Garlic

By gaachan

509K 47K 7.7K

Pernah tahu cerita "Bawang Putih dan Bawang Merah"? Bagaimana seandainya si Garlic yang selalu ditindas itu m... More

Kulik
Bab 1. Namaku Aneh Karena Seleraku Sama Anehnya
Bab 2. Aku Keren Sendiri dan Tidak Doyan Diganggu
Bab 4. Korban Kekejaman Cowok Ambigay
Bab 5. Cowok Lemah Lembut Pasrah Adalah Masokis
Bab 6. Tidak Usah Tubir, Jaga Itu Mulutnya!
Bab 7. Aku Keren Sendiri (Part 2)
Bab 8. Jangan Senggol, Ntar Kubacok!
Bab 9. Hukum Karma itu Ada, Balas Dendam Juga Berlaku!
Bab 10. Aku Mau Belajar Santet Memasukkan Becak dalam Perutmu!
Bab 11. Cinta Itu Apa, Sih?
Bab 12. Pendekatan yang Tidak Mau Deket
Bab 13. Aku Tidak Mau Dekat Sama Kamu!
Bab 14. Selamat Mencintaiku Meski Aku Lebih Cinta Diriku Sendiri
Bab 15. Bawang Merah Akhirnya Digoreng
Bab 16. Bawang Daun Bersatu dengan Bawang Putih
Pengumuman Sedikit
Sequel : Prins dan Segala Bentuk Kekejaman yang Menyiksa Putee

Bab 3. Jangan Ngatur Kayak yang Kenal Aja!

24.6K 2.5K 259
By gaachan

 "Harimau putung kena penjara, pelanduk kecil menolaknya."

Orang kecil itu pun kadang-kadang dapat juga menolong orang yang lebih besar.

..........................................

Prins berdecih jijik. Kesal. Murka. Belum lagi ada beberapa bagian dari dirinya yang mulai merasa jengah pada cowok di depannya ini. Bagian mana? Mata! Prins jengah meski hanya melihat Putee yang sedang sibuk menyuapkan makanannya.

"Jadi, lo ngapain di sini?" Prins bertanya tajam. Dia tidak pernah sarapan di rumah dan sengaja berangkat lebih pagi untuk makan di kantin. Namun nyatanya, ada si rusuh gaya preman tampang manis yang juga makan di tempat ini. Katakan saja memang ini tempatnya. Kantin memang tempat makan. Namun bukan itu masalahnya. Sama sekali bukan. Di antara sekian banyak bangku kosong, kenapa Putee harus duduk di depannya?!

"Makan, lah! Emangnya lo kira gue lagi ngapain? Ngupil?" Putee mengangkat bahunya dengan wajah santai. Topik ngupil dan makan memang sangat kontra, tapi Prins yang cueknya selangit itu sama sekali tak peduli. Apapun yang Putee katakan, apapun yang Putee ucapkan... Prins akan mencoba untuk mengabaikannya. Putee makin bahaya kalau direspon.

"Bisa pindah nggak lo?"

Putee menggeleng, lalu menyuapkan sesendok nasi pecel ke dalam mulutnya. Mengunyahnya setelah itu. Mengunyah sambil merem-merem penuh takzim lagi.

"Udah pewe. Posisi wenak.."

Prins berdiri. Kalau memang cowok alien ini tidak mau pergi, Prins saja yang menghindar darinya. Ketika Prins berdiri, Putee menahan lengannya.

"Tapi gue nggak segan-segan buat pindah kalau temen makan gue pindah..."

Prins kira, Putee jauh lebih menyebalkan akhir-akhir ini. Prins menyerah dengan mudah, lalu duduk di depannya lagi. Dia mulai menyuapkan soto Lamongan yang sudah dia pesan tadi. Sabar, ya Prins! Sabar...

"Jadi, lo udah ngerjai PR Fisika belom?" Putee mencari topik obrolan. Sengaja. Meskipun topiknya sangat mainstream dan juga membosankan.

Prins diam, tak mau menanggapi.

"Gue males banget ya ngerjain. Nyontek, dong!"

Prins masih enggan merespon.

"Sebagai sesama temen, kan harusnya saling bantu..."

Prins lagi-lagi tak terlalu minat untuk peduli.

