Melodies

By temilladwenty

295K 21.6K 1.5K

[ TELAH TERBIT ] ====Sudah diterbitkan olehBukune Publisher | Tersedia di seluruh Gramedia Indonesia dan toko... More

TELAH TERBIT
Prolog
Melodies 1: "Angel"
Melodies 2: "Boomerang."
Melodies 3: "Cosmic Railway."
Melodies 4: "Diamond"
Melodies 5 : "Eldorado"
Melodies 6 : "For Life"
Melodies 8: "Hurt"
Melodies 9 : "I Like You"
Melodies 10 : "Juliet."
Melodies 11 : "King and Queen"
DO KYUNGSOO
Melodies 12 : "Lights Out"
Melodies 13 : "Moonlight"
Melodies 14 : "Never Know (They)"
Melodies 15 : "One and Only (유리어항)"
Melodies 16 : "Promise."
Melodies 17 : "Rhythm After Summer."
Melodies 18 : "Stronger."
Melodies 19 : "The One."
The Question

Melodies 7 : "Good Night."

9K 947 52
By temilladwenty

Hujan yang jatuh akan kembali ke langit, meski entah menunggu berapa lama. Meski harus menunggu bertahun-tahun lamanya, ia mengalir dari celah-celah kecil menuju samudra.

Hujan yang jatuh akan senantiasa menjadi butiran. Meski ia berusaha sekuat tenaga menjadi seperti air terjun. Angin akan menghempaskannya menjadi butiran.

Aku ingat kenapa aku bisa disini, saat itu tepat  seminggu sebelum hari ini. Saat aku berjalan bersama Damia menyentuh kerumunan mahasiswi di lobby utama. Terpampang jelas pengumuman besar-besar bertuliskan "Youth Camp for study business Korean University."

Aku sempat merasa sangat bingung di musim hujan seperti ini? Yang benar saja? Namun keputusan tak bisa diganggu gugat, dan terlebih penjelasan dibawahnya menjelaskan bahwa ini program dari mahasiswa tingkat 5, kepada seluruh tingkatan di jurusan business Korean University. Aku jelas ingat, itu artinya Kim sunbae juga akan hadir. Tentu saja! Pasti ini maksutnya disibukan dengan urusan kuliah.

Pagi ini, kami tiba di Perkemahan Nanji atau Nanji camps.

Perkemahan ini terletak di antara jembatan Seongsan dan Gayang. Tepatnya adalah di dekat Sungai Han. Taman Sungai Han di Sangam-dong, Mapo-gu. Perkemahan ini sering digunakan sebagai lokasi shooting atau variety show juga. Letaknya yang mudah dijangkau dan tak perlu repot membawa tenda membuatnya dipilih sebagai lokasi yang tepat untuk program yang sudah ditentukan pengurus mahasiswa.

Panitia dengan segera meminta semua handphone untuk dikumpulkan.

Baiklah, peraturan pertama yang sangat sederharna, dilarang berkomunikasi dengan orang luar, terkecuali sangat amat mendesak.

"Setiap tingkatan akan dibagi menjadi beberapa kelompok, dan dari setiap kelompok setidaknya memiliki dua pembimbing senior dari tingkatan lebih tinggi." Salah seorang pembimbing menjelaskan dengan sedetail mungkin.

"Maaf aku terlambat." Seseorang muncul dari belakang sang pembimbing. Seseorang yang ditunggu semua orang disini 'mungkin'. Kudengar dia tak mau datang ke acara yang menurutnya kurang penting ini, namun nyatanya dia datang, entah dengan alasan apa, padahal jelas ia akan dibolehkan jika mau tidak hadir.

"Dio!" tawa pembimbing itu menyambut kehadirannya bagai seorang pangeran. Aku sebenarnya senang melihat kedatangannya, jauh sebelum aku harus berlatih berhari-hari bersamanya, lebih seperti penyiksaan, dia hanya menyuruhku tanpa memberi petunjuk ataupun pelatihan sesungguhnya.

Aku pikir akan mudah berdamai dengannya, apalagi saat ia menyuruhku untuk tidak pergi meninggalkannya. Ku kira kami akan baik-baik saja. Namun pada kenyataannya, ia masih Dio yang sama. Dio yang tak banyak bicara. Sorot matanya kini selalu lebih merasa tak suka aku ada disampingnya, namun ada satu sisi yang membuatku tidak bisa membencinya.

Aku lantas mengabaikannya yang berjalan dengan pandangan lurus melewatiku tanpa sedetikpun melirik, sama dia juga mengabaikanku.

Kemudian kami berkumpul memposisikan diri membagi kelompok.

