Unfinished Fate [TERBIT]

By liarasati

4.4M 265K 3.2K

Judul lama Gorgeous Stepmother Ibnu Anggoro-seorang duda anak dua-terpaksa menikahi Marsha Amalia Adinata kar... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 30-2
Part 31
Part 31-2
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35 (End)
OPEN PO [5-9 OKTOBER]
Daftar Kontak Olshop

Part 27-2

108K 6.6K 59
By liarasati

“Ini ketiga kalinya aku mendapatimu melamun, hari ini.” Niko menyambar minuman kaleng dari kulkas mini di ruanganku. “Pasti karena dia, kan?” Niko menarik cincin kaleng. “Waktu aku bilang tatapanmu ke dia beda dengan Salma, ternyata aku seratus persen benar, kamu ada rasa pada pandangan pertama, dan sekarang, ketika kamu dengan gilanya melepas dia, kamu menyesal? Lagu lama Ibnu! Aku kasih nilai seratus untuk kerja kerasmu di perusahaan. Tapi nol, untuk sikapmu memahami wanita.”

    Aku tak bisa mengelak, yang dikatakan Niko sepenuhnya benar.

    “Aku sudah menduga Marsha juga memiliki perasaan padamu saat pertama kalinya dia berani datang mengajakmu makan siang. Tapi, kamu selalu bersikeras dan menyangka dia mencintai laki-laki lain.”

    Niko mengomeliku sepanjang waktu, tepatnya saat aku bercerita mengenai buku harian Marsha.     

    “Hutang lunas, maka kamu akan memulai segalanya dari awal, jujur dengan perasaanmu ke Marsha. Tapi, memang nasibmu naas banget, Nu. Kalau aku bilang sih lebih ke goblok. Menyia-nyiakan apa yang ada di depan mata. Kamu kira dia bakal tahu dengan apa yang kamu perbuat di belakangnya? Dia bukan cenayang. Astaga...!” Niko menggaruk kepalanya kesal.

    Aku mendesah. Niko tak akan berhenti menghakimiku.

    “Yakin kamu cuma ketemu itu di kamar, Nu?” Alisku bertaut. “Cewek biasanya sedikit lebay, dia bisa nyembunyiin apa aja, mungkin Marsha kebalikan dari Salma yang selalu terang-terangan mengungkapkan perasaannya, sampe kamu kelimpungan membalasnya dulu.”

    Tiba-tiba aku tersentak. Tidak ada bagian kamar yang berubah, aku bahkan tak pernah mengganggu gugat barang-barang Marsha semua masih terpatri di tempat sedia kala. “Niko, aku pulang sekarang, kalau ada apa-apa tolong handel dulu.” Kataku cepat yang bahkan melupakan ponsel di atas meja kalau Niko tidak mengingatkan.

    Sesampainya di rumah, Arga yang tengah bermain dengan Arya di ruang tengah langsung beranjak memanggil-manggil namaku. “Arga main sama Bang Arya dulu, ya?” tawarku lembut, Arga sama sekali tidak bisa mendengar suara meninggi, atau dia akan menangis detik itu juga. Biasanya dia akan ikut denganku ke kantor, tapi beruntung hari ini Arya di rumah, sedang libur kuliah.

    Arya mengambil Arga dalam gendongannya, mengecupi pipinya hingga anak itu kegelian dan melupakan keberadaanku. Segera aku ke kamar, mengunci pintu.

Apa masih banyak hal yang disembunyikan Marsha? Ketakutan merambatiku, mungkin aku akan menghitung satu per satu kebodohan yang telah kulakukan. Menumpuk penyesalan yang kian menjadi.

Buku-buku milik Marsha telah berserakan di atas kasur. Kebanyakan di dominasi dengan majalah. Gerakan tanganku yang awalnya cekatan berubah gemetar melihat satu foto kebersamaan kamu mencuat dari salah satu buku.

