Observation Love

By delusionallyboy

205K 9.5K 406

Gimana rasanya melakukan sebuah tugas Observasi ke tempat klub malam yang di penuhi kaum LGBT? Jangan bergidi... More

1 "Definisi"
2 "Anniversary"
3 "Day 1 Observation"
4 "Next Stage Observation"
5 "Rio Bramastya"
6 "Last Day Observation"
7 "Broke"
8 "Shameful Thing"
10 "Plan & Definition"
11 "In Action -Part.1"
11 "In Action -Part.2"
12 "Think Hard & The Result"
13 "Dissension & depression"
14 "The truth & Be snatch"
15 "1 v 2, or, 2 v 2?"
16 "Knife, Gun, And Blood, Until Die"
17 "The Truth & The Reason"
18 "Recognation"
19 "Happiness & Hopefully"
20 "The Strom Is Back"
21 "Goodbye"
22 "Trip to Bandung"
23 "You're My One & Only"
24 "Not Likes The Movie"
Final Chapter "Letter For Al"
Author Note;
New Story to tell

9 "Revenge & Observation Love"

7.5K 411 8
By delusionallyboy

"Berhati-hatilah, Al!"

Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Hanya duduk di atas bangku yang begitu nyaman namun aku merasa begitu tersiksa berada di atas kursi ini. Bu Mirna berada di depanku, menatapku sinis memutar-mutar perkataannya. Sesekali terekam di pikiranku saat aku berada di hadapan siswa-siswi teman-temanku mempresentasikan observasi yang telah ku lakukan. "LGBT itu menular, saya yakin itu." Itulah ucapanku yang terekam di pikiran padahal badanku sedang duduk di bangku yang menyiksa ini.

"Apa kau yakin, kau bukanlah, gay?" Seusai perkataan itu terlontar dari Bu Mirna yang berada di depanku, aku yakin bahwa aku berada di alam mimpiku. Diriku yang asli masih tertidur nyenyak di atas kasur empuk. Aku yakin itu.

"Just, think about it. That's a good chance for you." Tiba-tiba di depanku sesosok Verro yang dengan santai mengucapkan kalimat tersebut.

"Aku bisa membalaskan dendammu jika kau ingin aku melakukannya."

Aku terbangun sedikit tersentak. Aku beranjak mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk di atas ranjang, bersandar ke tembok. Jam di dinding kamar Rio menunjukan enam pagi. Aku lupa tak pindah tidur kemarin, Rio berada di sampingku masih tertidur lelap. Wajah pucatnya sudah hilang namun suhu badannya tetap sama seperti kemarin.

Aku turun dari ranjang kasur, melangkah menuju lantai dasar ke dapur. Tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku butuh satu gelas air minum dingin, dan aku mendapatkannya di dapur rumah Rio ini.

Sama halnya sepertiku, rumah sebesar ini hanya diisi oleh pemabantu dan anak majikan karena majikannya sibuk bekerja. Ya, Rio dan aku sama. Senasib. Diterlantarkan orang tua yang seharusnya ada di samping seorang anak saat anaknya dalam masalah. Contohnya, masalah yang di hadapi Rio adalah dia sakit.

"Udah bangun." Kaget aku mendengar suara Rio di belakangku. Secara refleks aku membalikkan badan.

"Eh, iya. Maaf aku lancang pergi ke dapur. Haus banget soalnya." Jawabku. "Kamu mau minum?" ku tawari Rio dengan menyodorkannya gelas yang ku pegang. Ia mendekatiku lalu mengambil gelas itu, mengahabiskan air minum sisaku.

"Udah agak mendingan?" Tanyaku, meraih gelas yang telah kosong lalu ku simpan di atas meja.

"Ya, gitu. Sakit badannya masih tetep ada." Jawabnya lemas sekali.

"Sakit kaki? Mau aku pijitin." Tawaku.

"Ah, gaus-"

"Ayok. Aku pijitin." Aku merangkulnya. Kami berjalan menuju ruang keluarga.

