Garlic

By gaachan

507K 46.9K 7.7K

Pernah tahu cerita "Bawang Putih dan Bawang Merah"? Bagaimana seandainya si Garlic yang selalu ditindas itu m... More

Kulik
Bab 1. Namaku Aneh Karena Seleraku Sama Anehnya
Bab 2. Aku Keren Sendiri dan Tidak Doyan Diganggu
Bab 3. Jangan Ngatur Kayak yang Kenal Aja!
Bab 4. Korban Kekejaman Cowok Ambigay
Bab 5. Cowok Lemah Lembut Pasrah Adalah Masokis
Bab 6. Tidak Usah Tubir, Jaga Itu Mulutnya!
Bab 7. Aku Keren Sendiri (Part 2)
Bab 8. Jangan Senggol, Ntar Kubacok!
Bab 10. Aku Mau Belajar Santet Memasukkan Becak dalam Perutmu!
Bab 11. Cinta Itu Apa, Sih?
Bab 12. Pendekatan yang Tidak Mau Deket
Bab 13. Aku Tidak Mau Dekat Sama Kamu!
Bab 14. Selamat Mencintaiku Meski Aku Lebih Cinta Diriku Sendiri
Bab 15. Bawang Merah Akhirnya Digoreng
Bab 16. Bawang Daun Bersatu dengan Bawang Putih
Pengumuman Sedikit
Sequel : Prins dan Segala Bentuk Kekejaman yang Menyiksa Putee

Bab 9. Hukum Karma itu Ada, Balas Dendam Juga Berlaku!

21.2K 2.3K 353
By gaachan

 "Rusa masih di hutan, kancah sudah dijerangkan."

Rencana yang masih belum tentu, karena barang yang direncanakan sebenarnya belum tentu diperolehnya.

..........................................

Putee mengerjap, menatap Prins yang sedang terbujur. Kakinya diperban, lengannya juga. Kepalanya juga. Putee ingin menangis saat ini. Prins memang sempat tidak sadarkan diri, namun cowok itu ternyata sangat kuat. Setelah menerima donor dan tidak sadarkan diri selama dua hari, Prins akhirnya membuka matanya.

"Gue harus beritahu ortu lo." Itu hal pertama yang Putee ucapkan pada Prins. Prins menggeleng kencang.

"Jangan!"

"Anak mereka lagi sakit kebangetan kalo mereka nggak balik dalam keadaan kayak gini!" Putee menjerit gusar, mengabaikan dimana dia sekarang.

"Kan gue udah sadar sekarang, Garlic!"

"Tetep aja, mereka pasti cemas!" Putee menggeleng, bersiap mencari kontak ayah Prins. Ketika melihat HP Prins terkunci dengan kode pola, Putee melongo.

"Kodenya, Prins! Polanya apa?" Putee sudah sibuk mengotak-atik pola di HP Prins untuk membuka screen locknya.

Mulai dari pola bentuk P. Siapa tahu saja Prins narsis, jadi menggunakan inisial namanya. Gagal. Putee terus mencoba mencari kode itu, sementara Prins hanya terkekeh santai. Sampai kapan pun Prins tidak akan pernah memberitahu Putee apa kode pola HPnya.

Putee akhirnya terdampar dengan kepala di atas kasur Prins. Prins menepuk-nepuk kepalanya. Putee terdiam. Terpejam.

"Prins...." panggilnya pelan.

"Hm?"

"Jangan terluka!"

Prins tercekat. Dia pernah mengatakan kata serupa pada Putee sebelumnya. Prins menatap Putee dengan wajah kalut. Tangan kanannya terulur, lalu mengelus punggung cowok tengil itu. Putee mendongak, menatap Prins lagi. Air mata sudah membasahi kedua pipinya. Jadi cowok itu menangis sejak tadi?

Putee melompat ke pelukan Prins hingga cowok yang diperban itu hampir terjungkal.

"Gue lagi sakit, pelan-pelan Bawang!" Prins berdecak kesal, namun senyum geli tergambar di bibirnya. Panggilan sayang Prins berubah lagi. Jadi... Bawang? Garlic saja sudah parah, ini malah jadi lebih Indonesia? Bawang katanya!

"Nama gue bukan Bawang!" Putee bersiap menjitak kepala Prins, namun dia tersadar kalau Prins sedang terluka.

