AIR (Ketika dua air yang berb...

By Rex_delmora

135K 15.9K 2.2K

Bagaimana bisa? Apa yang akan terjadi? Pria yang berprofesi sebagai penerbang bertemu dengan wanita yang beke... More

AIR*1
AIR*2
AIR*3
AIR*4
AIR*6
AIR*7
AIR*8
AIR*9
AIR*10
AIR*11
AIR*12
AIR*13
AIR*14
AIR*15
AIR*16
AIR*17
AIR*18
AIR*19
AIR*20
AIR*19 (Back to the Semarang)
AIR*20 (Jurang pemisah)
AIR*21 (Pacarku Koplitot)
AIR*22 (Musibah membawa berkah)
AIR*23 (ENDING)

AIR*5

6.9K 754 72
By Rex_delmora

"Hey Oncom," panggil Prilly untuk pertama kalinya kepada orang itu.

Ali yang memang sudah terbiasa dengan panggilan itu lalu menoleh. Tanpa bersuara dan dengan wajah datar tanpa ekspresi.

"Makasih. Besok aku bayar hutangnya," kata Prilly merasa tak enak hati.

Tanpa membalas perkataan Prilly, Ali masuk begitu saja ke dalam gerbang. Membuat Prilly mengerutkan dahinya tak mengerti.

"Hidih ... berasa ngomong sama patung. Emaknya dulu ngidam pengen nelen patung kali ya?" gerutu Prilly sendiri setelah Ali masuk ke dalam gerbang yang bersebelahan tepat dengan gerbang kosnya.

Prilly masuk ke dalam kos, sampai di depan kamar dia menoleh ke arah seberang kosnya. Dia melihat Ali dan teman-temannya sedang asyik memakan nasi gorengnya dan bercanda di depan kamar. Sekilas Ali melihat Prilly lalu kembali bercanda dengan teman-temannya lagi.

"Pril, lama banget," omel Cindai dari ambang pintu kamar Prilly.

"Kamu ambil sendok sama piring sana!" titah Prilly lalu Cindai berjalan ke dapur.

Prilly masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Prilly menggeser peta yang tergelar di lantai berteman berbagai alat di atasnya. Dia sedikit membereskan tempat agar nanti saat makan pekerjaannya tak kotor karena noda dari mi.

"Nih." Cindai duduk di depan Prilly dan memberikan piring sekaligus sendok garpu padanya.

"Makasih," ucap Prilly menerima piring dari Cindai.

Mereka membuka bagiannya masing-masing dan menyantap mi ditengah malam.

"Cin, kamu nggak keselek-kan makannya?" tanya Prilly disela makan mereka.

"Nggak. emang kenapa?"

"Ini mi-nya yang ngutang." Prilly berkata santai membuat Cindai menatapnya penuh tanya.

"Sejak kapan kamu punya hobby baru, Pril?"

"Sejak malam ini, gara-gara Pak No nggak punya kembalian."

"Kamu ngutang sama Pak No?"

"Bukan."

"Lah! Terus kalau bukan ngutang sama Pak No, terus ...." Cindai menggantungkan pembicaraannya

"Ngutang sama si Oncom," sahut Prilly cepat lalu memasukan mi ke dalam mulutnya.

"Hah?! Kamu sejak kapan kenal sama Oncom?" tanya Cindai kaget.

"Aku nggak pernah kenal. Cuma tadi dia tiba-tiba bayarin. Pas aku panggil dia, cuma mau ngucapin makasih eh ... dianya langsung masuk nggak ngomong apa-apa," cerita Prilly sebal.

"Kamu belum mengenal dia aja Pril, kalau udah kenal orangnya baik dan enak kok diajak ngobrol."

Prilly tak menghiraukan Cindai, dia lebih fokus menyantap mi gorengnya dan memikirkan sesuatu yang membuat beban pikirannya.

