EPILOG

11K 1K 119
                                    

Selama sebulan penuh Adil mencari Luna, selama sebulan penuh itu pula Luna lenyap. Tapi hari ini, setelah Adil mulai putus asa dan di saat ia sedang bersia-siap untuk rapat, ponselnya berbunyi. Nama Luna muncul di layar. Nomor yang biasanya ia hubungi sampai dengan seratus kali sehari itu, kini berbalik menghubunginya.

"Nanti aku telpon balik, ya," ujar Adil lembut meski kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya dan satu-satunya yang ingin ia lanjutkan ada terus mendengar suara Luna yang barusan menyapanya dengan ragu, "aku mau meeting."

Tapi, sebelum telepon itu ditutup, suara Luna dengan cepat meski lemah, terdengar pasti menyerang indra pendengaran Adil, "aku hamil, Dil."

Adil membatalkan meetingnya. Ya, meetingnya sih tidak batal. Ia hanya membatalkan kehadirannya di meeting tersebut. Digantikan asistennya yang cukup paham proyek yang sedang mereka tangani. Sesuai janjinya, Adil segera menghubungi Luna balik, sesegera setelah ia berhasil masuk ke ruangannya dan mengunci diri di sana.

Hamil? Luna hamil? Bagaimana bisa? Bukannya dia...... infertil?

Nada sambung yang jaraknya berdekatan itu terdengar bagai selamanya di telinga Adil yang sudah tidak sabar. Apa Luna bercanda? Buat apa Luna lenyap lalu muncul untuk sebauh prank macam itu? 

"Halo, Dil," sapa Luna begitu sambungan akhirnya mendapat sahutan.

"Kamu.. hamil?" tanya Adil dengan gugup.

"Iya. Tadi aku cek test pack. Udah empat test pack. Empat-empatnya positif." Suara Luna terdengar lemah. 

"Kamu dimana Lun?" tanya Adil, "aku mau ketemu."

"Enggak perlu, Dil. Aku telpon kamu, cuma buat ngasih tau kamu kalau aku hamil. Tapi, kita udah selesai, kamu enggak perlu tau aku di mana. Aku cuma mau kamu kenal sama anak kita." Suara Luna terdengar ragu saat mengucap kata 'kita'. Tapi, susah payah ia melanjutkan, "sama seperti aku, anak ini juga sayang sama kamu Dil."

"Lun, aku ayahnya, aku pantas mengenal dia."

"Kamu bakal kenal dia, Dil. Aku gak bakal halangi itu. Tapi, enggak sekarang. Aku enggak mau ngerusak pernikahan kamu sama Lia. Aku terlalu sayang sama kamu sampai enggak rela membayangkan kamu sedih."

"Dan kamu kira aku bisa bayangin kamu mengurus anak kita sendirian, Lun?" tuntut Adil. "Mana bisa, Lun."

"Aku bisa, Dil," sahut Luna. "Kamu percaya, kan, sama aku?"

Adil menatap fotonya dengan Luna yang ia simpan di laci. Foto yang menurut Luna senyumnya aneh tapi menurut Adil, Luna tampak cantik. Foto yang ia simpan sejak lama dan ia bawa dari apartemennya, sehari setelah pernikahannya dengan Lia. Di seberang sana, Luna membaca bolak balik artikel kesehatan di iPadnya tentang kemungkinan seorang pengidap kista yang sudah operasi bisa hamil. Matanya tak lepas dari cincin berlian yang dihadiahkan Adil untuk Luna. Cincin yang harusnya sebagai cincin lamaran tapi berakhir sebagai kado biasa itu.

Adil tidak bisa berkomentar. Di satu sisi, ia punya tanggung jawab lain. Tiga hari lalu, Lia mual-mual dan menurut tes dari dokter kandungan, Lia positif hamil. Hasil make up sex mereka waktu itu--saat Adil ketahuan selingkuh.

"Aku sayang kamu, Lun. Kamu jaga diri, ya," ujar Adil akhirnya.

Luna tersenyum, meski hatinya teriris, "iya."

"Apapun yang terjadi, kamu bisa hubungi aku, Lun. Hati aku selalu terbuka untuk kamu."

"Iya, Dil. Udah dulu, ya, aku mau tidur dulu. Agak capek."

"Iya, Lun."

Telepon diputus. Luna menatap Stella yang menghela napas.

"Lega?"

Luna mengangguk. Meski sakit, ada sedikit bebannya yang terangkat. Ia akhirnya lepas dari status infertil sekaligus selingkuhan. Dan sebagai upah, ia mendapat sebuah hadiah kecil: bayi. Darah daging Adil yang akan abadi di dalam jiwanya. Manusia yang berbagi dirinya dan Adil. 

"Mama sayang kamu," ujar Luna dalam hati sambil mengelus lembut perutnya yang belum terlihat membuncit.

Tamat.


Cerita ini adalah bagian dari tiga buku Adil Luna: it's yesterday, it's today, it's tomorrow yang bisa dibaca terpisah.

[2/3] It's todayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang