Garlic

By gaachan

507K 46.9K 7.7K

Pernah tahu cerita "Bawang Putih dan Bawang Merah"? Bagaimana seandainya si Garlic yang selalu ditindas itu m... More

Kulik
Bab 1. Namaku Aneh Karena Seleraku Sama Anehnya
Bab 2. Aku Keren Sendiri dan Tidak Doyan Diganggu
Bab 3. Jangan Ngatur Kayak yang Kenal Aja!
Bab 5. Cowok Lemah Lembut Pasrah Adalah Masokis
Bab 6. Tidak Usah Tubir, Jaga Itu Mulutnya!
Bab 7. Aku Keren Sendiri (Part 2)
Bab 8. Jangan Senggol, Ntar Kubacok!
Bab 9. Hukum Karma itu Ada, Balas Dendam Juga Berlaku!
Bab 10. Aku Mau Belajar Santet Memasukkan Becak dalam Perutmu!
Bab 11. Cinta Itu Apa, Sih?
Bab 12. Pendekatan yang Tidak Mau Deket
Bab 13. Aku Tidak Mau Dekat Sama Kamu!
Bab 14. Selamat Mencintaiku Meski Aku Lebih Cinta Diriku Sendiri
Bab 15. Bawang Merah Akhirnya Digoreng
Bab 16. Bawang Daun Bersatu dengan Bawang Putih
Pengumuman Sedikit
Sequel : Prins dan Segala Bentuk Kekejaman yang Menyiksa Putee

Bab 4. Korban Kekejaman Cowok Ambigay

23.6K 2.6K 284
By gaachan

 "Nasi sama ditanak, kerak dimakan seorang."

Waktu mengerjakan pekerjaan bersama-sama, tetapi setelah rugi ternyata hanya ditinggalkan seorang diri.

..........................................

Putee sudah menjadikan Prins sebagai candu untuknya. Candu yang super manis, melebihi nikmatnya madu. Putee senang sekali mendekati Prins, meski cowok itu selalu saja berkata tajam dan pedas padanya. Putee tahu Prins itu cowok yang sangat baik. Prins itu apa adanya, tidak munafik seperti kebanyakan temannya.

Prins itu baik. Sangat baik. Buktinya Putee nebeng dia pulang pun Prins tetap saja mau. Meski terpaksa. Baca lagi, ya! Meski dengan sangat terpaksa.

"Halo, teman!" Putee melambai riang. Prins berbalik saat melihat Putee melambai di pintu kelasnya. Putee tersadar kalau Prins sedang ingin melarikan diri darinya.

"Kok buru-buru? Mau sarapan di kantin dulu, ya?" Putee nyengir. Prins menatapnya tajam.

"Bisa, nggak sih lo jauhin gue sehari aja?" Prins protes. Suara tajamnya makin membuat Putee jadi bernafus.

"Nggak.. nggak... seorang teman nggak akan pernah berkhianat!" Putee sok bijak sekarang. Prins melotot tak terima.

"Kalau gitu, boleh kan kalo lo jadi pengkhianat sekali aja?" Prins masih bertanya dengan nada tajam padanya. Putee menatapnya santai, masih dengan cengiran dan senyum menyebalkan itu lagi. Bibirnya selalu saja terlihat senang. Meski wajahnya manis sekali dengan senyuman itu, namun sayangnya Putee tidak cocok untuk didekati lebih jauh lagi. Tidak. Tidak. Putee itu berbahaya. Sangat berbahaya bagi sosok seperti Prins yang selalu nyaman dengan kedamaian.

"Jauh-jauh lo dari gue!"

Putee menggeleng kencang.

"Nggak akan! Gue udah janji bakalan jadi temen lo sampai mati!" Putee mengangguk mantap. Prins begidik geli lalu melangkah cepat ke arah kantin. Begitu kaki Prins sudah masuk ke dalam kantin, Putee menghentikan langkahnya. Ada hal yang harus Putee lakukan. Tentu saja meneruskan lukisan isengnya lagi. Prins mengabaikannya, lalu memesan soto ayam. Prins ingin sekali damai. Sehari saja.