"Senang bisa sekelompok denganmu." kataku pada Damia, ia tikut tersenyum merapihkan tasnya.

"Ah, mimpi apa aku semalam? Bisa dibimbing oleh si tampan−Dio." Kalimat seorang teman yang juga sekelompok denganku. Tidak, ini musibah. Belum saja dia mengetahui Dio itu adalah pria yang menyebalkan.

Kami keluar tenda lagi untuk melaksanakan beberapa kegiatan. Untuk hari pertama ini beberapa kelompok akan mempersiapkan permainan, sedangkan kelompok pertama dan kedua nantinya akan bersiap untuk meyiapkan makanan.

Aku duduk direrumputan, mengacak buku yang ku bawa serta pensil yang kugunakan. Aku suka pensil yang terdapat penghapus diujungnya, karena alasan lebih mudah digunakan, itu saja. Aku tak mendengar secara rinci jenis kegiatannya, karena dari barisan tengah sudah banyak yang mengobrol jadi suara senior itu tak terlalu terdengar sampai belakang.

Aku hanya mendengar bisik-bisik beberapa orang disampingku sedang asik membicarakan senior tampan yang sedang menjelaskan, atau lainnya sedang sibuk mengeluh kelaparan. Damia yang duduk didepanku menoleh.

"Apa yang akan kau tulis?" tanyanya.

"Hah?" tanyaku tak mengerti.

"Kau tak mendengar, dia bilang kita harus membuat laporan seluruh kegiatan setiap hari. Dan setiap harinya, minimal kau harus memiliki lima impian untuk masa depanmu 5 tahun kedepan. Sulit sekali." kata Damia mengeluh.

"Tentang apa? bisnis atau hanya impian hidup lainnya?" tanyaku bingung.

"Semuanya," katanya membesarkan kedua bola matanya.

"Aku punya banyak," tawaku.

"Ah, impianku sudah tidak ada." keluh Damia sembari membalikkan kembali tubuhnya.

Aku segera memegangi pundaknya, "Pasti ada." bisikku.

Beberapa senior mulai berjalan kebelakang, sembari memberi arahan dan tugas pada masing-masing individu. Aku mulai lelah mencatat satu persatu tugas yang diberikan, dan juga ada beberapa kata yang hilang, aku tak dengar.

Kami menghabiskan waktu setengah hari untuk mendengarkan tugas dan beberapa sambutan dari para senior yang sudah bersusah payah untuk mengadakan acara ini.

Tepat saat matahari bergeser lebih rendah dari posisi sebelumnya. Aku serta kelompokku bergegas menuju dapur umum yang cukup luas dibelakang perkemahan. Jadwal malam ini masakan yang akan kami buat tidak terlalu rumit, namun sudah pasti terbayang seberapa banyak makanan yang akan dimasak untuk ratusan perut diluar sana.

Aku dan enam orang lainnya bertugas memotongi sayuran. Disana, aku dapat melihat Damia bertugas mempersiapkan bumbu masak bersama lima orang lainnya. Sedangkan, dua puluh sembilan lainnya saling berbagi tugas.

Ada empat senior yang mengawasi, salah satunya seseorang yang sedang berjalan menghampiriku. Do Kyungsoo.

"Kau tak bisa memotong lobak?" tanyanya membuatku menautkan kedua ujung alisku. Ia membalas tatapanku dengan menaikkan sebelah alisnya.

Ayolah, apa dia akan bersikap dingin juga disini? Beberapa orang segera menengok dan menatapku menahan tawa. Aku meletakkan lobak diatas talenan dengan sangat perlahan, kemudian memotongnya dengan pisau yang ku pegang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin.

"Apa seperti ini sunbae-nim?" kataku masih sembari memotong lobaknya.

"Kau memotongnya tanpa berpikir?" tanyanya memperhatikan hasil potonganku, "Ukurannya sangat berbeda satu sama lainnya."

Aku menghela nafasku dalam, berusaha masih menahan emosiku. Aku memperhatikan hasil potonganku dengan sangat amat teliti. Baiklah, memang dalam memasak, bangsa Korea ini memiliki standart khusus, tapi ayolah, aku harus memotong puluhan lobak, apa mungkin aku harus memotongnya dengan penuh perasaan? Atau perlu menggunakan penggaris?

"Ikuti aku." Katanya penuh penekanan.

"Ah beruntung sekali," Kata beberapa orang berbisik. Sebaliknya, dipikiranku ada tanda bahaya jelas terpampang di punggung pria dihadapanku ini.

"Tangkap itu saja, ambilkan lima ekor." Katanya memperlihatkan kandang ayam yang sangat besar, dengan ayam-ayam lari kesana kemari.