"Kalau nggak mau minjemin buku, ntar gue dihukum. Tega amat, deh lo sebagai temen!"

Bubar! Kesabaran Prins sudah habis. Awalnya dia hanya berharap untuk menikmati sarapannya dengan damai, namun setelah cowok alien ini datang.. semuanya bubar. Prins jadi tak minat untuk melanjutkan makan. Seleranya menghilang begitu saja. Perutnya kenyang hanya dengan mendengar celotehan Putee di pagi hari.

"Denger, Garlic! Gue nggak peduli lo mau apa, tapi gue bukan temen lo!" Prins berdecak, sedikit menggebrak meja hingga sebotol kecap – ini botol dari plastik untungnya – terjatuh dan menggelinding di kaki meja sisi lain.

"Garlic?" Bukan kemarahan Prins yang jadi fokus Putee, namun cara Prins memanggil namanya. "Kenapa jadi Garlic?!" Putee emosi. Suaranya meninggi, dengan nada yang naik beberapa oktaf.

"Gue nggak minat jadi temen lo!" Lagi-lagi Prins menegaskan. Putee menggeleng.

"Jangan panggil gue Garlic!" Putee menjerit kencang, histeris dengan wajah horror. Putee benci dengan segala macam nama yang muncul dalam black calling list-nya. Putee sudah menulis nama orang yang memanggilnya dengan sebutan aneh. Seperti Gar, Lici, Io... Dan sekarang, setelah digabung jadi Garlic... Putee jadi makin membenci namanya.

"Itu nama lo, kan?" Prins akhirnya terseret dalam obrolan soal nama. Ho... rasakan, Prins! Cowok itu menakutkan. Dia punya cara sendiri untuk memengaruhi hidupmu.

"Kemaren lo panggil gue Putee!" Putee menunjuk wajah Prins dengan raut marah. Dia benci saat Prins mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan nama. Lihat saja, nanti nama Prins akan masuk dalam buku black calling list miliknya.

"Oh, ya? Gue lupa." Prins menaikkan alisnya, bersiap membully Putee lebih jauh lagi. Siapa tahu saja nanti Putee akan menjauh darinya. Tak dia sangka, ternyata menghindari Putee itu sangat mudah.

Putee di depannya batal menyuapkan makanan. Dia hanya menatap Prins dengan raut kesal. Lalu alisnya yang bertaut itu berubah lagi, jadi lebih santai. Bibirnya melebar, matanya terpejam dengan dramatis. Prins makin merinding karena keanehan cowok di depannya ini.

"Oke, terserah lo deh! Gue anggap itu panggilan sayang," ucap Putee akhirnya. Prins melongo. Melotot. Bagaimana bisa cowok yang awalnya marah-marah dan sensitif itu berubah jadi kembali lembut begini? Putee itu apa? Sejenis pengidap alter ego? Psikopat? Apa? Apa?

"Garlic. Gue panggil lo gitu dan lo nggak marah?" Kali ini Prins benar-benar ingin tahu, ingin memancing kemarahan Putee lagi. Putee nyengir lagi, lalu mengedikkan bahunya. Jelas saja Putee kesal dengan cara Prins memanggilnya, namun Putee harus tahan. Harus sabar. Lagipula... namanya jadi lumayan keren, dibanding Putee yang mirip nama kucing. Si Putih. Garlic mungkin lebih terlihat macho, meskipun artinya tidak jauh-jauh dari bawang-bawangan.

"Itu gue anggap panggilan spesial dari temen gue." Putee manggut-manggut bangga. Dengar itu, Prins! Panggilan sayang dan spesial. Sampai kapanpun kamu mungkin tidak akan pernah bisa menghindari Putee. Cowok aneh absurd dan astral itu jauh lebih menakutkan daripada apapun. Bagaimana bisa ada orang yang super optimis menjalani hidup begitu?

"Terserah!" Meski hatinya mulai protes, namun bibirnya tak tahan untuk berucap spontan.

"Jadi... ntar gue boleh nebeng lo lagi, kan teman?"

Setelah itu soto Lamongan dalam mulut Prins menyembur dengan cantik. Menyembur ke wajah Putee, menghiasi wajah itu dengan butiran nasi dan juga kuah soto. Putee marah? Oh, sama sekali tidak! Dia hanya tersenyum, nyengir seperti biasa... lalu memunguti nasi yang menempel di wajahnya dan mulai memakannya satu persatu.

