Melodies

By temilladwenty

295K 21.6K 1.5K

[ TELAH TERBIT ] ====Sudah diterbitkan olehBukune Publisher | Tersedia di seluruh Gramedia Indonesia dan toko... More

TELAH TERBIT
Prolog
Melodies 1: "Angel"
Melodies 2: "Boomerang."
Melodies 3: "Cosmic Railway."
Melodies 4: "Diamond"
Melodies 5 : "Eldorado"
Melodies 6 : "For Life"
Melodies 7 : "Good Night."
Melodies 8: "Hurt"
Melodies 9 : "I Like You"
Melodies 10 : "Juliet."
DO KYUNGSOO
Melodies 12 : "Lights Out"
Melodies 13 : "Moonlight"
Melodies 14 : "Never Know (They)"
Melodies 15 : "One and Only (유리어항)"
Melodies 16 : "Promise."
Melodies 17 : "Rhythm After Summer."
Melodies 18 : "Stronger."
Melodies 19 : "The One."
The Question

Melodies 11 : "King and Queen"

8.2K 991 112
By temilladwenty

Aku tersenyum. Itu caraku menghias luka.
Aku tertawa. Itu caraku untuk sembuyi.

Pagi ini aku berada di sebuah aula besar di jantung ibu Kota Korea Selatan. Dengan dirajam gelisah pada jarum jam yang tak mau bergerak lebih cepat dari yang aku harap.

Sesegera mungkin ingin ku bangunkan tubuhku dari tempat ini, bukan karena resah tak bahagia ada di tempat ini. Sungguh berada disini adalah impianku, namun dengan siapa aku berada disini membuatku jengah.

Saat ini aku ingin melompati waktu. Awan seperti membaca gelisahku dan kemudian menggodaku, jutaan tetes air terpelanting ke bumi dengan keras. Handphone ku bergetar, terbaca nama yang selalu ada untukku.

Sebuah pesan darinya,

"Matahari disini tak tampak, apa itu karena seorang pemiliknya sedang menangis?"

Aku tersenyum membacanya. "Kau benar, matahari tak datang menyemangatiku. Hujan menemaniku dengan rintiknya ia berseru seolah ikut merasakan gelisahku."

"Ia beseru agar aku selalu bisa menjadi tempat kau berteduh.
Tidakkah kali ini aku berhasil menghangatkanmu.
Aku sangat merindukanmu, maaf tak bisa menyinarimu pagi ini." 

Seketika aku merasakan kehangatan, aku curiga ada seseorang sengaja mematikan AC ruangan. Tapi nyatanya, abjad yang ia susun di layarlah yang berhasil menembus dinginnya hati ini. Aku ingin marah, mengapa aku belum bisa merasakan sesuatu yang ia rasakan?

Aku segera membalasnya, "Rindumu berhasil menembus nadiku, kini berlayar di jantungku yang kekeringan. RIndumu bagai kehangatan yang memasuki pori-pori tubuhku hingga aku tak merasakan dingin lagi."

"Ku harap hujan membuatmu menulis namaku di setiap kaca basah yang kau jumpai."

Aku tersenyum membacanya, andai saja hujan itu bisa ku sentuh saat ini, mungkin ia bisa merasakan, aku bahagia dia hadir di hidupku, mungkin aku egois karena menjadikannya alasanku untuk tersenyum di pagi ini.

"Dan ku harap kau bisa melihatnya dari langit. Ada lengkungan dibawah kedua titik yang ku gambar karenamu."

"Disini aku berharap agar Malaikat mau menendangku sampai melambung jauh dan kemudian jatuh tepat di pelupuk matamu, agar aku bisa melihatnya dari bibirmu, bukan hanya gambarmu."

"Aku akan disini, kan ku ikat kaki ku pada akar agar tak pergi berlalu, menunggu mu hadir."

"Ku rasa aku telah berhasil membuat senyuman di pagi mendungmu." Balasnya.

Dalam diamku, kuketik kembali balasannya. "Dan ku harap, kau tak pernah lelah untuk sekedar mengusir kelabu itu ditiap waktu yang ku miliki."

"Jangankan waktu, tiap hembusan yang ku hempaskan, dengarkah kau siapa nama yang ku hirup? Namamu."

Aku terdiam membacanya. Aku sungguh ingin sekali menatap wajahnya saat ini, seseorang yang memiliki senyum meneduhkan itu sudah berhasil menularkan senyumannya.

Aku tak sempat lagi membalasnya karena seorang crew baru saja memberiku selembar kertas susunan acara serta beberapa detail kegiatan.