"Mungkin inspirasi ortu lo pas beri lo nama adalah bawang-bawangan. Pertama, Putee. Itu mirip sama warna bawang." Prins jadi senang meledeknya.

"Otak lo kena juga, Prins? Otak lo akhirnya jadi konslet gini pasti karena kecelakaan itu. Lo jadi suka menghujat nama orang..." Putee berkata ironis. Prins hanya tersenyum geli.

"Kedua, nama lo juga ada Garlic-garlicnya. Di kamus artinya bawang putih."

"Gue udah tahu, nggak usah lo perjelas lagi, Prins!" Putee mencebik kesal. Matanya sudah melas-melas, bibirnya juga sudah manyun-manyun begitu.

Prins tertawa, ngakak. Putee sebenarnya kesal karena Prins mengolok namanya, namun dia senang karena akhirnya Prins mau tertawa di depannya. Putee membiarkan Prins mengoloknya kali ini, biarkan saja dia senang dulu. Siapa tahu saja Prins sedang dalam masa transisi untuk sembuh.

"Gue suka kalo lo ketawa kayak gitu!" Putee menunjuk wajah Prins. Prins tersadar, lalu gelagapan. Salah tingkah setelah itu. Putee terkikik geli. Prins tetap saja tipe cowok yang gengsinya selangit.

Prins bungkam.

"Lo harus tinggal di sini berapa lama lagi?" Putee bertanya cepat.

"Gue kan baru beberapa hari di sini, kok lo nanya kapan gue balik?"

Putee menunjuk wajah Prins.

"Lo ngaku aja kalo lo sebenernya pengen tinggal di sini lebih lama, nggak sekolah juga! Ngaku lo! Ngaku!" Putee sudah gahar, melompat-lompat tak tahu diri. Prins memang sudah berada di kamar pasien, namun dia juga ingin tenang. Dia baru saja sadar dan sudah disuguhi pemandangan yang mengharukan.

Putee menatapnya dengan air mata. Bibirnya bergetar, hidungnya merah dengan ingus yang menetes membasahi ujung bibirnya. Sesekali anak itu mengusap-usap ingusnya dengan punggung tangan. Prins ingin sekali menjitak Putee waktu itu, namun tenaganya terlalu lemah. Sudah habis hanya untuk mengomeli bocah tengil itu.

"Prins..." Putee berbisik. Tatapannya jadi lembut.

"Apa?" Prins tahu kalau anak itu akan bicara serius dari tatapannya.

"Jangan sakit..."

Prins terdiam. Putee sepertinya ingin menangis lagi, namun cowok tengil itu terlalu gengsi untuk meneruskan acara melankolisnya.

"Lo mau nangis?" Prins masih bernafsu untuk meledeknya. Sudah lama sekali Prins tidak menghujat orang. Dulu dia pernah menghujat sepupunya, mengolok sepupunya hingga anak itu menangis. Sekarang Prins punya korban baru.

"Bagi seorang cowok, air mata itu baru turun kalau benar-benar lelah."

"Sok bijak!"

"Gue seriusan, Prins! Gue takut pas lo berdarah gitu, lalu lo dibawa ambulans, lalu lo masuk di ruang nggak tahu apa namanya... lalu lo diperban kayak gini..." jawab cowok tengil itu lagi. Prins diam, lalu menghembuskan nafasnya.

"Tapi pada akhirnya gue masih hidup, kan?"

"Gue yakin kalo orang yang nabrak lo kemarin emang sengaja."

Prins diam. Ketika matanya menelisik baju Putee, Prins tersadar akan sesuatu. Putee masih memakai baju yang dia pakai dua hari yang lalu ketika Prins melihatnya.

"Gue nggak sadar berapa hari?"

"Tiga hari kalo dihitung sama peristiwa itu, sih!"

"Lo nggak pulang? Lo nggak mandi? Lo nggak sekolah?" Prins melotot ganas ke arah Putee. Prins tidak tahu kenapa dia jadi cerewet seperti ini. Apa mungkin ini efek kecelakaan?

Kekehan Putee membuat Prins kembali melotot ganas. Prins benar-benar tidak paham apa yang cowok tengil ini pikirkan. Putee tidak mandi selama tiga hari hanya karena dia masuk rumah sakit?

"Lo kan bisa pulang dan mandi dulu!" Prins gemas setengah mati. Putee mengerutkan keningnya, lalu menggeleng.