Prins sudah yakin kalau Putee adalah cowok paling jorok dan juga aneh yang pernah dia temui...

***

Prins mendengus kesal, melirik seseorang di sebelahnya. Putee mengangguk senang mendapati teman sebangkunya adalah orang yang dia harapkan. Pembagian kelompok sudah dimulai. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk kelompok belajar di kelas. Kelompok sudah ditentukan oleh guru, dan takdir memihak Putee. Dia satu kelompok dengan Prins, cowok yang ingin dia rekrut sebagai teman. Selain itu, kabar baik bagi Putee. Kelompok tidak boleh diganti lagi.

"Hai, teman...!" Putee melambai antusias, lalu mulai duduk di sebelah Prins. Prins menatapnya malas, lalu kembali sibuk dengan bukunya. Putee mencebikkan bibirnya, berdecih tak suka.

"Galak amat, sih! Serius mulu..." Putee sibuk berkomentar, lalu mulai bermain dengan kotak pensil milik salah satu teman perempuannya. Cewek pemilik kotak pensil itu melotot dan merebut kotak pensilnya. Putee tidak mau kalah, dan sibuk mempertahankan kotak pensil itu.

"Pinjem, Syl!"

"Balikin! Gue mau pake!"

"Bentaran, lah!"

"Kalo lo suka, beli aja sendiri."

"Gue nggak punya duit, lo mau pinjemin gue?"

"Putee! Sylvia! Kalian berdua... maju!!" Sebuah suara terdengar ganas di sana. Bu Agni sedang melotot dengan wajah gahar. Sylvia mendengus ke arah Putee, sedangkan Putee hanya cengengesan dan berdiri. Keduanya berdiri dan melangkah ke depan kelas.

"Kalian berdua, kerjakan soal di papan tulis!"

Sylvia mengambil boardmarker dan mulai menulis di whiteboard. Putee menatap soal yang dikerjakan Sylvia, lalu menatap bu Agni dengan raut tak bersalah. Cengengesan lagi.

"Bu, nomor dua punya saya diwakilkan Sylvia bisa, nggak?" Putee lagi-lagi bertanya cepat. Bu Agni yang terkenal dengan julukan killing me inside karena ucapan pedas dan menusuk itu pun melotot gahar.

"Kamu itu nggak bisa, tapi ribut di kelas."

Putee mengerutkan kedua alisnya.

"Keluar kamu dari kelas!"

Putee mengedikkan bahunya, lalu melangkah santai ke luar kelas. Prins melongo. Bisa-bisanya Putee santai begitu setelah diomeli dan diusir dari kelas? Oh, Putee... kamu....

Putee benar-benar keluar kelas, hingga teriakan bu Agni kembali membahana.

"Siapa yang suruh kamu pergi, Putee?! Kamu hanya harus menunggu di luar kelas dan jangan pergi ke manapun!"

Putee menghentikan langkahnya, menurut. Dia menunggu pelajaran bu Agni usai sambil menatap whiteboard yang sudah berisi soal-soal Fisika. Bu Agni masih sibuk menjelaskan, hingga sebuah kepala melongok dari jendela. Tentu saja kepala milik Putee.

"Kamu saya suruh di luar itu biar nggak mengganggu pelajaran, Putee!" Bu Agni berdecih galak lagi-lagi. Putee berdehem, masih nyengir lalu menunjuk whiteboard.

"Bu, jawaban yang itu salah. Harusnya dibagi setengah. Kecepatan dan rata-ratanya salah hasil. Saya hanya mau ngomong ini aja, kok bu..." Putee mundur dari posisi semula dan menjauh dari jendela. Bu Agni melongo. Seisi kelas mengusap kasar wajahnya.

"Masuk!" Akhirnya bu Agni memerintahkan Putee untuk masuk. Putee menggeleng.

"Saya sudah nyaman di sini, bu... di sini adem... bisa cuci mata, lagi!"

"Masuk, Putee!" Bu Agni masih berteriak kencang. Akhirnya Putee menurut dan menyerah. Begitu cowok itu duduk nyaman di bangkunya, Sylvia menyenggol lengannya.