"...Untuk acara selanjutnya, saya akan menjelaskan urutan acara yang akan di bawakan diacara nanti...." Lanjut seorang crew mejelaskan berbagai macam acara yang akan diadakan. Aku kembali melirik seseorang yang jauh duduk di depan sana. Terlihat serius mendengarkan.

"...semua urutan sudah dibacakan, mohon untuk membuat kelompok sesuai dengan bagian masing-masing. Selamat bekerja keras dan semangat menanti Asian Song Festival in South Korea 2016."

Ya, acara yang menjadi impianku terwujud selangkah lagi, sebulan waktu persiapan. Aku memang tak bernyanyi sendirian, akan ada kelompok paduan suara dari berbagai Universitas di Korea yang akan bernyanyi bersamaku. Sebagai perwakilan dari Universitasku, dan juga membawa nama Negaraku, aku sangat bersemangat dan berusaha semaksimal mungkin.

Kesibukan terlihat jelas di berbagai sudut. Deretan para bintang Korea sudah datang pagi-pagi dan duduk tepat di barisan paling depan, memang tak semua datang, hanya beberapa. Dan terlihat sosok yang sangat ku kenali sedang membaur disana. Pagi ini ia terlihat bahagia, senyumnya berkali-kali terpancar dari raut wajahnya. Mungkin ia hanya memberikan tatapan tajamnya padaku. Dia benar-benar berbeda memperlakukanku dengan orang lain.

Aish! Aku mengelengkan kepalaku, lupakan Melodi. Ini sudah terlanjur terlambat untuk sekedar mengatakan siapa dirimu. Dan jangan lupakan, ada banyak orang yang akan terluka jika aku egois. Lantas apa yang bisa ku lakukan setelah mengatakan semuanya? Persahabatan ku saat ini sedang diambang ketidak jelasan. Orang-orang yang ku sayangi sedang berbahagia dengan definisi cinta masing-masing.

Banyak hal yang akhirnya sudah aku selesaikan. Ternyata latihanku selama ini tak pernah sia-sia, dan Do Kyungsoo, pria itu juga terlihat sangat baik saat menyanyikan bagiannya. Ia ikut memeriahkan festival, dan aku tak pernah menyangka idola besar itu mau datang hanya untuk acara latihan. Semua orangpun tak pernah menyangka sepertinya, karena mereka terkejut saat melihat kehadirannya.

Aku menghela nafasku, berakhir sudah hari ini. Aku melangkahkan kakiku menuruni tangga aula. Sembari merogoh isi tasku. Sesuatu yang sangat penting sepertinya hilang.

"Dompetku." kataku sembari menyingkir ke bagian depan aula, ku rasa terjatuh disuatu tempat. Kali ini aku berjongkok untuk memastikan benar-benar tidak ada didalam tasku. Sungguh tak ada. Aku menggaruk kepalaku bingung.

Aku berdiri lagi, kemudian berjalan melintasi beberapa tempat di aula. Mungkinkah jatuh saat aku mengambil pensil tadi? Aku kembali ke tempatku duduk sebelumnya. Dibagian atas aula sudah kosong, tak ada apapun di lantai.  Aku mengigit kuku ibu jariku, gelisah.

"Melodi!" panggil seseorang dari bawah sana, aku menengok melihat Tiffany melambaikan tangannya. Aku berjanji untuk pulang bersama naik bis, tapi sepertinya aku tak bisa.

Aku berjalan cepat kearahnya, "Dompetku hilang."

"Apa?!" ia terkejut sekaligus berteriak. "Terjatuh?"

Aku mengangguk, aku kembali menoleh ke beberapa arah, "Sepertinya begitu."

"Aku bantu mencarinya," katanya sembari ikut menoleh ke beberapa arah.

"Tidak apa-apa. Kau pulang duluan saja, aku akan mencarinya dulu." kataku.

"Rumah kita searah, jadi kau bisa pinjam uangku dulu." katanya ingin membantu.

Aku kembali menggeleng, "Tak apa, aku harus mencarinya dan melapor, akan sangat lama. Kau duluan saja, maaf merepotkanmu."

Ia akhirnya paham dan berpamitan padaku. Aku menyentuh layar handphoneku dan baru saja ingin menyentuh nama Damia yang terlihat di panggilan teleponku paling sering, namun aku mengurungkannya. Dulu, tidak ada yang ku lewatkan untuk bercerita padanya, namun sekarang situasinya tidak memungkinkan. Aku hampir saja lupa, dia tak akan mengangkat teleponku.

"Apa ciri-ciri dompetmu?" aku menoleh melihat asal suara.