"Tapi kan kalo ntar lo sadar dan nyariin gue gimana?"

"Kenapa gue harus nyariin lo, Bawang?!" Prins masih gemas. Putee cemberut lagi.

"Kita kan teman."

"Jadi kalo misalnya gue nggak sadar selama seminggu, lo bakalan nggak mandi selama seminggu?!" Prins melotot lagi. Putee terdiam, lalu anak itu mendekat. Prins menekan hidungnya. "Kamu bau asem, Bawang!"

"Seenggaknya gue nggak bau bawang!" Putee terkekeh.

"Sana pulang! Mandi!"

"Nggak, ah! Ntar kalo gue balik..."

"Beneran, gue bisa pingsan lagi kalo lo masih berkeliaran di sini dengan bau ini. Pulang! Ah, lalu lo bolos sekolah dan nggak kerja gitu?"

"Gue udah izin, Prins! Bahkan kemarin bu kepsek datang dan bawain makanan."

"Balik sana! Mandi!"

Putee masih enggan untuk bergeming dari tempatnya. Matanya menatap Prins dengan raut sedih. Prins jadi merinding karena tatapan itu. Prins tahu kalau anak ini sedang sedih. Prins belum melihat bagaimana tangisan anak itu ketika dia tidak sadar, namun Prins sempat mendengar Putee menjerit kacau, mengumpati orang-orang di sekitarnya sebelum dunia Prins menggelap.

"Prins..."

"Mandi, nggak lo?!"

"Gue mau ngomong sesuatu..."

"Dengan bau kayak gini?"

Putee menggeleng lalu berkata pelan, "Ini nggak akan lama, Prins! Lo dengerin aja dulu..."

Prins merasa ada aura mencekam yang Putee sebarkan dari nada suaranya. Prins menelan ludahnya lalu menatap mata Putee dengan raut gemas. Bagaimana bisa Putee mengatakan hal penting saat kondisi badannya lebih tragis?

"Mungkin... gue harus keluar dari rumah lo, Prins..."

Prins menegang di tempatnya. Jantungnya berdegub kencang. Ketika mulutnya akan berkata, Putee mengulang lagi ucapannya.

"Prins... gue nggak mau lo kenapa-napa karena gue. Peristiwa tabrak lari itu pasti disengaja, Prins. Sasaran utamanya gue, tapi lo malah nyelametin gue. Gue nggak mau lo kenapa-napa, Prins!" Putee benar-benar kacau saat ini. Matanya menatap Prins dengan raut penuh rasa bersalah.

"Lo lupa perjanjian kita?" Hanya itu yang sanggup Prins katakan, alih-alih mengatakan jangan dan tidak boleh.

"Kita bisa perbarui kontraknya."

"Nggak usah!" Prins menjerit kencang. Putee tersentak kaget mendengar jeritan Prins.

"Sttt... diam, Prins! Jangan kenceng-kenceng, ini rumah sakit..." Putee meletakkan telunjuknya di bibir. Prins harus tahan banting kalau dekat dengan Putee. Bawang itu membuatnya gemas setengah mati.

"Lo pikir karena siapa gue jadi kayak gini?" Prins masih emosi. Putee terdiam, lalu menggenggam lengan Prins.

"Prins... kayaknya lo sial gitu kalo deket-deket gue..." Putee mulai memilin-milin baju pasien Prins. Prins menatapnya dengan raut tak bisa ditebak. Putee itu aneh dan akan selalu aneh di mata Prins. Namun Prins tidak ingin anak itu berubah. Biarlah Putee dengan hal absurd yang menempel menjadi aksesoris pelengkap hidupnya.

Bebas. Aneh. Rusuh. Tengil.

Biarkan Putee tetap seperti itu. Sifat itulah yang akan membuat Prins dekat dengannya. Putee menatap Prins dengan tatapan sedih.

"Kalo lo sampe berani pergi dari rumah gue, gue tuntut lo! Ingat, perjanjian itu pake materai dan tanda tangan kedua belah pihak tanpa paksaan. Gue sanggup nyewa pengacara. Lo nggak sayang sama duit lo buat nyewa pengacara?" Prins jadi benar-benar clueless saat ini. Bagaimana kalau Putee tidak peduli akan ancamannya dan memutuskan untuk tetap pergi? Prins mengutuk ucapannya yang tidak masuk akal itu.

Namun....