"Kenapa lo tadi bilang nggak bisa?"

Putee melongo.

"Kapan gue bilang nggak bisa? Gue cuma bilang kalau mendingan lo yang wakilin gue..."

Sylvia melongo. Benar juga, kan Putee hanya meminta agar pekerjaannya diwakilkan Sylvia. Diam-diam Prins mendengar obrolan keduanya. Dia jadi ingin tahu sekarang. Nah, kan! Putee itu aneh. Alien. Dia berhasil memengaruhi orang untuk kepo padanya. Meski Prins penasaran, dia enggan bertanya langsung pada Putee. Dia benar-benar ingin tahu apa yang Putee sembunyikan darinya. Bagaimana bisa seorang Putee yang preman, brandalan dan juga malas itu bisa masuk di kelas unggulan seperti ini?

"Gue laper..." Putee mengeluh pelan. Prins melongo, lalu melirik Putee dengan wajah tajam. "Ntar ke kantin, yuk teman!"

Lagi-lagi Prins menatap Putee dengan raut jijik.

***

Cowok itu di sana, menunggu dengan raut geli. Wajah manisnya masih terlihat lucu. Pantatnya sudah nyaman bertengger di motor milik Prins. Cowok itu lagi!! Prins bersiap mengumpat, kalau saja tidak ingat ini sekolah. Dia hanya sanggup mengucapkan sumpah serapahnya dalam hati.

"Ngapain lo di atas motor gue?"

"Nebeng lo, lah teman! Kan kita udah jadi teman sekelas, sekelompok, sebangku, pula!"

"Jauh-jauh lo dari gue!"

Putee menggeleng kencang.

"Garlic, lo nggak punya malu ya?!"

Nama Putee terdengar aneh sekarang di telinganya. Nama itu memang jadi agak spesial, karena hanya Prins yang memanggilnya begitu.

"Gue punya kemaluan, kok! Mau lihat?" Putee jadi benar-benar sialan saat ini. Tidak heran kalau Mir dan maminya mati-matian menahan kesal ketika berdebat dengan cowok alien ini.

"Pergi nggak lo?!" Prins menarik krah seragam Putee, hingga menyebabkan seragam itu sobek. Putee menunduk melihat seragamnya yang sobek.

"Sobek, kan?!" Putee menjerit tidak terima. Prins melepaskan cengkeramannya. "Tanggung jawab, nggak lo?"

Prins menelan ludahnya. Ini seperti menggali kuburannya sendiri. Bagaimana bisa dia berurusan dengan cowok seperti ini lagi?

"Berapa yang lo mau?" Prins mengeluarkan dompetnya, bersiap mengulurkan uang pada Putee. Putee menggeleng.

"Gue nggak mau duit. Gue maunya seragam baru. Atau lo mau jahitin bagian yang sobek?"

Prins melotot makin garang.

"Kenapa gue harus tanggung jawab?"

"Lo yang bikin seragam gue sobek!"

"Suruh siapa lo ganggu gue?"

Putee jadi makin menyebalkan sekarang. Matanya mengerjap lucu, lalu bibirnya melebar. Dia punya ide jahil tiba-tiba.

"Prins..." Matanya mulai berkaca-kaca. Itu hanya akting, Prins! Abaikan!

"Prins...." Lagi-lagi anak itu menatap Prins dengan raut merayu.

"Apa?"

"Lo mau beliin gue seragam baru, kan? Anterin ya... Ya? Ya? Ya?" Putee mendekat, lalu menarik lengannya lagi. Prins menatapnya jengah, lalu menggeleng kencang.

Prins sebenarnya enggan untuk menuruti mau Putee, namun dia sudah bertekad untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada seragam Putee. Prins menghembuskan nafasnya kasar, lalu mengisyaratkan Putee untuk duduk di boncengannya. Putee bersorak senang dan duduk nyaman di belakang Prins hingga...

"Lo ngapain?" Prins terusik karena tingkah Putee. Putee sedang menyandarkan kepalanya di punggung Prins, dengan tangan terkait di perut Prins. Bukan hanya itu, Putee sepertinya terlihat sangat menikmatinya. Wajahnya saja sampai merem-merem begitu!

"Gue bersandar ke temen gue..."

"Jijik gue."

