Someone New

By kptrmhrn

345K 15.4K 1.5K

DI PRIVATE Nara. Cowok dingin dan ketus yang sama sekali tidak mau ikut terjun dalam urusan percintaan. Membe... More

PROLOG
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
CERITA INI DI PRIVATE
sembilanbelas
duapuluh
duapuluhsatu
promote
duapuluh dua
useless
duapuluhtiga
duapuluh empat
duapuluh lima
duapuluh enam
duapuluh tujuh
duapuluh delapan

satu

23.5K 1.3K 84
By kptrmhrn

Nara Prasetya Dahana.
Cowok dengan kecerdasan luar biasa dalam menghitung dan bermain logika. Wajah selalu datar juga berucap seperlunya. Jalannya tegang dengan aura kekejaman menyeruak. Dikenal semua guru, namun tidak terlalu populer dikalangan murid-murid. Hanya beberapa yang mengenalnya akibat kecerdasan yang ia punya.

Nara. Ketua kelas 11-IPAU2. Membuat peraturan yang amat ketat dan tak ada satu orangpun berani melanggarnya. Hal inilah yang menyebabkan kelas IPAU2 menjadi kelas unggulan terbaik dan panutan. Bahkan U1 dikalahkannya.

Cowok itu selalu berucap seperlunya. Jika ditanya sesuatu bila jawabannya 'ya', ia hanya mengangguk. Dan bila 'tidak', cowok itu akan menggeleng tegas. Ketika alisnya bertautan, itu tandanya ia sedang berfikir keras. Dan bila memasang ekspresi datar, cowok itu sedang menganalisis sesuatu. Lalu, saat cowok itu sedikit menyunggingkan senyum, berarti cowok itu sangat puas.

Susah sekali membedakan jika cowok itu sedang marah atau tenang.

Setiap disapa, selalu membalas dengan anggukan kepala dan wajah yang cool. Itu sukses membuat orang yang menyapa malu sendiri karna sapaannya diterlantarkan.

Kini, cowok itu sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan Bu Saori, yaitu mengurusi data-data murid yang seharusnya itu dikerjakan oleh sekretaris. Sayangnya, sekretaris sedang sibuk membantu wali kelasnya itu membereskan suatu dokumen di kantor guru. Jadilah ia sendiri memeriksa kelengkapan data di dalam kelas. Duduk di atas kursi guru dengan suasana kelas yang adem ayem.

Tidak lagi setelah terdapat debrakan keras dari arah pintu. Dan muncullah sosok yang kemarin membuat Nara amat jengkel.

"Mia, lo kenapa?!" pekikan terdengar dari seorang gadis yang duduk di pojok kelas. Cewek itu tidak lain adalah Tasha, teman sebangku Mia.

Nara menatap Mia yang masuk dengan langkah terengah-engah sambil sesekali mengusap sudut matanya. Ia sampai ditempat duduknya dan segera menghempaskan kasar bokong itu pada permukaan kursi. Disambut oleh kedua teman dekatnya.

Nangis lagi. Batin Nara menggerutu. Ia menghembuskan nafas kasar saat menyadari bahwa suasana kelas sedikit riuh. Semua bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Mia, Si Ratu di sekolah.

"Duduk, guys." suara Nara datar menginterupsi, berusaha selalu tenang namun tetap terlihat tegas. Namun amarahnya makin memuncak saat melihat tak ada satu orangpun yang menghiraukan tegurannya.

"Calm, guys." Nara masih mampu merendam amarahnya. Namun tak ada yang menghargai kesabaran seorang Nara. Malah semua asik mengerubungi Mia yang sedang menangis menjerit-jerit.

BRAK!

"SEMUA, KEMBALI KE TEMPAT SEMULA," debrakan meja dan teriakan berat Nara berhasil membuat semua mata anak-anak tertuju padanya. Mematung di tempat dengan muka kaku.

Nara makin geram. "SE-KA-RANG!" interupsi penuh penekanan dan begitu tegas langsung membuat semua murid bubar buru-buru mencari tempat duduknya masing-masing. Diam di tempat dengan posisi tangan dilipat di atas meja, persis anak SD sedang dimarahi guru yang ditakutinya.

Nara menghela nafas. Mengoptimalkan kemarahan yang tadi sempat memuncak. Ia menghempaskan kasar pulpen yang ia pegang tadi. Lantas berjalan dengan langkah kaku ke pojok kelas. Dimana terdapat bangku yang telah dihuni oleh Mia, Tasha, dan Alvea.