Napasku tersengal dengan rahang mengetat. Merutuki diri sebodoh-bodohnya, saat membuka halaman demi halaman, buku harian Marsha yang telah penuh dengan tulisan tangannya.

Aku terus-terusan memutar cincin nikahku. Rasanya aneh tiap kali memandanginya. Benar nggak sekarang aku seorang istri? Seorang Ibu? Meskipun bukan Ibu kandung. Tapi, dia bilang anak-anaknya nggak nakal. Memang nggak, hanya saja, tatapan mereka seakan memusuhiku.” Tulisnya di baris pertama.

    Kulirik cincinku. Cincin yang kubeli begitu aku menyetujui kesepakatan gila dengan Papa Marsha.   

"Saya terima nikah dan kawinnya Marsha Amalia Adinata binti Setiawan Adinata dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Akhirnya aku sah menjadi suami Marsha Amalia Adinata sedari tadi Marsha terus memeluk ayahnya dengan air mata yang terus mengalir.

Diruangan ini juga dipenuhi dengan kakak laki-laki Marsha dan istrinya. Juga pengacara Setiawan Adinata.

Kedekatanku dengan Marsha tidak berlangsung lama dia hanya mencium tanganku sekilas sesaat setelah aku mengucapkan ijab kabul dan aku pun menyambutnya dengan ciuman dikening.

Aku membaca note yang diselipkan Marsha ditanganku ketika aku pamit pulang. Dia berkata kalau dia ingin apa yang ditulisnya dikertas kecil ini ada dikamarnya karena dia akan tinggal padaku setelah menikah. Dia memberikannya dengan tatapan malu-malu, membuatku sangat gemas ingin mencubit pipinya saat itu juga.

Tawa ku tiba-tiba saja meledak membaca note yang diberikan Marsha. Bagaimana dia bisa berpikir seperti ini. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sepertinya dia bahkan lebih parah manjanya dari pada Aira. Aku seperti pedofil yang menikahi gadis dibawah umur kalau begini.

Aku kembali membuka halaman selanjutnya. “Tubuhnya tegap sih. Lumayan. Nggak keliatan seperti Om-Om. Perutnya nggak buncit. Tapi kenapa Papa pilih dia? Kenapa Papa nggak pilih cowok lajang lainnya?”

Aku pun tak tahu jawabannya Marsha. Kenapa? Kenapa Setiawan Adinata memilihku?

Pembukaan cabang di Pontianak tidak berjalan mulus belum ada satu bulan departement store tersebut beroperasi seluruh bangunan sudah habis dilahap sijago merah. Kasusnya masih diselidiki oleh pihak yang berwajib namun terdapat beberapa korban jiwa karena kebakaran didahului dengan ledakan kuat diruang generator sehingga terdapat beberapa orang yang terluka.

"Nu, ini laporan dari tim legal dan keuangan.” Niko memberikan tumpukan file laporan ke atas meja kerjaku.

"Pihak asuransi pun sepertinya nggak bisa bayar penuh." Aku mengerutkan dahiku. Ini seolah menjadi pukulan bertubi-tubi yang kudapatkan.  "Kalau kita terus memberi suntikan dana, maka cabang yang lain terancam goyang. Dua minggu lagi juga akan ada rapat direksi. Pak tua itu pasti sudah merencanakan strategi baru untuk menggulingkanmu," Nico terus saja memberikan penjelasan yang sebenarnya sudah ada dalam otakku.

Perusahaan ini memang kubangun bersama dengan Niko dan dibantu dengan Friska, serta semangat dari Almarhumah Salma. Namun karna berkembangnya persaingan. Aku mau tak mau harus mempertahankan existensi . Dengan menjadikan perusahaan kami menjadi perusahaan terbuka.

"Kita harus menemukan solusinya, Nu?"

"Iya, ini aku juga sedang berfikir," ucapku ketus.