Namun entah kenapa sejak kemarin Putee selalu saja mengganggunya. Putee ingin kos di rumahnya, nebeng dia juga. Putee bahkan sudah memberikan kabar baik yang akan jadi kabar buruk untuknya. Putee diterima bekerja paruh waktu. Tentu saja dengan syarat rumah Putee harus dekat dengan lokasi kerjanya. Putee menyanggupi syarat itu, bahkan dia juga memberikan alamat Prins di surat lamarannya.

Putee benar-benar sudah gila!

Prins menikmati sarapannya tanpa gangguan dari Putee. Prins penasaran dengan apa yang cowok itu kerjakan. Ketika dia sudah selesai dengan sarapannya dan berniat kembali ke kelas, dilihatnya Putee sedang berjongkok di balik pintu kantin. Tangannya sibuk dengan sesuatu di balik pintu itu, menggores sesuatu di sana dengan patahan pensil.

Mau tak mau Prins penasaran dan juga ingin tahu apa yang sedang cowok itu lakukan. Meski Prins ingin sekali melarikan diri dan mengabaikan Putee, namun kali tak bisa. Putee sangat menarik perhatiannya. Mungkin karena raut Putee berbeda dari biasanya, atau karena cowok itu sedang terlihat mengagumkan ketika menggoreskan pensil patah itu di tembok belakang pintu kantin.

"Lo ngapain?" Prins bertanya cepat. Putee mendongak, kaget mendapati Prins sedang berdiri di sebelahnya dengan kepala menunduk.

"Gue lagi gambar..." Putee menunjuk hasil lukisannya.

"Lo nggak takut bakalan dihapus? Lo coret-coret tembok seenaknya, tau!"

Putee mengernyit, lalu terkekeh ringan.

"Nggak masalah, asal bukan tangan gue yang hapus. Kalau tangan gue yang hapus, itu artinya gue sampai di titik dimana gue harus berhenti."

Prins merasa aura Putee jadi luar biasa setelah mengatakan soal lukisan. Entah kenapa, namun mata Putee jadi jauh lebih hidup dibanding sebelumnya. Prins menunjuk lukisan separuh jadi di sana.

"Jadi, apa judulnya?"

Putee terkekeh. Prins pernah mengajukan pertanyaan yang sama ketika pertama kali melihat lukisan Putee di tembok belakang itu. Putee terkikik.

"Gue beri judul... teman."

Prins sadar kalau Putee sedang berniat menyindir dan membahas soal posisinya sekarang. Prins menatap Putee dengan tatapan memicing tak suka. Akhir-akhir ini Putee sering sekali nebeng dia ketika pulang. Putee memang tidak tinggal di rumahnya, namun cowok itu selalu nebeng ketika Prins pulang. Putee harus bekerja, kan?

Diam-diam Prins membuntutui Putee di tempat kerjanya. Anak itu pulang dari bekerja menjelang jam sembilan malam. Saat itu angkot ataupun bis sangat jarang yang beroperasi. Putee sering sekali tertidur di halte hanya karena menunggu bis. Ketika hal itu terjadi, Prins segera menghampirinya. Spontan. Lalu mengajak Putee menginap di rumahnya. Putee pamit pulang saat subuh untuk mengambil buku di rumahnya dan kembali berangkat sekolah. Putee pasti lelah untuk mondar-mandir ke sana ke mari.

Sebenarnya, Prins peduli terhadap Putee. Atau Garlic. Itu nama sayang dari Prins untuknya.

"Ntar gue nebeng lo lagi, ya Prins!" Putee nyengir lagi. Prins menghentikan langkahnya. Ada hal yang harus dia luruskan sekarang.

Pertama....

"Gue bukan supir lo, jadi jangan nebeng gue!"

"Tapi kan sekalian gitu. Arah rumah lo juga sama kayak arah tempat kerja gue, Prins! Itung-itung ibadah gitu, lah!"

"Tapi gue nggak suka!"

"Apa perlu gue bayar buat gantiin duit bensin?"

Prins terhenyak mendengar ucapan Putee. Mata anak itu terlihat sangat kecewa dan sedih. Prins sedikit terpengaruh dengan tatapan itu. Entah sejak kapan mata itu begitu menghinoptisnya, membuatnya tersadar berapa banyak dia mulai melemahkan pertahanan dirinya.

