[2/3] It's today

By ayamkentaki

92.5K 9.2K 406

Kalau mencintai enggak harus memiliki maka memiliki enggak harus cinta. Iya, kan? More

Prolog.
1
2nd
3
4
6
7
8
EPILOG

5

6.9K 843 28
By ayamkentaki

Ari tidak tahu apa yang dihadapinya sekarang. Cobaan? Atau malah jebakan?

Semalam, Adil mengundangnya untuk makan siang di rumah. Katanya, Lia, istri sahabatnya itu akan memasakkan makanan. Karena pernah memasak makanan buatan Lia yang memang benar-benar lezat itu plus karena dia memang seorang lajang yang tidak punya tujuan hidup, akhirnya, Ari setuju-setuju saja datang. Tapi, yang diliat di depannya ini... apa, ya?

Teater kolosal? Drama kolosal? Opera sabun?

Sedikit saja. Sampai makanan di depannya ini habis, dia akan langsung menginterogasi Adil. Ari benar-benar sudah muak. Situasinya begini, tadi, sekitar pukul setengah 12, Ari sampai di rumah itu. Menurut Lia, Adil sedang berenang seperti biasa dan mungkin sebentar lagi sampai. Ari mengerti, ia memilih duduk di sofa ruang tamu sambil menonton nickelodeon sementara Lia menyiapkan makanan di dapur bersama seorang pembantu. Lalu, sekitar pukul 12 lewat sedikit, deru mobil terdengar mendekat. Dengan semangat, seperti Cinderella yang menunggu Ayahnya pulang, Ari datang ke carport dan menemukan Adil turun dari mobil. Disusul Luna yang tampak cantik dengan terusan bunga-bunga selutut.

"Dil, what is this?" tanya Ari, terkejut. 

Tapi, satu-satunya jawaban yang diberikan Adil adalah sebuah senyuman lemah disusul kalimat, "tar gue jelasin." 

Luna dikenalkan sebagai teman Adil. Teman. Tanpa tambahan keterangan: mantan pacar yang masih Adil cintai mati-matian dan tampaknya juga masih mencintai Adil mati-matian. Lia tampak percaya saja. Ia mencium pipi kiri dan kanan Luna dengan ramah seperti sahabat lama yang pernah lost contact atau apa. Tapi, sekarang, apa Lia tidak bisa melihat interaksi Adil-Luna yang berbeda dan sangat kelihatan kalau mereka lebih dari sekedar 'teman'?

Luna menyendokkan nasi untuk Adil, yang dibalas Adil dengan menyendokkan lauk. Mereka bahkan duduk bersebelahan dan saling bertatapan dengan penuh cinta. Sumpah, Ari saja bisa lihat dengan jelas. Kalau sampai Lia tidak bisa liat, perempuan itu jelas-jelas sudah mati rasa. Dan yang lebih mencolok lagi, Luna bahkan melempari tatapan ingin membunuh saat Adil refleks mencium dahi Lia sebagai bentuk balasan Lia mencium punggung tangan Adil.

Kalau Adil bukan sedang bermain api, Ari tidak tau apalagi nama adegan di depannya ini.

***

Stella baru keluar dari klinik dokter kandungan saat ponselnya bergetar. Nama Luna tercetak di layar. Stella mengernyit. Sudah sekitar dua minggu mereka tidak saling menghubungi, lalu kenapa sekarang tiba-tiba Luna menghubungi? Stella tersenyum. Mungkin Luna sudah menyadari kalau omongan Stella benar. Mungkin Luna menghubunginya untuk mengajaknya berteman lagi. Amin.

Tapi, yang dilihatnya benar-benar membuatnya mendidih. Astaga, Luna.

Luna (hp): Gue lagi di rumah Adil. Dia ngenalin gue ke istrinya. Lo masih mau bilang dia gak cinta gue, Stell?

Stella membuang napasnya cepat. Dia harus langsung melakukan apa yang sudah dia kerjakan dari lama. Rencana itu harus direalisasikan.