"Kau bercanda sunbae-nim?" kataku pura-pura tertawa.

"Apa aku terlihat sedang bercanda?" katanya mengangkat kedua alisnya, tak tersenyum sedikitpun. Ya Tuhan apa salahku?!

"Kalau begitu berikan contoh untukku." Tidak apa harus mengejar ayam-ayam itu, asal aku bisa melihatnya terlebih dulu.

"Kau tak bisa melihatnya?" Ia menunjuk beberapa orang yang juga sedang mengejar ayam-ayam. Sialnya, imajinasiku hancur begitu saja.

"Baik aku melihatnya sunbae-nim. Tunggu saja, akan ku bawakan padamu lima belas." Kataku sembari memberikan senyuman yang sengaja ku buat semanis mungkin.

"Ck, Dan jika kau tak mendapatkanya, kau yang akan mencuci semua piring nanti malam." Ia mengangkat dagunya menunjuk kandang ayam itu kemudian berlalu pergi.

Aku meneguk ludahku gugup, bagaimana jika aku tak bisa? Segera ku langkahkan kakiku untuk melakukan tugas dari nya, padahal cukup nyaman berada di dalam dapur yang jauh dari terik matahari.

Lima belas menit kemudian aku mengigit bawah bibirku dengan kesal. Belum ada satu ekor ayampun yang berhasil aku tangkap. Ini adalah kali pertama bagiku, dan aku tak pernah senekad ini. Entah karena sinar matahari yang terlalu terik, atau berlarian mengejar ayam yang melelahkan, kepalaku tiba-tiba saja sakit. Hidungku sangat gatal dan keringatku sudah bercucuran di punggung.

"Kau baik-baik saja?" tanya seorang temanku yang bertugas sama. Lihatlah, tugas ini diberikan kepada anggota tim pria, dan aku satu-satunya perempuan yang sudah tak waras menangkap ayam sendirian.

Aku mengangguk, "Tidak apa-apa."

"Mau ku bantu?" tanyanya.

Aku menengok sebentar. Beberapa meter dari sini aku bisa melihat Dio masih mengawasi sembari mencatat sesuatu dengan bukunya.

"Tidak perlu," kataku menggeleng.

Aku berjongkok sebentar untuk menahan sakit kepalaku. Seekor ayam menghampiriku yang sedang memainkan makanannya.

"Kerrr.. sini sini, aku tak sanggup lagi berlari." panggilku pada seekor ayam yang cukup besar itu.

Saat ayam itu mulai mendekat, aku bingung bagaimana menangkapnya saat ia berhadapan denganku. Jika bergerak mungkin ia akan pergi, bukan begitu?

"Kau yang disana awas!" kata seseorang meneriakiku.

Namun terlambat, saat menoleh beberapa ayam sedang berlarian ke arahku saat dikejar dengan anggota lainnya.

Habis sudah kepalaku diinjaki ayam menyebalkan. Bulunya berterbangan tertinggal di rambut juga bajuku. Dan makanan ayam yang sedang aku pegangpun tertiup angin hingga mengenai mataku.

"Hya maaf-maaf," kata pria yang mengejar ayam itu dan berlalu masih berlari mengejar beberapa ayam yang baru saja berhasil membuatku malu.

Aku masih berjongkok dengan mengusap mataku yang kelilipan. Sepertinya mataku akan memerah karena debunya benar-benar masuk ke dalam mataku.

Seseorang meraih tanganku sembari mengucurkan air. Aku segera membilasnya ke wajahku terutama kemataku. Sekali lagi ia mengulanginya. Aku bisa merasakan kini tangannya seperti sedang memegang rambutku, mungkin mengambil bulu ayam yang sudah menjadi aksesoris di atas rambutku.

"Ter-" aku terdiam saat menatap dirinya yang masih memegangi rambutku, "terimakasih Dio-ssi." bisikku pelan.

"Lima ekor ayam." katanya kini berpaling pergi. "Aku masih menunggu."

Aku menghela nafasku tak karuan. Apa yang baru saja ia lakukan? Menolongku? Dia?
Sembari berusaha berdiri kembali, aku membersihkan bajuku yang tentu saja sudah kusam tak karuan terkena pasir, makanan ayam, serta bulunya, mungkin ada jejak kaki ayam juga di bajuku, entahlah.

Harus dimana aku menyembunyikan wajahku?

Aku berjalan kembali lebih hati-hati. Aku melihat seorang pria didepan sana menggunakan trik ini. Aku tak lagi berlarian, hanya berjalan pelan untuk mengikuti langkah si ayam, sampai ia tersudut di kandangnya sendiri. Aku dengan segera meraih badannya, dan "Hap!"