"Berwarna biru muda, dengan satu seleting. Didepannya ada pita merah muda kecil, didalamnya ada foto ku bersama..." aku mengingat foto yang masih ada didalamnya, "Ya, pokoknya seperti itu luarnya. Didalamnya ada kartu identitasku juga." Aku sedikit terkejut melihat dia bertanya padaku.

"Sudah ku suruh managerku mencarinya." Ia memperlihatkan layar handphonenya. Aku segera melihat layar itu, benar dia sudah menyuruh manager nya untuk membantu mencarikan dompetku. Semudah itu, idola memang berbeda.

"Terimakasih banyak." Aku membungkuk berterimakasih, kemudian masih menoleh ke beberapa arah.

"Ku bilang sudah ku suruh manager ku mencarinya." Ia menatapku lagi, dengan tatapan tajam itu.

"Ya, ku bilang terimakasih." kataku mengulang.

Ia menghela nafasnya, "Biar ku antar kau pulang."

Aku membesarkan kedua bola mataku. Apa ia tak salah bicara?

"Kau, ada masalah pendengaran?" ia mengangkat sebelah alisnya.

Aku segera menggeleng mendengarnya, tapi apa aku tak salah dengar?

"Aku tak akan mengulanginya lagi." ia berjalan mendahuluiku keluar aula.

Dan dengan segera ku ikuti langkah kakinya, terimakasih ia sudah membantuku mencari dompetku, dan kali ini aku memang harus menumpang mobilnya.

Ia berjalan ke arah basement, entah kenapa ia tak menyuruh seseorang untuk membawakan mobilnya ke lobby. Dan yang pasti aku menjaga jarak cukup jauh dibelakangnya. Beberapa orang terlihat tepesona saat Do Kyungsoo berjalan tegap tanpa menoleh sedikitpun ke arah manapun. Ia hanya berjalan lurus ke tempat tujuannya. Seperti seorang raja dari Dinasti Joseon. Lantai marmer bagaikan red carpet. Gaya nya cukup sederharna, dengan sweeter abu-abu yang melapisi kemeja putihnya, namun ia terlihat seperti mengenakan  jubah megah yang mempesona.

Aku menatap bayangku dari sebuah kaca yang baru saja aku lewati. Jauh dari seorang ratu. Tak pantas berjalan disampingnya walau sedetik. Biar aku tetap menjaga jarak sejauh ini, di belakangnya.

Kami tiba di basement. Tidak ada seorangpun yang terlihat. Aku berjalan sedikit lebih cepat hingga sampai tepat disamping mobilnya berbarengan dengannya. Ia membuka pintu mobilnya, seraya diriku yang membuka pintu lainnya.

Duduk di kursi yang sama seperti beberapa tahun lalu. Tepat disampingnya.  Ia memang tak pernah pergi dan pulang bersama managernya, itu yang ku lihat selama pernah bersamanya. Ia menjaga jarah, entah kenapa.

Ia terdiam sebentar.

"De javu." Katanya pelan, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku meliriknya dengan ekor mataku. Ini bukan de javu, lebih pada kau harusnya mengingatku. Aku menghela nafasku pelan.

Ia tak berkata apapun sampai kami sudah berjalan sekitar 20 menit. Hanya ada lagu yang berasal dari radio menemani kesunyian.

Aku menatap keluar dari jendela disebelahku. Tatapanku menerawang apa saja yang baru ku lihat. Berderetan toko-toko dengan huruf-huruf hangul disepanjang jalan.

Kini aku bisa mendengar Dio seperti sedang berbicara sesuatu, sampai ku lirik sedikit untuk memastikan. Dan ia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Aku mengangguk bersyukur karena ia bukan mengajakku bicara, karena aku kurang mendengar apa perkataannya dan tak bisa menjawab.

Saat telepon itu ditutup. Ia memutar balikkan setirnya. Kemudian entah kemana, namun jalur yang kami lewati benar-benar bukan jalan pulang. Aku masih terdiam, tidak ingin bertanya.

"Kita kesini dulu." Ia berhenti disebuah perumahan yang jauh dari Seoul. Aku mengercitkan keningku. Kemana dia membawaku? "Kalau kau tak mau masuk tak apa." Lanjutnya menutup pintunya kemudian.

Didalam mobil sendirian? Apa dia sudah gila?

Aku keluar dari mobil. Membututinya, dan ia tidak protes keberatan.

Tok tok.

Ia mengetuh pintu dengan cukup keras beberapa kali.

Jauh dari perkotaan, rumah ini bagai rumah tradisional yang sangat nyaman. Pagar tembok dengan pintu kayu terlihat sangat sederharna, didepannya sawah terhampar luas. Sesekali aku menghirup udaranya melepas lelah yang menyiksaku.