Nara menatap tajam Alvea saat kini ia telah berdiri di sebelah bangku Mia. Berdehem sebentar lalu bersuara, "balik ke bangku lo, Ve."

Tanpa babibu lagi, Alvea langsung mengangguk patuh dan permisi kepada Mia untuk kembali ke bangkunya yang terletak di depan bangku Mia. Alvea hanya memberi cengiran kikuk kepada Nara yang direspon dengan sebuah anggukan.

Matanya kembali ke sosok Mia. Gadis yang sedang menangis sesenggukan dipelukan Tasha. Tak mempedulikan sama sekali tatapan membunuh yang Nara lemparkan padanya. Tasha saja sudah dag dig dug ditatap seperti itu oleh Nara. Seakan cowok itu ingin menelannya hidup-hidup sekarang juga.

"Berapa kali gue bilang, jangan nangis." Nara meraih saku celananya. Mencari sesuatu sampai akhirnya iapun mendapatkan sebuah tissue. Dilemparkannya tissue itu ke atas permukaan meja yang letaknya tepat di depan Mia. Kembali memandang Mia dengan wajah amat sangat datar.

"Jangan nangis. Kelas jadi rusuh gara-gara lo,"

Mia meneguk liurnya. Mengusap kasar air matanya dan mulai membalas tatapan tajam dari Nara. "Gak usah ikut campur!"

"Gue berhak ikut campur selama lo ada di kelas ini."

"Trus? Lo gak tau gimana perasaan gue!"

Nara menahan sekuat tenaga emosinya. Ingat akan kedudukannya di kelas ini adalah sebagai pemimpin, jadi ia harus bersikap tenang dan tegas dalam menyelesaikan masalah. "Gue gak tau dan emang gak pernah mau tau perasaan lo. So, kalo lo mau nangis. Mending di luar. Jangan di kelas, karna gue bertanggung jawab disini.

"Kelas ini punya peraturan kalau gak boleh ada yang menangis di dalam kelas. Lo tau sendiri alasannya? Itu akan buat kelas rusuh dan terusik. Gue harap lo ngerti,"

Nara berdehem sebentar sebagai jeda. Lalu kembali melanjutkan, "ohya. Satu lagi, lo harus tau sebelum lo dateng ke kelas ini. Belum ada yang berani ngebantah peraturan gue. Dan lo," Nara menunjuk wajah Mia, lalu membuat garis lurus di wajah dengan bibirnya. "Lo berhak dibasmi karna merusak ketenangan kelas ini."

Tasha menepuk-nepuk punggung Mia yang makin menegang. Ditatapnya Mia takut-takut, karna kini ekspresi Mia sungguhlah menyeramkan. Matanya yang sudah merah dan sembab itu digunakan untuk membunuh tatapan Nara padanya. Seakan tak ingin kalah, kembali ia lakukan aksinya kemarin--melempar tissue pemberian Nara tepat ke wajah cowok itu. Ia lantas bangkit. Melangkah mendekati Nara. Menunjuk-nunjuk dada cowok itu dengan kasar.

"Belagu lo."

Nara diam. Ia tidak terlalu mempedulikan ucapan Mia. Yang ia bisa lakukan hanya menatap datar wajah Mia yang makin memerah.

"Jadi maksud lo, kalo gue nangis, gue mesti di luar? Gak boleh di kelas?"

Nara mengangguk.

"Jadi, selama ini gue adalah hama yang perlu dibasmi?"

Nara menggangguk lagi.

"Oke..." Mia mengangguk, ia bersidekap. Menatap leceh cowok dihadapannya ini dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Kalo gue ngelakuin ini di kelas--"

"Ugh!" Nara langsung meringkuk dengan tangan memegangi perutnya. Meringis dengan apa yang sudah cewek barbar ini lakukan terhadapnya. Ia masih belum bisa berdiri sempurna sampai Erlina, sang wakil ketua kelas membantunya dan menyuruh anak-anak lain untuk tenang.

Mia tersenyum puas. Ia berhasil mendaratkan satu tinjuan tepat ke perut six pack sang ketua kelas menjengkelkan--baginya. Ia berkacak pinggang sambil berdecih memandang kenaasan nasib Nara.

