Jika Aku Lesbian

By Pandamin

86.2K 2K 121

Revinna Atalia Kassandra Adrino. Dari ke-empat kata namanya, ia dipanggil Rev. Lesbian berdarah Kanada yang... More

Rev 1
Rev 2
Rev 3
Rev 4
Rev 6
Rev 7
Rev 8
Rev 10
Rev 11
Rev 12
Rev 13
Rev 14
Rev 15
Rev 17
Rev 18
Rev 19
Rev 20

Rev 16

1.7K 54 6
By Pandamin

[Revinna POV]

Sejak hari dimana Ayah memberiku tawaran yang tak pernah kuduga itu, pikiranku yang mulai tenang kini kembali kacau. Pekerjaan kantor yang bahkan mulai kusukai, tiba-tiba saja nampak melelahkan bagiku. Ah, aku lelah. Aku penat, dan aku bingung.

Sudah dua hari aku dan Nando tidak saling bertemu. Keadaan dirumah juga masih baik-baik saja. Aku belum memberi tahu Mama pun Nando tentang tawaran Ayah untuk hibah ke Nova Scotia. Meskipun aku ingin, namun hati tak bisa berbohong kalau aku terlanjur jatuh cinta dengan negeri ini.

Sinar matahari menembus tirai coklat yang ada di dalam ruanganku. Mataku masih terpaut dan menatap kosong sinar keemasan itu. Matahari sedang berada di atas kepala, batinku.

Toh, pekerjaanku sudah kuselesaikan semua. Kini, aku menganggur.

"Permisi, Bu. Ada yang mau ketemu" Aku menoleh ketika tahu-tahu saja Sana sudah berada di ambang pintu. Aku kebanyakan melamun sampai tak sadar kalau pintuku terbuka.

Aku mengangguk sebagai tanda setuju dan langsung beranjak ke sofa tamu.

"Hai" Suara itu..

Aku agak terkejut karena seseorang yang Sana maksud adalah Nando. Bukan, bukannya aku tak senang dengan kedatangannya, hanya saja kepalaku seketika ngilu dan tak tahu harus berbuat apa kalau saja Nando tahu tentang ajakan Ayah.

"H-hai. Tumben kemari, Nan? Duduk dulu" Sapaku agak kagok namun dibalasnya dengan senyum ramah.

"Shift­ku baru aja ganti, jadi siangnya aku nganggur. Udah makan siang?"

Aku menggeleng.

"Ya, udah. Makan siang bareng aku, yuk. Ada warung mie ayam yang baru buka di ujung pertigaan, kata Rena enak banget, lho. Kita harus coba" Jelas Nando bersemangat.

Untuk beberapa alasan, hatiku tiba-tiba saja jadi adem. Tanpa pikir panjang, kuiyakan permintaan Nando dan segera keluar dari kantor.

Kami berhenti tepat di depan sebuah warung yang tidak terlalu besar namun ramai dipadati pengunjung. Aku sudah mengambil tempat duduk agak pojok karena hanya deretan inilah yang tersisa, sedang Nando tengah memesan makanan.

Usai memesan, ia duduk tepat di hadapanku. Masih dengan senyum manisnya yang tak pernah pudar, ia menatapku sambil memperbaiki rambut kecilku yang mencuat.

"Gimana kantor?" Tanya Nando.

"Baik-baik aja kok. Nggak usah khawatir kalau masalah kantor, aku ini ahlinya" Ia terkekeh pelan mendengar jawabanku lantas mencubit gemas pipiku.

"Swalayan gimana? Oh iya, Rena sama Maya apa kabar? Masih doyan gosip?"

Nando kembali tertawa.

"Ya, gitu, deh. Rena masih cerewet, masih sama seperti pertama kerja. Ya, Maya, ya, gitu. Masih setia sama mesin kasirnya" Kali ini aku yang terkekeh.

"Oh, iya, Rev. Jadi kamu udah ketemu sama Ayahmu?"

Pertanyaan Nando is on point. Ia benar-benar menyerangku kali ini. Tawaku tiba-tiba saja sirna lantas kualihkan pandangku ke arah lain. Melihat reaksiku, Nando langsung peka.