****

"Itu tadi apa maksudnya?" Ari dan Adil bertemu di Kahvi, sebuah kedai kopi di bilangan sudirman. Ari tadi pamit pulang sekitar pukul tiga. Setelah dia 'terjebak' drama murahan yang sama sekali tidak dia kehendaki. Setelah makan tadi, mereka malah masih sembat mengobrol. Lia benar-benar membuka diri terhadap Luna. Ari tidak bisa menyalahkannya, sih. Sewaktu baru berkenalan dengan Ari, Lia pun memberi respon yang sama. Dia sangat... terbuka pada siapapun.

"Meaning?"

"Lo tau maksud gue, Dil."

Adil nyengir, "relax. Lo kenapa tegang gitu, sih?"

"Dil, sejak lo sama Luna, lo berubah. Lebih terbuka, impulsif juga. Lo enggak sama kayak sepuluh tahun lalu pas kita baru kenal."

"People changes," kilah Adil. 

Ari membuang pandangan ke arah lain, sementara bibirnya sibuk menghisap rokok putih yang asapnya mengepul. Adil hanya menyesap kopinya ringan, Adil memang tidak pernah suka rokok tapi ia juga tidak melarang Ari merokok di depannya.

"Emang salah gue ngenalin Luna ke Lia, Ri?" tanya Adil akhirnya.

Sambil menghisap rokoknya, Ari memandang langit-langit. Ia lalu menyahut, "gue enggak tau batas salah-benar itu apa, Dil. Cuma apa yang lo lakuin tadi itu sama aja kayak selingkuh."

Adil terkesiap. 

Selingkuh.

Bukannya Luna juga sudah memberitahunya? Bukannya Luna juga yang mati-matian mengatakan kalau perempuan itu tidak mau jadi selingkuhan? 

"Emang keliatan kayak gitu, ya, Ri?" tanya Adil akhirnya. 

"Kayak apa?"

"Selingkuh," ujar Adil berat.

"Lo enggak, dil?" Ari menatap Adil, lama. Adil hanya terdiam, menatap sahabatnya hampa. "Holyshit."

"Lo tau gue sama Luna saling sayang, Ri."

"Tapi lo sendiri yang mutusin buat nikahin Lia. Gue masih ingat, Dil, sebelum lo nikahin Lia, gue nanya, 'lo yakin mau dijodohin?' dan lo ngangguk. Lo bilang lo yakin. Kenapa lo berubah pikiran sekarang?"

"Dil, you better quit before you regret it."

Adil menatap Ari. Lama. Ia menggeleng. "Udah telat, Ri."

***

Mobil Adil keluar tepat saat Stella membelok ke arah rumah Adit. Untung saja dia memakai mobil Ben, suaminya, jadi meskipun mungkin di dalam mobil itu ada Adil atau Luna sekalian, mereka tidak akan mengenali mobil ini.

Berbekal petunjuk arah dari satpam, mobil yang Stella kemudikan terparkir di depan sebuah rumah. Minimalis, tapi megah. Stella dengan gugup menekan tombol bel. Tak lama, seorang wanita muda keluar. Bukan, ini bukan wanita yang Stella liat di pernikahan Adil. Jadi pasti, ini bukan istri Adil.

"Saya mau bertemu Camelia, ada?"

Wanita itu terdiam sebentar lalu menyahut, "oh bu Lia.. Ada. Ada. Ibu dari siapa, ya?"

Stella memutar otak, berusaha mencari jawaban tapi akhirnya ia memilih untuk berkata jujur, "Stella."

Wanita itu mempersilahkan Stella duduk di sebuah kursi rotan di beranda, kemudian menghilang di balik pintu. Tak lama, seorang perempuan datang. Perempuan dengan baju tertutup dan sebuah hijab di kepala. Berarti memang perempuan ini benar-benar berhijab, bukan hanya di pesta pernikahan saja. 

Cantik, puji Stella dalam hati. Trus kenapa si Adil masih aja selingkuh, sih?

"Sore," sapa perempuan itu. "Maaf sebelumnya, tapi apa kita saling kenal?"

Stella menelan ludah. Pertanyaan wajar. "Saya diundang ke pernikahan kalian. Mungkin kamu sudah lupa."