Aku segera berlari keluar kandang dan kemudian mencari sosoknya, "Hya aku dapat satu!" teriakku tak sengaja karena terlalu senang.

Namun hanya ada sedikit, sangat sedikit senyum balasan yang ia berikan. Bahkan itu bukan senyuman, melainkan entahlah mungkin jika melihat sekilas kau berpikir tadi dia hanya menggerakan bibirnya.

"Letakkan disini," katanya menunjuk tempat nya berdiri.

Aku berjalan segera sembari memegang erat ayamnya, "Sudah ku bilang, aku bisa -hatchih." kataku tak sengaja saat berdiri didepannya.

"Oh maaf," kataku melempar ayam itu ke tempat hasil penangkapan untuk disembelih, "alergiku sepertinya kambuh."

"Alasan." bisikknya sangat pelan namun aku bisa mendengarnya.

"Oh, itu akan dipotong?" kataku pada teman lainnya yang sedang mengasah pisau. Ia menganggukan kepalanya.

"Apa lagi?" Dio menatapku sembari melipat kedua tangannya didada.

"Empat lagi." jawabku kesal menjauhkan langkah kakiku darinya.

"Kim Jongdae! Kim Jongdae!"

Nama itu sedang dipanggil-panggil untuk berdiri di tengah perkemahan. Kami semua sudah melaksanakan tugas masing-masing. Kami semua sudah bisa beristirahat seharusnya, kecuali kelompok bersih-bersih. Dan selagi menunggu, beberapa orang berkumpul di tengah perkemahan untuk duduk melingkar sembari menunggu siapa saja yang bisa menghibur kesunyian malam.

"Kim Jongdae cepat suaramu kan bagus!" panggil temannya.

Sementara orang yang mungkin namanya disebut itu sedang terduduk sembari menggeleng malu. Asalkan suaranya bagus seharusnya ia maju saja, tunjukkan bakatnya. Dari yang ku dengar suaranya memang merdu, tapi dia tidak ikut kelas musik karena kesibukan lainnya, mungkin jika ia ada, aku tak akan terpilih mewakili kampusku.

"Melodi, kau dipanggil ke dapur umum." kalimat itu baru saja merusak suasana hatiku.

Damia menoleh menatapku, "Kenapa?"

Aku mengangkat bahuku tak mengerti juga. Namun aku harus segera kesana untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Semakin mendekati dapur umum firasatku mengatakan ada yang tidak baik saat aku melihat Do Kyungsoo berdiri di depan pintu menungguku. Ia lagi-lagi mengangkat dagunya, kali ini mengarah pada sebagian orang yang tengah sibuk membersihkan piring kotor.

"Aku?" tanyaku terkejut.

"Kau pikir aku tak tau yang kau lakukan tadi siang? Kau pikir bisa membohongiku?" Tanyanya dengan matanya yang tajam itu.

"Itu karena aku benar-benar alergi." Kataku menunduk. Aku menyesal membohonginya soal menangkap ayam, tapi aku sama sekali tidak berbohong tentang alergi ku.

Siang tadi benar aku menangkap 1 ekor ayam, namun 4 lainnya aku dibantu. Saat itu kepalaku sudah benar-benar sakit, dan aku tau Dio tak lagi menunggu di tempatnya. Aku tak bermaksud curang, sungguh. Aku sudah mengatakannya pada senior lain, bukan dia.

"Kau sudah tau apa hukumannya kan?" katanya tak memperdulikan kondisiku.

Aku menghela nafasku, "Tapi itu bukan pekerjaanku, itu pekerjaan kelompok selanjutnya."

"Disaat yang lainnya mengerjakan pekerjaan dengan baik, kau senang karena menangkap 5 ekor ayam yang bahkan bukan dirimu yang melakukannya." Ia tersenyum miring dan kemudian menaikan sebelah alisnya. Membuatku mematung menahan emosi.

"Baiklah." Jawabku pasrah.

Aku memutuskan untuk berlalu segera darinya sembari menahan air yang ingin keluar dari kedua mataku. Sedingin itu dirinya? Sebenci itu dirinya padaku?

Saat tiba di tempat pencucian piring, aku memang tak ditinggalkan sendirian. Bahkan sebagian orang bertanya-tanya mengapa aku dengan sukarela berada disana, dan aku hanya menjawab karena ingin membantu. Aku tidak bisa banyak bicara.

...

....

Malam itu saat aku keluar dari dapur umum, sudah tak ada dirinya yang berjaga didepan pintu. Suasana bahkan sudah sunyi, menyisakan beberapa orang yang juga ingin kembali ke tenda maisng-masing. Karena memang bukan kelompokku, aku berjalan sendirian ke tenda.