Rio berbaring di atas sofa, dan aku dalam posisi duduk. Kaki Rio berada di atas pahaku. Tanpa lama-lama lagi, aku mulai memijat kaki Rio oleh kedua tanganku. Ku usahakan memijat selembut mungkin, namun berasa nikmat pada Rio.

"Enakan gak?" Ku lihat Rio menutup matanya.

"Hmm..."

"Jam delapanan aku pulang dulu ya. Takutnya si bi Minah nyariin. Kemaren gak pulang dulu. Kamu gak apa-apa aku tinggal?"

"Enggak apa-apa. Jam delapan Bi Asrih udah ada di rumah." Jawabnya masih menutup matanya.

"Tangannya mau dipijitin gak?" Tawarku lagi setelah lumayan lama ku pijit kedua kaki Rio.

"Boleh." Ia berpindah posisi. Kini, ia duduk. Tangan kanannya berada di atas pahaku, dan kepalanya bersandar ke pundakku saat ku mulai memijit tangan kanannya.

"Kamu berbakat."

"Berbakat?"

"Iya. Berbakat jadi tukang pijit."

Aku tersenyum. "Enak ya pijitanku?"

"Enggak juga sih." dengan polosnya kalimat itu terlontar dari mulut Rio.

Sudah lumayan lama ku pijat tangan kanannya, giliran tangan kiri yang ku pijit. Kepala Rio sekarang bersanda ke dadaku. Tepatnya di degupan jantungku. "Lucu." Desisnya.

"Apaan?"

"Degupan jantungmu."

Aku tertawa. "Semua manusia degupan jantungnya sama kali, Rio."

"Enggak. Yang kamu beda. Kamu lagi seneng atau apa nih?"

Aku tak menjawab. Hanya tertawa kecil mendengar perkataan Rio.

Jam delapan kurang tiga puluh menit, aku sudah mandi dan mengganti pakaian menggunakan pakaianku yang Rio pakai dua hari lalu, saat ia menginap di rumahku. Sekarang, aku dan Rio sedang menyantap pais ayam buata Bi Asrih di ruang makan.

Tak banyak percakapan di antara kami saat sedang menyantap makanan yang lezat ini. Hanya saja, Rio terlihat tak berselera untuk menyantap makanan. Ia terlihat buruk. Kantung matanya seolah ia tak tidur berhari-hari. Pucat di wajahnya kembali terlihat. Ia benar-benar butuh istirahat.

"Kalau gak enak di mulut, gausah di paksain." Ucapku. Sebelumnya, aku meneguk air minum dalam gelas.

Rio berhenti menyantap makanannya. "Kamu butuh istirahat, Rio." Kataku, berhenti menyantap makanan, sama seperti Rio.

"Aku anter kamu ke kamar ya. Terus kamu minum obat." Ku usap punggung Rio perlahan, dan ku pegang keningnya. Suhu tubuhnya masih panas.

Aku ajak Rio menuju kamarnya. Di rangkulan ku, ia begitu lemas. Untuk jalanpun sepertinya ia harus mengeluarkan tenaga ekstra. Butuh beberapa menit untuk berjalan dari ruang makan menuju anak tangga pertama. Ku bantu Rio melangkah menuju anak tangga selanjutnya. Saat kaki kanannya sudah menapak, tubuhnya melemah, jatuh di pelukanku. Ku coba untuk menggendong tubuhnya, namun tak jadi karena begitu berat. Tinggi Rio saja lebih tinggi sedikit dariku, pastinya aku tak kuat mengangkat tubuhnya, apalagi melewati anak-anak tangga untuk menuju lantai dua.

"Bi! Bi Arsih!" Teriakku. Tak lama, Bi Arsih muncul dan segera membantuku mengangkat tubuh Rio menuju kamarnya.

Ku baringkan tubuh Rio di atas ranjang. "Den Rio kenapa?" Tanya Bi Asrih.

"Tadi dia gak enak buat makan. Aku ajak dia ke kamar buat istirahat sama minum obat. Pas di tangga tadi dia tiba-tiba pingsan."

"Innalillahi. Den, cepet sembuh, yaa."

"Yaudah, Bi. Mendingan sekarang kita biarin Rio istirahat."

