sudut matanya, hingga ia berpaling sepenuhnya. Sampai saat ini ia tidak terlihat menampakkan keterkejutan, kukhawatirkan ia benar-benar hantu atau semacamnya hingga aku terfikirkan untuk mengambil langkah seribu menghindarinya. Tidakkah kalian tahu bahwa hantu menyukai waktu-waktu seperti ini? Tidak siang dan tidak malam.

Mencari jawaban yang tidak kunjung ia dapatkan dengan hanya menatap mata coklatku, akhirnya ia menyadari sesuatu lalu mengusap kepala bagian belakang dengan sisiran kecil dari sela-sela jari, sesaat Gaza terkejut melihat cairan kental itu adalah miliknya.

"Oh, aku berdarah" gumamnya saat tangan Gaza turun mendapati warna merah pekat yang mendominasi. Bau anyir menyerbak pada indra penciuman kami, membuat batang hidungku berkerut.

Iya, itu darah yang mengucur dari kepala Gaza dan hanya ia tanggapi dengan gumaman kekecewaan yang lebih tenang dari terkena duri. Di belakang telinga putih itu kini terlihat jelas aliran darah yang tidak lagi beredar di dalam pembuluhnya. Warnanya merah pekat, kental, dan aku tidak menyukai pemandangan seperti itu.

"Aku tidak mati Utara," Ujar Gaza dengan beberapa penekanan setelah melihatku hanya mematung diam seribu bahasa, membuatku mengerjap. Aku tau, ia memang tidak mati, tapi mungkin sebentar lagi ia akan mati.

"Itu kepala kenapa?" Tanyaku akhirnya.

Mungkin pertanyaanku kurang bermutu. Ia berbalik dan berjalan untuk mengambil buku yang tergeletak mengenaskan di lantai. Sampulnya sedikit robek karena pendaratanya cukup sadis. Mengacuhkanku hah?

"Gaza!" Bentakku dengan suara lebih meninggi dari sebelumnya. Anak itu berusaha mengacuhkanku lagi dengan pergi meletakkan buku itu di tempatnya.

"Berantem," Jawab Gaza santai membuatku menurunkan nafas yang kubuat untuk membentaknya lagi, sebelum ia menjawab kata-kata itu dengan entengnya. Sebenarnya berapa lama aku tidur hingga tidak mengetahui keributan? Lalu, berkelahi? Aku baru teringat bahwa murid di sekolah ini memang tidak bisa ditebak dengan mudah. Sulit kuwajari dengan begitu saja, tapi kurasa pilihan terbaik adalah mengikuti segala alur ceritanya, ini bukan waktunya untuk memecahkan rahasia.

"Nggak usah khawatir gitu, aku nggak papa," Ucapnya lagi. Apa aku menghawatirkannya? oh, tentu saja. Kuyakin semua orang pasti menghawatirkan hal-hal seperti ini, kecuali jika orang itu benar-benar tidak punya hati.

Gaza beranjak dari tempatnya, berhenti pada darah yang bercecer di dinding kemudian mengelapnya dengan lengan jaket yang ia gunakan. Dindingnya tetap kotor, lalu ia usap-usap lagi lebih kasar, tapi tetap tak menghasilkan apapun karena bekasnya semakin berantakan.

Aku menggelengkan kepalaku, menarik lengannya hingga mata kami beradu. "Itu kepala berdarah Za," Ucapku sarkatis, ia menaikkan alisnya disusul kepalanya yang ia miringkan.

"Lalu?"

"Lalu nggak diobatin?" Kesal, aku menghempaskan tangannya. Kemudian meninggalkannya untuk mengambil kotak P3K yang tersedia di perpustakaan. Ketika sengaja aku melewati seluruh rak dan berhenti pada lemari kecil, tersadar jika ternyata ruangan ini memang tidak ada lagi manusia selain kami, ditambah pintu keluar telah tertutup dengan rapat. Bahkan penjaga perpustakaan tak lagi menampakkan batang hidungnya. Oh tidak!