"Gue kan sayang lo, Prins... Lo temen gue..." Putee jadi benar-benar menguji kesabaran Prins.

"Menyingkir dari punggung gue atau gue tendang lo, Garlic!"

Putee menegakkan tubuhnya spontan. Kemarahan Prins memang lucu, namun kalau makin lama... Prins jadi super serius. Demi apapun, itu jauh lebih menakutkan dari apapun. Putee takut Prins akan menjauh darinya. Prins memang suka sekali mengusirnya, namun Prins belum pernah menghindari Putee. Makanya Putee jadi semangat sekali menempel pada Prins seperti lintah.

Putee menurut dan pasrah saat Prins mulai melajukan motornya ke salah satu toko baju. Putee mengikuti di belakangnya, dengan langkah susah payah. Kawasan perbelanjaan jam segini memang ramai, banyak orang yang sibuk berbelanja.

"Prins... Prins..." Putee kesusahan mengikuti langkah kaki Prins yang super cepat dan buru-buru itu. Belum lagi tubuh Putee sudah didesak banyak orang, tergeser ke sana ke mari hingga akhirnya dia kehilangan Prins. Putee mirip anak hilang sekarang.

Putee merogoh HPnya, namun tertahan seketika. Putee tidak punya nomor Prins. Putee mencoba mencari cara. Pertama, menghubungi pos informasi agar mengumumkan lewat speaker kalau Putee sedang mencarinya. Kedua, mencari Prins ke toko baju. Ketiga, pulang lebih dulu. Tapi karena Putee tahu pilihan kedua dan ketiga lumayan kejam, Putee membatalkannya. Pilihan pertama memang yang terbaik.

Sementara itu Prins sedang kelabakan sendiri. Emosi mulai mendera. Dia bingung mencari cowok rusuh itu, namun karena malas marah-marah... Prins memutuskan sesuatu. Dia membeli seragam di salah satu toko meski tidak tahu ukuran Putee. Ketika sudah membayar barang itu, suara Putee terdengar di seluruh pusat perbelanjaan.

"Ehem.. cek.. cek... Prins.. Prins.. ini gue, Garlic. Temen lo. Gue tunggu di pos informasi."

Prins benar-benar malu. Putee norak sekali. Bagaimana bisa Prins betah berteman dengannya? Memangnya Putee itu siapanya? Kenapa dia jadi terusik dengan Putee? Atau si Garlic itu?

Prins melangkah malas ke arah pos informasi dan menemukan cowok manis itu sedang duduk dan menatap sebuah kertas. Matanya berbinar dengan bibir yang melebar. Prins jadi curiga dengan senyuman itu.

Ketika Prins melangkah cepat ke arahnya, Putee tersadar dan melambai dengan antusias. Prins, apa kamu yakin mau berteman dengannya?

"Prins... Prins!" Putee melambai norak lagi. Prins melangkah ke arahnya, lalu melemparkan tas di tangannya pada dada Putee. Tas itu berisi seragam yang Prins beli tadi. Tatapan Prins jadi makin mematikan.

"Lo kemana aja?!"

"Gue? Gue terpisah tadi. Gue didesak orang, jadinya gue kehilangan jejak lo. Lo sih nggak mau gandeng tangan gue..." Putee jadi berlebihan sekarang.

"Tuh seragam lo! Utang gue lunas! Gue balik dulu!"

Sebelum Prins melangkah lebih jauh, Putee menarik lengannya. Menahannya untuk tidak pergi.

"Siapa bilang lo boleh pergi?" Putee masih menahan lengannya. Putee menggeleng kencang. Dia tidak akan pernah melepaskan Prins. Putee adalah tipe orang yang punya obsesi tinggi. Dia tidak akan pernah melepaskan mangsa yang sudah dia targetkan.

"Mau apa lagi, lo?"

Putee mengeluarkan seragam yang Prins beli sendirian tadi. Putee melongo. Seragam itu jelas-jelas bukan ukurannya.

"Prins... lo mau ngerjain gue? Ini terlalu gede, tau!" Putee protes. Biarlah dia dibilang tidak tahu diri, namun bagaimana bisa Prins membelikannya baju yang ukurannya jauh dari normal ini?