Kedua....

"Lo nggak takut sekolah tahu? Kalau mereka tahu anak kelas unggulan kerja paruh waktu, lo bisa dikeluarkan dari sana..."

"Gue nggak paham soal itu, Prins! Tapi jadi anak kelas unggulan nggak bikin gue punya duit..."

Prins tidak tertarik untuk tahu latar belakang Putee. Namun setahu Prins, Putee adalah saudara tiri Mir. Prins pernah dengar cewek-cewek menggosip di dekat tangga perpustakaan waktu itu. Mir berasal dari keluarga berada. Tentu saja Putee pasti dari keluarga yang sama, kecuali kalau Putee tidak dianggap di sana.

"Cari pekerjaan lain, Garlic!" Ini kali ke sekian Prins memanggil nama Putee. Putee mengedikkan bahunya dan tersenyum lemah.

"Gue harus kerja ini dulu, Prins! Gue harus punya duit, lalu punya modal buat beli alat lukis yang baru."

"Gue bisa pinjemin lo."

Putee menggeleng.

"Lukisan gue bakalan pake hastag ngutang ntar kalau udah jadi..."

"Anggap aja gue bantu modal."

"Makasih, tapi gue nggak suka ngutang. Ntar gue nggak bisa tidur.."

"Tapi nyatanya lo niat banget nebeng dan numpang rumah gue..."

"Lo mulai pamrih, ya?" Putee menatapnya sedih. Prins jadi terusik. Hatinya sakit tiba-tiba. Ada rasa bersalah yang pelan-pelan menjalar. Prins tahu kalau berteman dengan Putee sangat berbahaya. Putee menatap mata Prins lagi, kali ini dengan raut melas. Prins tahu, tatapan mata itu sangat berbahaya kalau ditatap lebih lama lagi. Jadi Prins harus segera memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan itu.

"Bu... Bukan gitu, Garlic!"

Nama Putee jadi benar-benar manis sekarang di mulutnya.

"Gue nggak punya temen selain lo, Prins..." Putee menunduk. Prins kelabakan. Dia memang tajam dan tidak peduli sekitarnya, namun kalau ada orang yang bersedih karenanya.. Prins tentu saja merasa bersalah. Prins menatap mata Putee yang sedang menunduk itu.

"Oke! Oke! Lo boleh nebeng gue, sampe lo sanggup beli alat lukis baru!"

Putee mengangkat kepalanya, nyengir lebar. Prins melotot. Anak itu ternyata hanya akting, tidak benar-benar serius untuk bersedih. Prins tahu kalau cowok ini agak sialan dan juga sangat menyebalkan. Sepertinya tidak ada hal yang Putee takuti di dunia ini!

***

Putee punya niatan untuk benar-benar tinggal di rumah Prins. Dia serius ketika mengatakan kalau dia ingin kos di rumah Prins. Putee akan benar-benar membayar Prins kalau cowok itu mengizinkannya. Meski harganya mahal, namun bisa kan kalau harga teman? Putee hanya butuh tempat untuk tidur, sedikit listrik untuk mengecas HP, lalu juga air untuk mandi dan cuci-cuci. Putee tidak butuh fasilitas apapun. Tidur di gudang pun Putee sanggup, kok! Lagipula, kamarnya sendiri juga tidak jauh beda dari kandang tikus sungguhan.

"Makasih, ya Prins!" Putee melambai ketika sampai di tempat kerjanya. Lagi-lagi Prins harus bersedia jadi tukang ojeknya. Tak masalah sebenarnya, toh tempat kerja Putee juga searah dengan rumah Prins. Putee juga tidak minta diturunkan pas di depan tempat kerjanya. Putee akan turun dari boncengan motor Prins, lalu berlari ke arah pusat berbelanjaan. Putee akan berganti baju lebih dulu di toiletnya.

Prins sebenarnya mulai jatuh iba terhadap Putee. Selama ini Prins hanya peduli terhadap dirinya sendiri. Prins sudah cukup muak dan kesepian untuk berteman dengan orang lain. Mereka hanya berniat untuk memanfaatkan popularitas dan kekayaan Prins saja. Putee juga begitu, Prins tahu itu. Namun Putee bukan pembohong yang piawai seperti kebanyakan mantan temannya. Putee selalu menunjukkan ekspresinya ketika berbohong, seperti mengerjap, nyengir, lalu menggaruk tengkuknya gugup.