"Makanya, jangan belagu jadi cowok!"

Nara mengernyit. Ia sibuk meratapi kesakitan yang melanda dibagian ulu hatinya. Entah Mia salah sasaran atau memang cewek itu berniat meninjunya tepat disebelah situ. Entahlah, yang jelas Nara K.O dengan tinjuan Mia.

"Mia! Keterlaluan lo," Erlina menegur keras Mia, ia menunjuk tepat ke wajah Mia sambil membantu Nara untuk berdiri tegak.

Mia melirik Tasha yang bungkam. Lantas kembali menatap Erlina dan Nara bergantian. "Dia musuh gue," Mia menunjuk Nara dengan dagunya. Sampai cowok itu mendongak.

"Kita emang musuh!"

"Sekarang 1-0." Mia memicingkan matanya. Ia seakan lupa kalau sedang bersedih tadinya.

"Tunggu pembalasan gue," Nara masih meringis tertahan. Sampai tubuh cowok itu dituntun Erlina untuk kembali duduk di kursi guru.

"Kemana lo, Mia?!" teriakan Nara terdengar seantero ruang kelas. Membuat semua tercengang melihatnya. Karna, ini pertama kalinya Nara mau buang-buang tenaga untuk berteriak dan bertanya pada salah seorang murid dalam kelasnya. Sebelumnya, ia tak mau repot-repot melakukan itu.

Mia yang sudah ada di ambang pintu langsung menoleh garang, "mau nangis di got!"

BRUK!

Pintu tertutup dengan keras.

∞∞∞

Semenjak kejadian tiga hari yang lalu. Kini Nara dan Mia resmi mengibarkan bendera perang. Setiap kali tatapan mereka bertubrukan satu sama lain, maka Mia atau Nara akan secepatnya membuang muka dan saling ngedumel. Tidak di kelas, di kantin, di koridor, di parkiran, dimanapun mereka berpapasan. Pasti akan saling acuh tak acuh. Mengeluarkan umpatan saat salah satunya bertindak jahil.

Seperti sekarang. Mia yang awalnya datang ke sekolah dengan lesu akibat galau kemarin malam. Kini tiba-tiba saja membara karena melihat mejanya diberantaki dengan berbagai jenis sampah. Bahkan lantai yang terletak di sekitar tempat duduk Mia berisi cairan yang Mia tak tahu apa itu namanya. Sukses membuat gadis itu berteriak histeris.

"NARA!!!!!!"

Ya, ia sudah menduga pasti ini kerjaan Nara. Siapa lagi kalau bukan cowok itu? ia akan melakukan segala cara untuk membalas perbuatan Mia tempo hari. Dan ini kedua kalinya Nara membuat Mia jengkel setelah sebelumnya Nara pernah meletakan kolor laki-laki di dalam tasnya. Menjijikan!

Semua anak yang mulanya tenang, seketika menoleh. Melihat kerisihan Mia di sekitar bangkunya.

"Nara, lo dimana, bedebah?!!" Mia sibuk berapi-api di sebelah bangkunya. Menghentakan kakinya berkali-kali ke lantai dengan tangan terkepal disisi tubuhnya.

Tak jauh dari sana, Nara bersidekap diambang pintu dengan tangan kiri membawa sesuatu.

Mata Mia langsung menatap geram ke arah sosok yang dengan santainya menyenderkan punggung di daun pintu. Sementara dirinya kelimpungan mencari cara untuk membersihkan meja.

"TANGGUNG JAWAB!" teriak Mia dari sudut ruangan menuju ke pintu masuk kelas. Wajahnya sudah memerah tersulut amarah.

Nara, cowok itu sibuk membaca suatu kertas yang terlaminating dengan wajah datar. Lalu tatapannya berpaling ke arah Mia yang kini sudah berjalan cepat ke arahnya.

"Lo budeg, hah? Lo harus tanggung jawab." kini Mia sudah berada dihadapan Nara. Cowok itu hanya menautkan alis.

"Lo bilang anti buat kelas rusuh. Tapi kenapa lo malah yang jadi dalang kerusuhan kelas ini, huh?!" emosi Mia makin meletup karna melihat Nara sama sekali tak merespon amukannya. Ia sudah benar-benar berapi-api dihadapan Nara.

Cowok itu hanya menghela nafas. "lo piket sekarang."