Putee mencoba mengenakan seragam baru itu dan Prins menelan ludahnya gugup. Bukan apa-apa. Putee jadi terlihat lebih kecil dengan baju sebesar itu. Juga tampak polos. Prins menggeleng kencang, mencoba mengabaikan rasa geli yang menelusup di hatinya.

"Tapi ini lumayan juga..." Putee manggut-manggut sok paham. Orang-orang di sana mulai memperhatikannya. Putee masih sibuk mengancingkan bajunya dengan raut senang. "Gue kan harus menghargai pemberian pertama temen gue..."

Prins terusik dengan ucapan spontan dan polos Putee. Sepertinya ucapan itu tulus sekali. Prins jadi benar-benar sensitif sekarang.

"Ah, ngomong-ngomong... gue punya sesuatu yang mau gue omongin, Prins.."

"Apa?"

"Nggak ngomong di sini juga, kali! Jadi... gue boleh mampir ke rumah lo?"

***

Putee nyengir untuk yang ke sekian kalinya. Prins melotot tak percaya. Mulutnya melongo. Putee sedang memberitahu hal paling menakutkan. Mencekam. Menjijikkan. Hal seperti apa?

"Jadi gimana?" Putee menaikkan alisnya. Prins menggeleng kencang.

"Gue nolak!"

"Kan ini kesempatan gue, Prins!" Putee merajuk.

"Kan terserah lo! Tapi jangan seret-seret gue juga! Gue nggak minat!"

"Tapi hanya lo yang bisa bantu gue, Prins!"

"Males!"

"Prins..." Putee merajuk, menunduk menatap kertas di tangannya. Kertas itu memiliki tulisan yang cukup menggelitik. Bagi hati Putee. Kertas itu membuat harapan Putee seakan bangkit begitu saja.

"Dibutuhkan pekerja paruh waktu. Mulai jam 3 sore sampai jam 9 malam."

Ini yang Putee cari.

Namun sayang sekali, bukan itu masalahnya. Prins harus terseret dalam masalah ini. Kenapa? Putee punya niatan jahat soal ini. Niatan egois yang tidak bisa dia bendung kembali.

Hal paling penting adalah karena jarak tempat kerja ini lebih dekat dari rumah Prins.

"Boleh, ya?"

"Lo pikir rumah gue apartemen? Kosan?"

"Tapi gue nggak punya info tempat kosan lain. Kan lo temen gue, jadi bisa harga temen gitu."

"Gue nolak!"

"Prinssss....." Putee menempel lagi di lengan Prins.

"Pergi lo! Jijik gue!"

"Lo tega sama gue?"

"Emang lo siapa gue? Kenapa gue harus kasihan sama lo? Lo kaum duafa?"

"Gue anak tiri yang disiksa."

Prins mengernyit tak percaya. Tentu saja tidak akan ada orang yang percaya pada ucapan Putee. Putee sama sekali tidak punya komponen atau ekspresi yang menandakan dirinya disiksa. Tentu saja, karena Putee bukan pemeran karakter melankolis seperti di TV-TV.

"Pulang sana lo!" Prins berdecak kesal. Putee mengerutkan alisnya, lalu berdiri. Dia harus pulang sekarang, sekaligus mencoba mencari cara agar Prins mengizinkannya numpang. Kos, deh! Kos...

Harga teman begitu.

Putee pulang dengan banyak pikiran. Hari ini dia sedang sibuk mencari cara agar diizinkan tinggal di rumah Prins. Putee sampai di rumahnya menjelang malam. Mami masih berteriak ke arahnya dengan hujatan seperti biasa.

"Dasar anak nggak tahu diri! Keluyuran mulu kerjanya!"

Putee mengabaikan teriakan maminya. Lagipula Mir, anak cowok kesayangannya itu juga belum pulang. Mungkin dia sedang bermain dengan geng cecunguk itu lagi.

"Kamu darimana, Putee?!" Mami masih berteriak kencang.

"Dari belanja, mi!" Putee jujur. Memang dia dari belanja, kan? Lihat saja seragam barunya.

"Duit darimana?"

"Ditraktir temen."