"Iya juga, ya! Sewa pengacara yang bagus kan mahal. Gue mana punya duit buat itu. Lebih parah kalo gue dituntut pake pasal sewa-menyewa. Tapi kan gue udah numpang di rumah lo dan nggak bayar..."

Prins melongo. Jadi seperti ini cara pikir anak yang IQnya tinggi itu? Prins menatapnya dengan tatapan terpana. Putee manggut-manggut, lalu tersenyum.

"Gue nggak jadi pergi, deh!" Cowok itu nyengir lagi.

Prins bersorak dalam hati, lalu berdehem.

"Jadi, sana pulang! Mandi!"

Putee mengendus ketiaknya lalu tersenyum garing. Dia memutuskan untuk pulang lebih dulu, hingga kepalanya kembali melongok ke kamar Prins.

"Lo mau dibawain celana dalam ganti, nggak? Lo udah nggak ganti selama tiga hari. Nggak gatel?"

Prins ingin sekali melempar apapun yang ada di sana pada anak itu. Namun karena ucapan anak itu masuk akal, akhirnya Prins mengangguk cepat.

"Sekalian bawain gue komik."

Putee mengangkat tangannya dan mengangguk. Cowok tengil itu menghilang setelah itu, meninggalkan Prins yang sedang berpikir seorang diri. Ucapan Putee soal dia yang ingin pergi dari rumahnya membuat Prins berpikir. Meski cowok tengil itu mengurungkan niatnya hanya karena ancaman mahalnya sewa pengacara, Prins masih harus berpikir soal ini. Prins harus tahan godaan. Dia tidak boleh masuk terlalu dalam pada kehidupan Putee. Dia hanya teman Putee, hanya teman serumah.

***

Putee sampai di rumah Prins. Dia sudah meninggalkan rumah itu selama berhari-hari. Coret, hanya tiga hari. Putee membuka pintu depan lalu melepaskan bajunya. Dia harus mandi. Prins bisa pingsan nanti kalau mencium bau dari tubuhnya.

Putee mandi dan bersiap ke rumah sakit lagi. Dia sudah mengepak beberapa komik dan buku pelajaran di tas jinjingnya. Siapa tahu Prins ingin belajar. Lalu tidak lupa membawakan cemilan yang ada di kulkas. Putee tiba-tiba ingat sesuatu. Celana dalam. Prins harus ganti celana dalam.

Putee membuka pintu kamar Prins dan melangkah ke arah lemarinya. Dia mulai memilih-milih celana dalam Prins yang bermerk itu.

"Prins suka warna apa, ya?" Putee masih sibuk memilih-milih warna dalam yang disukai Prins. Putee beralasan kalau warna akan membuat mood seseorang jadi bagus, jadi dengan begitu Prins akan segera sembuh dan bisa segera pulang.

Memangnya kamu mau pakai celana dalam di luar agar bisa dilihat, Putee?

Dasar preman tengil aneh!

Putee sudah mengepak beberapa barang yang mungkin Prins butuhkan. Bahkan tidak segan-segan cowok itu juga mengambil selimut tambahan di lembari Prins. Hingga matanya menangkap sesuatu di pojok kamar Prins.

Please, ini bukan soal cerita horror. Ini hanya sebuah benda terbungkus koran yang mulai mengusik perhatian Putee. Putee tidak pernah melihat benda itu sebelumnya. Benda itu berbentuk persegi mirip pigura yang terbungkus koran. Putee curiga, jangan-jangan itu foto memalukan Prins hingga cowok itu harus membungkusnya dengan koran. Boleh ngintip sedikit?

Putee menggeleng. Itu tidak sopan, Putee! Putee berdiri lalu melangkah ke arah pintu. Ketika tangannya sudah bertengger di gagang pintu, setan mulai berbisik lagi. Putee lemah iman, jadi dia berbalik dan memutuskan untuk mengintip sedikit apa yang ada di sana.

Putee melepaskan selotip yang menempel di koran itu dengan hati-hati. Putee membuka sisi atas koran itu. Bau yang sangat dia hafal perlahan menusuk indera penciumannya. Ini bau lukisan. Sejak kapan Prins beli lukisan ini?