"Kenapa? Ada sesuatu?" Tanyanya, ia menyentuh kedua tanganku yang ada di meja.

Aku menggeleng. Kugigit bibir bawahku, cemas.

Untungnya, mie ayam pesanan kami tiba di waktu yang tepat. Nando melepaskan genggamannya dan sibuk menyodorkanku mangkuk berisi mie ayam plus pangsit itu. Ia juga menuangkanku segelas air putih.

Ya, Tuhan. Tolong jangan lagi.

Kupikir Nando akan bawel dan bertanya lagi, tapi tidak. Ia kini sibuk membumbui mie ayamnya dengan kecap, sambal dan perasan jeruk nipis kemudian mengaduk-ngaduk lalu mencicipinya. Ia mengangguk sekilas dan mulai makan dengan tenang.

"Nggak makan, Rev?" Tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Oh, ini baru mau makan" Kilahku.

Sepuluh menit berlalu dan Nando sudah menghabiskan isi mangkuknya. Setelah minum, ia mengamatiku yang tengah menghabiskan sisa-sisa kuah di mangkukku. Ia memberiku selembar tisu dan menyodorkanku segelas air ketika aku selesai. Sebuah pertanyaan terlintas di kepalaku. Dengan seluruh perhatiannya ini, sanggupkah aku meninggalkannya?

"Udah? Aku antar balik ke kantor, ya. Aku juga harus ke swalayan habis ini"

Nando hanya diam di sepanjang perjalanan menuju kantor. Namun, senyumnya tak pernah hilang. Ia juga tak melepaskan genggaman tangannya padaku, ia malah nampak bangga berjalan sambil bepegangan tangan yang ku anggap terlalu kekanakan ini. Tapi toh, aku menyukainya.

Kupikir ia hanya akan mengantarku sampai di depan kantor, tapi ternyata tidak. Ia mengantarku sampai ke dalam ruanganku. Aku masih diam karena memang tak tahu harus berkata apa.

"Ya, udah. Aku balik, ya, Rev. Semangat kerjanya" Katanya dan melepaskan genggaman tangan kami.

Ia maju satu langkah ke arahku yang refleks membuatku merinding. Nando mendekatkan bibirya ke telingaku.

"Aku sayang kamu, Rev" Bisiknya kemudian melayangkan kecupan kecil di dahiku.

Wajahku serasa panas. Aku pasti nampak seperti orang bodoh saat ini. Nando tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putih bersihnya. Ia tak tahu bagaimana cepatnya jantungku berpacu saat ini.

Sepertinya Dewi Fortuna sedang berada di pihakku. Aku tak perlu berpusing ria seputar ajakan Ayah yang belum diketahui Nando. Aku merasa lega walaupun sesaat. Karena ketika kakiku sudah menginjak area apartemen, rasa gelisah itu kembali menghantuiku.

Kutelan ludahku sendiri sebelum membuka pintu apartemen. Kumohon, aku belum sanggup untuk menjelaskan semuanya pada Mama. Aku belum sanggup untuk meninggalkan Mama sendiri di apartemen ini.

Aku tengah sibuk melepaskan kaus kakiku ketika Mama datang dan menepuk pundakku pelan.

"Udah pulang, Vi?" Aku mengangguk.

"Mama mau ke unit 209 dulu, ya. Mau nganterin kue kering ini dulu. Maklum, tetangga baru, jadi harus disambut dengan baik 'kan, biar dia betah" Sambungnya.

Aku menghela napas lega seperginya Mama ke apartemen tetangga. Setidaknya masih ada waktu untuk merangkai kata-kata kalau saja Mama mendadak menohokku dengan pertanyaan yang sama seperti Nando tanyakan siang tadi.

Kupijat pelipisku yang rasanya mulai ngilu. Aku masih memakai seragam kantor, aku terlalu malas beranjak ke kamar ataupun mandi meskipun jam sudah menujukkan pukul tujuh malam.

Suara pintu apartemen berbunyi, pertanda Mama sudah kembali. Entah kenapa jantungku kembali berdegup kencang. Aku gugup.

"Lho? Kok nggak langsung mandi, Vi?" Tanya Mama sembari melepaskan syal coklat yang ia pakai.

"Masih males, Ma. Kepala Revi tiba-tiba aja pusing. Mungkin gara-gara kerjaan di kantor" Kilahku.