Kepalaku bertambah sakit dan tubuhku mengigil karena cuaca sangat dingin.

Dari kegelapan aku bisa melihat Damia berjalan ke arahku. "Kau baik-baik saja?" tanyanya segera saat sudah berdiri disampingku.

Aku hanya bisa mengangguk, berpura-pura tak merasakan apapun.

Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sembari kemudian meraih tanganku, "Ini oleskan perlahan."

Aku mengangguk sembari tersenyum menatap wajah khawatir Damia.

...

...

Dan bisa ditebak, keesokan harinya... aku benar-benar tidak bisa mengikuti semua acara. Tubuhku benar-benar tak bisa di gerakan. Dan yang lebih memalukannya lagi, hanya aku seorang yang menginap di kamar ruang kesehatan selama seharian penuh.

Sepertinya semua orang benar-benar sibuk sampai akupun tak bisa mendengar suara di luar sana. Kepalaku yang terasa berat membawaku untuk tertidur dan bangun di waktu-waktu yang tak menentu. Aku hanya bisa melihat sedikit cahaya dari jendela yang ada didepanku, apakah pagi, siang atau sudah malam kembali.

Aku hanya terbagun untuk dua hal, makan dan minum obat. Sisanya, aku benar-benar dipenuhi dengan gatal di hidung dan rasa terbakar ditanganku. Sepertinya ini alergiku yang terparah. Sampai penjaga ruang kesehatan terus mengecek suhu badanku.

Beruntungnya keadaan ini hanya aku alami dalam waktu satu hari, karena pagi ini aku sudah bisa bersiap keluar. Pagi-pagi sekali aku sudah kembali ke tenda dan merapihkan diriku yang terlihat tidak sepucat kemarin.

Namun tetap saja, tubuhku mengigil begitu ada angin yang baru saja menerobos kedalam tenda. Saat matahari sudah mulai muncul, beberapa teman di dalam tenda ku sudah bersiap akan melakukan kegiatan selanjutnya.

Damia masih terduduk disampingku, ia sedang menjelaskan apa saja yang dilakukan kemarin sampai suara barinton dengan langkah kaki berat itu bisa ku dengar dengan jelas.

"Melodi!" panggilnya terburu-buru saat menyeruak pintu tenda.

"Sunbae?" tanyaku heran, dari hari pertama bahkan aku tak melihat kehadirannya. Kim sunbae berjalan menghampiriku dengan wajah yang berkeringat. Sejauh mana ia berlari?

"Kau kenapa?" tanyanya heran menyentuh keningku sesaat.

"Alergiku kambuh, tapi sekarang aku baik-baik saja." kataku membuat senyuman selebar mungkin.

Sebelah tangannya memegangi keningnya sedang satu lagi berkacak pinggang, "Maaf aku baru bisa menemuimu."

"Kim sunbae baik-baik saja?" tanyaku bingung. Kenapa dia sangat gelisah? Apa sesuatu menganggunya? Atau ada hal yang tidak ia inginkan terjadi?

Ia mengerutkan keningnya, "Seharusnya kau ke rumah sakit saja," ia sekarang berlutut menatapku, "mau ku antar?"

Aku segera menggeleng, "Aku sudah baik-baik saja."

"Dio?" kini suara Damia membuat aku dan Kim sunbae menoleh ke arah pintu.

Kim sunbae segera berdiri menatap kehadiran pria dingin itu. Namun tak lama, karena selangkah Dio memasuki tenda, Kim sunbae menghampirinya.

"Ikut aku," katanya sembari berlalu. Membuat langkah Dio terhenti dan berbalik untuk mengikutinya.

Aku tak bisa berbuat apapun, juga tidak bisa mengikuti keduanya. Karena mungkin bukan menyangkut diriku, aku tak ingin salah paham. Jadi aku memutuskan untuk berkumpul dilapangan saja. Namun wajah Damia gelisah. Sebenarnya beberapa kali saat aku memperhatikannya sedang menunduk sembari memainkan jemarinya dengan wajah gelisah, sudah sejak awal perkemahan ini.

"Baiklah, untuk kegiatan selanjutnya kita akan melaksanakan beberapa program team building, tentu program ini sangat penting untuk jurusan bisnis. Untuk yang pertama adalah Blind Lead. Setiap kelompok dibagi menjadi dua, satu sisi sang penunjuk arah dan satu sisi akan ditutup matanya. Penunjuk arah mengarahkan teman kelompoknya yang ditutup matanya mengambil sedotan dan berikan petunjuk untuk membuatnya menjadi sususan huruf."