Glek, glek glek

Suara itu kini terdengar lebih mengerikan dari darah Gaza ketika tanganku memutar kenop pintu, terkunci. Sebuah kenyataan telah menamparku pada kesadaran penuh jika waktu sesore ini perpustakaan akan terkunci otomatis. Kulirik lagi jarum jam yang sudah mengarah ke angka 16:35, sudah jelas bahwa tidak akan ada petugas perpustakaan di jam-jam menjelang malam. Seharusnya penjaga perpustakaan memeriksa terlebih dahulu sebelum benar-benar meninggalkan tugasnya. Akibatnya begini, dua orang terkunci tanpa ada yang tahu. Masalahnya korban tidak beruntung itu adalah aku sendiri.

"Gaza! Pintunya kekunci," Aku kembali menghampiri Gaza dengan kotak P3K yang kubawa. Lelaki itu masih sibuk dengan dinding di depannya yang sudah lumayan samar dari darah, namun basah. Sepertinya ia menyiram dengan sesuatu.

"Sini, obatin dulu. Masalah pintu biar aku nanti yang urus," Gaza mendekat kemudian membelakangiku. Lagi-lagi ia begitu tenang seperti bisa membuka pintunya dengan kata 'alohmora'. Begitu menenangkan hingga mampu membuatku mengangguk lemah.

Aku menariknya hingga terduduk di kursi terdekat, membuka rambutnya yang lepek akibat darah yang belum banyak mengering. Seperti luka hantaman benda tajam. Tak ingin mengulur waktu lebih lama, kubersihkan darahnya dengan alkohol, menyiramnya dengan obat merah, kemudian ku tutup dengan perban. Cukup menyakitkan jika kulihat, tapi Gaza hanya diam mematung. Aku juga bukan anak kesehatan, tapi cukup mengerti dengan hal semacam ini.

"Selesai," kataku cepat.

Kurapikan lagi benda-benda yang bercecer di atas meja, kemudian beranjak mengembalikan pada tempatnya. Semilir angin menyelinap masuk melalui celah jendela dan gorden. Menyapu kulit wajahku dan menimbulkan rasa dingin yang menjalar hingga ujung kaki. Sementara teringat kembali pada pintu dengan kenop pintu berwarna emas. Berbalik, aku hendak menagih janji Gaza untuk mengurus pintu. Apapun caranya, asalkan tidak terkurung bersamanya dalam ruangan ini.

Arah pandanganku membuat langkahku melambat. Lelaki itu menyandarkan kepalanya pada meja kayu di sebelahnya. Apa Gaza tidur? Jika saja benar maka aku berjanji tak akan mempermasalahkanya.

Kuguncang tubuhnya sekali, tak ada respon. Selanjutnya berkali-kali ditambah panggilan yang kuujar, tetap tak ada respon. Sepertinya kepalanya membuatnya tak sadarkan diri. Pingsan? Satu detik,...dua detik,...tiga detik,...what must I do? Aku panik. Jika Gaza pingsan berarti lukanya cukup parah. Jika lukanya cukup parah berarti ia harus dibawa ke rumah sakit, dan untuk melarikannya maka kami harus keluar dari ruangan ini. Pintunya terkunci, itu yang jadi masalahnya.

Mencoba berfikir sejenak meski otaku buntu. Kugigit bibir bawahku cukup keras hingga menimbulkan rasa asin di sana. Kujambak kecil rambut depanku, kemudian berjongkok, mengintip jendela, berteriak sesekali, menendang pintu, kursi, kembali ke samping Gaza, memeriksanya. Akh! Apa yang kulakukan? Terkurung di ruangan gelap bersama orang yang tidak sadarkan diri adalah ide paling buruk.

Tiba-tiba lampu pijar menyala pada kepala kananku. Kenapa juga otaku yang pintar ini baru bekerja? Kuraih ransel biru dan mengeluarkan benda persegi panjang sang pahlawan kesiangan. Kudial nomor Jerry, berniat menelfonnya.

Namun,..

Sesuatu menghentikanku saat jariku hampir menyentuh nama yang terpampang di layar smartphone. Tangan kiri, tidak terlalu putih, tidak cantik, milik Gaza. Aku mengangkat pandanganku kearah lelaki yang tengah meringis, matanya terbuka dan tidak tertutup, ia sadar dan tidak pingsan. Otaku benar-benar bekerja menyaingi kecepatan cahaya, menyadari sesuatu.