Prins hanya tahu kalau Putee sengaja memanfaatkannya untuk melarikan diri dari sesuatu. Dari keluarganya. Dari hidupnya. Satu hal yang Prins tahu, Putee juga sama kesepiannya. Namun perbedaannya adalah bagaimana cara Putee menghadapi rasa sepi itu. Putee selalu menikmati hidup. Lagi-lagi Prins iri. Sangat.

Pendirian Prins mulai goyah.

Sepertinya berteman dengan satu orang teman kali ini tidak akan merugikannya. Lagipula kalau memang Putee sengaja memanfaatkannya kenapa dia tidak meminta sesuatu? Putee hanya meminta untuk kos di rumahnya. Sepertinya punya satu home mate lumayan menghibur juga. Apalagi sepertinya anak itu juga tidak akan sering-sering berada di rumahnya. Dia hanya nebeng tidur dan mandi saja. Oh, jangan lupa nebeng berangkat sekolah dan pulang juga.

Prins menatap rumah besarnya yang kosong melompong. Sekosong hatinya. Entahlah, dia tidak terlalu tertarik dengan urusan cinta. Banyak cewek yang modus padanya, mendekatinya dengan terang-terangan namun Prins sama sekali tidak tertarik. Apa gunanya melihat wajah seseorang? Pada akhirnya wajah itu akan menua, tidak akan rupawan seperti sekarang. Jadi percuma saja menyombongkan wajahmu!

Prins menatap HPnya. Hanya ada dua kontak di sana. Nomor ayah dan ibunya. Hanya itu saja. Tidak ada nomor lain, meski banyak SMS di HPnya. Tentu saja dari orang-orang yang mengaku temannya. Prins tidak peduli dengan predikat itu.

Prins juga tidak punya nomor Putee.

Hei, sejak kapan kamu peduli pada cowok itu Prins? Bukannya kamu menganggap anak itu sebagai pengganggu nomor wahid yang pernah kamu temui? Putee sangat merepotkan. Meski kamu bicara dengan kasar dan ketus anak itu tetap saja menempel padamu. Sejak kapan kamu jadi begitu peduli padanya?

Ah, anak itu kan hari ini menginap lagi di rumahnya!

Maghrib menjelang. Prins mulai galau di kamarnya. Entahlah, hari ini dia ingin sekali melihat perkembangan anak itu di tempat kerja. Apa dia baik-baik saja? Meski tampangnya manis begitu, namun jiwanya super badung dan pemberontak. Belum lagi dia agak badass.

Prins mondar-mandir memikirkan kelakuan Putee, hingga tanpa sadar tangannya menarik jaket yang tergeletak di atas kasurnya. Dia ingin mengunjungi Putee di tempat kerjanya.

***

Anak itu baik-baik saja.

Senyuman masih terukir di bibirnya. Ketika ada pelanggan yang bertanya soal harga, Putee dengan senang hati menjawab semua pertanyaan itu. Bahkan sesekali ibu-ibu senang sekali menggodanya. Putee baik-baik saja. Sepertinya anak itu cocok ditempatkan jadi pelayan. Dia senang sekali bertemu dengan banyak orang.

Prins sadar kalau dia cemas karena hal yang tak berguna.

Ketika badannya berbalik, Putee memergokinya dan memanggilnya. Dengan suara yang agak melengking dan juga ceria.

"Priiiinnnnssss....! Temaaannnn...."

Sialan! Kamu memalukan, Putee! Jangan sok akrab!

Prins berbalik dan melangkah makin cepat. Menghindar dari Putee. Putee berlari di belakangnya, berniat menyusulnya. Namun ketika Prins sampai di seberang jalan, sebuah pekikan terdengar diiringi dengan suara klakson. Prins menghentikan langkahnya spontan dan menoleh. Kerumunan tercipta. Putee...! Putee...!!

***

"Gue baik-baik aja! Nggak perlu cemas gitu, deh!" Putee nyengir. Tangan kirinya diperban hingga siku. "Ini cuma keseleo aja, tapi dokternya alay. Pake diperban gini..."