Putee menyipitkan mata untuk mengintip, hingga tubuhnya kaku. Tangannya spontan merobek koran yang membungkus benda itu. Sebuah lukisan terhampar di depan Putee saat ini. Putee tertegun. Lukisan itu lagi. Bagaimana mungkin Putee bisa lupa? Lukisan yang berada di tangannya saat ini adalah lukisan yang pernah Putee buat. Lukisan yang menggambarkan hitam dan putih hidupnya. Dengan seseorang yang berdiri di sana dengan wajah menawan.

Wajah Prinstavi Atmajaya. Wajah Prins yang terdiri dari coretan-coretan cat hitam dan putihnya. Wajah Prins yang sudah dia ingat dan menjadi inspirasinya. Lukisan ini.. yang dia jual di pameran, yang akhirnya dibeli oleh orang misterius lewat jalur online. Jadi, pembeli itu adalah temannya sendiri?

Putee terdiam, lalu kepalanya tertunduk.

Air mata mengalir lagi di sudut matanya. Putee sesenggukan. Saat ini... Putee terlalu sentimentil meski hanya untuk mengeja sebuah rasa terima kasih. Terlalu mendramatisir meski hanya untuk mengatakan rasa syukur. Putee benar-benar kalut nan bahagia. Pada sebuah kenyataan indah namun menyakitkan. Putee merasa dirinya dicintai. Sangat dicintai.

Putee meraih sesuatu dari balik sakunya. Benda kotak jadul yang masih punya nada dering tulalit. Menghubungi seseorang di sana, yang saat ini sedang terbaring di salah satu kasur rumah sakit.

Prins celingukan saat terdengar nada dering HPnya. Dia mencari-cari HPnya hingga matanya tertuju pada sebuah benda yang terselip di antara buah apel dan vas bunga.

Nama itu membuat jantungnya kebat-kebit lagi.

"Udah nemu celana dalam gue?"

"Prins..." Suara itu terdengar sesenggukan. Prins melongo kaget. Kenapa anak itu menangis? Apa karena di rumah tidak ada makanan? Atau anak itu nyasar ketika pulang dari sini?

"Ada apa? Ada apa?"

"Prins.. gue terharu..."

Prins melongo.

"Lo ngapain?"

"Kok lo nggak bilang kalo yang beli lukisan gue..."

"Lo buka-buka barang gue seenaknya lagi?"

Putee menangis makin kencang. Prins salah tingkah. Apa nada suaranya jadi kejam?

"Gue hanya terharu, Prins! Ternyata lo baik banget ke gue, Prins!" Putee mewek makin kencang. Prins memijat ujung hidungnya.

"Kalo udah selesai nangis, buruan ke sini. Selangkangan gue gatel karena belum ganti celana dalam."

Putee mengangguk di sana, meneruskan acara meweknya. Prins hanya terdiam, lalu senyum itu muncul di bibirnya. Prins tersenyum spontan, membayangkan anak itu sedang menatap lukisannya dengan penuh haru.

"Prins? Kok lo nggak matiin teleponnya?" Putee masih sesenggukan.

"Gue masih pengen denger suara mewek lo!"

"Selain terharu, gue juga sedih Prins!" Putee menyerut ingusnya di sana. Prins begidik jijik mendengarnya.

"Sedih kenapa lo?"

"Gue sedih, Prins! Kan kalo yang beli temen gue, gue bisa beri diskon. Harga temen gitu. Masa gue mikir-mikir sama temen..."

Prins harus salto dulu kalau ingin betah-betah telepon Putee. Prins mendengus, lalu HPnya mati. Baterainya habis. Ya... ini sudah tiga hari. Ah, dia tidak bisa minta tolong Putee untuk membawakan chargernya karena HPnya sudah mati lebih dulu.

***

Putee nyengir sejak tadi. Cowok itu jadi menakutkan karena cengirannya menyimpan sesuatu yang berbahaya. Prins yang sedang membaca komiknya hanya melirik Putee dengan wajah curiga.

"Mau apa lo?"

"Makasih, ya!"

Prins berdehem dan pura-pura tidak tahu. Prins menunjuk tas jinjing yang dibawa Putee. Sepertinya ada banyak benda yang dibawa cowok itu.

"Lo bawa apa aja?"

Putee melangkah ke arah tasnya, lalu mengeluarkan isinya. Ada selimut, cemilan, lalu ada korek, senter, dan... charger. Prins harus berterimakasih soal itu.

"Lo tahu aja kalo gue lagi butuh charger."

Putee manggut-manggut bangga.