"Ini," Niko menyerahkan sebuah kartu nama kepadaku Setiawan Adinata?

"Kamu harus coba tawarkan kerja sama ke dia,” ucap Niko serius.

Setiawan Adinata adalah pemilik perusahaan rokok nomor satu di negeri ini. Termasuk jajaran orang terkaya.

"Kalau kamu meminta menemui dia? Lalu apa yang bisa kita tawarkan padanya sementara perusahaannya sudah jauh lebih besar dari pada perusahaan kita?" jawabku.

"Aku yakin kamu nggak sebodoh itu, Nu. Banyak kerja sama menguntungkan yang bisa kita berikan."

Aku menimbang perkataan Niko. "Baiklah, aku akan mempersiapkan proposalnya dan kamu cari tahu lagi tentang latar belakang Setiawan Adinata," ucapku dengan yakin. Demi perusahaan dan karyawanku, batinku.

"Sip bos, ini baru Ibnu yang aku kenal," ucap niko sambil berdiri tegap dan tangan dengan posisi hormat.

***

Aku dan Niko sedang berada di sebuah ballroom hotel ternama. Kami sedang menghadiri ulang tahun sebuah perusahaan yang telah bekerja sama dengan kami selama bertahun-tahun.

"Aku dengar kalau Setiawan Adinata akan hadir disini," ucap Niko setengah berbisik. "Nah itu dia," sambung Niko sambil menunjuk. Aku mengikuti arah tangan Niko seorang pria paruh baya dan gadis cantik yang terus mengandeng tangannya.

Sebelumnya, Niko juga memberiku informasi sedikit kalau Setiawan Adinata mempunyai dua orang anak. Satu putra dan satu putri. Putranya sudah menikah dan mengikuti jejaknya, menempati salah satu posisi penting diperusahaannya. Dan putrinya masih kuliah, dia terkenal sangat cantik. Awalnya aku beranggapan ucapan Niko berlebihan, namun setelah melihatnya langsung... ada desir aneh yang merambati dadaku.

"Itu dia, putri bungsu Setiawan Adinata," seketika Niko membuyarkan lamunanku. "Setiawan Adinata juga terkenal protektif terhadap putri satu-satunya itu, bahkan dia menyekolahkannya ke sekolah khusus putri sejak kecil. Namanya, Marsha Amalia Adinata. Dia selalu ikut kemanapun ayahnya pergi, bahkan kabar yang terdengar banyak kolega keluarga Adinata yang meminta perjodohan namun selalu ditolak oleh Setiawan Adinata," jelas Niko panjang lebar. "Mungkin Setiawan Adinata ingin anaknya menjadi perawan tua kali ya.. hihi..." aku mendengus kesal ke arah Niko, soalnya ini bukan waktunya untuk bercanda.

"Becanda bos."

Aku hanya menggeleng kepala.

Dia, gadis itu, terus mengamit tangan ayahnya. Jemarinya yang bebas beberapa kali terlihat meremas dress. Pipinya bersemu merah ketika mulai berbincang. Dia terus tersenyum sopan kepada semua kerabat ayahnya. Bisa kuibaratkan dia bak porselen antik yang tak tersentuh. Wajahnya, matanya, hidungnya, mulutnya, alisnya perpaduan yang sangat indah ditambah dengan tubuh mungilnya yang terus saja memanggilku untuk direngkuh. Rambut hitamnya yang panjang terurai sangat indah. Aku terus memerhatikannya lekat entah kenapa pandanganku sulit teralihkan darinya. Dia seperti terbiasa menjadi pusat perhatian, dan pastinya tak hanya aku diruangan ini yang terus memperhatikannya.

"Bisa-bisa keluar bola mata kamu kalau melotot gitu terus," lagi-lagi Niko membuatku kembali ke dunia nyata. Aku hanya mengalihkan pandanganku tak menghiraukan ucapan Niko. Meskipun aku sungguh tak rela mengalihkan tatapanku darinya.