"Kamu bercanda?" Ucapku kesal. Gaza terlihat mengulum senyum yang kutebak terdapat tawa terbahak-bahak di dalamnya.

Kuhempaskan tangannya kasar membuat tangan itu membentur pinggiran meja. "Sialan! Kau membodohiku? Kamu fikir ini lucu? Kamu fikir kepanikanku adalah lelucon? Kamu fikir bibirku ini tidak sakit? Kamu fikir darahku ini adalah selai strawberry?"

Gaza membuatku marah. aku mendorongnya hingga ia terjungkal dari kursinya. Rintihan kesakitan tidak kuperdulikan. Aku segera mencari jalan keluar setelah memastikan kunci pintu kurampas dari tangannya. Ia memang sempat mengatakan bahwa kunci cadangan yang ada pada satpam telah ia curi, melihat kebiasaannya sering keluar masuk perpustakaan diluar jam sekolah. Entah apa yang dia lakukan, untuk sekarang itu tidak penting.

Karakter komik itu telah mempermainkan seorang Utara. Jika fans saja bisa menjadi hatters, maka aku juga akan seperti itu. Jika benci saja bisa menjadi cinta, maka aku akan membalikkan keadaan dimana cinta menjadi benci. Ngaco! Aku memukul kepalaku yang tiba-tiba menjadi melankolis.

Hari semakin lama semakin sore, tapi lagi-lagi langkahku tertunda. Tangan itu lagi, tidak terlalu putih, tidak cantik, milik Gaza, mencekal lenganku memaksaku menoleh. Lagi-lagi menghentikan rencanaku seperti sebelumnya.

Lelaki berambut hitam pekat dengan perban yang menempel pada kepala bagian belakang telinganya. Ia menggaruk tengkuknya, "aku-minta maaf," suaranya terdengar lirih.

"Apa?" Aku mendengarnya dengan jelas, tapi aku perlu kepastian.

"Aku minta maaf." Oh, permintaan maaf ini membuatku ingin tertawa tiba-tiba. Lihatlah kawan, Gaza terlihat sangat manis jika berkata seperti itu.

"Tidak akan!" Tapi, marah bukanlah hal yang biasa aku terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Marah yang bisa dibilang langka tidak boleh dibuang dengan sia-sia, karena dia harus meminta maaf dengan lebih tulus.

"Pelit!" Aku membelalakkan mata ketika tanpa diduga kata itu yang keluar dari mulut Gaza dan bukan permintaan maaf lagi seperti yang aku perkirakan.

Ia menghempaskan tanganku ketika kata 'pelit' keluar dari bibirnya. Balas dendam heh? Aku terus memperhatikannya mencari entah apa dalam tas. Kemudian ia mendekatiku kembali dengan satu plester yang ia bawa. Pokemon? Kemudian lagi,..

Astaga! Aku menahan nafas sejenak. Sedikit darah yang keluar dari bibirku telah berpindah ke ibu jarinya. Karakter komik ini berubah menjadi karakter novel romantis yang biasa aku baca. Kemudian ia menempelkan plester dengan gambar pokemon di bibir bawahku dengan hati-hati. Hanya beberapa detik karena ini bukan pembuatan film roman. Jadilah plester itu terpasang dengan sempurna. Kurasa aku perlu berselfie setelah ini, karena aku belum pernah melihat pengobatan bibir terunik yang seharusnya masuk dalam on the spot.

Kutepis tangannya lagi lebih keras, membuatnya mengaduh kesakitan. Sepertinya akan berbahaya jika lebih lama lagi terkurung bersama Gaza di ruangan ini. Ia lebih berani dari kelihatannya.

Drrt drrrtt

Sebuah ponsel berbunyi nyaring, Gaza mengabaikan kesakitannya mendekatkan ponsel pada telinga. Matanya menatap lurus kearahku, tapi otaknya berada jauh di sebrang telfon bersama lawan bicara. Aku menunggunya selama satu menit hingga kemudian ia menurunkan ponselnya.