Mia terdiam sebentar. Sedetik kemudian kembali buka mulut dengan tak santainya, "trus kalo gue piket kenapa? Ngapain lo pake ngotorin bangku gue segala, hah?!"

Nara kini berdiri tegap. Menyilangkan tangan di dada dengan tatapan penuh arti menatap Mia. "Lo punya otak?"

"Pertanyaan yang bodoh," Mia berdecih. Membuang tatapan dari Nara.

"Kalo iya, lo harusnya mikir. Kalo gue gak ngotorin bangku lo, lo pasti gak mau kerja. Padahal lo piket sekarang,"

Mia cengo. Ia kembali melemparkan tatapan menuntut ke arah Nara. Ia menggeleng tegas. "Gak, gak, gak. Jangan bilang lo nyuruh gue bersihin tuh sarang babi sendiri?"

Nara mengangguk. Menyunggingkan sangat sedikit senyum. Hanya ujung bibirnya yang terangkat. Membuat Mia ternganga tak percaya.

"SENDIRI? lo suruh gue beresin SENDIRI? lo gila, hah?"

Nara menggeleng.

"Tasha? Tasha juga bersihin, kan dia duduk sebangku sama gue."

"Gak, karna lo yang piket hari ini."

Mia tertegun, hendak membuka suara untuk protes namun dengan cepat Nara menyelanya dengan ucapan, "Jangan langgar aturan. Jalankan perintah gue, atau lo mesti kena hukuman." ucapan Nara tegas, berat, dan penuh penekanan. Menandakan bahwa tak ada yang boleh menentang ucapannya untuk saat ini.

Mia memberengut. Ia menghentakan kakinya kasar lalu berbalik arah dengan perasaan berkecamuk. Mengumpat dalam hati dan melontarkan sumpah serapah pada ketua kelas keparat itu.

"Tunggu pembalasan gue. Awas aja lo. Gue bakal buat lo mati kutu, bedebah sialan!"

Di balik punggung Mia yang berjalan menjauh. Nara bersidekap dengan senyum puas. Pertama kalinya ia melakukan ini setelah sekian lama ia sembunyikan. Cepat-cepat ia melunturkan senyuman itu saat Mia melempar tatapan permusuhan ke arahnya saat gadis itu sudah mulai membersihkan meja. Nara makin terkikik dalam hati.

Lucu juga kalo gue kerjain tiap hari.

∞∞∞

"Apa gunanya lo nangis terus?"

Suara berat yang seakan membuat Mia jengkel akhir-akhir ini langsung membuat gadis itu mendongak. Menoleh ke asal suara yang ternyata sudah duduk ganteng di sebelahnya. Duduk di atas permukaan kursi yang terletak di tengah taman sekolah, di bawah pohon mangga yang rindang dan sejuk.

Mia mengusap kasar air matanya. Harga dirinya langsung naik berkali-kali lipat saat musuhnya itu menampakan batang hidung dihadapannya.

"Sok tau. Siapa juga yang nangis,"

Nara tetap memandang ke depan. Melihat suatu objek yang diduganya adalah objek yang berhasil membuat Mia menitikan lagi air matanya. Ia cukup takjub, karna Mia berhasil mematuhi peraturan untuk tidak menangis di dalam kelas.

"Suara lo masih sesenggukan kayak habis nangis." ucap Nara tanpa nada sedikitpun. Bahkan matanya tak lepas memandang objek di depan matanya. Ia sudah tahu ekspresi Mia, dan cewek itu kini menghembuskan nafas kasar.

"Apa peduli lo ngurusin gue? Gue gak nangis di dalem kelas, kan? Kenapa lo masih sibuk ngomelin gue?"

Nara kini menoleh, didapatinya wajah Mia yang menunduk dengan tangan meremas ujung rok. Nada ucapannya tadi terdengar lirih, membuat Nara sedikit terhenyak.

"Gue sama sekali gak niat peduli sama lo. Dan gue gak ada ngomelin lo,"

"Trus kenapa lo nyamperin gue?"

Nara terdiam sesaat. Ia mengalihkan kembali tatapannya. "Jangan baper. Gue kebetulan kesini, habis dari kantor guru."

Hening. Tak ada sahutan dari Mia, hanya ada suara isakan yang membuat Nara semakin tak tenang. Objek di depannya memang merabunkan mata. Maka, ia memilih untuk memandangi Mia yang ternyata sudah benar-benar menunduk dengan tangan masih meremas ujung rok. Setetes demi setetes air mata jatuh membasahi roknya. Bahunya bergetar. Suara isakan terdengar sesenggukan.