"Nu, kamu udah siapin proposalnya kan?"

"Malam ini akan aku siapkan. Aku udah minta ke Liana buat janji temu ke Setiawan Adinata dan baru dapat hasilnya besok," jawabku. "Ya sudah balik yuk," ajakku ke Niko.

"Kok cepat amat? Kita baru beberapa menit kali disini." Memang benar kata Niko. Namun, berlama-lama di sini dan melihatnya yang terus-terusan diperhatikan oleh para lelaki membuatku gusar. Aku harus segera mengenyahkan perasaan ini. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku jatuh hati pada pandangan pertama.

"Kalau kamu masih mau di sini ya sudah. Tapi aku masih ada Arya dan Aira dirumah," celaku.

"Oh ya, aku lupa kalau kamu singleparent. Ayo deh kalau gitu."

***

Aku memakirkan mobilku didepan rumah. Sepanjang jalan bayang-bayang gadis itu terus saja mengikutiku. Bahkan tak kuhiraukan Niko terus saja bercerita ketika kami dalam perjalanan pulang.

Kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kalau Aira aku yakin telah tidur kalau Arya mungkin masih bermain playstation. tadi pagi aku sudah sempat pamit sama anak-anak kalau ada acara diluar jadi tidak usah menungguku.

Setelah selesai membersihkan diri aku kembali berkutat dengan proposal yang akan kuajukan kepada Setiawan Adinata.

Tiga jam berlalu ku cek berulang kali proposal yang kusiapkan sudah cukup baik dengan penawaran yang layak pikirku. Aku menatap bingkai foto kecil yang berisi fotoku dan Salma. Seharusnya aku tidak menghianatimu bahkan hanya untuk perasaan sesaat. Maafkan aku Salma. Bagiku dengan memikirkan gadis lain selain Salma adalah bentuk penghianatan. Ini demi perusahaan, aku terus menekankan kata-kata tersebut dalam hati.

"Pak saya sudah konfirmasi dengan Adinata Group untuk membuat janji temu, mereka meminta Anda menemui Setiawan Adinata rumahnya pukul satu siang ini.” Liana memberikan catatan alamat kepadaku.

"Baiklah, kosongkan jadwalku siang ini kalau begitu."

"Baik Pak."

Sekarang sudah pukul dua belas siang aku bergegas mengendarai mobilku menuju ke alamat yang tadi diberikan oleh Liana. Ini pertemuan penting, aku tidak ingin terlambat dan dianggap tidak propesional.

"Sepertinya benar ini alamatnya," gumamku pelan saat berhenti disebuah bangunan besar bertembok tinggi berwarna putih. Aku turun dari mobilku dan memencet bel. Tidak ada reaksi, aku kembali memencet bel.

"Ada yang bisa dibantu?" ucap satpam rumah dari celah kecil berbentuk kotak yang ada diujung pintu pagar.

"Saya ada janji ketemu dengan pak Setiawan Adinata jam satu siang ini."

"Nama Anda?"

"Ibnu Anggoro."

"Baik, mohon tunggu sebentar.” Satpam tersebut menutup kembali celah kecil tadi.

Pintu gerbang tiba-tiba terbuka satpam tadi mengisyaratkan aku untuk masuk. Aku menjalankan kembali mobilku ke dalam rumah megah tersebut dan memarkirkan mobilku di tempat parkir yang telah disediakan. Di sana juga berjejer mobil-mobil mewah.

"Ayo, ikuti saya," ucap seorang ajudan saat aku turun dari mobil, tak lupa aku merapikan setelan jas ku terlebih dahulu dan membawa beberapa file yang telah kupersiapkan sebelumnya.