"Teman kan selalu punya chemistry." Putee mengedipkan sebelah matanya. Prins mendengus geli. Bahkan Prins juga menghina Putee karena berani-beraninya membawa buku pelajaran saat ini. Putee beralasan kalau Prins juga harus stress sedikit, jadi harus membaca buku pelajaran. Minta tolong pada cowok aneh ini mungkin tidak akan pernah membuatnya lega.

Ketika sedang disibukkan dengan komiknya, sebuah kepala melongok ke kamar Prins. Bukan hanya satu, karena setelahnya ada dua kepala lagi. Tiga kepala melongok ke dalam kamar Prins.

"Prins..." Itu suara Sylvia.

"Kalian ngapain di sini?" Putee menunjuk mereka bertiga. Sylvia wajar saja datang ke sini. Prins adalah teman sekelasnya. Lalu ketua kelas A, Hilo juga datang. Wajar, lah! Tidak mungkin kan satu kelas A berkunjung ke sini. Mereka kan harus belajar. Hoho...

Putee terusik ketika melihat kepala terakhir.

"Lo bukan anak kelas A, ngapain lo datang?" Putee berdecak jijik melihat cowok itu berdiri di depannya. Kepala dengan rambut spike dan juga mata tajam menyeramkan dengan sebutan Camo.

Camo melangkah ke arah Putee, lalu menepuk kepala cowok tengil itu dengan sadis. Putee mengaduh kesakitan dan melotot galak.

"Kok lo mukul gue?!"

"Gue ketua kelas lo!"

"Siapa yang nanya?"

"Gara-gara lo bolos, bu kepsek minta gue buat jenguk lo juga, tai!"

Putee tersadar kalau Camo ketua kelasnya. Putee berdecih, lalu melambaikan tangannya santai.

"Bu kepsek udah ke sini dua hari yang lalu."

"Iya, dan kalo lo perlu ingat... gue yang disuruh memastikan keadaan lo. Bu kepsek lagi sibuk."

Putee mencebikkan bibirnya.

"Sorry.. nggak usah repot-repot. Sekarang kan lo udah lihat keadaan gue, jadi sana pergi aja lo! Gue baik-baik aja, kan?"

Camo melotot dengan wajah marah.

"Gue udah bela-belain datang ke sini dan lo malah ngusir gue?!" Camo menyingsingkan lengan bajunya lalu melangkah ke arah Putee. Putee mendengus tak suka.

"Kalian bisa nggak jangan berantem di sini?" Sylvia protes. "Ini rumah sakit."

"Iya, gue tahu. Kedap suara, kok kamarnya. Kemaren gue nyanyi-nyanyi tapi nggak ada orang yang negur gue. Mau coba?" Putee menanggapi dengan santai. Camo melotot. Hilo cuek. Sylvia menepuk pipi Putee. Camo juga ikut menjitak kepalanya setelah itu.

Ada tatapan aneh yang kini menguar di belakang mereka. Apalagi ketika tangan Camo yang dengan semena-mena menepuk kepala Putee. Tentu saja ada rasa marah yang menjalar dalam hati Prins.

"Jangan berisik! Gue mau tidur!" Prins berkata tajam. Putee menoleh dan mendapati Prins sedang mengeratkan rahangnya. Menahan murka.

"Tuh, tuh... Prins mau tidur, teman-teman! Silakan pulang, silakan balik lain kali. Selamat jalan, hati-hati di jalan, dan terima kasih atas kehadirannya!" Putee mendorong tubuh mereka keluar. Sylvia melotot kesal. Hilo juga sama. Camo malah marah. Putee nyengir, lalu menutup pintu kamar Prins dari dalam hingga didengarnya suara Prins yang menusuk.

"Lo juga keluar, Bawang!"

Putee diusir sekarang dan bergabung dengan teman-temannya di luar. Ketiga orang yang diusirnya hanya menatap Putee dengan raut puas penuh ejekan. Putee melongo. Shock.

"Kalian udah makan? Nggak mau nraktir gue? Gue belum makan sejak kemarin." Putee nyengir lalu melompat riang. Cowok itu menempel erat di lengan Hilo. Camo dan Sylvia berdecih tak suka. Mereka bertiga yang kini punya personil baru jadi berempat itu akhirnya keluar untuk makan.