Penjelasan panjang senior usai dan semua tim membuat barisan untuk bersiap. Termasuk Dio yang baru saja datang ikut bergabung.

"Aku akan menutup mataku." Kataku mengambil kain hitam yang sudah disediakan. Damia membantuku untuk merekatkan tali.

"Kau akan baik-baik saja? Bukankah kau baru saja sembuh?" tanyanya khawatir. Aku mengangguk tak memberikan jawaban.

Teringgal beberapa detik saja seharusnya aku bisa menyusul kelompok pemenang untuk menyusun huruf dengan mudahnya. Aku tertinggal sedikit dan tim ku kalah. Beruntung teman setim ku sama sekali tak meyalahkanku, karena kami ada di posisi kedua belum tertinggal jauh.

"Selanjutnya, adalah Stick Transfer." Memindahkan stick dari orang pertama ke orang selanjutnya tidak boleh menggunakan tangan, hanya menggunakan kaki atau lutut. Jika sudah sampai ke orang terakhir maka harus kembali lagi ke orang pertama dengan menggunakan leher atau bahu.

Prit!

Tanda dimulainya permainan, dan sial membuat semua orang terburu-buru tak mempersiapkan diri sehingga aku harus tepat berada setelah pria dingin yang baru saja menatapku dengan wajah galaknya.

Awalnya berjalan lancar karena hanya menggunakan lutut, sedang selanjutnya menggunakan bahu. Sampailah stick pada bahu nya. Ia mengerutkan keningnya, menyuruh diriku untuk segera mendekatinya agar menarik stick itu.

Aku mendekati dirinya dengan ragu. Memiringkan wajahku mendekati wajahnya.

Duk!

Kening kami beradu menjatuhkan stick itu. Seseorang baru saja mendorong tubuhku tak sengaja hingga aku sedikit maju dan beruntung hanya kening kami yang saling beradu. Aku yakin wajahku sudah merah padam.

"Bodoh," katanya sembari berlalu menjauh dariku.

"Tim dua di disualifikasi karena sticknya terjatuh." Suara seorang senior yang baru saja berteriak dengan toa yang ia pegang itu berhasil membuatku tambah malu.

"Terakhir, Trust Fall. Trust Fall on the Net. Satu orang akan menjatuhkan diri dari atas dengan melipat kedua tangannya di depan dada, dan kelompoknya bersiap membuat jaring untuk mengunci dan menopang tubuh orang tersebut.

Orang yang dipilih timku adalah Damia. Ia memiliki tubuh yang kurus mirip sepertiku. Ia sempat menolak saat teman setim kami mengajukan dirinya, namun akhirnya ia ingin melakukannya. Ia tak pernah bercerita tentang takut ketinggian atau ketakutan lainnya, jadi ku pikir semua akan baik-baik saja.

Hap!

Berjalan  mulus. Damia berhasil ditangkap.

Buk!

Semenit kemudian tubuhnya oleng karena tersandung batu setelah diturunkan pelan-pelan. Bukan, ini bukan salah siapapun. Semuanya segera menghampirinya, termasuk Dio yang terburu-buru segera menghampirinya.

"Melodi!" terianya membuat diriku yang saat ini sedang memegangi tangan Damia terdiam. "Kau baik-baik saja?"

Bukan untuk aku? Atau aku salah dengar? Tapi kini ia menghempaskan tanganku untuk meraih Damia dan memopong tubuhnya yang terduduk ditanah itu untuk naik ke pundaknya.

Ia berlari dengan wajah khawatirnya. Wajah itu seperti saat ia menatap kakeknya yang sedang tertidur sakit. Ia berlari untuk segera meminta bantuan pada tim kesehatan.

...

....

Saat semua sudah kembali ke tenda masing-masing. Membersihkan diri dan bersiap untuk kegiatan malam. Aku berjalan ke ruang kesehatan untuk melihat keadaan Damia.

"Kakimu baik-baik saja?" tanyaku menyentuh kaki kiri Damia yang terkilir. Damia meringis kesakitan. "Ah, maaf maaf."

"Tidak juga, aku tidak baik-baik saja." Katanya membalas pertanyaanku. "Ah, kenapa kita jadi seperti ini?" tawanya.

"Maksutmu?" heranku.

"Tadi pagi kamu yang sakit, sekarang aku." Katanya menggeleng-geleng.

"Oh benar juga." Tawaku. "Hm.. Damia, tadi.. aku mendengar sesuatu yang aneh." Lanjutku duduk disebelahnya. Damia mengerutkan keningnya. "Aku mendengar Dio−"

"Semuanya ke lapangan." Kata-kata itu memotong pembicaraan ku dengan Damia.