***

Jam menunjukan pukul 06.40 WIB. Itu artinya 5 menit lagi Prilly harus segera sampai di kampus, karena apel staf batalyon biasanya di mulai pukul 06.45 menit. Dan tepat pukul 07.00 baru akan diadakan apel para taruna. Jika Prilly sampai telat, bisa-bisa nanti para staf yang lain juga ikut di hukum korsa oleh pembina batalyon. Jiwa korsa memang di terapkan pada taruna sejak awal masuk kuliah. Karena itu melatih mereka agar memiliki rasa inisiatif, tanggung jawab, loyalitas, dan dedikasi untuk suatu hal yang mulia, seperti halnya dalam mempertahankan negara, prinsip yang benar, mau pun hal-hal lain yang bersifat kebajikan dengan tetap mengedepankan kewajaran. Serta tidak menjurus ke chauvinisme atau fanatisme berlebihan terhadap sesuatu sehingga dapat membedakan hal baik-buruk.

"Ini gara-gara semalam aku baru tidur jam 4. Cindai sih enak masih banyak waktu untuk bersiap," gerutu Prilly sepanjang jalan sambil sesekali mengepalkan tangannya menahan emosi.

Sesekali dia berlari kecil untuk mengejar waktu. Saat dia sampai di gapura gang komplek kos, ada sebuah motor ninja hijau menghadangnya. Pengendara itu membuka kaca helm yang memperlihatkan sebagian wajahnya saja.

"Ayo naik!" titah orang itu.

Tanpa pikir panjang karena Prilly sedang buru-buru, dia segera naik dan motor itu melaju dengan kecepatan tinggi membuat Prilly memegang pinggang orang itu erat. Sekejap mata Prilly tertutup, namun tiba-tiba Prilly merasakan motor itu berhenti.

"Turun, gerbang sudah hampir ditutup," perintah orang itu yang hanya membuka kaca helm.

"Terimakasih," ucap Prilly lalu berlari sedikit mengejar gerbang yang tinggal beberapa senti lagi tertutup.

Dengan tubuh ramping dan gerakannya yang gesit dan lincah, Prilly dapat masuk melewati gerbang yang hampir tertutup. Tepat Prilly sudah berada di dalam kampus, gerbang tertutup otomatis. Prilly menghela nafas lega dan mengusap dadanya. Sebelum Prilly melangkah ke tengah lapangan dia sempat menoleh ke belakang, melihat dan memperhatikan orang yang sudah mengantarnya tadi.

"Ya Allah ... itukan si Oncom Ali, kenapa aku bisa lupa ya?" Prilly menepuk dahinya sendiri.

Prilly melangkah ke tengah lapangan, masuk ke dalam barisan dan mengikuti apel pagi.

***

Usai apel pagi para taruna masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Prilly duduk di sebelah Cindai.

"Cin, aku mau cerita." Prilly ragu untuk mengatakan kepada Cindai.

Cindai yang tadinya sibuk membaca, kini memperhatikan Prilly serius.

"Aku tadi di antar Ali."

"Serius kamu Pril?" Cindai bertanya dengan raut wajah tak percaya.

"Iya Cindai. Tadi aku udah buru-buru banget takut telat, nah sampai di gapura gang kita, tiba-tiba dia menghadangku dan suruh aku naik."

"Terus."

"Tanpa pikir panjang aku naik."

"Nggak biasanya si Oncom begitu. Tumben peduli sama orang dan setahu aku selama ini pacar setianya itu masih perawan. Jok belakangnya nggak pernah tersentuh pantat cewek. Mungkin baru pantat kamu Pril, yang merawanin tuh pacar setia dia." Cindai dan Prilly pun tertawa lepas.

"Sikat Pril! Dia cakep juga nggak jauh beda sama Dedy," bujuk Cindai antusias.

"Aku sudah bilangkan Cin, aku belum mau membuka hatiku lagi jika masih merasakan sakit. Aku takut kalau dia hanya jadi pelarianku aja. Biarin luka di hati aku sembuh dulu, baru nanti aku buka lagi untuk orang lain."