"Lo..." Prins urung mengatakan sesuatu. Ucapannya seperti tertelan begitu saja di dasar tenggorokannya. Bagaimana bisa anak ini tetap cengar-cengir meski sedang terluka? Untung saja tadi kecelakaannya tidak parah. Putee hanya terserempet motor dan tubuhnya menabrak bahu jalan. Tangan kirinya terkilir.

"Nggak usah cemas gitu, ah!" Putee manggut-manggut sok bijak.

"Lo niat kerja nggak, sih? Kerja kok malah keluyuran!" Prins mengabaikan rasa simpatinya, hanya karena cemas berlebih seperti ini. Putee menatapnya dengan raut bengong.

"Gue kan panggil lo, Prins. Tapi lo nggak denger, jadi gue kejar lo."

Putee ini terlanjur polos atau kelewat bodoh, sih? Itu namanya bukan tidak dengar, tapi karena Prins sengaja menghindarinya. Lagipula, Prins bingung untuk apa dia berada di sana meski hanya untuk memata-matai Putee. Putee bukan urusannya, kan?

"Lalu sekarang gimana?"

"Gue balik kerja lagi, lah Prins! Kan gue nggak parah-parah banget gini..." Putee mengedikkan bahunya. Prins sadar, cowok ini bukan tipikal orang yang bisa dijaga dan juga dikhawatirkan.

"Kayak gini lo bilang nggak parah?" Prins tidak tahu kenapa dia jadi benar-benar mengkhawatirkan hal yang tak berguna.

"Gue nggak berdarah..."

"Tapi luka dalam itu jauh lebih parah daripada luka luar."

"Sama kayak hati seseorang, ya?" Putee mengerjap. Putee itu tipe sensitif yang agak baper. Putee mengerjap, lalu tersenyum lagi. Senyuman seperti tidak terjadi apa-apa. Putee nyengir setelah itu, menepuk bahu Prins sekilas.

"Makasih udah khawatirin gue, Prins! Lo satu-satunya temen yang pernah khawatirin gue..."

Prins juga mengalami pertemanan seperti ini untuk pertama kalinya.

Apa mungkin Putee tulus berteman dengannya?

Putee berdiri, lalu memakai sepatunya. Dia agak kerepotan ketika ingin mengikat tali sepatunya. Prins tanggap soal itu, meski biasanya dia tidak pernah peka terhadap urusan orang lain. Prins membantu Putee mengikatkan tali sepatunya.

Putee tersenyum ke arahnya saat Prins sudah berdiri dan memalingkan wajahnya. Putee tersenyum lebar, lalu memeluk Prins hangat. Dia tidak akan pernah melepaskan temannya ini.

"Makasih, ya teman! Dulu bokap gue yang terakhir kali ngiketin tali sepatu gue..."

"Jangan bawel, lo!" Prins berdecak dengki. Putee mengangguk senang, lalu melangkah cepat ke luar dari ruang rumah sakit. Dia sempat berpamitan pada dokter yang sudah dengan baik hati mengobati lukanya. Putee juga terluka di keningnya.

"Lo mau kemana?" Prins bertanya cepat ketika melihat Putee berbalik arah.

"Ya balik kerja, lah! Kan gue harus kerja sampe jam sembilan. Ini masih jam setengah delapan..."

Prins menggeleng cepat.

"Nggak usah, izin aja untuk hari ini! Ayo balik!"

Putee menggeleng tak kalah cepatnya.

"Gue kan harus kerja, Prins!"

"Pulang!"

"Nggak mau, ah!"

"Garlic!!"

"Nama gue Putee..."

"Gue nggak lagi bahas nama lo sekarang."

"Tapi lo panggil gue kayak gitu."

"Sejak kapan lo peduli sama cara gue panggil lo?"

"Sejak lo bentak-bentak gue..." Putee menatapnya dengan raut bingung. Prins terhenyak saat menyadari kalau tingkahnya sekarang jadi terpengaruh oleh Putee. Putee dengan mudah membalikkan hatinya, memengaruhinya bahkan meski hanya dengan topik yang agak asal ini. Prins melarang Putee untuk balik ke tempat kerja, namun Putee berhasil mengalihkan topik obrolannya jadi soal nama.