"Iya."

Aku dan Bi Asrih keluar dari kamar Rio. Kami berjalan menuju lantai dasar, selama saat berjalan, Bi Asrih menceritakan tingkah Rio yang memang berbeda sejak Ayah dan Bundanya sering berpergian keluar kota. Bi Asrih bilang "Sepertinya ia butuh kasih sayang yang lebih. Makannya dia seperti itu. Dia ingin dimengerti dan diawasi. Dia memang sudah 18 tahun, tapi tak ada salahnya ia ingin disayangi layaknya anak kecil, karena dulu dia tidak pernah mendapatkan itu."

"Orang tua Rio sering berpergian dari Rio kecil ya, Bi?"

"Sumuhun, den Rio teh selalu ditinggalin sendirian. Sama bibi selalu dibimbing dia teh, biar menjadi anak yang baik, yang taat." Jawab Bi Asrih sembari membuatkanku teh manis hangat. "Saya kasian sama den Rio, dia kurang kasih sayang dari orang tuanya." Bi Asrih menyajikanku teh manis hangat.

"Makasih, Bi." Ku seruput teh itu. Rasanya begitu manis dan menghangatkan perut. "Emangnya, orang tua Rio jarang banget pulang?"

"Ih, ari den Al, orang tua Rio kalau pulang palingan cuman tiga hari diem di rumah. Udah gitu balik lagi kerja."

Aku mengerti sekarang, mengapa Rio begitu senang ku anggap sebagai adikku. Ternyata begini hidupnya. Di balik keceriannya, dan senyumannya yang tegar, ada sebuah konflik yang mungkin bersifat privasi. Makannya ia sembunyikan konflik dirinya oleh senyumannya.

"Makasih ya, Bi teh manis nya. Saya pamit dulu,nanti saya kesini lagi kok nemenim Rio." Ucapku di depan pintu masuk rumah Rio.

"Iya, den. Hati-hati di jalan."

Aku berlari menuju mobilku yang terparkir dekat gerbang rumah Rio. Ku stater mobil dan menjalankan mobil ini menuju rumahku.

**

Tujuan utamaku ke rumah adalah untuk memberitahu bi Minah kemana saja kemarin dan kejadian di kampus juga memberitahunya bahwa aku akan menginap di rumah Rio lagi. Kemudian, tujuan lainnya aku ke rumah adalah untuk membawa kartu ATM.

Dan sekarang, aku berada di Mall untuk membeli kebutuhan rumah dan roti juga buah-buahan untuk Rio. Sedang asyik aku memilih buah apel. Yang pasti harus manis. Jika Rio tak suka apel, maka aku yang habiskan. Sedang asyik-asyiknya, ujung mataku menangkap seseorang yang sudah ku kenal baik, Raisa. Aku menoleh ke arah kananku. Raisa sedang menggandeng tangan William melewat ke arah belakangku, membuat amarah di dalam diri meningkat melewari batas. Namun ku coba menahan diri untuk tidak bertindak aneh. Ini di muka umum, jangan sampai aku menonjok William di tempat umum ini. Bisa-bisa aku di ringkuk oleh satpam.

Ku banting belianku ke jok belakang mobil. Memukul berkali-kali setir mobil saat tubuh ini telah duduk di kursi setir. Setelah ku pikir-pikir lagi, maka kuputuskan untuk pergi ke Apollo.

**

Sebelum sampai di apollo, aku kembali ke rumah memberikan belanjaan pada Bi Minah, kecuali roti dan buah-buahan. Di atas kursi bar, di atas bar di depan mataku dan mata Frans tersaji sebuah minuman bir beralkohol. Tadinya ingin ku minum bir ini, namun entah kenapa niatku untuk meminum bir ini tiba-tiba hilang saat Frans memberiku nasihat yang ampuh, sungguh membangungkan diriku yang hancur oleh Raisa, dan hancur harga diriku oleh William.

"Al?" Suara itu. "I glad you in here." Verro. Dia tiba-tiba duduk di kursi sebelahku. Ia hanya mengenakan celana super pendek dengan warna yang cerah di kegelapan. Maklum lah, gogo dancer.