"Yaelah Pril, terserah kamu." Cindai melanjutkan membacanya dan Prilly bersiap mengeluarkan buku tebal berisikan jawaban pertanyaan pada makalahnya.

"Prilly," panggil seseorang dari ambang pintu.

"Iya Bu." Prilly menoleh ke arah pintu.

"Bisa ikut Ibu ke kantor sekarang?"

"Siap Bu."

Prilly beranjak dari duduknya lalu mengikuti dosen itu ke ruang kantor.

"Duduk Pril," perintah dosen itu setelah sampai di depan mejanya.

Prilly duduk berhadapan dengan dosen yang sudah mempercayainya untuk menjadi asisten dosen selama ini yaitu Ibu Dani Asmara.

"Ada apa ya, Bu Dhani mengundang saya ke sini?" tanya Prilly dengan debaran jantung yang cepat.

"Prilly, ini Ibu dapat 4 surat dari perusahaan pelayaran yang siap untuk mengontrak kamu bekerja di sana. Ibu berharap kamu dapat memilih salah satu diantara 4 surat ini." Bu Dani menyerahkan 4 amplop putih berkop sesuai dengan nama dan alamat perusahaannya.

"Apa saya bisa Bu masuk di perusahaan sehebat ini? Keempat perusahaan ini setahu saya memiliki nama besar dalam pelayaran." Prilly tak percaya, jika saat ini dia memegang surat dari keempat perusahaan yang sudah terkenal di dalam dunia pelayaran.

"Awalnya Ibu kaget waktu menerima empat amplop itu dari ruang tata usaha kemarin. Tapi Ibu bangga, jika kamu bisa menerima salah satu dari itu. Berarti Ibu ada penerusnya." Ibu Dani tersenyum manis kepada Prilly dan menggenggam erat tangan Prilly seakan dia menyalurkan kepercayaan dan kekuatannya.

Selama ini Ibu Dani di kenal sebagai dosen yang kejam dan galak. Padahal jika bisa mengikuti aturannya dan bisa menelateni keinginannya, itu menguntungkan bagi muridnya. Dia seperti itu karena ingin membentuk mental dan kedisiplinan para tarunanya.

"Ibu tidak yakin dengan yang lainnya, Prilly. Seperti tahun yang sudah-sudah. Dari sekian taruni yang benar-benar menjadi pelaut sejati hanya satu orang, yaitu Kak Puri. Sampai sekarang dia masih melaut."

"Tapi, Kak Puri itu pintar sedangkan saya ...."

"Jangan menghakimi diri sendiri. Pintarnya seseorang itu tidak dinilai dari berapa nilai yang dia dapat. Dari sudut pandang Ibu, pintar seseorang itu ternilai dari seberapa besar tekat dan tanggung jawabnya atas apa yang sudah menjadi keputusannya."

"Apa saya bisa seperti Kak Puri, Bu?"

"Kamu bisa Prilly! Kamu mampu! Jadilah ratu lautan, taklukan lautan dengan tanganmu. Prahu besi dan baja menantimu di dermaga. Pergilah Nak, jayalah di perairan dan kembalilah kedaratan tunjukan pada dunia jika wanita tak selemah itu."

Dari kata-kata Ibu Dani itu kepercayaan Prilly bangkit dan semakin yakin dengan pilihannya. Prilly semakin mantap untuk melangkah dan mengambil keputusan.

"Apa ada jangka waktu, hingga saya dapat memilih?"

"Mereka siap menunggumu sampai kapan pun. Pintu perusahaan mereka terbuka lebar untukmu."

Prilly tersenyum bangga dan puas. Ternyata kerja kerasnya selama ini tak sia-sia. Mempelajari segala aspek yang bersangkutan dengan pelayaran tak semudah orang bayangkan. Kita dituntut untuk pintar dan kreatif. Memahami segala yang bersangkutan dengan pelayaran, dari hal terkecil hingga hal yang terbesar sekali pun.