"Kyungsoo." Panggil suara lembut dibalik kercitan pintu pagar. Aku menengok segera. Mataku rasanya ingin copot melihat wanita tua dihadapanku.

"Eomma." Dio membalas sapaan dari wanita tua itu. Aku benar-benar merasakan ketegangan luar biasa. Bagaimana bisa? Wanita sipit yang mengenakan kerudung itu, ibunya Dio?

"Assalamualaikum." Sapa wanita tua itu membangunkan lamunanku.

"Wa-waalaikumsallam," kataku kemudian sedikit tergagu dan segera membungkuk. Ia memberikan tangan kanannya. Eh dia mengerti. Aku segera meraihnya dan mencium tangannya.

Ia mempersilakan kami masuk. Aku duduk bersila diantara meja rendah diruang tamu. Disebelahku Dio sedang menengok melihat-lihat isi rumah.

"Semuanya masih sama." Kata Dio tersenyum. Wanita tua itu berjalan menghampiri meja dengan membawa nampan minuman, aku membantunya meletakkan beberapa cangkir teh hangat. Ia membalas senyumanku.

"Terimakasih." Katanya mengelus kepalaku. "Aku tak merubah apapun semenjak pindah, kau tau itu." ia menatap Dio untuk kemudian kembali berdiri.

Ia kembali, kali ini membawa sebuah sup rumput laut. "Selamat ulang tahun." Ia mencium kening Dio. Dio membalasnya dengan senyum. Terlihat bahagia, dan matanya berbinar. "Lain kali jangan hanya saat kau ulang tahun datang mengunjungiku. Datanglah setiap minggu meskipun kau sibuk." Lanjutnya.

Dio hanya tersenyum, untuk kemudian menyeruput supnya.

"Kau juga, makanlah." Kali ini wajah wanita itu menatapku. "Siapa namamu?"

"Ah, maaf aku belum memperkenalkan diriku. Aku Melodi." Kataku menjawab.

"Pasti kau bukan orang Korea?" tebaknya dengan cepat. Aku mengangguk pelan, jarang ada yang bisa menebakku secepat itu.

"Aku dari Indonesia."

Ia mengangguk kembali sembari tersenyum. Tak lama terdengar suara adzan dzuhur. "Itu suara suamiku, merdu kan?" tanyanya padaku. Aku mengangguk segera sangat setuju, lafalnya sangat fasih dan benar-benar merdu. Sepertinya didekat sini ada mushola, jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Suaranya sangat merdu." kataku ketika suara adzan telah berhenti.

"Kau muslim?" tanyanya dan segera ku jawab dengan anggukan, "Sholat bersamaku?" ajaknya.

Aku mengangguk, mengikuti langkah kakinya yang membawaku pada sebuah ruangan. Di dindingnya banyak tulisan kaligrafi arab. Dan aku bisa melihat banyak sekali, atau bahkan terlalu banyak tanaman-tanaman yang di letakkan di atas meja. Aku jadi teringat Haraboji yang pernah menceritakan kisah wanita di depanku ini.

Wanita itu mengajakku duduk dikursi taman halaman rumahnya usai melaksanakan sholat, sedang Dio tak terlihat ditempat semula, mungkin sedang berkeliling.

"Suasana disini sangat indah bukan begitu?" tanyanya padaku sembari menghela nafasnya.

"Aku suka tempat ini." kataku memperhatikan taman kecil yang memiliki banyak tanaman.

"Aku suka semua yang ada disini, juga orang yang membawaku kesini." ia tersenyum sembari meraba ingatannya. "Sudah menemukan cinta pertamamu?" tanyanya tiba-tiba.

Aku meringis, "Aku belum tau mana cinta pertamaku."

"Kau akan menemunkannya ketika kau kehilangannya." Ia menyentuh rambutku pelan, dan menyelipkannya kebelakang telinga. "Cantik."

Aku tersipu saat ia berbisik seperti itu. Senyuman menjadi balasan karena ia sudah memujiku.

"Sebenarnya dia cinta pertamaku sebelum Ayah Kyungsoo," kini kedua matanya menerawang ke atas langit.

Dia? Apakah pria yang baru saja melafadzkan adzan itu?

"Pria itu, Yasser Lee. Dia cinta pertamaku. Dia mengajariku banyak hal baru, tentang kebenaran yang tak ku lihat selama ini. Seperti membawa sebuah sinar cahaya, mengenalkanku pada keyakinan yang ia anut 20 tahun lalu. Keyakinan yang menyinari disaat-saat dirinya tak lagi memiliki kekuatan untuk hidup. Islam datang menyelamatkannya, ia pindah menjadi mualaf tepat sebulan setelah pernikahanku, mengasingkan diri di kota terpencil ini. Dia menungguku. Dan aku memilih untuk datang lagi padanya."