Aku menatap Damia untuk meninggalkannya di ruang kesehatan. Biar di istirahat terlebih dulu. Namun, baru saja aku akan beranjak, seseorang masuk kedalam ruang kesehatan.

"Bagaimana kakimu?" Tanya lembut seorang pria yang tak pernah ku duga.

"Aku baik-baik saja." Jawab Damia tak kalah lembut namun sedikit ragu.

"Aku akan kesini lagi," katanya sembari mengusap kepala Damia sekilas. Ia sama sekali tak menatapku, dan berlalu keluar ruangan begitu saja.

Do Kyungsoo?

Aku terdiam melihat apa yang baru saja terjadi, ingin menanyakan sesuatu namun urung karena panitia sudah mulai bicara keras-keras diluar sana memanggil. Kenapa pria dingin itu bisa selembut itu pada Damia? Sejak kapan Damia dan Dio saling mengenal?

Dan untuk pertama kalinya, aku melihatnya tersenyum.

...

....

Ruang kosong ini semakin melebar. Merayap membuat kehampahan semakin terasa. Seperti langit malam yang semakin gelap, tak ada bintang ataupun bulan yang muncul untuk sekedar menemani kesunyian. Aku tak mati dalam kesunyian, karena aku berteman dengan sunyi. Bukan berarti aku suka, aku hanya belajar menerima.

Semua yang ku lewati hari ini terus berputar dikepalaku. Seperti potongan film yang satu persatu sedang ku tebak bagaimana akhir ceritanya. Semua yang terjadi belakangan ini membawa kebingungan dalam diriku. Kekhawatiran tak beralasan.

Aku ingin memeluk diriku sendiri. Lalu bertanya, ada apa dengan diriku?

"Arbbbhhhhhhh." Teriakanku tertahan begitu seseorang dengan sengaja membekapku. Tentu saja aku terkejut melihat seseorang yang tiba-tiba datang dengan menyinari wajahnya dengan senter putih, itu sungguh menyeramkan dan mengejutkan.

Hahaha. Tawanya segera melepaskan bekapan tangannya dari mulutku.

"Kim sunbae, sunbae mengagetkanku." kataku sembari memukul pundaknya. Ia masih tertawa sembari kini membersihkan kursi disampingku.

"Untung aku membekap mulutmu, kalau tidak kau akan membangunkan seluruh orang dari dalam tenda, dan lagi-lagi kau akan dalam masalah besar." katanya kini sudah terduduk.

"Dan itu semua karena sunbae, aku tak sepenuhnya bersalah."

"Aku sudah menunggumu sedari tadi, akhirnya temanmu pergi juga." Tawanya, membuatku mengerutkan keningnya. "Bagaimana rasanya membuat kelompokmu kalah?" lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

"Apa kali ini sunbae menyalahkanku juga?" kesalku. Ya, kelompokku memang kalah dan berada di urutan terakhir, dan hukumannya kami harus turut jaga malam. Dan lagi, aku ditinggalkan sedirian di post ini karena kedua temanku yang bilang ingin ke toilet, bukan Damia salah satunya, karena ia dibebas tugaskan.

"Kau marah?" tanyanya sembari menoleh.

Aku menghela nafasku, "Ku ingatkan sunbae, jangan seperti orang itu. Dia selalu menyalahiku dengan apa yang ku perbuat, aku tak tau seberapa bencinya dia padaku, haruskah dia sebegitu kejamnya?" kataku kini sembari menaikkan kakiku keatas kursi.

"Orang itu?" Ia mengerutkan keningnya.

"Jangan pura-pura, sunbae pasti tau persis siapa yang sedang aku bicarakan." Kini aku memeluk lututku sembari meletakkan kepalaku diatasnya, menatap Kim sunbae disampingku.

"Tidak, aku tidak tau." Katanya tersenyum jahil.

"Bohong." Kataku mendengus sebal.

"Jangan menangis," Kim sunbae mengusap kepalaku meledek.

"Aku tidak menangis. Untuk apa aku menagisi dirinya? Aku membencinya. Aku membenci dia." kesalku.

"Benarkah? Kau akan menyesal mengatakan itu, kau bilang kau bukan pendendam."

"Bagaimana bisa aku terus mengagumi orang yang selalu membenciku? Aku juga akan membencinya. Aku tak lagi mengaguminya."

"Jadi benar kau menyukainya?" Kim sunbae mengagguk berdecak menahan tawa.

Aku segera menutup mulutku seraya menurunkan kakiku kembali ke tanah. Bodohnya.