Ajudan tersebut tidak masuk kedalam rumah dan malah mengajakku kehalaman belakang dia menyuruhku duduk di bangku taman. Tempat ini dikelilingi dengan hamparan tanaman mawar yang sangat indah. Sepertinya pemilik rumah ini sangat suka dengan mawar berbeda dengan Salma yang tergila-gila dengan tanaman anggrek.

Setiawan Adinata, akhirnya datang dengan menggunakan pakaian santai dan celana pendek. Ajudannya memberikan saputangan untuk mengelap tangannya, sepertinya dia baru melakukan beberapa pekerjaan di taman.

"Oke, apa yang membuat Direktur Marco datang ke sini?"

Setiawan Adinata terlihat sangat santai.

"Saya ingin menawarkan kerja sama dengan Adinata Group." Aku membuka semua file yang telah kusiapkan dan menjelaskan secara terperinci jenis kerjasama yang akan kuajukan. “Selama setahun produk Adinata Group akan berada di rak utama, tanpa pajak—“

“Jadi, ini semacam kamu meminjam uang? Sebagai balas jasa meniadakan pajak produk yang terpajang?”

“Ini kerja sama,” kilahku.

Aku menangkap manik matanya reaksinya benar-benar tak tertebak. Dia hanya melihat sekilas lalu mencampakkan kembali file-file ku diatas meja. Aku juga menunjukkan grafik yang kubuat, namun tetap saja reaksinya sama.

"Singkirkan semua ini," ucapnya dengan nada datar. Aku menurutinya dengan memasukkan semua file-file ke tas kerjaku.

"Aku hanya mempunyai satu syarat dan sebagai gantinya aku akan memberikan berapapun investasi yang kamu minta untuk perusahaanmu.”

Aku setengah terkejut dengan pernyataannya. Apa yang sebenarnya dia inginkan kalau bukan dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan bahkan aku telah menawarkan lebih kali ini.

"Apa itu?"

"Nikahi putriku," ucapnya singkat.

Aku segera berdiri dari tempatku. Terkejut dengan gagasannya. Sekaligus tersinggung karena ini tak ada hubungannya dengan masalah pribadi. Aku memang butuh investasi namun aku juga punya harga diri. "Sepertinya anda telah salah menilai saya. Maaf telah mengganggu waktu Anda yang berharga." Aku menahan emosi sebisaku. Lalu berlalu pergi.

"Kamu akan segera kembali menemuiku lagi anak muda."

Aku berhenti sejenak namun kulanjutkan lagi langkahku. Kuanggap dia salah besar karena berpikir bahwa aku akan kembali menemuinya.

***

Nico terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan sejak aku menginjakkan kaki di kantorku pagi ini. Pekerjaan yang harus kuperiksa banyak sekali, karena kemarin aku memilih langsung pulang dan tidak kembali ke kantor.

"Nu, kamu buat aku kayak ngomong sama tembok!" Niko kelihatannya mulai kesal karena aku terus mengabaikannya.

"Kami tidak menemui kesepakatan kemarin. Sekarang aku harus bekerja keras untuk mencari cara lain."

Niko terlihat sangat heran dengan penjabaranku.

"Apa dia nggak setuju sama tawaranmu? Bahkan kita sudah menawarkan lebih padanya. Apa dia terlihat menolak mentah-mentah tawaran kita?"

"Nggak, bukan itu masalahnya."

"Lalu, kalau bukan itu, apalagi masalahnya?"

"Dia memberikanku sebuah syarat tapi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan perjanjian bisnis."

Dahi Niko mengerut. "Aku semakin nggak ngerti, sama penjelasanmu."

"Sudah lupakan saja, aku akan mencari cara lain." Aku mengelak kali ini.

"Nu, ini bukan waktunya buat main-main. nggak ada cara lain. Waktu kita makin mepet, rapat dewan direksi kurang dari dua minggu lagi. Emang apaan sih syarat dari Setiawan Adinata sampai kamu nggak bisa memenuhinya?"