Mama menatapku sejenak dan berlalu ke dapur. Beliau kembali dengan segelas air hangat dan vitamin di tangan kirinya. Diletakkannya gelas itu tepat di hadapanku. Aku melongo dan menatap Mama dengan tatapan masa-iya-harus-minum-vitamin-lagi.

"Minum ini dulu terus mandi, ya. Mama mau urus budgeting kantor dulu"

"Lho, bukannya itu tugas Mas Kresna, ya? Kok jadi Mama yang ngerjain?" Tanyaku dengan nada sedikit keberatan.

"Budget itu hal yang sensitif, lho, Rev. Apalagi ini uang perusahaan. Mama masih khawatir kalau mau membebankan kerjaan ini ke Kresna" Jelas Mama. Aku hanya bisa manggut-manggut, karena dalam struktur perusahaan, Mamalah ratunya.

"Ya, udah. Mandinya jangan kemaleman, ya. Mama ke kamar dulu"

Aku kembali menghela napas lega. Memakai topeng ternyata tidak mudah. Aku setengah mati menahan getaran kakiku yang seumur-umur tak pernah berbohong pada Mama. Ya, meski belum bisa di anggap sebagai suatu kebohongan, setidaknya ada sesuatu yang kusembunyikan dari Mama.

Kusobek bungkus vitamin yang Mama berikan dan langsung menenggaknya. Sebenarnya aku malas sekali untuk mandi, tapi aku tak boleh sakit hanya karena kebanyakan pikiran seperti ini.

Usai mandi dan mengganti baju dengan piyama, aku duduk di ruang keluarga dan menyalakan TV. Mama belum kunjung keluar kamar. Pasti Beliau sedang mengerjakan proposal budgeting itu dengan serius. Karena biasanya, Mama tidak akan rela ketinggalan sinteron favoritnya.

Aku menguap lebar saat jarum pendek jam dinding di ruang keluarga menunjuk angka sepuluh. Aku keasyikan menonton sampai lupa waktu. Kupandangi pintu kamar Mama yang belum terbuka sedari tadi. Rasa penasaran mulai menjalariku.

Aku melangkah menuju kamar Mama. Pintunya tak dikunci, batinku. Aku membukanya sepelan mungkin takut kalau Mama sedang tidur. Kamarnya masih terang benderang, lampu tidur yang seharusnya sudah menyala bahkan tidak terjamah.

Aku masuk dengan langkah kaki tertahan. Ku edarkan pandangku ke seluruh ruangan dan mendapati Mama tengah tertidur di sofa samping tempat tidurnya. Laptop berwarna putih milik Mama masih menyala. Aku tersenyum kecil. Kuambil selimut yang ada di kasur lantas menyelimuti tubuh Mama. Beliau nampak sangat pulas. Aku tak tega untuk membangunkannya.

Aku baru hendak keluar kamar ketika mataku menagkap sesuatu yang mengusik pikiranku. Layar Laptop Mama menampilkan potret diriku dan Mama yang tengah berangkulan sambil tersenyum lebar menghadap kamera. Sangat bahagia. Momen itu di ambil saat usiaku baru beranjak 19 tahun. Saat hidup belum sebegini rumitnya. Saat masalah belum sebegini kompleksnya.

Kemudian satu pertanyaan familiar kembali menyeruak di otakku. Dengan segala ketulusan hati merawatku sedari kecil, tegakah aku meninggalkan Mama?

Continue Reading

You'll Also Like

547K 21.9K 65
"Eh, biasanya ketua geng itu dijodohin gak sih." "Iya ya, biasanya di wp, ketua geng motor, ganteng, terus kaya raya. Pasti dijodohin." "Ketua kita...
588K 48.7K 32
Setelah kematian ibunya Rayanza yang tadinya remaja manja dan polos. Berubah menjadi sosok remaja mandiri yang mampu membiayayi setiap kebutuhan hidu...
1.4M 143K 51
Katanya, psikopat bersifat genetik. Katanya, seorang anak yang tumbuh besar dengan orang tua yang memiliki gangguan tersebut berpotensi tumbuh serupa...
1.9M 105K 52
"Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan dengan saudara sendiri...