"Terimakasih Bu, kebaikan dan bimbingan Ibu selama ini tidak akan pernah saya lupakan." Prilly melihat mata Ibu Dani berkaca-kaca.

Mungkin saja Ibu Dani merasa bangga pada Prilly, karena setahu Prilly sejak dulu Ibu Dani ingin ada salah satu taruni yang bisa sukses dan benar-benar menjadi seorang Captain kapal niaga. Selama ini yang ada para taruni selesai lulus, mereka memilih untuk mengambil jurusan lain yang berbelok arah dari pelayaran. Ada juga beberapa yang bekerja di bea cukai dan syahbandar.

Selesai berbincang dengan Ibu Dani di kantor tadi, Prilly tak langsung masuk ke dalam kelas. Melainkan dia duduk di bawah pohon mangga yang sejuk dan asri. Prilly memandang empat amplop yang dia pegang.

"Isi amplop ini menentukan masa depanku. Semua perusahaan ini bagus dan ...."

"Kamu harus memilih yang terbagus dan terbaik diantara yang bagus dan baik itu." Suara lelaki dewasa menyahut ucapan Prilly tadi, membuat Prilly mendongakkan kepalanya.

"Pak Kuncoro," desis Prilly sedikit kaget.

Orang yang di panggil Pak Kuncoro itu hanya tersenyum lalu duduk di sebelah Prilly. Dia adalah salah satu dosen yang selama ini membimbing Prilly. Beliau jugalah yang tak pernah bosan meminta Prilly dan teman-teman yang lain mengenal benda-benda di pelabuhan.

"Memilih adalah salah satu hal yang menyebalkan. Apa lagi jika hal itu sama bagusnya." Pak Kuncoro menoleh ke samping melihat Prilly yang memperhatikannya serius.

"Jika kamu dihadapkan pada sebuah pilihan, putuskan pilihan sesuai hati nuranimu. Pada dasarnya hati ini bersih dan suci." Pak Kuncoro memegang dadanya sendiri dengan senyuman terbaiknya.

"Sejahat apa pun orang, sekeji apa pun dia, sebenarnya di dasar hatinya dia memiliki kebaikan. Hanya suatu hal yang menurutnya jahat mendorongnya berbuat itu."

"Terus, jika sudah seperti ini perusahaan mana yang harus saya pilih?" tanya Prilly polos dengan perasaan bingung.

"Hanya kamu yang dapat menentukan, karena itu menyangkut masa depanmu."

"Tapi, saya belum melengkapi semua sertifikat kepelautan, Pak."

"Datanglah ke kantor syahbandar, jika kamu sudah mantap menentukan pilihan. Bapak akan membantumu melengkapi persyaratan pelayaranmu." Prilly merasa beruntung dikelilingi orang-orang yang selalu ada dan suka rela menyalurkan tangannya untuk membantu berdiri.

"Terimakasih Pak. Saya akan memutuskannya nanti setelah ujian selesai dan melihat hasil ujiannya. Sekaligus menunggu ijazah saya keluar."

Pak Kuncoro hanya tersenyum dan mengelus rambut Prilly lembut. Tak semudah apa yang orang bayangkan di luar sana. Menjadi seorang pelaut agar dapat berdiri tegak menatap luas lautan dari ujung haluan dan menguasai samudra, menggenggam perairan dan menaklukan ombak, banyak rintangan dan pengorbanan yang harus dilalui.

***

Duduk merenung, berfikir untuk masa depan, dihadapkan pada suatu pilihan dan itu yang saat ini Prilly lakukan. Semenjak beberpa hari lalu dia selesai mengikuti ujian dan berbagai pelatihan untuk melengkapi sertifikat syarat pelayaran, dia kembali memikirkan pilihan empat amplop yang masih tertutup rapat.