"Baik banget itu teman kamu!" Mami mencibir lagi. Putee cuek dan segera masuk ke kamar pengapnya lagi. Putee melepaskan seragamnya. Seragam yang sobek itu sebenarnya bisa dijahit. Lagipula Putee juga sering melakukan pekerjaan seperti jahit menjahit seperti itu. Putee mengeluarkan baju yang Prins beli tadi dan mengamati ukurannya. Ukurannya sangat besar melebihi ukuran tubuhnya. Putee tersenyum geli. Sepertinya Prins hanya asal membeli seragam ini.

Satu hal lagi.

Putee lupa minta nomor HP Prins. Ah, kenapa dia lupa soal ini? Kan mereka sudah berteman akrab, jadi pasti bisa SMSan atau teleponan begitu. Tunggu, tunggu! Apa sesama cowok teleponan itu wajar? Tidak seperti cewek tukang gosip, kan?

"Putee! Keluar lo!" Sebuah teriakan kembali membahana. Gedoran juga muncul setelah itu. Putee sedang disibukkan dengan headset di telinganya, dengan volume kencang. Putee masih sibuk menari, menggoyang-goyangkan pantatnya dengan penuh kenikmatan. Apalagi dia hanya memakai boxer tanpa baju. Kamarnya terlalu panas kalau ingin berpakaian lengkap.

Putee masih sibuk melompat, menggoyangkan badannya ke kanan dan ke kiri hingga disadarinya pintu kamarnya sudah terbuka. Di ambang pintu itu menampilkan Mir dan anggota gengnya. Putee spontan menghentikan tariannya saat menyadari ada angin yang berhembus di belakangnya. Pintu kamarnya terbuka, sementara Mir sudah berdiri di sana dengan mulut melongo bersama dengan anggota gengnya. Termasuk Camo.

"Kalian mau ikutan?" Putee menoleh, bertanya dengan wajah datar.

Mir melotot. Camo berdehem. Matanya juga tak kalah melototnya. Ketujuh orang itu sedang melihat Putee dan pertunjukan toplessnya.

"Lo! Gue lihat lo tadi belanja bareng murid baru tajir itu!" Mir menunjuk wajah Putee. Putee menguap lebar.

"Jadi, masalah lo apa?"

Mir bersiap buka mulut, namun Camo lebih dulu mencegahnya. Camo masuk ke dalam kamar Putee tanpa izin. Putee mendengus tak suka.

"Dia nggak pantes buat temenan sama lo. Lo terlalu hina buat dia."

Putee melongo. Tunggu! Tunggu! Salahnya apa? Kenapa Camo dan geng aneh ini malah mengurusi pertemanan indahnya? Apa urusannya dengan mereka?

"Oh, gitu!" Mendengar alasan Camo membuat Putee jadi tergelitik untuk melakukan hal yang justru mereka larang. Putee akan melakukan apapun larangan mereka. Putee menaikkan bibirnya, lalu tersenyum lebar. Sepertinya ada cara lain agar geng aneh ini tidak mengganggunya lagi.

Berteman dengan Prins sedekat-dekatnya. Menempel padanya seperti lintah. Kalau perlu tinggal bersamanya.

Itu yang akan jadi fokus utama Putee sekarang!

"Jadi, lo mau keluar sendiri atau gue yang nendang?" Putee menaikkan alisnya. Camo melotot makin lebar. Anggota gengnya yang lain masih menatap Putee dengan pandangan marah. Camo tidak mau membuat kerusuhan di sini, jadi dia memilih keluar sendiri. Mir mendelik ke arahnya, menutup pintu kamar Putee dan menguncinya dari luar.

Kunci saja, Putee bisa lewat jendela. Atau... atap.

TBC

Barakallah...  Always smile.. and take the destiny wisely... 

Continue Reading

You'll Also Like

254K 37.6K 41
#Dongeng series 1 Setelah jatuh dari tangga, Lilith terlempar ke negeri antah-berantah. Ia menempati raga Bawang Merah yang tidak lain saudara Bawang...
17.1M 728K 40
Dihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya ya...
2.4M 19.7K 5
Nora tidak tahu apa yang telah terjadi hingga membuat semua orang memandangnya khawatir ketika dia bangun. Di tengah kebingungan yang mendera, tanpa...
23.4M 674K 59
Hidup Charlina Spencer berubah seluruhnya begitu ia terbangun di suatu pagi di sebelah Andrew Heaton, seorang CEO muda dari kalangan old money yang t...