"Sunbae, berhenti meledekku. Aku hanya bilang menggaguminya. Hanya sebatas itu, karena suaranya, selebihnya aku sangat membencinya. Aku juga bukan penggemarnya, dan satu lagi, aku berhenti berlatih dengannya, tolong sunbae bilang padanya."

"Kau hanya kesal sesaat. Kau akan melupakannya." katanya sembari mengangguk-angguk seperti memberi nasehat.

"Kenapa sunbae selalu membelanya?" heranku, "Ah, jangan-jangan hubungan kalian?" aku menaik turunkan alisku ikut meledek.

"Ya seperti itu." katanya tertawa.

"Apa? Seperti apa?"

"Yang ada dipikiranmu," katanya menunjuk keningku dengan telunjuknya.

"Sahabat kecil?" tebakku.

"Oh.. sepertinya tadi kau tidak memikirkan itu?" tawa sunbae. Aku hanya mendengus kesal, "Ya, kami tetangga sejak lahir." ia menatap langit, seperti sedang mengingat-ingat. "Dia bahkan dari kecil sudah pendiam dan pemalu."

"Lalu?" tanyaku penasaran.

"Oh.. kau penasaran dengannya?" ledeknya lagi.

"Tidak, hanya ingin tau. Tidak diteruskan tidak apa-apa, aku kan membencinya." kataku.

"Lantas kenapa kau selalu menggambar wajahnya? Bahkan disaat pelajaran musik, bukan menulis lagu dan mendengarkanku, kau sibuk sendiri." Perkataan itu membuatku terdiam. Menarik nafas perlahan.

"Sudahkah tengah malam? Haruskah aku kembali ke tenda?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Kim sunbae tersenyum mengeleng-geleng. "Masih berapa lama lagi?"

"Satu jam lagi." Kim sunbae kali ini tak bertanya lagi. Ia menatap sungai dan langit yang bagai menyatu berwarna senada.

Kami hanya terdiam menghirup udara malam yang dingin. Aku tak ingin bertanya lagi jika bukan Kim sunbae yang bercerita.

"Ayo, sudah jam 12." Kim sunbae beranjak berdiri seraya membantuku bangun.

"Kemana dua temanku, mereka kabur sepertinya." kataku menoleh kesana-kemari.

"Melodi," panggil Kim sunbae.

Aku segera menatap dirinya yang kini berdiri dihadapanku. "Ya?"

"Jika ada seseorang yang terluka datang kepadamu, berjanjilah untuk mengobatinya." Kim sunbae memberikan kelingkingnya dihadapanku.

"Hm?" aku mengerutkan keningku masih belum paham.

"Aku tau kau bisa menyembuhkannya, janji?" tanya nya sekali lagi.

Aku meraih kelingkinya untuk ditautkan ke jariku, "Janji hanya jika aku mampu." aku segera melepaskannya.

"Kau bisa." katanya mengacak rambutku pelan. Aku masih tak paham jadi hanya membalasnya dengan mengangkat kedua bahuku.

"Melodi!!!" suara dibelakang Kim sunbae membuatku segera menoleh.

"Astaga! Dari mana saja kalian? Kenapa baru datang?" Kesalku menatap kedua temanku yang baru saja datang. Keduanya hanya meringis tertawa.

Joo hyuk berjalan bersama Kim sunbae ke tenda laki-laki dan aku berjalan bersama Lee Sung Kyung ke tenda wanita.

"Aku baru saja berpacaran dengan Joo hyuk." Bisik Sung Kyung malu-malu.

"Apa? Benarkah?" kagetku menatapnya, Ia mengangguk segera. "Traktir aku mie dingin!" tawaku.

Ia tertawa membalas perkataanku, "Ahya, kemana Dio sunbae?" Tanyanya tiba-tiba.

"Kenapa kau bertanya tentangnya?" heranku.

"Saat aku meninggalkanmu, tak jauh ada Dio sunbae sedang berjalan sendirian, aku dan Joo hyuk bilang padanya kau sendirian, dan sepertinya ia terburu-buru. Ku kira dia menghampirimu." Jelasnya.

"Aku tidak tau, dia tak datang. Dan mana mungkin dia peduli padaku." Kataku yang memang tak melihat kehadirannya, "beruntung ada Kim sunbae." Lanjutku.

"Oh begitu, baiklah."

"Good night." kataku saat kami sudah tiba di ranjang masing-masing.

**To Be Continue**

Continue Reading

You'll Also Like

527K 5.7K 88
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
322K 24.5K 110
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
59.7K 9.1K 66
Rahasia dibalik semuanya
107K 10.4K 27
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...