Aku meneguk ludahku sesaat saat mendengarnya. Aku tak bisa berkomentar apapun. Ia menengok untuk menatapku, seperti membaca pikiranku, ia tersenyum kembali.

"Tiga tahun lalu, saat aku pergi meninggalkan rumah dan menikah lagi. Dia sudah dewasa, dia marah, aku tau itu. Tapi dia hanya diam. Kyungsoo memang tak pernah memberitauku bagaimana perasaannya, tapi aku tau. Dia kecewa padaku. Semua keluargakupun kecewa."

Dia bisa membaca pikiranku. Tiga tahun lalu. Sebuah kisah yang akhirnya terkuak.

"Kau harus percaya, ini baru kedua kalinya ia datang." Wanita itu tersenyum bahagia, "Lagi di hari ulang tahunnya. Bahkan yang pertama ia tak mengucapkan satu katapun. Ia duduk dan memakan sup rumput laut, lalu pergi." wanita itu terkekeh mengingatnya, "Usaha Yasser tak sia-sia, ia setiap hari berusaha menelepon Kyungsoo, menanyakan kabar, memberi kabar, meskipun Kyungsoo sama sekali tak menjawab pertanyaan. Ia hanya mengangkat telepon itu dan kemudian diam sampai telepon diakhiri. Dia memang unik."

Wanita itu merogoh kantung baju panjangnya, ia mengambil handphone sembari kemudian memperlihatkan foto keluarganya, "Dia seperti kakeknya, dia tak suka terlihat perhatian terhadap sesuatu. Kakeknya pernah berkunjung kerumah ku, meskipun dengan sekuat tenaga ia bilang tak akan menganggapku anak lagi, percayalah dia datang diam-diam dan rutin membawakan bunga kesukaanku, serta beberapa makanan."

Aku memperhatikan foto yang sedang ia perlihatkan, jika dilihat dengan jelas, aku bisa membedakan dimana letak editannya. Foto itu hanya sebuah foto yang digabungkan, ada seorang kakek, nenek, wanita ini, serta Do Kyungsoo. Hanya itu.

Aku tak pernah melihat foto keluarga di rumah Dio. Dan kini dirumah ibunyapun, aku tidak melihat ada satupun foto keluarga.

"Haraboji," aku tersenyum menatap wanita dihadapanku, "Ia pasti merindukanmu."

"Aku juga, dan merindukan ibuku. Ia meninggal jauh sebelum semua ini terjadi, jadi aku sedikit tenang ia tidak harus melihatku berpisah dengan ayahku."

"Ia pasti akan bahagia, jika semua orang yang ia cintai bahagia."

"Kau kekasihnya?" tanyanya kemudian membuaku terkejut. Aku segera menggeleng.

"Bu-bukan, aku hanya menumpang untuk pulang, dan Dio membawaku kesini." Ia tersenyum menatapku yang mulai salah tingkah.

"Sayang sekali, perempuan pertama yang ia kenalkan bukanlah pacarnya." Kata wanita itu menggulum bibirnya, pura-pura kecewa. "Kalau begitu, ceritakan dirimu dan anakku sekarang. Aku kan sudah menceritakan kisahku." Lanjutnya memperbaiki posisinya menghadapku.

"Tak ada yang menarik." Wanita itu mendekatkan wajahnya menyelidik. "Sungguh Ahjumma. Ia hanya marah-marah sepanjang hari jika bersamaku." Aku menggembungkan sebelah pipiku. "Ku rasa dia sangat berbeda denganmu Ahjumma, dia suka mengomel tanpa alasan. Bahkan ketika ia tau bahwa aku menganguminya, ia juga marah. Ia marah ketika aku berjalan lambat, tapi juga marah saat aku berjalan cepat. Ia marah ketika aku tertawa, tapi ia juga marah saat aku terluka." Aku menggulum bibirku mengingatnya.

"Aku cemburu padamu," katanya berdecak cemberut.

"Eh? Kenapa? Karena dia marah?" kataku bingung.

Ia segera mengangguk, "Seandainya ia bisa memberikan perhatiannya padaku seperti saat ia menatapmu."

Aku menautkan kedua alisku bingung, "Dia selalu memberikan tatapan tidak suka padaku."

Ia menggeleng, lagi membuatku bingung. "Kau bilang tak ada yang menarik, namun semua hal yang kau bilang tadi, membuatku ingin sekali mendengarkan lebih banyak."