"Cin, aku bingung mau pilih yang mana. Empat perusahaan dengan pelayaran dan kapal yang berbeda. Jika kamu jadi aku, kamu pilih yang mana?" tanya Prilly saat mereka duduk bersantai di depan kamar kos Cindai.

"Aku akan pilih penyeberangan. Kamu kan cewek, jadi nggak bagus lama-lama ditengah laut."

"Tapi aku mau berlayar sampai ke ujung dunia, Cindai. Kalau aku ambil penyeberangan itu artinya, aku cuma berlayar bolak balik ditempat itu saja. Nggak berkembang."

"Terus?"

"Aku maunya pelayaran liar yang dapat berlayar hingga kemana-mana. Tidak terikat oleh tempat. Jadi aku banyak pengalaman."

"Walau kamu tidak akan lihat daratan hingga 6 bulan mungkin bisa jadi."

"Iya! Karena aku sudah memiliki tekat yang kuat. Jika sudah terjun di dalam air, kalau cuma setengah-setengah rugi. Sekalian aja kita menyelam dari situ kita banyak melihat hal baru yang belum tentu semua orang dapat melihatnya."

"Terserah awakmu waelah Nduk," ucap Cindai yang menirukan logat orang tua jawa.

"Laper Cin, cari makan yuk?" ajak Prilly sambil mengelus perutnya yang ramping.

"Kucingan aja ya? Lagi kanker nih?" rajuk Cindai manja.

"Iya," jawab Prilly lalu berlari mengambil jaket dan uang yang tersisa untuk dua hari ke depan di kamarnya.

Sepanjang perjalanan Prilly dan Cindai tak henti-hentinya bercanda hingga tubuh Prilly entah mengapa menjadi kaku dan langkahnya semakin berat. Pandangannya lurus ke depan.

"Sejak kapan aku punya penyakit jantung begini? Wah gawat kalau sampai aku jantungan, aku nggak bisa berlayar," batin Prilly.

"Pril, ayo! Kamu kenapa sih?" tanya Cindai sambil tangannya menarik lengan Prilly.

Prilly masih saja menatap lurus ke depan. Menatap satu titik fokus yang membuat langkahnya berat dan jantungnya entah mengapa menjadi berdebar-debar tak tenang.

"Yang," panggil seorang laki-laki dari segerombolan pria yang duduk santai dengan beralaskan sebuah tikar sederhana di bawah pohon rambutan.

Cindai berlari kecil menghampiri segerombolan orang tadi, sedangkan Prilly cepat-cepat berbelok arah ke warung yang menjual berbagai makanan sederhana.

"Beginilah jadi teman, kalau sudah ketemu pacar pasti dilupain. Nasib deh jadi orang jomblo," gerutu Prilly sambil memilih nasi bungkus yang tergelar di meja.

"Pak, habis berapa semua."

Tubuh Prilly seketika tegang saat mendengar suara itu dari arah belakangnya. Kepalanya seakan kaku dan tak bisa ia gerakan. Dari ujung ekor matanya dia melihat seseorang tadi sudah berdiri di sebelahnya.

###########

Deg deg seeeerrrrr ....
Hahahahaha

Makasih ya untuk vote dan komennya. Yang sudah sabar menunggu, terimakasih banyak. Hihihihi

Continue Reading

You'll Also Like

342K 44.6K 30
Sebuah siksaan yang berat bagi Bagas untuk mengabaikan ketertarikan fisik terhadap mantannya, Nessa, yang saat ini berkali-kali lebih cantik dari Nes...
77K 10K 9
Projek Cinta Batik Publisher. ••• Kejarlah daku kau kuhempas! Sepertinya, mantra itu yang paling cocok aku lontarkan untuk mengusir pria tua nakal...
1.5K 165 21
Menjadi yatim piatu di umurnya yang baru dua tahun, mengharuskan Aisyah tinggal di sebuah panti asuhan. Sampai pada akhirnya di usianya yang menginja...
461K 7.7K 17
suka suka saya.