Aku menghela napas sejenak, apa yang dikatakan Niko benar kalau waktu kami udah benar-benar terdesak. "Dia memintaku menikahi putrinya," ucapku datar.

Kulihat Niko berdiri membatu dengan mulut yang sukses menganga. Niko mendekat ke arahku seraya menarikku dari bangku yang sejak tadi aku duduki. "Kamu pergi temui Setiawan Adinata sekarang dan bilang kalau kamu bersedia menikahi putrinya." Aku masih bergeming "Kamu itu kayak ketiban durian runtuh tahu nggak. Kamu nggak boleh sia-siain kesempatan ini, Nu." kali ini Niko semakin mendesakku.

Aku menepis tangan Niko kasar dan menatapnya dengan penuh emosi. "Kamu sahabatku bukan? Kamu tahu dengan benar aku nggak akan melupakan janjiku ke Salma,” ucapku setengah membentak. Dan Niko harus mengerti bahwa pernikahan bukanlah hal remeh-temeh.

"Justru karena kamu sahabat aku, makanya aku bilang gini. Seandainya bukan karena investasi aku juga pengin kamu nggak sendiri lagi Nu!" bentak Niko tak kalah sengit.

"Kamu nggak tahu apa-apa tentang pernikahan." Aku merendahkan sedikit nada suaraku.

Niko menarik kerah kemejaku.. " Sadar, Nu. Aku memang belum pengalaman menghadapi pernikahan. Tapi aku tahu semua tentang kamu, Nu. Salma udah lama meninggal kamu harus menemukan pengganti dia buat diri kamu sendiri, buat anak-anak kamu. Dan lagi, aku nggak kenal kamu setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun. Potong kupingku kalai yang kubilang salah, kamu ada rasa, kan, sama putri Setiawan Adinata sejak pertama kali kita ketemu?"

Aku menegang di posisiku, perkataan Niko begitu tepat sasaran, kulihat dia masih menahan geram meskipun akhirnya dia mengendurkan pegangannya dikerahku.

Aku memalingkan wajahku dari Niko. Dia memang tahu segalanya tentang diriku. Tak kupungkiri kalau aku terus memikirkan gadis itu semenjak pertama kali berjumpa. Bayangannya terus berputar-putar dikepalaku.

"Apa lagi yang kamu tunggu, Nu. Nggak ada salahnya dengan cinta pada pandangan pertama. Itu bukan aib."

"Ini nggak semudah yang kamu bilang, Nik. Aku dan salma menikah karena kami saling menginginkan. Tapi kali ini, bahkan kami sama sekali nggak saling mengenal. Aku juga memiliki Arya dan Aira. Aku nggak yakin akan ada wanita yang akan menerima itu."

"Kamu takut putrinya Setiawan Adinata nggak menerimamu sebagai duda beranak dua, begitu? Aku sangat ngerti ketakutan kamu, Nu. Tapi aku juga yakin seorang Setiawan Adinata nggak akan sembarangan menikahkan anaknya dengan sembarang orang. Dia pasti udah menyelidiki kamu lebih dahulu. Kamu dengar sendirikan pas aku bilang kalau Setiawan Adinata menolak semua tawaran perjodohan dari koleganya. Aku yakin putrinya akan menerima kamu karena dia nggak akan menolak apa yang dikatakan Ayahnya."

"Dia akan menerimaku karena permintaan ayahnya. Akan aku kemanakan pernikahan kami kelak? kalau dia menikahiku hanya karena terpaksa."

"Kamu pasti bisa, Nu! Kamu pasti bisa buat dia jatuh cinta sama kamu dan menerima anak-anak kamu. Aku bersedia bantu kapanpun kamu butuhkan. Hilangkan rasa pesimis kamu. Anggap ini demi perusahaan sekaligus demi kebahagiaan kamu sendiri. Sekali-seakali egois nggak apa-apa."

Aku terdiam dengan perkataan Niko.