Camelia tidak tampak ingat. Tapi, ia tetap tersenyum hangat. "Oh, mungkin temannya Mas Adil, ya? Mas Adilnya barusan keluar.."

"Tujuan saya ke sini mau ketemu kamu. Bukan Adil."

"Ada perlu apa, ya?"

"Saya tau Luna tadi habis dari sini." Camelia menatap Stella, mulai penasaran. "Saya cuma mau ngasih tau, tapi mungkin kamu sudah tau, Luna dan Adil memiliki hubungan spesial."

"Maksudnya?"

"Mereka pacaran. Perselingkuhan, kalau bisa dibilang. Mengingat Adil berstatus sebagai suami kamu."

Hening.

Stella melanjutkan, "saya enggak tau hubungan kamu dengan suami kamu seperti apa. Tapi, pernikahan kalian ini masih seumur jagung. Saya, sebagai orang yang juga sudah menikah, mengharapkan pernikahan kalian awet. Saya ke sini juga bertemu kamu demi teman saya, Luna. Saya tau Adil dan Luna sama-sama saling mencintai. Tapi, kondisinya sudah tidak sama seperti saat mereka dulu masih pacaran. Adil sekarang sudah beristri: kamu. Saya tidak mau teman saya yang masih muda harus menghabiskan hidupnya untuk menjadi seorang selingkuhan. Dia lebih berharga dari itu. Itu sebabnya, kalau bisa, saya minta tolong kamu, untuk mengawasi suami kamu. Toh, ini untuk rumah tangga kalian juga. Sayang sekali, kalau rumah tangga kalian harus runtuh dalam waktu singkat. Pernikahan itu, menurut saya, hadiah dari Pencipta. Jangan sampai kalian sia-siakan."

Camelia tidak berkata apa-apa. Tapi, dari sudut matanya, Stella bisa melihat mata wanita itu berkaca-kaca. Stella merasa sangat berdosa. Ia sudah membuat seorang perempuan baik menangis. Truth hurts, but lie is worse.

"Kamu bohong, kan?" tanya Camelia. Suaranya sudah mulai serak.

Respon yang sudah Stella duga. Stella akhirnya meraih ponselnya dari tas tangan dan membuka pesan yang dikirim Luna tadi, saat Adil membawanya ke rumah itu. Tanpa bisa dicegah, tetes air mata pertama mengalir pelan di pipi Camelia.

"Saya enggak bisa lama-lama di sini," ujar Stella. "Saya enggak mau ketemu Adil. Saya enggak mau Adil tau saya datang. Tolong, kalau bisa kamu tidak usah menceritakan pada dia kalau saya datang. Saya cuma mau yang terbaik buat kamu, Adil dan Luna."

"Kamu bohong, kan? Itu pesan palsu, kan?" Camelia mulai terisak.

"Terserah kamu percaya atau tidak," sahut Stella. "Tapi, kalau kamu mau lihat sendiri," Stella mengambil selembar kertas dari dalam tasnya, "ini alamat Luna. Di bawahnya, ada nomor ponsel saya. Kamu bisa hubungi saya, nanti kita bisa liat ke sana langsung. Atau kamu mau cek sendiri, terserah."

Camelia menatap kertas itu lama. Air mata masih berlinang. 

"Saya pulang dulu."

Dan semudah itu, Stella lenyap dari pandangan Camelia. 

Semoga rencana gue berhasil, harap Stella dalam hati.

Continue Reading

You'll Also Like

103K 15.3K 17
Story about two people that live in a really different world meets for the first time. One of them think this is the beginning of the other person's...
201K 10.3K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
78.4K 9K 16
"Putra Mahkota melangkah selamatkan kerajaannya yang melemah." Daneswara Tanureja adalah larangan; segalanya yang salah dan tak boleh dilakukan. Pers...
35.7K 6.3K 14
Bagi Zidan, Mera hanyalah cewek berisik yang tiba-tiba mengganggu ketenangan hidupnya. Sementara bagi Mera, Zidan adalah cowok berbakat yang pantas m...