Selama ini hanya Putee alias si Garlic yang berhasil membuatnya tunduk.

"Ayo pulang!" Prins menarik lengan kanannya.

"Jangan tarik-tarik, ah! Ntar kalau yang kanan keseleo juga gimana?"

Prins sayangnya cukup gemas dan tidak bisa menahan sabar kembali. Dia mengangkat tubuh Putee, membawanya pergi dari sana. Prins nekad melakukannya karena memang sepi. Putee tidak sanggup meronta. Dia hanya pasrah saat Prins membawanya pulang. Pulang ke rumah Prins tentu saja.

Mereka sampai di rumah Prins, dan lagi-lagi Putee harus pasrah ketika Prins mengadilinya. Wajah tampan nan tajam milik Prins semakin membuat Putee mati kutu. Bagaimana bisa ada cowok seganteng ini dan tidak ada orang yang merekrutnya jadi artis? Kan Prins bisa saja jadi artis nantinya.

"Ke.. Kenapa lo bawa gue pulang?" Putee bertanya cepat, tergagap dengan wajah takut. Bayangan cowok yang dirobek bagian organ vitalnya mulai tergambar di imajinasi Putee. Jangan-jangan Prins ini punya sindikat kejahatan semacam itu!

"Gue nggak tertarik sama bagian manapun di badan lo!"

Putee menghela nafas lega. Prins punya pemikiran lain soal ini. Sebenarnya pemikiran ini terlintas saat melihat Putee tergeletak di kasur rumah sakit sambil berteriak tadi. Prins yakin kalau Putee itu ibarat bawang-bawangan. Berlapis-lapis. Punya sisi berlainan antara lapisan-lapisannya. Putee itu susah ditebak. Tingkah preman, wajah manis, tingkah kelewat teledor, namun hatinya tidak ada yang bisa menebaknya. Siapa tahu saja hatinya sedang merencanakan niatan buruk!

"Lalu kenapa lo mau ngomong sama gue? Lo mau jadiin gue temen lo?"

"Jangan mimpi, Garlic!"

"Gue nggak lagi mimpi. Jadi ada apa?"

Prins mengeluarkan secarik kertas dari laci dan sebuah pulpen. Di kertas itu sudah ada beberapa aturan.

"Baca!"

Putee menurut dan mulai membaca peraturan itu.

Peraturan :

1. Garlic boleh nginap/kos/nyewa "gratis" salah satu kamar di rumah ini dengan syarat:

a. Menjaga kebersihan

b. Nggak berisik

c. Bikin sarapan tiap pagi

2. Garlic boleh memanfaatkan fasilitas di rumah ini asal bertanggungjawab.

3. Garlic dilarang bawa teman ke rumah ini.

4. Garlic dilarang membocorkan rahasia kalau Putee nebeng di rumahnya.

5. Garlic boleh nebeng saat berangkat dan pulang sekolah dengan gratis, asalkan dia harus berhenti beberapa meter dari gerbang. Prins nggak mau bareng-bareng masuk ke sekolah.

6. Garlic nggak perlu sok akrab di sekolah.

Putee nyengir senang setelah membaca peraturan itu. Itu tidak akan sulit. Putee memeluk Prins erat dengan wajah senang. Putee mengerjap lagi, lalu menari-nari dengan wajah menggelikan. Kalau hanya begini saja mudah! Putee bisa melakukan apapun. Apalagi ada nama gratis di sana. Putee segera menandatangani surat perjanjian itu. Bahkan untuk lebih meyakinkan lagi, Prins juga menempelkan materai di sana.

"Tapi tunggu, deh Prins! Gue boleh minta nomor HP lo, nggak?" Putee menautkan alisnya. Prins mengeluarkan HPnya. Putee kagum dengan HP milik Prins. HP itu sangat modern, berbeda dengan miliknya yang hanya berupa HP tulalit layar jadul sound polyponic. Tapi Putee harus bersyukur. Lagipula, dia juga tidak terlalu butuh fitur-fitur seperti itu.

Mungkin belum.