"Eomma!" seorang gadis kecil datang, ia mengenakan kerudung. Tunggu, umurnya sepertinya lebih dari 5 atau 6 tahun, dan ia baru saja datang bersama Dio yang berdiri disebelahnya.

"Itu anak angkatku." Bisiknya padaku, sepertinya ia tau isi pikiranku.

Ia terlihat sangat senang melepas genggamannya dari Dio. "Aku sudah mengenalkan Oppa dengan teman-temanku. Aku sudah tidak dibilang pembohong lagi punya kakak yang super terkenal dan tampan."

"Benarkah?" wanita itu melihat Dio yang sedang melirik keberbagai arah tampak malu. "Terimakasih." Katanya yang kemudian dibalas anggukan oleh Dio.

Gadis itu kini menatapku. Ia terdiam sembari memiringkan kepalanya.

"Oh, hallo." kataku kini membungkuk.

"Me-?" ia menengok sebentar ke arah Dio, kemudian kembali menatapku, "Melodi eonni?"

Aku mengangkat kedua alisku, "Oh, kau tau namaku?"

Ia mengangguk segera, "Eonni suka kupu-kupu?"

"Jangan, dia alergi hewan." aku menatap Dio yang secepat itu membalas pertanyaan gadis kecil dihadapanku. "Ya-ya kan?" sepertinya ia bertanya padaku.

Aku mengangkat kembali kedua alisku kemudian menatap gadis dihadapanku, "Kau punya kupu-kupu?"

Ia mengangguk, "Ini istimewa." ia menarik lenganku untuk masuk kedalam, aku menegok sekilas menatap Ibu Dio yang mengangguk mempersilakan untuk mengikuti gadis kecilnya.

Aku hampir saja akan bersiap-siap untuk bersin yang akan menyiksaku lagi. Namun beruntung, gadis kecil ini membawaku ke kamarnya yang mungil. Ia mengambil sebuah toples kaca besar yang didalamnya berisi banyak sekali kupu-kupu. Dan beruntung, semua itu terbuat dari kertas. Ini benar-benar istimewa, karena biasanya aku melihatnya hanya berbentuk burung bangau atau bintang.

"Jika kau membuat 10 kupu-kupu, impianmu akan terkabul." katanya berbisik, "Ini rahasia."

"Benarkah? Hanya sepuluh?" kataku sembari berbisik.

"Ya, tapi harus istimewa. Aku buat 10 kupu-kupu, dan Oppa datang kerumah." tawanya.

Aku mengangguk, "Kalau begitu kau harus ajari aku."

Ia mengangguk sembari bangun segera untuk mengambil peralatan yang menurutnya penting. Ia mengambil beberapa kertas origami berwarna-warni. Dua buah pulpen, gunting dan kemudian duduk kembali.

"Tulis dulu permintaannya, nanti kalau sudah jadi 10 jangan lupa minta sama Allah supaya dikabulkan." bisiknya lagi.

Aku tertawa mendengarnya, "Oke oke."

Kami menghabiskan waktu entah berapa lama untuk membuat kupu-kupu kertas dari origami. Aku bahkan beberapa kali gagal saat pertama mencobanya. Namun gadis kecil ini terlalu penyabar untuk mengajariku dari awal.

Sembari membuatnya, ia bercerita banyak hal tentang sekolahnya. Ia juga suka melihat kakak laki-lakinya saat tampil di acara musik. Ia akan menceritakan pada teman-temannya dengan bangga bahwa ia memiliki kakak laki-laki yang tampan dan pintar bernyayi.

Aku sedikit terkejut saat mendengar suara adzan kembali terdengar, dan saat aku melihat kejendela. Di luar sana, langit sudah gelap berwana kehitaman.

Usai sholat magrib bersama, aku beralih ke meja makan saat sudah menyelesaikan pekerjaan membuat kupu-kupu kertas itu.

Aku bisa mendengar suara salam dari luar sana, seraya seorang pria bertubuh tinggi dan gagah berjalan masuk kedalam rumah. Ia mengenakan pakaian koko berwarna putih, dengan matanya yang sipit itu, dia seorang pria Korea sungguhan. Aku semakin takjub melihat keluarga ini.

Ia menyapaku, memberi salam. Dan akupun mengenalkan diriku, membalas salamnya.

"Makan malam kali ini sangat istimewa." Wanita itu berjalan untuk duduk disamping pria yang pastinya bernama Tuan Yasser, suaminya.

Meja makan dirumahnya berbentuk lingakaran kecil dengan lima kursi yang mengelilingi. Tuan Yasser diapit oleh sang istri dan anaknya, dan aku berada di samping Nyonya Yasser, dan juga putranya, Dio.