"Gue mau bicara penting sama lu, Ver." Ucapku, memasang wajah ekspresi seriusku yang terkesan menyeramkan. "Frans, bisa beri kami privasi?" Frans pergi meninggalkan kami.

"What happen, Al?" Tanyanya sembari meneguk minuman yang ia bawa tadi.

"Apa tawaran lu buat membalaskan dendam gue masih ada?" Tanyaku.

"Sure, masih ada."

"Apa gue bisa gunain kesempatan itu?"

"Tentu bisa. Tapi sebelumnya, kenapa kau ingin membalas dendam pada William?"

Aku terdiam. Memandang bir ber-alkohol. Bukan memikirkan jawaban yang tetap untuk pertanyaan Verro. "Dia udah ngerampas orang yang paling gue sayang. Dan dia udah ngejatuhin harga diri gue." Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari gelas bir.

"Siapa orang yang kau sayangi itu? Kekasihmu? Apa kau benar-benar mencintainya?"

"Ya, Raisa, kekasih gue. Jadi di balik ia merekam video itu untuk menghancurkan hubungan gue sama Raisa." Ku alihkan pandanganku. Kini memandang wajah Verro.

"Apa kau yakin kau mencintai Raisa?"

Aku sedikit tercengang mendengar perkataan Verro. "Ya, tentu. Gue begitu menyayanginya. Mencintainya."

"Then, what is love? Apa itu cinta, Al?"

Diam. Aku terdiam, terpaku tanpa kata.

"Kau bilang kau mencintai seseorang. Seharusnya kamu tahu apa definisi dari kata sederhana ini." Verro menyeruput minumannya. Aku terpojok, entah. Tak tahu. Pikiranku hilang. Tak bisa berpikir aku.

"Aku akan memberimu kesempatan berbalas dendam itu. Aku akan membantumu. Asal dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Kau bisa memaafkanku."

Aku beranjak dari dudukku. "Tentu. Gue akan memaafkanmu. Kapan kita akan memulainya?"

"Kapanpun kau siap."

"Hari sabtu nanti. Gue minta pin BBM lu, untuk rencana balas dendam, gue kirim lewat BBM."

Setelah ku invite Verro, aku keluar dari Apollo. Jam ditanganku menunjukan pukul delapan malam. Semoga saja masih ada kesempatan untuk menginap di rumah Rio, menemaninya.

Saat aku akan masuk ke dalam mobil. Verro di depan pintu masuk Apollo memanggilku. "Al, jika kau tak mengetahui arti sesungguhnya dari cinta, mana mungkin kau akan bisa mencintai seseorang setulus hatimu." Ujarnya sembari melangkah mendekatiku.

Saat tubuhnya dekat dengan tubuhku. "Kau kuliah jurusan sosiologi bukan? Lakukanlah observasi akan definisi cinta, hanya observasi sederhana, tak perlu turun ke lapangan. Agar kau tak terjerumus di lubang kesalahan di hubungan selanjutnya."

Aku segera masuk ke dalam mobil. Saat ku akan menutup pintu mobil, Verro menahannya. "Aku ingin hari sabtu nanti kau telah mempersiapkan jawaban tentang pertanyaanku di dalam tadi. Aku akan menanyakan lagi padamu." Ku tutup pintu mobil setelah kalimat Verro berakhir.

Ku setir mobilku.
Jadi, inilah awalnya. Hm.. Tunggulah William, pembalasanku akan datang. Untuk observasi cinta, inilah awalnya. Ya, setelah aku putus dengan Raisa. Verro benar, sebelum aku mencintai seseorang aku harus mengetahui terlebih dahulu apa itu cinta. Maka aku akan mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Ini awalnya.

Continue Reading

You'll Also Like

5.7M 241K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
5.8M 274K 52
Follow sebelum membaca. Cerita sudah diterbitkan dan tersedia di Shopee. ||Sinopsis|| Menceritakan tentang kisah seorang gadis bernama Revaza Khansa...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.1M 115K 59
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.9M 231K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...