Nara tertegun melihat pemandangan di depannya. Ini pertama kalinya melihat Mia terpuruk seperti ini tepat di depan matanya. Di jarak yang sedekat ini! Nara bingung harus melakukan apa. Tapi, sebagai ketua kelas yang bijaksana. Ia harus membantu teman sekelasnya. Setidaknya memberi motivasi.

"Lo gak harus sedih." Nara mulai membuka obrolannya. Memandang Mia lurus-lurus yang sepertinya tak memiliki tanda-tanda untuk menjawab. Maka Nara melanjutkan,

"Susah nyari cewek yang setia. Apalagi sampe bela-belain pindah sekolah buat nyamperin pacarnya. Tapi, si cowok malah selingkuh. Apa lo harus sedih akan hal itu?"

Mia mendongak. Menatap Nara penuh dengan kebencian, "udah gue bilang. Lo gak perlu ikut campur! Gue yang ngerasain, dan lo gak ngerti."

Nara tetap tenang. Tak terbawa situasi akan kemarahan Mia.

"Oke. Lo boleh nangis. Keluarin semua unek-unek dan kekecewaan lo itu lewat tangisan. Tapi lo harus inget, jangan terpuruk terlalu lama. Jangan buat diri lo yang nyesel. Buat cowok itu yang nyesel karna udah ngelepas lo semudah itu. Tunjukin ke dia, bahwa lo tanpa dia itu bukan berarti lo mati!

"Lo mesti bisa tunjukin, motivasi diri lo sendiri, kalo lo bisa tanpa dia. Bahkan, lo bisa nyari yang lebih baik dari dia! Cowok kayak dia itu gak ada bagusnya. Buat apa dipertahanin?

"Kenapa lo mesti tangisin orang yang gak pernah nangisin lo? Kenapa lo mesti peduli sama orang yang bahkan gak peduliin lo? Pikir pake otak!"

Mia terhenyak. Bungkam dengan tuturan yang dilontarkan Nara. Berusaha mencerna ucapannya. Ia melirik ke arah mata Nara yang menatapnya penuh arti. Sedikit tersentuh dengan ucapan Nara yang semua itu benar adanya. Membuatnya sedikit bangkit.

"Lo bener," Mia kembali menunduk. "Lo bener. Orang yang selama ini gue kangenin tiap malem, gak berarti dia juga kangen sama gue. Orang yang buat gue nangis semaleman, gak berarti dia juga terpuruk karna gue. Orang itu cuma bisa bikin luka, luka yang dalam sampai meninggalkan bekas--"

"Dan bukan berarti lo ngediemin luka itu tanpa mengobatinya." Nara menjawab cepat. Tangannya terulur untuk menepuk-nepuk bahu Mia. Pancaran matanya berbinar seakan memberi semangat. Sama sekali tak ada ekspresi lain yang keluar, selain memasang wajah datar.

Mia tersenyum tulus membalas perlakuan Nara. "Makasi udah care,"

Nara tertegun. Dengan cepat ia menarik kembali tangannya dan segera bangkit. Hendak meninggalkan Mia sampai gadis itu ikutan bangkit.

"Kenapa?"

Tanpa berbalik badan, Nara bersuara, "usah gue bilang. Gue gak pernah mau peduli sama lo. Dan kelakuan gue tadi hanya memotivasi lo. Gue pemimpin dan lo anak buah. Intinya, seorang pemimpin harus membantu anak buah saat anak buah sedang terpuruk.

"Jangan kebawa hati. Karna kita tetap musuh."

Setelah mengucapkan pernyataan menohok itu. Nara langsung mengambil langkahnya. Benar-benar meninggalkan Mia yang tertegun menatap kepergian ketua kelasnya. Berdiri kaku dengan rambut yang tersepoi angin sejuk. Hatinya kembali terasa nyeri. Langsung terdengar suara bel tanda masuk kelas yang berkumandang. Seakan menjadi lagu latar kerisihan hatinya saat ini.

"Thanks, Nar..."

____________

Tbc...

Gimana guys? Suka part ini?
Voment ditunggu ya.

Thnks 4 u attention emuah:*

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 43.5K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.8M 230K 69
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.6M 117K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...