Tuan Yasser memimpin doa, tentu terkecuali Dio yang berdoa dengan cara lain. Kami saling menyapukan kedua telapak tangan ke wajah, seraya mengambil sumpit dan mulai untuk menyantap makanan.

"Enak." Kata gadis kecil itu menyantap dengan nikmat makanan yang terhidang.

Aku ikut merasakan kelezatan masakan yang tersaji diatas meja. Meski baru pertama kali, entah rasanya seperti sangat sering ku rasakan. Nasinya memiliki tekstur tersendiri, lembut namun tidak lembek. Lauk pauknya kali ini juga mirip dengan sebuah rasa yang sering aku cicipi. Terutama Chicken Gochujang, ayam dengan bumbu merah saus sambal khas Korea ini sangat mirip dengan masakan yang sebelumnya aku cicipi. Karena makanan halal, saus Gochujang biasanya memiliki rasa yang berbeda dari bumbu biasa yang dijual di supermarket. Karena Gochujang yang instan mengandung alkohol. Jadi rasa ini tidak mudah ditemui.

Aku kembali mencicipi masakan lainnya, dan ya.. aku mengenal rasanya. Rasa yang hanya aku temui di masakan yang berasal dari sebuah kotak makan siangku. Aku ingat itu. Rasanya terlalu mirip.

"Kyungsoo yang memasaknya," suara wanita itu menghentikan pikiranku.

Uhuk!

"Melodi, kau baik-baik saja?" tanya wanita itu segera menuangkan air mineral ke gelasku.

Aku segera mengangguk sembari meminumnya. Aku menatap Dio sekilas, ia sedang memperhatikanku juga.

"Aku tidak apa-apa, maaf sekali maaf." aku menganggukan kepalaku meminta maaf karena tidak sopan tersedak saat sedang makan.

Mereka tersenyum ramah sama sekali tidak memarahiku.

Aku menahan rasa penasaranku mendalam, melupakannya. Dan jangan sampai aku menanyakan hal itu. Itu hanya kebetulan bukan?

Akhirnya, aku berpamitan dengan keluarga kecil Do Kyungsoo. Keluarga kecil yang hangat dan menyenangkan. Ramah dan memberikanku kesan nyaman meskipun aku adalah orang asing. Keluarga yang meskipun pergi, akan selalu menjadi tempat pulang bagi Do Kyungsoo.

Aku menatap wajah Dio yang sedang berjalan memasuki mobilnya. Ia terlihat senang meskipun tak tersenyum sedikitpun. Ya, dia unik. Seperti kata ibunya. Dia memiliki cara yang berbeda untuk menyatakan cintanya.

Belum pernah semenyenangkan ini saat bersama dia sebelumnya. Ia tampak sedikit lebih ramah sekarang. Bahkan seharian ini ia belum marah sedikitpun padaku, dan aku melihat seyumnya lebih banyak dari biasanya.

Ia kembali memutar radionya. Sebuah lagu mengalun menemani perjalanan panjang kami. Sebuah nada panjang menurun tampaknya memiliki efek menenangkan hati. Aku memiliki perasaan yang lebih baik saat mendengarnya. Mengapa musik memiliki pengaruh hebat pada emosi? Apa karena musik muncul sebagai bentuk awal komunikasi?

"Maaf." 

Aku terdiam sejenak untuk berpikir, beralih mendengarkan satu kata itu. Aku menengoknya, meski ia tak membalas tatapanku ia melanjutkan kata-katanya.

"Membawamu ketempat tidak seharusnya." Lanjutnya.

"Tidak apa-apa." balasku, "Aku senang mengenal keluargamu."

"Hm?" ia mengercitkan keningnya bingung.

"Ya, kau memang tak langsung mau mengenalkannya. Namun dengan kau membiarkanku mengikutimu, aku jadi mengenal mereka." kataku mengingatnya, "Cinta memang tak pernah salah pada siapa ia berlabuh, meski tersesat, selalu akan ada jalan menuju tujuan akhir."

"Hm?" Dio kembali mengercitkan keningnya.

"Aku hanya mengingat apa yang Ibumu bilang, dan ohya, dia sangat cantik." dia sangat mirip denganmu Dio.

"Artinya aku sangat tampan?"

Aku membuang wajahku ke jendela, menahan aura merah muda menjalar diwajah. Sebentuk senyuman menyentuh pipiku. Aku tersenyum, karenanya. Untuk pertama kali.

"Kenapa?" suara itu menyusul tawaku yang tertahan.

Aku segera menoleh kembali, "Ya, tentu."