"Bisakah kau menungguku? Aku keluar sebentar," Gaza menarik lenganku, dengan tujuan mengambil alih kunci yang kugenggam. Kini kunci itu telah berpindah tangan ke tangan Gaza.

"Tidak mau! Aku ikut atau aku mau pulang," jawabku yang lebih mengarah untukku sendiri.

"Nggak usah ngeyel, di luar ada anak Dharwa yang masih berkeliaran, mau dimakan mereka?" Paksa Gaza akhirnya memberitahuku. Pantas saja ia berkelahi, ternyata mereka mengusik kami lagi. Sebenarnya siswa Raya Wasita juga sering mengganggu mereka, hingga hukum timbal balik pun masih terus berlangsung hingga saat ini. Bukannya aku tidak takut, hanya saja berada di perpustakaan di jam sesore ini akan lebih menakutkan.

Gelengan kepala yang kuhadiahi pada Gaza membuatnya menghela nafasnya berat. Memang siapa juga yang mau ditinggal diruangan seperti ini sendirian, lebih baik ikut berantem.eh?

"Oke. Cepat ambil tasmu," Ucap Gaza mengalah. Segera kuturuti perintah Gaza sebelum ia berubah fikiran dan meninggalkanku di sini. Aku menghilang dari pandangan Gaza setelah berbelok pada satu rak yang mempertemukanku dengan segala Peralatan tulis yang masih tertumpuk manis di meja.

Brakk! Klek klek

Suara itu bagaikan hantaman besar pada otaku hingga menghentikan seluruh syaraf gerak tubuhku sesaat. Beberapa detik kemudian aku berbalik demi menatap pintu kayu itu telah tertutup dengan rapat, dan suara susulan setelah terbantingnya pintu dengan keras adalah pertanda bahwa Gaza telah menguncinya dengan baik.

"Shit!" Umpatan itu keluar begitu saja dari bibirku. Tidak biasanya aku mengumpat, tapi kali ini Gaza benar-benar keterlaluan.

Glek glek

Kuputar kenop pintu beberapa kali. Berharap suara tadi bukan berasal dari arah sini.

"Gaza sialan!" Teriakku keras berharap lelaki itu mendengarnya. Kakiku mendarat pada pintu itu, menendangnya berkali-kali. Hingga yang kudapat adalah rasa sakit karena tendangannya terlalu keras.

Jika saja aku tidak memilihnya sebagai anggota kelompok. Jika saja aku tidak tertidur hingga menunda kepulangan. Jika saja siswa Dharwa tidak kekurangan kerjaan dan memutuskan bersilaturahmi. Atau jika saja aku tidak bersekolah di sini. Jika saja,...jika saja. Terlalu banyak jika, jika saja itu tidak terjadi, maka aku tidak akan terkurung di sini. Ruangan ini gelap, karena waktu menunjukan pukul 17.45.

Tidak sepanik itu karena masih ada ponsel, setidaknya aku bisa bernafas lebih normal dari sebelumnya. Aku fikir kemarahan dari Jerry lebih baik daripada menangis ketakutan. Anak itu pasti akan banyak mengomel lebih dari ayah jika aku belum menampakkan batang hidungku lebih cepat. Segera kucari nomor ponsel Jerry dengan kelihaian jariku, kemudian kudekatkan ke telinga. Tidak lama, hingga kemudian suara itu terdengar nyaring di telinga.

"Pulsa yang anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini,.."

Seketika dunia terasa kejam dan begitu sadis.

________Dangerous Of Utara_________

To Be Continued..

____________________________

Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca "Dangerous of Utara".
Jangan lupa tinggalkan jejak anda pada gambar bintang di bawah ini 👇.
Saran anda merupakan hal yang paling saya tunggu.
Sampai bertemu lagi di part selanjutnya.
Follow: @Musmusculus3

Continue Reading

You'll Also Like

3.5M 167K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
251K 13.6K 73
"Jodoh santri ya santri lagi." Di dunia pesantren, adat perjodohan sudah menjadi hal biasa yang sering terjadi. Azka Azkiya merasakan hal itu di tahu...
764K 67.8K 44
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
567K 31.2K 74
The endβœ“ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] β€’β€’β€’ Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...