***

Aku melajukan mobilku kekediaman Setiawan Adinata. Aku berkata kepada satpam rumah kalau aku ingin menemui Setiawan Adinata. Namun katanya yang bersangkutan sedang tidak ada ditempat. Bodoh sekali, kenapa aku tidak buat janji terlebih dahulu tadi.

Aku benar-benar merutuki kebodohanku sambil terus menyetir dengan perasaan berkecamuk. Sampai-sampai tidak tahu kapan datangnya sebuah mobil sedan menyalip mobilku dan berhenti tepat didepanku. Aku menginjak rem sekuat mungkin.

Orang-orang dengan pakaian serba hitam turun dari mobil jumlahnya mereka ada empat orang setelah aku menghitung ulang. Sepertinya wajah salah satu dari mereka tampak tak asing bagiku. Dia bahkan mengetok kaca jendela mobilku. Aku pun membuka kaca mobilku.

"Anda tadi datang ke kediaman Adinata?" tanyanya.

"Iya ada apa?"

"Bisa Anda ikut saya sekarang juga?"

"Untuk apa?"

"Setiawan Adinata ingin bertemu dengan Anda, saya akan mengantar Anda ketempatnya sekarang. Dan mobil Anda akan diurus oleh kami."

Aku keluar dari mobil dan mengikutinya memasuki mobil sedan tadi. Aku baru mengingat pria ini setelah dia menyebut nama Setiawan Adinata. Ya dia adalah salah satu ajudan Setiawan Adinata yang kutemui tempo hari.

***

Kenapa ajudannya membawaku kesini. Aku hanya terus mengikutinya. Dia membuka sebuah pintu ruang VVIP yang ada disebuah rumah sakit.

"Masuklah, Tuan Setiawan Adinata telah menunggu Anda di dalam," ucap ajudan tersebut mempersilakanku masuk.

Mataku berpendar menatap sekeliling ruangan yang luas ini. Dan disana Setiawan Adinata sedang terbaring lesu disebuah ranjang besar dengan selang-selang ditangan dan juga hidungnya. Dia sedang sakit parah rupanya.

"Ini bahkan belum satu hari lebih tapi kau sudah mencariku kembali."

Gaya bicaranya tetap tidak berubah meskipun tubuhnya terlihat tak berdaya. Aku hanya bersikap dingin menanggapi ucapannya.

"Baiklah aku tak akan berlama-lama, karena aku yakin kamu pun sedang tak ingin berlama-lama di sini," sambungnya lagi.

Dia berhenti sejenak kulihat raut wajahnya berubah. Sepertinya dia sedang menahan rasa sakit.

"Besok jam 10 tepat kamu nikahi putriku. Hanya itu syarat dariku," ucapnya dengan wajah yang serius kali ini.

Keningku berkerut dalam. Secepat ini? Bayangan gadis itu tiba-tiba memenuhi kepalaku. "Baiklah, saya akan datang tepat waktu," gumamku. Meski dalam hati aku merasa diriku sudah hilang kendali terlalu jauh.

Kulihat Setiawan Adinata tersenyum tipis.

***

Malam ini aku mengumpulkan Arya dan Aira diruang keluarga. Aira tampak bingung sementara Arya tetap diam tanpa ekspresi.

"Ayah akan mengatakan sesuatu yang penting Ayah harap kalian mendengarkannya dengan baik."

Aku menghela napas bagaimanapun ini bukan pengumuman yang menyenangkan bagi anak-anak. "Besok Ayah akan menikah dengan wanita pilihan Ayah. Ayah harap kalian menerimanya sebagai Mama kalian."

Aira tampak sangat terkejut. Pasalnya, selama ini aku tidak pernah memperkenalkan siapapun sebagai kekasih atau calon istri. Dan Arya hanya menunjukkan raut wajah kecewa.