Sesaat keheningan menghampiri. Ia tak membalas lagi perkataanku. Dan aku juga sedikit jadi canggung karena perkataannya. Sepertinya dia tidak cocok untuk sekedar bercanda dengan kata-kata tadi.

"Selamat untukmu." Kataku kemudian, membuatnya mengangkat kedua alisnya tanpa menengok sedikitpun. "Kau dan Damia." Lanjutku.

Ia mengercitkan keningnya. "Apa yang perlu diselamatkan?" herannya.

"Bukankah kalian sudah bersama sekarang?" Heranku. "Maksutku, berpacaran? Semacam hubungan itu?" raguku. Ia terkekeh mengangkat senyum kesebelah pipinya. Ia menggeleng sedikit. "Jadi, kalian belum berpacaran?" tanyaku heran sekaligus terkejut. "Kenapa?"

"Jangan melangkah terlalu jauh, itu bukan urusanmu." Jawabnya yang seperti menamparku, baiklah itu memang bukan urusanku.

Aku menggulum bibirku. Kembali asik menatap jendela. Dia mungkin benar aku tak boleh melangkah terlalu jauh, lagi pula ini masih permulaan untuk menjadi lebih ramah dengannya. Aku pun sedang berusaha untuk membiasakan keberadaannya.

Tak berapa lama kemudian terdengar sebuah lagu yang tak asing.

"Oh lagumu! Wah sudah sangat lama," Tawaku yang masih menatap jendela ke arah luar. Lagu disaluran radio itu memutar sebuah lagu yang menjadi awal aku jatuh cinta pada suara Dio.

If I was your boyfriend, I'd never let you go.
I can take you places you ain't never been before.
Baby take a chance or you'll never ever know...

Aku sedikit bernyanyi mengikuti liriknya. Kami sudah sudah memasuki kota, dimana pertokoan sudah mulai menyalakan lampu-lampu papan namanya.

"Tasty boulevard- samwon garden- Homyeongdang- sanbong hwaro gui,- oh astaga, restaurant disini semakin ramai setiap hari." Kataku sendiri menikmati pemandangan yang ku lihat di area gangnam. "Jeongyeoun oden jip..............."

Dcit.

"Au!"  teriakku begitu mobil yang dikendarai Dio berhenti mendadak. "Ada apa?" tanyaku segera menengok melihat wajah Dio.

Ia menatapku seperti ingin melahapku. Aku meneguk ludahku, apa aku terlalu berisik tadi?

"Siapa namamu?" tatapan tajam itu kembali, ia menatapku dengan ekspresi yang sama sekali tak pernah aku bisa tebak.

"Kenapa? Kau tiba-tiba lupa ingatan?" kataku heran. Ia tak berpaling, tatapannya masih sama.

"Siapa. Namamu." ulangnya dengan menekan satu persatu katanya.

"Melodi. Ingat?" Kataku kesal, namun ia tak juga berpaling.

"Kau siapa?"

"Hah?" sungguh aku tidak mengerti apa maksutnya, kenapa juga ia bertanya hal aneh seperti ini.

"Siapa kau?!" Kini ia berteriak memengangkan telingaku.

"Melodi! Namaku Melodi. Mahasiswa asal Indonesia, kenapa? Kau juga lupa?" balasku kesal.

Ia keluar dari mobilnya. Membuatku bingung setengah mati. Ia membuka pintu mobil disebelahku. Menarikku keluar dengan paksa.

"Yak apa yang akan kau-" belum sempat aku bertanya, ia menarik tubuhku mendekat. Ia mendekap tubuhku. Sedikit guncangan dari tubuhnya.

"Kau Melodi." Katanya lirih. "Kau yang aku cari." Lanjutnya.

Tanganku yang terkepal kemudian lemas membuka. Aku terperangah. Ia akhirnya mengingatku?

**to be continue** 

BAGAIMANA PERASAAN KAMU SETELAH MEMBACA INI, TELL ME {}

Xoxo
Dwen_michan ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

371K 22.5K 27
"I'll do everything for you." -Lian ⚠️ mengandung kata kata kasar. Entah kesialan apa yang membuat Lilian Celista terlempar ke dalam novel yang baru...
1M 76.3K 57
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...
57.2K 10.1K 29
kisah seorang jenderal yg di permalukan setelah kekalahan yg di alaminya. seorang jenderal agung pemimpin 300.000 pasukan di khianati hingga menyebab...
57.3K 7K 33
"Saat kamu kembali, semua cerita kembali dimulai." Kisal Sal dan Ron kembali berlanjut. Setelah banyak yang terlalui. Mereka kembali bersama. Seperti...