***

Putee menatap Prins ngeri. Prins balas menatap cowok itu dengan tatapan marah. Prins sedang kesal akut pada Putee. Prins tahu kalau cowok aneh itu sempat makan di luar bersama tiga orang yang menjenguknya tadi. Membayangkan ada Camo yang sepertinya punya motif lain terhadap Putee membuat Prins jadi muak.

"Kok lo marah, Prins? Apa gue harus di luar nungguin lo?" Putee sedang sedih sekarang. Prins menatapnya dengan wajah malas.

"Lo kayaknya seneng gitu pas udah jadi bagian kelas reguler!"

Putee mengangguk spontan sambil tersenyum. Namun ketika melihat Prins sedang menatapnya tajam, Putee tahu kalau dia sudah salah emot. Salah ekspresi.

"Di kelas reguler anaknya pada berisik. Mereka nggak punya obsesi aneh buat jadi yang pertama. Jadi gue ngerasa kalau masa SMA yang sebenarnya ada di kelas reguler, Prins. Gue cocok di sana." Putee manggut-manggut. Prins menatapnya dengan wajah jengah.

"Apa gue harus keluar dari kelas A dan gabung sama lo?"

Putee melongo. Itu pemikiran paling gila yang pernah Putee tahu soal Prins. Prins itu tidak ditakdirkan untuk hidup biasa, itu yang Putee katakan. Prins itu ditakdirkan sebagai seorang prince, pangeran begitu. Prins punya segalanya, jadi Prins lebih cocokable kalau tinggal di tempat yang sangat berkualitas. Itu yang Putee pikirkan saat ini.

"Jangan! Nggak usah!"

"Kayaknya lo punya banyak temen di kelas reguler..."

Putee diam. Meski bukan teman-teman dekat, namun Putee memang sudah mulai diterima di kelasnya. Apalagi sejak pementasan waktu itu. Cewek-cewek di kelasnya punya obsesi aneh untuk membuatnya pakai baju cewek lagi.

"Tapi di kelas reguler itu persaingannya keras, Prins!"

"Gue udah biasa bersaing ketat di kelas A."

"Ini bukan soal pelajaran, Prins! Mereka selalu bersaing dalam hal yang aneh. Kemarin-kemarin aja tuh temen-temen kelas gue yang cewek saingan siapa yang kuteksnya paling ngejreng. Mereka juga pamer siapa yang rambutnya paling keriting. Yang cowok lebih aneh, Prins. Mereka taruhan buat gebetin cewek-cewek kelas sebelah. Bukan dunia lo banget pokoknya!" Putee menceritakan dengan nada menggebu, meyakinkan. Prins terdiam, lalu menatapnya tajam.

"Tapi lo sanggup hidup di sana. Bahkan lo menikmati banget!"

"Karena gue udah biasa. Lo tahu kan kalo gue dulu mantan preman. Dunia premanisasi lebih gahar daripada kelas reguler, Prins! Gue juga nggak cocok buat pegang buku dan les tiap hari kayak di kelas A. Kelas reguler adalah hidup gue, dunia masa SMA gue..."

"Lalu kenapa gue nggak bisa? Lo berbuat semau lo, gue juga berhak berbuat semau gue!" Prins terusik ketika mendengar alasan Putee. Sepertinya cowok itu keukeh melarangnya keluar dari kelas A. Apa mungkin karena Putee takut Prins akan mengusik pertemanannya dengan si Camo-Camo itu?

"Pokoknya jangan masuk kelas reguler, Prins! Lo terlalu berharga buat gabung sama kami."

"Kenapa gitu?"

"Pertama, lo ganteng. Cewek-cewek kelas reguler itu lebih bahaya dibanding anak kelas A yang hanya mikir soal belajar. Cewek-cewek kelar reguler bisa aja menerkam lo.."

"Gue bukan anak kemaren sore!"

"Tapi bu kepsek pasti bakalan larang lo. Jangan, jangan!"

Prins siap membuka mulut kalau saja HP Putee tidak memekakkan telinganya lagi. HP itu punya nada menggelegar dan melengking. Putee mengambil HPnya, lalu keluar dari sana. Prins curiga karena anak itu sengaja keluar saat mengangkat telepon.

"Ya, Giar..." Putee menyebut nama teman lamanya tersebut.

"Lo harus tahu ini, Put! Gue udah coba lacak orang yang berniat nabrak lo. Gue udah sama dia di markas sekarang. Nih, orangnya! Mau ngomong sama dia lo?"