Ketika nomor HP mereka sudah aman di kontak masing-masing, Putee kembali bertanya cepat. Kali ini dengan nada lembut, hingga membuat Prins terusik lagi.

"Orangtua lo belum tahu, kan kalau gue tinggal di sini? Boleh gue telpon sekalian?" Pertanyaan itu seolah mengingatkan Prins lagi akan statusnya di rumah ini. Prins menghela nafasnya, lalu menelpon orangtuanya melalui saluran LINE.

Putee menelpon ayah Prins saat itu juga.

"Selamat malam, om.." Putee tersenyum.

"Iya, selamat pagi. Ini bukan Prins, ya?"

Putee yakin kalau orangtua Prins sekarang sedang berada di luar negeri.

"Saya temennya, om.."

"Temen?"

Putee yakin sekali kalau ini pertama kalinya Prins punya teman.

"Iya, om.. Maaf kalau saya ganggu malam-malam. Saya hanya mau minta izin, om. Saya minta izin untuk tinggal di rumah om. Saya tinggal nggak gratis, kok om. Saya harus bersih-bersih, lalu juga bikin sarapan buat Prins. Daripada om nanti sewa mbak tukang bersih-bersih bayar lagi, kan? Mendingan uangnya ditabung..." Nada Putee jadi menggelikan sekarang. Anehnya, ayah Prins di sana terbahak kencang.

"Kamu anggap rumah sendiri juga nggak apa, kok.. nak..."

"Nama saya Putee, om..."

"Iya, nak Putee! Kamu anggap aja itu rumah sendiri. Om titip Prins ya... terus terang om kaget lho pas denger kalau kamu temenan sama Prins. Teman-teman yang dulu-dulu aja sudah kapok temenan sama Prins.. tolong yang sabar ya sama anak om..."

"Beres, om! Prins baik, kok om! Bahkan dia sering antar saya kerja paruh waktu.."

Ayah Prins lagi-lagi terbahak kencang. Prins menatap obrolan mereka dengan tatapan tak suka. Putee mudah sekali akrab dengan ayahnya, padahal dia sebagai anak saja sulit akur dengan ayahnya. Ketika Putee mengakhiri sambungan teleponnya, Prins menghampirinya dengan raut kesal.

"Lo akrab banget sama bokap gue!"

"Jangan cemburu, teman! Ayah kamu kan boss-ku mulai sekarang. Aku nebeng di rumahnya, kan?"

Prins berdecak tak suka. Putee nyengir lagi, lalu menepuk bagu Prins.

"Mulai sekarang, mohon bantuannya ya!" Putee mengulurkan tangannya, mengajak Prins berjabat tangan. Prins menyambut uluran tangannya dengan raut malas.

Prins, kamu yakin akan membiarkan anak itu tinggal di sini? Putee itu aneh. Alien. Makhluk abstrak. Astral. Belum bisa diprediksi jenis dan juga tingkahnya. Kamu harus tahan dengan anak itu, kan? Yakin kamu akan selalu betah dengan tingkah isengnya itu?

Prins... atau kamu sudah terlanjur masuk dalam pengaruh anak itu?

Yah, berteman dengan satu orang seperti Putee juga lumayan seru kok! Kamu akan dikejutkan oleh tingkahnya. Tingkah ajaibnya.

TBC

Komentarin dong... Please... kurang apa gitu...

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 418 8
Warning: Cerita BL alias Gay alias Homo alias CowokXCowok | Banyak mengandung adegan kurang senonoh dan kata-kata kasar | Rate cukup nggak aman, tapi...
14.8K 838 20
Namaku Neinia Candra Winata Anak kelas 11 IPA 1 di SMA 1 Jaya. Aku ketua PMR disekolah. Aku cuma anak biasa yang gak terlalu terkenal dan sibuk cari...
197K 18.1K 13
[Completed] Jessa adalah mantan pacarnya Revano, tetapi kenapa Revano harus berurusan kembali dengan Jessa? Apakah ini berhubungan dengan kedekatanny...
1.2M 85.1K 40
Febri nggak pernah menyangka hidupnya akan penuh cobaan. Maksudnya, Febri tau betul dia nggak laku dan masih perjaka sampai umurnya berkepala dua. Oh...