"Ayah bercandakan? ini nggak lucu Yah... Gimana Ayah bisa menikah sedangkan aku dan Bang Arya belum mengenalnya sama sekali, iya kan, Bang?" Aira tampak mencari pembelaan ke Arya.

"Ayah tidak bercanda Aira," jawabku dengan suara pelan.

"Kalau begitu dia akan menjadi ibu tiri kami. Dia akan jahat pada kami dan merebut perhatian Ayah dariku!" ucap Aira dengan nada meninggi. Aku yakin ini tak kan mudah bagi Aira. Aira sangat manja padaku karna memang akulah yang merawatnya seorang diri sejak kecil.

"Dia bukan ibu tiri yang seperti Aira pikirkan. Dia orang yang baik." Aku berusaha meyakinkan Aira, meskipun Aku belum mengenal sama sekali putri Setiawan Adinata.

"Bang Arya ayo bantu bilang ke Ayah kalau kita ngak menginginkan Ibu baru."

"Itu pilihan Ayah Aira kita harus menghargainya," Arya bangkit dari kursinya. Aku tau dia kecewa tapi dia sudah lebih dewasa untuk memahami situasi ini.

"Ayah jahat!!" Aira berlari kekamarnya sambil menangis. Aku mendesah sebelum menyusul Aira ke kamarnya.

Dia menelungkupkan wajahnya ke bantal. “Aira sayang Ayah, kan?” tanyaku ketika mengelusi kepalanya.

Dia mengangguk, “tapi Aira nggak mau punya ibu tiri!”

“Bagaimana kalau dijalani dulu. Aira bisa mengenalnya dengan baik. Memang Aira yakin bisa ditindas?”

“Ya, nggak lah. Terus Ayah bakal bela dia kalau dia jahat ke Aira?”

“Kalau tidak? Kalau kenyataannya dia tidak jahat?”

Aira terdiam.

“Ayah sayang Aira. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Aira menangis sesegukan di dekapanku. Pelan-pelan. Aku yakin pelan-pelan Aira bisa mengerti.

***

"Belum tidur?" ucapku pada Arya saat memasuki kamarnya. Dia masih betah bermain Playstation. Aku duduk tepat di atas tempat tidur Arya.

"Sebentar lagi, Yah."

"Kamu sudah mengerjakan tugasmu?" Arya hanya mengangguk.

"Kamu kecewa dengan keputusan Ayah?"tanyaku lagi

"Sedikit. Tapi sepertinya Aira yang lebih kecewa dengan keputusan Ayah."

"Ayah bisa mengerti, tapi percayalah dia bukan sosok ibu tiri seperti yang kalian pikirkan."

"Kenapa Ayah menikahinya?"

Aku tercekat dengan pertanyaan Arya. Pantaskah aku bilang kalau aku katakan karena aku jatuh hati padahal aku baru sekali bertemu dengannya.

"Ayah, kenapa tidak menjawab?"

Aku menelan ludah bingung harus menjawab apa.

"Karena Ayah memang mencintainya? Selama ini tidak ada wanita yang dekat dengan Ayah."

Kuhela napas sebelum mengangguk. “Ayah menaruh hati padanya.”

Alis Arya bertaut dalam dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kalau begitu, aku memberi restu,” katanya kemudian. Membuatku dibanjiri kelegaan.

Aku menutup buku harian Marsha. Tak terasa aku sudah melamun hingga dini hari. Lagi dan lagi.

-TBC-

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 110K 37
(HELLO SERIES #1) Desember adalah namaku dan bulan kelahiranku. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, Tuhan menguji hidupku. Di sanalah awal mula p...
542 74 7
Kiara adalah seorang ketua geng kriminal yang sangat terkenal. Dijuluki sebagai dewi perang dunia kriminal, membuat Kiara diburu oleh banyak pihak. H...
1.3M 258K 76
Daisy Jenar Kinasih vs Krisna Jatu Janardana
2.5M 268K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...