"Oke..." Putee tersenyum dengan bibir dikulum. Sepertinya Putee harus berubah jadi sialan lagi kali ini.

"Ma.. Maaf..." Suara di sana bergetar, gemetar. Putee tersenyum meski cowok yang Giar sebut dengan pelaku tabrak lari itu tidak melihat senyumnya.

"Jadi, siapa yang udah nyuruh lo?"

"Gue.. gue cuma disuruh... sama saudara tiri lo. Mir... Mir yang nyuruh gue..."

Lalu setelahnya HP Putee hancur. Putee membanting HPnya ke lantai rumah sakit. Putee tidak bisa marah sekarang, meski ekspresi anak itu aneh sekali. Putee masuk kembali ke kamar Prins lalu tersenyum. Masih dengan senyum aneh itu.

"HP gue hancur, jadi jangan hubungi gue dulu Prins!"

Prins melongo.

"Lo mau kemana?"

"Gue ada urusan bentar..."

Prins tahu ada hal tidak beres yang terjadi pada cowok itu. Bibir Prins berkedut. Dia tidak suka kalau kehilangan kontak dengan Putee.

"Beli HP baru! Nih, ambil uang di ATM gue!" Prins mengulurkan ATMnya. Putee menggeleng kencang.

"Nggak usah!"

"Ambil."

"Gue bisa beli sendiri nanti. Kali ini gue harus pergi dulu."

"Ambil!!!" Prins sudah menjerit marah. Putee bungkam. Ini yang kesekian kalinya Prins berteriak ke arahnya, namun kali ini suara Prins terdengar seperti sedang menahan murka seperti waktu itu. Putee mengambil kartu ATM yang Prins ulurkan dengan ragu.

"Gue nggak perlu uang lo, Prins!" Putee meletakkan kartu ATM itu di meja.

"Gimana gue bisa hubungi lo?"

Putee bungkam.

"Bawa HP gue!" Akhirnya cowok yang sedang emosi itu mengulurkan HPnya. "Ambil HP gue. Gue bisa beli lagi."

Putee menggeleng.

"HP lo terlalu bagus, Prins! Harganya juga lebih dari dua jutaan..."

"Ambil, Bawang!!"

Putee mengambil HP Prins ragu, lalu mematikan HPnya dan mengganti SIM card miliknya di HP Prins – atau kita sebut saja HP barunya. Putee menggenggam HP Prins dengan ragu.

"Gue bakalan telepon lo nanti pake telepon rumah sakit! Jangan macem-macem!"

Saat itu, yang Putee tahu... Prins mulai menyeramkan. Prins mulai punya kuasa penuh atas dirinya. Mungkin karena Putee tinggal di rumahnya, jadi Prins juga punya tanggungjawab terhadap dirinya. Putee keluar dan menuju ke suatu tempat. Dengan HP baru di kantongnya.

TBC

Lalalalaaa... aku tidak tahu harus apa... harus apa lagi...... aku sedang baper... Part depan anu, lho... bakalan ada pertumpahan emosi nyinyir alay... *niat spoiler

Continue Reading

You'll Also Like

53K 6.6K 25
❝𝑾𝒉𝒂𝒕 π’Šπ’‡, π’šπ’π’– 𝒂𝒏𝒅 𝑰 π’˜π’†π’“π’† π’Žπ’†π’‚π’π’• 𝒕𝒐 𝒑𝒂𝒓𝒕 π’˜π’‚π’šπ’”, π’π’π’π’š 𝒕𝒉𝒂𝒕 π’˜π’† 𝒄𝒐𝒖𝒍𝒅 π’‡π’Šπ’π’… 𝒆𝒂𝒄𝒉 𝒐𝒕𝒉𝒆𝒓 π’‚π’ˆπ’‚π’ŠοΏ½...
997K 62.1K 30
Karena sebuah kecelakaan nahas, Julian Marvel mengalami kesialan karena ruhnya harus bertukar tubuh dengan seorang pemuda tak dikenalnya. Beberapa ha...
71K 8.2K 25
Hanjuan. Keren kan? Tapi yakin, keren? . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat π—₯𝟭𝟡+, harap bijak dalam memilih dan memba...
632K 12.8K 8
[BL Story] [HASIL Remake] . Dingin? Jutek? Sinis? Atau lebih tepatnya, Apatis. Satu kata yang selalu melekat pada Ravindra Adiwijaya. Laki-laki berwa...